”Tidak makan dan tidak minum adalah Sifat Allah SWT. Maka bagi mereka yang tidak makan dan tidak minum karena menjalankan perintah puasa, berarti ia telah memasukkan dirinya kepada Diri-Nya”.
Oleh: Admin
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
Bismillãhirrahmãnirrahîm
Wasshalãtu wassalãmu ‘alã Muhammadin wa ãlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inãyatil ‘ãmmati wal-hidãyatit tãmmah, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn“.
Sahabatku yang dirahmati Allah SWT. Puasa yang dilakukan oleh seseorang pada hakikatnya adalah salah satu dari sifat Allah SWT yakni tidak makan dan tidak minum.
Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda, bahwasanya Allah ‘Azza wa Jalla berfirman;
كُلُّ عَمَلٍ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلَّا الصِّيَامِ فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِيْ بِهِ (رواه مسلم)
“Setiap amal anak Adam menjadi miliknya kecuali puasa, ia milik-Ku dan Aku Sendiri yang akan memberi imbalannya”. (Shahih Muslim).
Abu Umamah bertanya kepada Rasulullah SAW:
عَنْ أَبِيْ أُمَامَةَ الْبَاهِلِيْ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قُلْتُ : يَا رَسُوْلَ اللهِ ! مُرْنِيْ بِأَمْرٍ آخُذُهُ عَنْكَ، يَنْفَعُنِي اللهُ بِهِ، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : عَلَيْكَ بِالصَّوْمِ، فَإِنَّهُ لَا مِثْلَ لَهُ، وَفِيْ رِوَايَةٍ : لَا عِدْلَ لَهُ . (رواه أحمد والنسائي والبيهقي بإسناد صحيح).
Dari Abu Umamah al-Bahili RA berkata, “aku berkata; Wahai Rasulullah ! Perintahkanlah aku dengan sebuah perintah yang aku mengambilnya langsung dari engkau, lalu Allah anugerahkan manfaat kepadaku dengannya”. Lalu Rasulullah SAW bersabda; “hendaklah engkau berpuasa, karena tidak ada yang serupa dengannya”. (H.R. Ahmad, an-Nasa’i, dan al-Baihaqi, dengan Sanad Shahih)
Mengenai kalimat “tidak ada yang serupa dengannya”, Allah SWT juga berfirman;
… لَيْسَ كَمِثْلِهٖ شَيْءٌ ۚوَهُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ ۞
“… Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya. Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Q.S. Asy-Syura [42]: 11)
Puasa adalah sifat Shamdãniyyah (sifat khusus yang hanya menjadi milik Allah SWT sebagai Maha Tempat Bergantung), yakni pelepasan dan penyucian dari makanan. Hakikat makhluk menuntut adanya makanan. Ketika hamba hendak menyifati sesuatu yang bukan termasuk bagian dari hakikatnya untuk bisa ia sifati, dan ia menyifatinya hanya karena tuntunan syari‘at berdasarkan firman Allah SWT:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ ۞
“Telah ditetapkan bagi kalian puasa sebagaimana telah ditetapkan bagi orang-orang sebelum kalian” (QS. Al-Baqarah [2]: 183), maka Allah SWT berfirman padanya, “Puasa adalah milik-Ku, bukan milikmu!”—dengan kata lain, “Akulah yang seharusnya tidak makan dan minum. Dan jika puasa adalah seperti itu dan yang membuatmu memasukinya adalah karena Aku mensyari‘atkannya padamu, maka Aku Sendiri yang akan memberi imbalannya.”
Seakan-akan Allah SWT mengatakan kepada orang yang berpuasa, “Akulah yang menjadi imbalannya, karena Akulah yang dituntut oleh sifat pelepasan dari makanan dan minuman, tetapi engkau melekatkan sifat itu padamu wahai orang yang berpuasa, padahal sifat itu bertentangan dengan hakikatmu dan bukan milikmu. Karena engkau bersifat dengannya ketika engkau berpuasa, maka sifat itu memasukkanmu kepada Diri-Ku. Kesabaran (yang ada dalam puasa) adalah pengekangan bagi jiwa, dan engkau telah mengekangnya atas perintah-Ku dari mengonsumsi makanan dan minuman yang diperbolehkan oleh hakikatnya.”
Dalam Futuhat al-Makkiyyah Jilid 4 (2019, 127-128), Guru kami, Syaikh Ibnu Arabi melukiskan betapa istimewanya seseorang yang berpuasa, karena pada sesungguhnya kesabaran yang ada dalam puasa adalah pengekangan bagi jiwa. Manusia rela melakukan pengekangan itu atas perintah-Nya, sehingga ia mendapatkan ganjaran istimewa pula, “sesungguhnya puasa itu milik-Ku dan Akulah yang akan membalasnya“.
Karenanya Rasulullah SAW bersabda;
لِلصَّآئِمِ فَرْحَتَانِ، فَرْحَةٌ عِنْدَ الْفُطُوْرِ وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَآءِ رَبِّهِ
“Orang yang berpuasa memiliki dua kegembiraan; kegembiraan saat berbuka dan kegembiraan saat bertemu dengan Rabbnya”.
“Kegembiraan saat berbuka”, ini adalah kegembiraan untuk ruh hewaninya, bukan yang lain. “Dan kegembiraan saat bertemu dengan Rabbnya”, dan ini adalah kegembiraan untuk jiwa rasionalnya (an-nafs an-nāṭiqah), yakni sisi lembut Rabbaninya (al-laṭīfah ar-rabbāniyyah). Puasa memberinya pertemuan dengan Allah SWT, yakni musyahadah atau penyaksian.
Berdasarkan hal ini, puasa lebih tamãm (lengkap) dibandingkan shalat, karena puasa menghasilkan pertemuan dengan Allah dan penyaksian-Nya. Shalat adalah munajat, bukan musyahadah, dan terdapat hijab yang menyertainya.
Sesungguhnya Allah SWT berfirman,
وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ اَنْ يُّكَلِّمَهُ اللّٰهُ اِلَّا وَحْيًا اَوْ مِنْ وَّرَاۤئِ حِجَابٍ اَوْ يُرْسِلَ رَسُوْلًا فَيُوْحِيَ بِاِذْنِهٖ مَا يَشَاۤءُ ۗاِنَّهٗ عَلِيٌّ حَكِيْمٌ ۞
“Tidak mungkin bagi seorang manusia untuk diajak berbicara langsung oleh Allah, kecuali dengan (perantaraan) wahyu, dari belakang hijab, atau dengan mengirim utusan (malaikat) lalu mewahyukan kepadanya dengan izin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana”. (QS. Asy-Syura [42]: 51).
Allah SWT menyertai pembicaraan dengan-Nya melalui hijab, dan munajat adalah percakapan serta pembicaraan. Dia berfirman, “Aku membagi shalat menjadi dua bagian antara Aku dan hamba-Ku. Setengahnya untuk-Ku dan setengahnya lagi untuk hamba-Ku, dan bagi hamba-Ku apa yang ia minta. Hamba berkata: Alḥamdulillahirabbil‘alamin’, Allah menjawab: ‘Hamba-Ku telah memuji-Ku’.”
Sementara itu, tidak ada pembagian dalam puasa. Ia hanya milik Allah SWT dan bukan milik hamba. Tetapi hamba memperoleh imbalan dan ganjarannya dikarenakan puasa itu sendiri adalah milik Allah SWT. Seorang hamba yang berpuasa telah ber-taraqqi (naik) menuju Allah SWT dengan melepaskan sifat-sifat kemanusiaannya.
Di sini terdapat sebuah rahasia nan mulia, yakni musyahadah dan munajat tidak akan pernah bisa bersatu. Musyahadah membuat orang terpana, sementara percakapan memberikan pemahaman. Dalam sebuah perbincangan, engkau lebih memperhatikan apa yang sedang dibincangkan, bukan orang yang sedang berbicara, siapa pun atau apa pun itu. Karena itu, pahamilah Al-Qur’an niscaya engkau akan memahami Al-Furqan.
Saudaraku yang dikasihi Allah SWT. Al-Qur’an diturunkan di bulan suci Ramadhan memiliki rahasia tersendiri. Hal itu berkaitan dengan cara membaca ‘Bahasa Wahyu’ yang harus dengan menanggalkan segala hawa nafsu. Dan itu tidak lain harus didahului dengan berpuasa.
Wallãhu A’lamu bish-Shawãb
_________
Source: Al-Futuhat Al-Makkiyyah jilid 4 bab 47, Terjemahan Harun Nur Rosyid