“Jika kita mengucapkan suatu pujian baik kepada Allah Ta’ala atau sesama makhluk maka pada hakikatnya kita sedang memuji Allah Ta’ala. Semua pujian itu hanya kembali pada-Nya semata”.
Oleh: Maulana Fayzaa
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
Bismillãhirrahmãnirrahîm
Wasshalãtu wassalãmu ‘alã Muhammadin wa ãlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inãyatil ‘ãmmati wal-hidãyatit tãmmah, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn“.
Hamdalah merupakan pujian kepada Allah Ta’ala dengan menggunakan lafadz:
اَلْحَمْدُ لِلّٰه
Artinya: “Segala puji hanya milik Allah“.
Kalimat ini mungkin merupakan kalimat yang sering kita ucapkan ketika mendapat nikmat dalam bentuk apapun dari Allah Ta’ala, lantas apakah makna dari kalimat tahmid hanya sebatas itu? Atau adakah makna tersirat dalam lafad tersebut?
Kalimat tahmid juga merupakan bagian ayat kedua dari Surah Al Fatihah, yakni:
اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَۙ ۞
Artinya: “Segala puji hanya milik Allah, Tuhan alam semesta“.
Kita kupas dari sisi nahwu terlebih dahulu, lafad merupakan kalimat yang menduduki tarkib mubtada’ dan syibhul jumlah dari jer dan majrur sebagai khobarnya. Al ta’rif pada lafad merupakan Al Jinsiyyah yang memiliki faedah (untuk menghabiskan semua bentuk individual). Al ta’rif ini juga yang memberikan makna ‘semua’ dalam terjemahan kalimat tahmid. Jika dikupas (pujian) sendiri terbagi menjadi 4 macam, yaitu:
1. Hamd Al Qodim ala Al Qodim
Yakni Pujian dari Allah untuk Diri Allah sendiri sebagaimana disebutkan dalam ayat:
اِنَّنِيْٓ اَنَا اللّٰهُ لَآ اِلٰهَ اِلَّآ اَنَا۠ فَاعْبُدْنِيْۙ وَاَقِمِ الصَّلٰوةَ لِذِكْرِيْ ۞
“Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku”. (QS. Thaha [20]: 14).
2. Hamd Al Qodim ala Al Hadits
Yakni pujian dari Allah terhadap makhluk-Nya, sebagaimana Allah memuji Nabi Ibrohim Alaihissalam dalam ayat:
وَاذْكُرْ فِى الْكِتٰبِ اِبْرٰهِيْمَ ەۗ اِنَّهٗ كَانَ صِدِّيْقًا نَّبِيًّا ۞
“Ceritakanlah (Hai Muhammad) kisah Ibrahim di dalam Al Kitab (Al Quran) ini. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan lagi seorang Nabi”. (QS. Maryam [19]: 41)
3. Hamd Al Hadits ala Al Qodim
Yakni pujian dari makhluk kepada Allah, sebagaimana pujian para malaikat terhadap Allah pada saat penciptaan Nabi Adam Alaihissalam dalam ayat:
قَالُوْا سُبْحٰنَكَ لَا عِلْمَ لَنَآ اِلَّا مَا عَلَّمْتَنَاۗ اِنَّكَ اَنْتَ الْعَلِيْمُ الْحَكِيْمُ ۞
“Mereka menjawab: “Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (QS. Al-Baqarah [2]: 32)
4. Hamd Al Hadits ala Al Hadits
Yakni pujian dari makhluk kepada sesama makhluk, seperti halnya kita memuji teman kita dengan kalimat: “Kamu adalah orang yang pintar”.
Semua pujian yang telah kami sebutkan itu tercakup dalam lafadz, dengan faedah dari Al Ta’rif yang telah kami sebutkan.
Kemudian lafadz. Lafadz ini terdiri dari 2 kalimat yaitu lam huruf jer yang memiliki faedah (menunjukan makna kepemilikkan) dan disandarkan kepada lafdul jalalah. Jika digabungkan dengan kalimat awal yakni, maka dapat diambil suatu natijah bahwasannya semua puji-pujian yang berjumlah 4 macam itu mutlak semua hanya milik Allah Ta’ala.
Jadi, jikalau kita mengucapkan suatu pujian baik kepada Allah Ta’ala atau sesama makhluk maka pada hakikatnya kita sedang memuji Allah Ta’ala. Semua pujian itu hanya kembali pada-Nya semata.
Dengan makna ini, kita semakin paham bahwa apa saja yang ada pada diri kita itu merupakan nikmat dan anugrah dari Allah Azza Wa Jalla, lalu apa yang kita sombongkan atas apa yang kita miliki?.
Jika ada orang yang memuji diri kita, pada hakikatnya mereka memuji satir (penutup) dari Allah yang menutupi semua aib dan keburukan kita.
Dengan demikian kita akan menjadi lebih tawadhu’ serta berhati-hati dalam menjalani alur kehidupan. Selain itu, kita akan selalu mengakui kelemahan kita tanpa hidayah dan pertolongan dari-Nya.
Kalimat tahmid diatas juga merupakan isim makrifat, yang dimana subtansi makna sudah seharusnya diketahui oleh orang-orang yang berakal. Bukankah Surah Al-Fatihah merupakan surat yang minimal kita baca 17 hari dalam sehari semalam? Lantas mengapa banyak di antara kita yang belum memahami makna-makna didalamnya?
Kesalahan bukan terletak pada Al Qur’an, juga tidak terletak pada ibadah kita. Coba tanyakan pada diri kita masing-masing! Seberapa jauh kita dengan Al Qur’an dan Sang Pemilik Kehidupan?
“Tidak ada daya untuk menjauhi maksiat, dan tidak ada kekuatan dalam ibadah kecuali dengan pertolongan Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung”.
Wallâhu A’lamu bish-Shawãb
_______________
Source: Kompasiana