بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
Bismillãhirrahmãnirrahîm
Was-shalãtu was-salãmu ‘alã Muhammadin wa ãlihî ma’at taslîmi wa bihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘ãmmati wal-hidãyatit tãmmah, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn”.
Fenomena Gerhana Matahari Hibrida akan menghampiri Indonesia pada Kamis, 20 April 2023 mendatang.
Gerhana Matahari, seperti dikutip dari situs resmi Edukasi Sains Antariksa Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), tidak dapat terjadi setiap bulan. Alasannya, karena orbit Bulan memiliki kemiringan sebesar 5 derajat.
Namun, fenomena gerhana matahari ini dapat terjadi antara 1-5 kali dalam setahun di seluruh Bumi. Menurut Peneliti Pusat Riset Antariksa BRIN, Andi Pangerang, dikutip dari halaman Edusains BRIN, sepanjang tahun 2023, terdapat sedikitnya 12 kali fase Bulan Baru dengan dua fase Bulan Baru yang bertepatan dengan fenomena Gerhana Matahari Hibrida.
Gerhana matahari merupakan fenomena alam yang Tuhan berikan. Barangkali fenomena ini sudah biasa kita saksikan. Apalagi secara ilmiah, fenomena alam ini memang kerap terjadi dan bisa diprediksi kemunculannya secara berkala berdasarkan perhitungan astrofisika. Namun, kali ini saya tidak akan membahas fenomena itu menurut kacamata sains. Ada baiknya, kita bawa fenomena itu kepada perenungan lebih mendalam agar Maha Besar Allah SWT dapat kita pahami.
Nabi Muhammad SAW memerintahkan kepada kita bila terjadi gerhana untuk berdoa kepada Allah, mendirikan shalat sunnah gerhana, bertakbir dan bersedekah, sebagaimana sabda beliau yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari, yang berbunyi:
إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللّٰهِ لَا يَخْسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلَا لِحَيَاتِهِ فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَادْعُوا اللّٰهَ وَكَبِّرُوا وَصَلُّوا وَتَصَدَّقُوا
“Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda dari tanda-tanda kebesaran Allah, dan tidak akan mengalami gerhana disebabkan karena mati atau hidupnya seseorang. Jika kalian melihat gerhana, maka banyaklah berdoa kepada Allah, bertakbirlah, dirikan shalat dan bersedekahlah.”
Zaman dahulu kala, di beberapa masyarakat muncul kepercayaan mitos terhadap fenomena gerhana matahari. Ketika muncul gerhana matahari mereka menumbuk-numbuk lesung padi. Tradisi ini hidup di tanah Jawa dengan latar belakang cerita mitos yang diyakini sebagai penyebab terjadinya gerhana matahari. Cerita dan tradisi itu mungkin masih hidup dan diyakini oleh sebagian masyarakat sampai saat ini.
Kepercayaan mitos itu menceritakan dan berawal ketika Betara Kala ingin hidup abadi. Ia berusaha mencuri air keabadian (Tirta Amerta) dari tempat tinggalnya para dewa. Dengan kesaktiannya, dia berhasil mencuri Tirta Amerta. Namun, baru saja dia teguk air keabadian itu dan belum sampai kerongkongan, Betara Guru mengetahuinya. Lalu Betara Guru melemparkan senjatanya berupa Cakra dan menebas batang leher Betara Kala hingga terpisah kepala dari badannya.
Ternyata Tirta Amerta memang teruji khasiatnya, kepala Betara Kala tetap hidup dan terbang melayang-layang di angkasa, sementara badannya jatuh ke bumi dan berubah menjadi lesung (alat penumbuk padi). Betara Kala sangat marah dan dengan kemarahannya dia berusaha menelan matahari agar bumi selamanya berada dalam kegelapan.
Mereka yang percaya pada mitos ini memukul-mukul lesung padi ketika terjadi gerhana matahari sebagai symbol memukul-mukul jasad Betara Kala yang masih hidup itu. Mereka berharap dengan memukul-mukul lesung itu, Betara Kala akan merasa geli dan mual sehingga matahari yang ditelannya dimuntahkan lagi sehingga bumi kembali terang. Heheheee…., dewa dipukul-pukul oleh manusia bukan benjol, malah kegelian.
Biarkan sajalah tradisi mitos itu, yang terpenting bagi kita adalah melakukan kontemplasi spiritual dari fenomena alam yang diberikan Tuhan itu dengan mengambil nilai filosofis dari tanda-tanda alam itu. Sebab, meskipun itu fenomena alam biasa, namun tetap saja merupakan “bahasa” Tuhan untuk memberikan “tanda” atau petunjuk buat manusia. Tanda apakah itu?
Dalam ajaran Islam, ketika muncul gerhana matahari, Nabi SAW memerintahkan kita untuk melaksanakan shalat yang disebut sebagai shalat kusûfisy-syamsy, yakni shalat dua rakaat yang setiap rakaatnya dilakukan dua kali ruku’.
Penjelasannya begini, niat shalat seperti biasa lalu takbiratul ihram. Setelah membaca fatihah, baca surat sepanjang mungkin (kalau hafal). Setelah itu, ruku’ dengan membaca do’a ruku sepanjang dan selama mungkin.
Setelah ruku’, berdiri tegak (seperti I’tidal) dan kembali membaca surat fatihah dan surat sepanjang mungkin namun lebih pendek dari yang pertama. Setelah itu, ruku’ kembali dan membaca doa ruku’ sepanjang mungkin namun lebih pendek dari doa ruku’ yang pertama. Lalu I’tidal dan kemudian sujud, duduk di antara dua sujud, sujud lagi dan kembali lagi berdiri untuk rakaat kedua.
Demikian, hingga akhirnya salam setelah selesai dua rakaat. Setelah selesai shalat dua rakaat, dianjurkan untuk menyampaikan khutbah. Karena itu, shalat gerhana dilaksanakan secara berjamaah. Silahkan saja bagi anda yang ingin melaksanakan shalat kusûfisy-syamsy. Namun demikian, mengambil hikmah dari fenomena alam itu tidaklah kalah pentingnya.
Makna Filosofis
Jika kita ambil filosofi alam semesta, akan nampak bagaimana peran Tuhan dan posisiNya dalam diri kita masing-masing. Kita ambil saja bahwa sosok matahari itu (sebagaimana karakternya yang bercahaya) adalah simbolisasi dari sosok Tuhan. Sedangkan bulan adalah symbol utusanNya dan bumi adalah symbol jasad manusia yang gelap gulita.
Matahari dengan cahayanya dapat memberikan kehidupan dan sekaligus membinasakan. Sedangkan bulan dapat memberikan penerangan ketika bumi gelap gulita karena “ditinggalkan” cahaya matahari pada saat malam. Sosok bulan itu tidak bercahaya. Ia seperti bercahaya karena mendapat pantulan cahaya matahari. Karena itu, cahaya bulan dapat disaksikan dan sekaligus penerang gelapnya bumi.
Ketika bulan berada pada garis lurus di antara matahari dan bumi itu bermakna bahwa sang Rasul telah lebur bersama Tuhan. Sosok bulan tenggelam di dalam cahaya matahari menyebabkan bumi sebagai sosok manusia menjadi gelap gulita.
Sebagaimana simbolisasi Rasul di atas, bahwa kehadiran Tuhan dalam diri manusia merupakan gradasi cahayaNya sehingga membuat manusia menjadi hidup. Rasul dijuluki juga sebagai Nûrul Awwal (Cahaya pertama), al-Badru (purnama), Syamsyun (matahari), Nûrun fauqa nûrin (Cahaya di atas cahaya), dll.
Selain sebagai bulan, cahaya Rasul juga disebut sebagai matahari karena cahayanya yang juga berasal dari matahari. Jadi, ia dikatakan Rasul (Utusan Tuhan) karena cahayanya tidak berdiri sendiri, tetapi pantulan dari cahaya Tuhan.
Dengan demikian, Rasul itu adalah sebuah pantulan “wajah” Tuhan, alias cerminNya. Ia berada dalam diri manusia hingga detik ini. Dalam makna ini, Rasul tidak pernah mengalami kematian sepanjang kehidupan manusia dan sepanjang Tuhan berkehendak untuk “melihat” DiriNya sendiri seperti bercermin.
Makna spiritual dari gerhana matahari adalah semacam “panggilan” Tuhan kepada UtusanNya. Atau dalam makna lain merupakan naiknya spiritual manusia ke hadhirat Tuhan. Dalam istilah spiritual sufi, peristiwa itu disebut dengan tajalli (Tuhan “turun”) di satu sisi, atau taraqqi (ruhani manusia naik) di sisi lain.
Tajalli dan taraqqi merupakan fenomena spiritual manusia yang mengakibatkan totalitas cahaya sekaligus totalitas kegelapan. Totalitas cahaya adalah sebuah kesadaran yang naik ke sidratul muntaha dan membuat sirna segala bentuk, rupa dan warna. Sirnanya segala bentuk, rupa dan warna adalah realitas kegelapan bagi manusia.
Atas dasar ini, peristiwa mi’raj nya Nabi Muhammad SAW sebagai fenomena tajalli dan taraqqi tidak bisa dijelaskan secara detil, kecuali hanya berupa penjelasan symbol-symbol spiritual dengan apa yang disebut sebagai tujuh lapis langit dan perjumpaannya kepada para nabi di setiap langit. Karena itu, Nabi SAW sendiri telah memproklamirkan bahwa dirinya Ummiy (tidak bisa baca tulis).
Ummiy adalah ungkapan totalitas kegelapan kemanusiaannya sebagai makhluk yang bermaksud ketiadaan. Sedangkan spiritual Nabi SAW adalah totalitas cahaya. Pernyataan ummiy merupakan realitas kepasrahan total kepada Tuhan. Bahwa jasad Nabi yang disadari sebagai ketiadaan itu adalah sebuah statemen bahwa sosok Tuhan telah bertajalli di muka bumi. Semacam penegasan bahwa Tuhan turun ke bumi dan menjelma sebagai manusia. Demikian kira-kira bahasa gamblangnya.
Trus, kalau begitu, gerhana matahari itu bermakna spiritual manusia itu sebenarnya telah mengalami kenaikan atau grafiknya meningkat? Heheheheeee…., tergantung. Itu kan cuma tanda bahwa Tuhan telah memberikan tanda-tanda di alam semesta agar manusia mau berpikir, merenung dan menghamba kepadaNya secara total. Bahwa ada manusia di zaman ini yang memang diangkat oleh Tuhan ke sidratul muntaha hingga ia tidak berjarak.
Dalam terminology Buddha ada Dewi Kwan Im yang duduk di atas pohon teratai. Kwan Im adalah penjelmaan Buddha Welas Asih di Asia Timur. Kwan Im sendiri adalah dialek Hokkian dan hakka yang dipergunakan mayoritas komunitas Tionghoa di Indonesia. Nama lengkap dari Kwan Im adalah Kwan She Im Phosat yang merupakan terjemahan dari nama aslinya dalam bahasa Sanskerta, Avalokiteśvara. (Wikipedia)
Pohon teratai adalah filosofi kegelapan dan cahaya. Akar pohon teratai tenggelam di dalam air sebagai symbol kegelapan dan daunnya berada di atas permukaan air, mendongak ke langit sebagai symbol cahaya. Dewi Kwan Im duduk di atas pohon teratai bermakna bahwa ia telah berada pada totalitas cahaya sebagai penjelmaan Buddha itu sendiri yang menerima totalitas cahaya Tuhan. Dirinya adalah jelmaan Tuhan (tajalli) di muka bumi.
Sama halnya dengan cerita pewayangan di atas, Betara Kala menelan matahari setelah minum air keabadian (tirta amerta). Lesung yang ditumbuk-tumbuk adalah symbol agar matahari dimuntahkan olehnya. Badannya adalah sosok kegelapan yang ditumbuk-tumbuk oleh manusia agar kebagian cahaya matahari yang diharapkan muntah dari mulut Betara kala. Sebuah symbol Utusan Tuhan dalam bentuk cahaya yang membuat kehidupan dunia menjadi tertata.
Nabi SAW memerintahkan umatnya untuk melakukan shalat kusûfisy-syamsy adalah bentuk kepedulian agar umatnya juga kebagian cahayaNya yang sudah nyata dalam diri RasulNya. Sebuah kecintaan yang dipersonifikasi lewat gerhana matahari dengan cara mengajak umatnya untuk berada dalam majelisnya.
Allah SWT berfirman:
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ ۞ الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللّٰهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَٰذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ ۞
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka”. (QS. Ali Imran [3]: 190-191)
Inilah barangkali makna yang dapat diambil dari fenomena alam semesta sebagai tanda bagi manusia. Bahwa Allah Maha Besar, dan takkan bisa “diraba” jika kita merasa besar. Kecuali jika kita menghinakan dan mengecilkan diri terhadapNya, maka Allah Yang Maha Besar akan “menghanguskan” segala bentuk, rupa dan warna yang membuat kita seolah-olah seperti besar.
اَللّٰهُمَّ أَنْتَ رَبِّيْ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ خَلَقْتَنِيْ وَأَنَا عَبْدُكَ وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَا اسْتَطَعْتُ، أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ، أَبُوْءُ لَكَ بِنِعْمَتِكَ عَلَيَّ، وَأَبُوْءُ بِذَنْبِيْ، فَاغْفِرْ لِيْ فَإِنَّهُ لَا يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلَّا أَنْتَ
Allãhumma anta rabbî, lã ilãha illã anta khalaqtanî, wa anã ‘abduka, wa anã ‘alã ‘ahdika wa wa‘dika mastatha‘tu, a‘ûdzu bika min syarri mã shana‘tu, abû’u laka bini‘matika ‘alayya, wa abû’u bidzanbî, faghfirlî, fa innahû lã yaghfirudz dzunûba illã anta.
“Ya Allah, Engkau adalah Tuhanku. Tidak ada Tuhan selain Engkau yang telah menciptakanku. Aku adalah hamba-Mu. Dan aku atas tanggungan dan janji-Mu selama aku masih mampu. Aku berlindung kepada-Mu dari kejelekan yang telah aku perbuat. Aku mengakui nikmat yang Kau berikan kepadaku. Aku mengakui dosaku, maka ampunilah aku. Sesungguhnya tidak ada yang bisa mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau.”
Wallãhu A’lamu bish-Shawãb
____________
Oleh: al-Hajj Ahmad Baihaqi