Home / Agama / Kajian / Makna Spiritual Kiamat

Makna Spiritual Kiamat

Isu hari kiamat banyak diberitakan media akhir-akhir ini, terutama setelah muncul fenomena alam yang tidak biasa terjadi, seperti kemunculan suara-suara misteri dari langit di sejumlah kota dunia. Peristiwa dan kejadian aneh tersebut diasumsikan sebagai tanda-tanda kecil (‘alamt shugra) datangnya hari kiamat.

Peristiwa hari kiamat juga dibahas secara konperhensif dari berbagai disiplin ilmu, mulai dari ulama tafsir, fadis, dan para saintis. Berbagai pandangan tersebut mengesankan peristiwa kiamat terlalu bersifat fisik-material, peristiwa menakutkan, dan pada akhirnya menimbulkan kecemasan terhadap umat manusia. Mendengarkan berita kiamat saja perasaan orang seperti kiamat sedang terjadi. Tidak heran jika banyak doa yang beredar di dalam masyarakat memohon agar tidak sempat menyaksikan kejadian mengerikan tersebut.

Berbeda dengan kalangan para sufi, membayangkan peristiwa kiamat itu sebagai peristiwa biasa yang lumrah terjadi pada alam fana. Menurut mereka, kiamat tidak perlu ditakuti secara berlebihan, apalagi bagi mereka yang berada di makam atas (al-‘alam al-‘ulya), kiamat itu bisa berarti pintu surga. Bagi mereka, dalam keadaan apa pun, seperti kata Alquran, Fala khaufun ‘alaihim wa la hum yahzanun (tidak pernah ada ketakutan dan kecemasan). (QS Yunus [10]: 62).

Wajar kalau orang-orang yang berada di makam alam bawah (al-‘alam al-sufla) merasa takut karena selain kedahsyatan peristiwanya juga bisa sekaligus menjadi pintu neraka baginya. Dalam kondisi dan kejadian separti apa pun para kekasih Allah SWT tidak perlu takut. Sebaliknya, dalam kondisi apa pun wajar merasa takut jika menjauh dengan Tuhannya.

Kalangan sufi memiliki pemaknaan tersendiri tentang peristiwa kiamat. Imam al-Gazali dalam kitab Ihya’ Ulum al-Din dan Ibnu ‘Arabi dalam Futuhat al-Makkiyyah, keduanyan membahas konsep kiamat berbeda perspektifnya dengan konsep kiamat sebagaimana yang berkembang di dalam masyarakat.

Di dalam kitab Al-Tafsir Muhith al-A’dham, karya Sayid Haidar Amuli, kiamat dibagi dalam tiga bagian, yaitu kiamat kecil (al-qiyamah al-shugra), kiamat menengah (al-qiyamah al-wustha), dan kiamat besar (al-qiyamah al-kubra). Jenis-jenis kiamat ini tidak berkonotasi kehancuran fisik dan kehancuran alam ini lalu manusia akan bertransformasi ke alam lain, tetapi lebih kepada bencana kemanusiaan. (Jenis-jenis kiamat ini akan dibahas dalam artikel mendatang).

Berbeda dengan pemahaman ulama kontemporer yang membatasi tanda-tanda kiamat pada dua bagian, yaitu tanda-tanda kiamat kecil dan tanda-tanda kiamat besar. Di antara tanda-tanda tersebut merujuk kepada salah satu hadis Nabi, yaitu, munculnya  Imam Mahdi yang akan menegakkan kembenaran, munculnya Dajal si tukang onar, bangkitnya kembali dan turunnya Nabi Isa AS, munculnya makhluk aneh Ya’juj dan Ma’juj, terbitnya matahari dari barat ke timur dengan segala akibatnya, tertutupnya pintu tobat, munculnya ab’abat al-Ard dari bumi dan akan memberi tanda bagi yang Muslim dan yang bukan, munculnya kabut selama 40 hari, selanjutnya  akan mematikan semua orang beriman, terjadinya kebakaran dahsyat yang menyebabkan kerusakan alam, runtuhnya kiblat Muslim, tulisan isi Alquran lenyap yang diawali ditinggalkannya ajarannya, ditiupnya sangkala pertama yang membuat semua makhluk hidup merasa kaget ketakutan dan putus asa, ditiupkannya sangkakala kedua yang membuat semua makhluk hidup kembali.

Alquran dan hadis juga memiliki pandangan luas dan komprehensif tentang kiamat. Di antara ayat dan hadis yang becerita tetang hari kiamat. Di antaranya ialah ayat Alquran, “Telah dekat terjadinya hari kiamat. Tidak ada yang akan menyatakan terjadinya hari itu selain Allah.” (QS an-Najm: 57-58).

Dalam ayat lain dikatakan, “Mereka menanyakan kepadamu tentang hari akhir, “Kapankah terjadinya?” Katakanlah, “Sesungguhnya pengetahuan tentang itu ada pada sisi Tuhanku; tidak seorang pun yang dapat menjelaskan waktu kedatangannya selain Dia. Kiamat itu amat berat bagi yang di langit dan di bumi. Kiamat itu tidak akan datang kepadamu melainkan dengan tiba-tiba.” Mereka bertanya kepadamu seakan-akan kamu benar-benar mengetahuinya. Katakanlah, “Sesungguhnya pengetahuan tentang hari kiamat itu adalah di sisi Tuhan, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS al-A’raaf :187).

Dalam kitab-kitab hadis juga ditemukan hadis-hadis tentang hari kiamat, meskipun, di antaranya, banyak tergolong hadis lemah (daif). Di antara hadis-hadis tersebut, “Barangsiapa yang sudah wafat maka berarti sudah kiamat baginya.”

Dalam hadis lain dari Huzaifah bin Asid Al-Ghifari RA, ia berkata, “Datang kepada kami Rasulullah SAW dan kami pada waktu itu sedang berbincang-bincang. Lalu, beliau bersabda, ‘Apa yang kamu perbincangkan?’ Kami menjawab, ‘Kami sedang berbincang tentang hari kiamat.’ Lalu, Nabi SAW bersabda, ‘Tidak akan terjadi hari kiamat sehingga kamu melihat sebelumnya 10 macam tanda-tandanya.’ Kemudian, beliau menyebutkannya, ‘Asap, Dajal, binatang, terbit matahari dari tempat tenggelamnya, turunnya Isa bin Maryam alaihissalam, Ya’juj dan Ma’juj, tiga kali gempa bumi, sekali di timur, sekali di barat, dan yang ketiga di Semenanjung Arab. Yang akhir sekali adalah api yang keluar dari arah negeri Yaman yang akan menghalau manusia kepada Padang Mahsyar mereka.'” (HR Muslim).

Beberapa pernyataan ayat dan hadis tentang kiamat diberi makna lain oleh para ulama tasawuf. Yang jelas, mereka tidak pusing soal dekat atau jauhnya hari kiamat, tetapi bagaimana perjalanan anak manusia bisa sampai ke puncak sebelum kiamatnya datang.

Kiamat bisa dipahami dalam berbagai perspektif. Setiap perspektif mempunyai beberapa pendekatan. Perspektif ilmu tasawuf dan ilmu kalam cenderung melihat kiat sebagai peristiwa fisik, sebagaimana yang dipahami secara luas di dalam dunia Sunni.

Kiamat pasti akan datang dan peristiwanya sangat mengerikan sebagaimana dijelaskan di dalam Alquran:  Iqtarabah al-sa’ah wa ansyaq al-qamar (Telah dekat (datangnya) saat itu dan telah terbelah bulan/QS al-Qamar [54]:1). Ayat ini menggunakakan fi’il madhi (past tense) untuk mengungkapkan peristiwa masa yang akan datang. Menurut kaidah tafsir, ini menunjukkan kepastian akan terjadinya peristiwa dan kedahsyatan peristiwa itu.

Kepastian akan datangnya peristiwa kiamat ditegaskan lagi dalam ayat lain: Inna al-sa’ah laatiyah   la raiba fiha wa anna Allah yab’atsu man fi al-qubur (Dan sesungguhnya hari kiamat itu pastilah datang, tak ada keraguan padanya, dan bahwasanya Allah membangkitkan semua orang di dalam kubur/QS al-Hajj [22]:7)

Sebelum peristiwa kiamat itu terjadi, ditandai dengan kedatangan dua tanda, yaitu tanda-tanda  kecil (‘alamat al-shugra) dan tanda-tanda besar (‘alamat al-sl-kubra), sebagaimana disebutkan di dalam artikel terdahulu.

Dalam perspektif lain, dikenal perspektif ilmu tarekat dan ilmu hakikat yang  lebih menekankan peristiwa ruhani. Dalam perspektif ini dibagi lagi ke dalam dua bagian.

Pertama, kiamat kecil bersifat fisik kealaman (al-qiyamah al-shugra al-afaqiyyah) dan kiamat kecil bersifat ruhani spiritual (al-qiyamah al-shugra al-anfusiyyah). Kedua, kiamat besar bersifat fisik kealaman (al-qiyamah al-kubra al-afaqiyyah) dan kiamat besar bersifat ruhani spiritual (al-qiyamah al-kubra al-anfusiyyah).

Dalam perspektif lain, ada ulama yang membagi kiamat ke dalam tiga tahapan, yaitu kiamat kecil atau kiamat awal (al-qiyamah al-shugra), kiamat menengah (al-qiyamah wustha), dan kiamat besar (al-qiyamah al-kubra). Jenis-jenis kiamat tersebut akan dibahas secara khusus dalam artikel mendatang.

Perbedaan pendapat para ulama tentang hari kiamat sebagaimana disebutkan di atas tidak mesti diperhadapkan satu sama lain atau menunjukkan kekaburan konsep kiamat dalam Islam.

Perbedaan pandangan tersebut lebih merupakan perbedaan pengategorian, meskipun memang terdapat beberapa pengembangan makna dari arti kiamat itu sendiri, sebagaimana nanti kita lihat perbedaan persepsi antara ulama fikih dan ulama hakikat. Dasar pendapat mereka sesungguhnya tetap menggunakan ayat-ayat dan hadis yang sama.

Hanya cara pemaknaan mereka berbeda tentang makna mufradat dari beberapa konsep.

Istilah kiamat di dalam Alquran ditemukan beberapa istilah antara lain (1) al-qiyamah, berasal dari kata qama-yaqumu (berdiri), seperti digunakan dalam ayat: La uqsimu bi yaum al-qiyamah…yasalu ayyan yaum al-qiyamah (QS al-Qiyamah [75]:1&6), (2) al-Sa’ah, secara harfiah berarti waktu tertentu, seperti digunakan di dalam ayat: Inna al-saa’ah laatiyah fa ashfah al-shafhah al-mail (Dan sesungguhnya saat (kiamat) itu pasti akan datang, maka maafkanlah (mereka) dengan cara yang baik/QS al-Hijr [15]:85), Iqtarabah al-sa’ah wa ansyaq al-qamar (Telah dekat (datangnya) saat itu dan telah terbelah bulan/QS al-Qamar [54]:1).

(3) al-Ma’ad (tempat kembali), berasal dari kata ‘ada-ya’udu berarti kembali. Penggunaannya di dalam Alquran antara lain Inna al-ladzi faradha ‘alaika al-qur’an laradduka ila ma’ad (Sesungguhnya yang mewajibkan atasmu (melaksanakan hukum-hukum) Alquran, benar-benar akan mengembalikan kamu ke tempat kembali/QS Qashash [28]:85).

(4) Wa yauma yakhsyuru hum tsumma naqulu li al-lazina asyraku makanakum …/(Ingatlah) suatu hari (ketika itu) Kami mengumpulkan mereka semuanya, kemudian Kami berkata kepada orang-orang yang mempersekutukan (Tuhan)/QS Yunus [10]:28). Masih ada beberapa lagi yang sering digunakan Alquran dan hadis yang menyatakan peristiwa kiamat dalam bentuk kata kerja dan kata sifat, yang melukiskan kedahsyatan hari kiamat itu.

Kiamat dalam perspektif ahli tarekat bertingkat-tingkat. Mereka memperkenalkan kiamat kecil (alqya mah al-shugra), kiamat menengah (al-qiyamah al-wustha), dan kia mat besar (al-qiyamah al-kubra). Kiamat shugra ialah orangorang yang hidup dalam suasana kebodohan (al-jahul) dan samasekali tidak mengenal Tuhannya dan arti kehidupan.

Mereka seperti yang disindir Allah SWTdi dalam ayat: “Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahanam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergu na kannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mem punyai mata (tetapi) tidak di pergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (te tapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai”. (QS al-A’raf [7]:179).

Setelah menjalani kehidupan yang gelap lalu ia berusaha menanggalkan dunia kebodohan, maka pada saat itu ia mengalami kematian yang juga disebut dengan kiamat kecil (al-qiyam al-shugra). Kematian ini nanti terbagi dua, ada kematian yang dikehendaki (almaut al-iradi) jika ia mengikuti alur hidupnya secara pasif, dan kematian yang diikhtiarkan (al-maut alikhtiyari), jika ia proaktif untuk memperbaharui jalan hidupnya.

Kebangkitan dari kebodohan ini disebut dengan kebangkitan dari kiamat kecil (al-mi’ad al-shugra). Kehidupan berikut ini penuh dengan kesadaran dan karena sudah bangkit dari kebodohannya. Ia kemu dian membenahi diri sebagai seorang hamba dan khalifah yang baik, berusaha terus untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah Swt. Kehidupan seperti ini disebut dengan surga nafsani.

Kematian simbolik itulah yang disebut di dalam hadis Nabi: Mutu qabla ‘an tamutu” (Matilah sebelum kalian mati),” dan redaksi dalam hadis lain: “Siapa pun yang mati maka terjadi kiamatnya.” Nabi Isa AS berkata, “Seseorang tidak akan memasuki malakut langit selama dia belum dilahirkan dua kali.” Begitu juga dengan ucapan Imam Ali, “Manusia itu tidur, maka jika dia mati, dia sadar.” (Lihat Sayid Haidar Amuli, Tafsir al-Muhith al- A’dham wa al-Bahr al-Khadhami fi Ta’wil Kitab Allah al-‘Aziz al- Muhkam, juz III, h. 280 dst).

Kiamat shugra ini juga diisyarat kan dalam Alquran: “Dan apa kah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar darinya?” (QS al- An’am [6]:122).

Maksud ayat ini, apakah orang yang mati karena kebodohan, kemudian Kami menghidupkannya dengan ilmu dan menjadikan caha ya baginya yang dengannya dia berjalan di tengah masyarakat sebagai seorang alim yang sempurna dan hidup dengan kehidupan abadi, serupa dengan orang yang berada dalam kegelapan kebodohan? Dalam ayat lain dijelaskan: Qul hal yastawi al-ladzina ya’lamun wa al-ladzina la ya’lamun? (Katakanlah: “Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?”QS az-Zumar [39]:9).

Setelah mengalami kiamat kecil, maka disusul dengan kia mat menengah (al-qiyam al-wustha), ketika seseorang bangkit dari keterpurukan karena kebodohan dan kerendahan budi pekerti, kemudian ia bangkit dan menjalani hidup dalam suasana akhlak karimah dan dihiasi dengan suasana batin yang tenteram. Dalam suasan hidup seperti ini para Nabi kelihatan fungsi nya sebagai pembawa pence rahan, sebagaimana diakui Nabi Muhammad SAW: Iinnama bu’itstu li utammi makarim al-akhlaq (Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak). Dalah hadis lain disabdakan: Takhallaqu bi akhlaq Allah (Berakhlaklah dengan akhlak Allah). Ketika seseorang mencontoh dan mengidentifi kasikan diri dengan sifat-sifat Allah SWT maka saat itu ia mengalami alqiyamah al-wustha.

Surga yang diperoleh setelah menjalani kiamat wustha ialah surga ruhani (al-jannah al-ru haniy yah) yang dikhususkan bagi hamba-hamba-Nya para pewaris, sebagaimana dalam fi rman-Nya: “Sungguh beruntunglah orangorang yang beriman, (yaitu) orangorang yang khusyuk dalam salatnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tidak berguna, hingga ayat,.., Mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi (yakni) yang akan mewarisi surga Firdaus. Mereka kekal di dalamnya”. (QS Al-Mukminun [23]:1-11).

Jika akhlak manusia yang tercela telah berganti menjadi akhlak yang terpuji, maka jiwanya telah keluar dari kegelapan tabiat dan tersucikan dan akhlak yang bu ruk, kemudian terdidik dengan dengan akhlak yang baik dan me nyifati sifat-sifat rabbaniyah dan akhlak Ilahiyah. Orang-orang se per ti ini akan masuk surga mak nawi sebelum masuk surga shu riyah (formal).

Surga ini pun di hu bungkan dengan surga nafsaniyah. Akhirnya, jiwanya memiliki dua surga, sebagaimana disebutkan dalam fi rman-Nya: “Wa liman khafa maqama Rabbihi jannatan”. (Dan bagi orang yang takut akan saat menghadap Tuhan nya ada dua surga/QS ar-Rahman/ 55:46). Kedua jenis surga itu ialah surga nafsâniyyah dan surga ruhaniyyah.

Sedangkan kiamat yang besar (al-qiyamah al-kubra) menurut Ahli Tarekat, yaitu ketika manusia mengalami fana dalam Al-Haqq dan baqa bersama-Nya. Ini juga diibaratkan dengan fana dalam tauhid yang disebut dengan qurb al-nawafi l (lihat artikel terda hulu), sebagaimana fi rman-Nya da lam hadis qudsi, “Hamba-Ku senantiasa mendekatkan dirinya kepada-Ku dengan nawafi l hingga Aku mencintainya. Jika Aku telah mencintainya maka Aku menjadi pendengarannya, penglihatannya, lisannya, tangannya, dan kakinya. Dengan-Ku dia mendengar, dengan- Ku dia melihat, dengan-Ku dia berbicara, dengan-Ku dia melapangkan tangannya, dan dengan-Ku dia berjalan.”

Kiamat setelah fana ini merupakan kematian yang hakiki dan menghasilkan surga syuhudiyyah yang berada di atas surga warisan dan surga jiwa. Kehidupan dan kematian seperti ini diisyaratkan di dalam ayat: “Mereka menjawab: “Ya Tuhan kami Engkau telah mematikan kami dua kali dan telah menghidupkan kami dua kali (pula), lalu kami mengakui dosa-dosa kami. Maka adakah sesuatu jalan (bagi kami) untuk keluar (dari neraka)?” (QS al-Gafi r [40]:11).

Dalam perspektif ahli hakikat, kiamat terjadi pada saat seseorang mengalami “kemabukan” (fana), yaitu ketika seseorang sampai pada penyaksian satu Pelaku yang bertindak dalam segala sesuatu (tawhid fi’li). Selama seseorang masih berada dalam kesadaran rasional, masih menyadari identitas diri Tuhan berbeda dengan identitas dirinya dan makhluk-makhluk selainnya, yang bersangkutan belum mengalami kiamat.

Kiamat dalam perspektif ahli hakikat sangat positif. Bahkan, kiamat itu didambakan. Sangat berbeda denga  konsep kiamat yang selama ini diprkenalkan di dalam kitab-kitab fikih, di mana kiamat dilukiskan dengan kejadian alam yang amat mengerikan.

Bagi ahli hakikat, orang-orang yang sudah tersingkap baginya tirai-tirai perbuatan dengan bashirah-nya hingga ia tidak menyaksikan segala perbuatan kecuali berasal dari satu Pelaku (Al-Haq), maka yang bersangkutan telah bebas dari penyaksian selain-Nya. Dengan demikian, ia telah mengalami kiamat. Tanda-tanda kiamat menurut ahli hakikat antara lain merasakan puncak tawakal, taslim, tafwidh, dan iqrar dalam tindakan, bukan hanya dengan ucapan bahwa “Tidak ada pelaku selain Allah  SWT.”

Perbedaannya dengan konsep kiamat ahli tarekat ialah apa yang dianggap kiamat wustha (menengah) baru dianggap kiamat shugra (kecil), oleh ahli hakikat.  Kiamat wustha  bagi ahli hakikat ialah ketika manusia sudah berada dalam suasana tawhid dzati. Kiamat ini diibaratkan dengan penyaksian bahwa seluruh zat itu baqa dengan Zat Al-Haq setelah zat-zat tersebut fana dalam Al-Haq, sebagaimana dalam firman-Nya, “Semua yang ada padanya itu akan fana dan hanya Zat Tuhan-mu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan tetap kekal.” (QS ar-Rahman [55]: 26-27).

Barang siapa yang tersingkap baginya Zat Al-Haq dan keberadaan-Nya di antara hijab-hijab jamaliyah dan jalaliyah hingga dia sama sekali tidak menyaksikan selain-Nya. Bahkan, dia hanya menyaksikan satu Zat yang termanifestasi pada lokus-lokus dari nama-nama-Nya. Maka, dia telah sampai pada tawhid dzati dan kiamat kubra telah terjadi padanya. Dia menyaksikan makna firman-Nya, “Milik siapa kerajaan ini saat ini? Milik Allah Yang Maha Esa lagi Maha Menundukkan (QS Ghafir[40]: 16) dan “Katakanlah, ‘Allah-lah.’ Kemudian  biarkanlah mereka bermain-main dalam kesesatannya.” (QS al-An’am [6]: 91).

Bagi ahli hakikat, kiamat ini diibaratkan fana dalam tawhid sifati (tauhid sifat) dan sampai pada penyaksian satu sifat yang mengalir pada segala sesuatu. Barang siapa yang tersingkap baginya tirai-tirai sifat hingga dia tidak menyaksikan dalam wujud ini kecuali satu sifat yang hakiki yang mengalir pada segala sesuatu.

Seperti mengalirnya kehidupan pada badan manusia, mengalirnya sifat qudrah pada tindakan manusia (yang dimaksud dengan satu sifat yang direlasikan pada satu zat yang bertindak pada segala sesuatu), seperti anggota tubuh disifatkan dengan sifat qudrah (mampu), maka dia telah sampai pada tawhid sifati (tauhid sifat) dan kiamat wustha maknawi telah terjadi baginya. Inilah makna ucapan para ahli irfan, “Zat terhijab dengan sifat, sementara sifat terhijab dengan perbuatan.”

Sejalan dengan perspektif ahli tarekat, perspektif ahli hakikat juga membagi kiamat ke dalam beberapa tingkatan. Kalau dalam perspektif ahli tarekat, kiamat dikaitkan dengan kematian manusia. Kiamat ini diibaratkan manusia yang fana dalam Al-Haq dan baqa bersama-Nya. Ini juga diibaratkan dengan fana dalam tauhid yang disebut dengan qurb al-nawafil, sebagaimana firman-Nya dalam hadis qudsi, “Hamba-Ku senantiasa mendekatkan dirinya kepada-Ku dengan nawafil hingga Aku mencintainya. Jika Aku telah mencintainya maka Aku menjadi pendengarannya, penglihatannya, lisannya, tangannya, dan kakinya. Dengan-Ku dia mendengar, dengan-Ku dia melihat, dengan-Ku dia berbicara, dengan-Ku dia melapangkan tangannya, dan dengan-Ku dia berjalan.”

Perbandingannya ialah pada kiamat ahli tarekat lebih banyak bersentuhan dengan konsep al-qurb al-nawafil. Sedangkan, konsep kiamat ahli tarekat lebih banyak bersentuhan dengan konsep al-qurb al-faraid.

Dalam perspektif ilmu hakikat kiamat diibaratkan dengan fana dalam tauhid fi’li (perbuatan), washfi (sifat) dan dzati (Zat) serta baqa dengan Al-Haq sesuai dengan tingkatan-tingkatan mereka.

Kalau pemahaman kalangan ahli syariah kiamat kubra dimaknai dengan hancurnya keseluruhan alam raya beserta segala isinya, kiamat kubra menurut ahli tarekat dimaknai dengan terjadinya suasana fana seorang hamba dengan Tuhannya. Sedangkan, kiamat kubra menurut ahli hakikat ketika makhluk bangkit dari kefanaannya lalu mencapai puncak tauhid secara komprehensif (al-tauhid al-tammah) meliputi tauhid sifat (tawhid al-shifati), tauhid perbuatan (tauhid al-af’ali), dan tauhid zat (tauhid al-dzati).

Kiamat kubra terjadi ketika seseorang mencapai puncak tauhid secara utuh dan menyatukan antara sifat, perbuatan, dan zat-Nya. Orang ini disebut mencapai kiamat besar, sebagaimana dijelaskan dalam artikel terdahulu, karena sudah tersingkap baginya tirai-tirai sifat hingga dia tidak menyaksikan dalam wujud ini kecuali satu sifat yang hakiki yang mengalir pada segala sesuatu seperti mengalirnya kehidupan pada badan manusia.

Mengalirnya sifat qudrah pada tindakan manusia (yang dimaksud dengan satu sifat yang direlasikan pada satu zat yang bertindak pada segala sesuatu, seperti anggota tubuh disifatkan dengan sifat qudrah (mampu), maka dia telah sampai pada tawhid sifati (tauhid sifat) dan kiamat wustha maknawi telah terjadi baginya. Inilah makna ucapan para ahli irfan, “Zat terhijab dengan sifat, sementara sifat terhijab dengan perbuatan.”

Dari segi tauhid perbuatan (tauhid al-af’al), yang bersangkutan sudah tidak lagi terhijab dengan perbuatannya sendiri karena sudah berada pada puncak kesadaran bahwa hakikat perbuatan, termasuk perbuatannya sendiri, tidak lain adalah perbuatan-Nya. Ia tidak lagi menyaksikan ada perbuatan selain perbuatan-Nya.

Para pelaku (al-fa’il) selain-Nya hanya pelaku semu. Dari segi tauhid, zat (tauhid al-Dzati) yang bersangkutan sudah tidak lagi terhijab dengan dirinya sendiri karena sudah berada pada puncak kesadaran tidak ada sesuatu yang mewujud selain Allah (la maujud illa Allah). Semua yang ada tidak lagi dianggap manifestasi (tajalli)-Nya, tetapi Dia yang sebenarnya disaksikan.

Mereka tidak lagi berada pada posisi dalam hadis: “Sembahlah Allah seperti engkau melihat-Nya” (an ta’bud Allah ka annaka tarahu), tetapi sudah hilang huruf “ka” (seperti) sehingga dipahami sebagai: “Sembahlah Allah sesungguhnya engkau melihat Allah” (an ta’bud Allah annak tarahu).

Kiamat kubra dalam perspektif ilmu hakikat ketika seseorang sudah sampai pada penyaksian bahwa seluruh zat itu abadi (baqa) dengan Zat Al-Haq setelah zat-zat tersebut fana dalam Al-Haq. Mereka memahami firman Allah: “Semua yang ada padanya itu akan fana dan hanya Zat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan tetap kekal.” (QS ar-Rahman [55]:26-27), bukan hancur berantakan seperti pemahaman yang diperkenalkan oleh kalangan ahli syariah tetapi hancur pengertian fana dan baqa’ bersama Tuhannya.

Mereka memahami bahwa alam ini merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Zat-Nya sehingga mereka tidak memahami alam ini akan hancur dan yang selamat dan utuh hanya Allah SWT. Kata-kata fan mereka mengartikannya dengan fana yang kemudian baqa’ dengan Al-Haq.

Mereka berpendapat bahwa barang siapa yang tersingkap baginya Zat Al-Haq dan keberadaan-Nya di antara hijab-hijab jamâliyah dan jalâliyah hingga dia sama sekali tidak menyaksikan selain-Nya, bahkan Dia hanya menyaksikan satu Zat yang termanifestasi pada lokus-lokus dari nama-nama-Nya, maka dia telah sampai pada tawhîd dzâtî dan kiamat kubra telah terjadi padanya.

Bagi ahli hakikat yang sudah sampai pada makam Qurb al-faraid (lihat penjelasannya pada artikel terdahulu), menyaksikan makna firman Allah: “…tiada suatu pun dari keadaan mereka yang tersembunyi bagi Allah. (Lalu Allah berfirman): “Kepunyaan siapakah kerajaan pada hari ini?” Kepunyaan Allah Yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan.” (QS Ghafir [40]:16).

Mereka sudah berada pada makam yang menggunakan bukan lagi pendengaran Allah (sam’Allah) untuk mendengar dan penglihatan Allah (bashar Allah) untuk melihat sebagaimana yang dicapai oleh orang-orang yang ada di makam di bawahnya (al-qurb al-nawafil), tetapi sudah sampai kepada makam menggunakan telinga Allah (udzun Allah) untuk mendengar dan mata Allah (‘ain Allah) untuk melihat. Dengan demikian, sudah tidak ada lagi jarak apa pun dengan Al-Haq, itulah kiamat besar.

Oleh: Prof. Dr. Nasaruddin Umar, Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Source: Republika.co.id

About admin

Check Also

Makna Bashirah dan Tingkatannya

“Syaikh Ahmad ibn ‘Athaillah Assakandary dalam al-Hikamnya membagi bashîrah dalam tiga tingkatan; Syu’ãul bashîrah, ‘Ainul bashîrah ...