“Kebersamaan Allah SWT dengan makhluq-Nya (ma’iyyatullah) terbagi menjadi dua; kebersamaan yang bersifat umum (ma’iyyatullãh al-‘ãmmah) dan kebersamaan yang bersifat khusus (ma’iyyatullãh al-khãsshah)”.
Oleh: Admin*
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
Bismillâhirrahmânirrahîm
Wasshalâtu wassalâmu ‘alâ Muhammadin wa âlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘âmmati wal-hidâyatit tâmmah, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn“.
Saudaraku yang dirahmati Allah SWT. Pada artikel terdahulu berjudul “Nafasmu adalah Ruh-Ku, Bukan Milikmu” telah dikemukakan panjang lebar tentang indikator ma’iyyatullah (kebersamaan Allah SWT dengan makhluq-Nya) yakni berupa nafas.
Berkaitan dengan hal tersebut, indikator kebersamaan Allah SWT dengan makhluq-Nya, bagaimanapun dekat-Nya dengan makhluq-Nya, jika tanpa disadari maka hal tersebut akan menyisakan pengetahuan dari sisi Allah yang bersifat mutlak. Walhasil, manusia dan (apalagi) makhluq lain sama sekali tidak bisa memahami hakekat ma’iyyatullah tersebut.
Mengetahui ma’iyyatullah bagi manusia sangatlah penting. Hal itu akan menjadi pembeda antara manusia dengan makhluq lain. Berhubung manusia merupakan khalifah fil-ardh (pemimpin di muka bumi), maka menyadari ma’iyyatullah merupakan ‘kode etik’ untuk menjadi pemimpin di muka bumi. Dari sanalah sang pemimpin akan terjaga dengan amanah bagaimana seharusnya menjadi seorang pemimpin. Karena setiap saat akan mendengar perintahNya berdasarkan kesadaran ma’iyyatulah melalui kreteging ati (firasat hati/al-khawathir an-nafsiyyah) yang dititi melalui nafas.
Suatu hari, ketika menjadi khalifah ar-rasyid, Sayyidina Umar bin Khatthab ra melakukan blusukan malam untuk memonitor kegiatan masyarakat negerinya. Sampai pada sebuah rumah, beliau mendengar seorang ibu tengah berbincang dengan anak perempuannya. Mereka berbincang tentang persiapan berjualan susu untuk besok pagi di pasar. Si ibu berkata kepada anaknya, “Nak, campur saja susu itu dengan air!”. “Tidak boleh, Bu. Amirul Mukminin melarang kita mencampur susu yang akan dijual dengan air,” jawab anak gadisnya. “Tetapi semua orang melakukan hal itu, Nak, campur sajalah! Toh, Amirul Mukminin tidak melihat kita melakukan hal itu”, ibunya sedikit memaksa. “Bu, sekalipun Amirul Mukminin tidak melihat kita, namun Tuhannya Amirul Mukminin pasti mengetahui!” jawab putrinya itu. Umar bin Khatthab yang malam itu tengah berada di dekat rumah tersebut mengetahui isi pembicaraan mereka berdua. Berlinanglah air mata sang Khalifah, karena telah menyaksikan ada seorang wanita yang demikian tinggi keimanannya kepada Allah.
Kisah di atas menunjukkan sebuah kondisi keterjagaan diri karena kedalaman pengetahuan dan keimanan kepada Allah. Kisah anak wanita penjual susu di atas menandakan betapa ia sangat menyadari akan pengawasan Allah kepada dirinya.
Kebersamaan Allah (ma’iyatullah) terhadap manusia seperti kisah di atas bisa dirasakan oleh siapapun yang memiliki fitrah yang bersih. Itulah kode etik untuk menjadi khalifah fil-ardh. Kode etik itu akan menjadi pemandu untuk menjalankan fungsi sebagai pemimpin. Dalam tingkatannya, kode etik itu tidak hanya berupa pengetahuan manusia tentang konsep-konsep ketuhanan, akan tetapi sampai kepada merasakan dengan ‘ainul bashirah bahwa Allah SWT sangat dekat, sehingga ia merasakan bahwa Allah SWT melihat melalui matanya, mendengar melalui telinganya, dst. Kendati rasa kedekatan itu bukan semata-mata upaya dirinya sendiri, tapi merupakan hak mutlak dari kehendak Allah SWT kepada siapa Dia ber-tajalli. Inipun sebuah kesadaran selanjutnya. Intinya, siapa yang dikehendaki oleh Allah SWT untuk dijadikan tajalli-Nya, maka dialah manusia pilihan-Nya.
Kata ma’iyyah berasal dari kata ma’a yang artinya bersama. Ma’iyyatullah berarti kebersamaan Allah. Jika kita perhatikan dalam Al-Qur’an, ada dua bentuk kebersamaan Allah (ma’iyyatullah) dalam kehidupan manusia yakni; kebersamaan yang bersifat umum (Ma’iyyatullãh al-‘Ãmmah), dan kebersamaan yang bersifat khusus (Ma’iyyatullãh al-‘Kãsshah).
1. Kebersamaan Allah yang bersifat umum (Ma’iyyatullãh al-‘Ãmmah)
Kebersamaan Allah yang bersifat umum (Ma’iyyatullãh al-‘Ãmmah) ini bersifat mutlak, bahwa tidak ada satupun makhluk, baik di langit maupun di bumi, yang lepas dari kebersamaan Allah. Seluruh manusia, baik yang muslim maupun kafir, shalih maupun durjana, ahli ibadah maupun ahli maksiat, semua merasakan dan mendapatkan kebersamaan Allah terhadap mereka. Di sinilah kekuasaan Allah atas ciptaanNya, bahwa Allah senantiasa membersamai mereka baik dari segi pengawasan (murãqabah) maupun dari segi perlakuan (ihsãn).
Seluruh ucapan, gerakan, tindakan perbuatan manusia senantiasa berada dalam kontrol dan pengawasan Allah (murãqabah). Perhatikan ayat-ayat berikut:
هُوَ الَّذِيْ خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ فِيْ سِتَّةِ اَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوٰى عَلَى الْعَرْشِۗ يَعْلَمُ مَا يَلِجُ فِى الْاَرْضِ وَمَا يَخْرُجُ مِنْهَا وَمَا يَنْزِلُ مِنَ السَّمَاۤءِ وَمَا يَعْرُجُ فِيْهَاۗ وَهُوَ مَعَكُمْ اَيْنَ مَا كُنْتُمْۗ وَاللّٰهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌۗ ۞
“Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa. Kemudian, Dia bersemayam di atas ʻArasy. Dia Mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya. Dan Dia bersama kamu dimana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al-Hadîd [57]: 4).
Ayat di atas menggambarkan bahwa ilmu dan pengetahuan Allah meliputi segala sesuatu, juga menunjukkan kebersamaan Allah (wa huwa ma’akum ainamã kuntum) bahwa dimanapun manusia berada pasti Allah membersamai. Tidak ada tempat yang tersembunyi dari pengawasan Allah, semua dalam jangkauan pengetahuanNya.
Kemudian, perlakuan baik kepada seluruh makhluq hidup (ihsãn) tanpa terkecuali juga diberikan oleh Allah SWT. Bumi diciptakan Allah untuk dimanfaatkan bagi seluruh manusia, baik mukmin maupun kafir. Udara yang Allah sediakan di muka bumi, dihirup bukan saja oleh orang yang bertaqwa, tetapi juga oleh mereka yang durhaka. Air yang Allah berikan dimanfaatkan oleh semua kehidupan, bukan hanya bagi hamba yang berjiwa mulia. Alam semesta dengan segenap fasilitas yang ada telah disediakan dan ditundukkan oleh Allah bagi semua makhluk tanpa terkecuali.
Allah Ta’ala telah berfirman:
اَلَمْ تَرَوْا اَنَّ اللّٰهَ سَخَّرَ لَكُمْ مَّا فِى السَّمٰوٰتِ وَمَا فِى الْاَرْضِ وَاَسْبَغَ عَلَيْكُمْ نِعَمَهٗ ظَاهِرَةً وَّبَاطِنَةً ۗوَمِنَ النَّاسِ مَنْ يُّجَادِلُ فِى اللّٰهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَّلَا هُدًى وَّلَا كِتٰبٍ مُّنِيْرٍ ۞
“Tidakkah kamu memperhatikan bahwa sesungguhnya Allah telah menundukkan apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi untukmu. Dia (juga) menyempurnakan nikmat-nikmat-Nya yang lahir dan batin untukmu. Akan tetapi, di antara manusia ada yang membantah (keesaan) Allah tanpa (berdasarkan) ilmu, petunjuk, dan kitab suci yang menerangi”. (QS. Luqman [31]: 20).
Inilah perbuatan baik (ihsãn) dari Allah untuk semua manusia. Rezeki Allah tidak dikhususkan bagi orang yang bertaqwa. Fasilitas kehidupan telah disediakan dengan sedemikian lengkap, untuk semua manusia. Oleh karena itu, wajarlah jika kemudian Allah menuntut kepada manusia agar berlaku baik (ihsãn), karena Allah telah berlaku baik kepada mereka:
… وَاَحْسِنْ كَمَآ اَحْسَنَ اللّٰهُ اِلَيْكَ… ۞
“Dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu” (QS. Al-Qashash [28]: 77)
2. Kebersamaan Allah yang bersifat khusus (Ma’iyyatullãh al-‘Khãsshah)
Allah SWT juga memberikan kebersamaan secara khusus kepada orang-orang yang beriman dengan benar kepada-Nya. Mereka adalah orang-orang yang mampu mensyukuri seluruh nikmat dan karunia Allah secara benar. Mereka mampu merespon kebersamaan Allah secara umum (Ma’iyyatullãh al-‘Ãmmah) dengan positif. Karenanya, mereka layak mendapat kebersamaan-Nya secara khusus. Orang-orang yang kufur nikmat, tidak berhasil merespon kebersamaan Allah secara umum dengan positif, tidak akan mendapatkan kebersamaan khusus ini.
Paling tidak, ada dua implikasi kebersamaan Allah secara khusus kepada orang-orang mukmin:
a. Dukungan dari Allah (Ta’yîdullãh).
Allah SWT akan memberikan pembelaan, dukungan dan penguatan kepada orang-orang yang beriman dengan sebenarnya. Perhatikanlah bagaimana Nabi Musa AS tatkala harus menghadapi Fir’aun dengan segenap kekuatan yang dimilikinya. Nabi Musa dan Harun AS mengetahui bahwa Fir’aun memiliki banyak tentara yang bisa melakukan tindakan apapun untuk menghalangi aktivitas mereka berdua. Untuk itulah, mereka berdua berdoa kepada Allah:
قَالَا رَبَّنَآ اِنَّنَا نَخَافُ اَنْ يَّفْرُطَ عَلَيْنَآ اَوْ اَنْ يَّطْغٰى ۞
“Berkatalah mereka berdua: Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami khawatir bahwa ia akan segera menyiksa kami atau akan bertambah melampauai batas” (QS. Thãhã [20]: 45).
Secara hukum kemanusiaan, kekuatan mereka berdua dengan bala tentara Fir’aun tentu tidaklah sebanding. Akan tetapi, Allah memberikan kebersamaanNya secara khusus, sehingga Allah SWT menjawab doa mereka berdua:
قَالَ لَا تَخَافَآ اِنَّنِيْ مَعَكُمَآ اَسْمَعُ وَاَرٰى ۞
“Allah berfirman: Jangan kamu berdua khawatir sesungguhnya Aku bersama kamu berdua. Aku mendengar dan Aku melihat”. (QS. Thãhã [20]: 46).
Banyak sekali kita jumpai bentuk-bentuk pembelaan Allah kepada hamba-hambaNya. Nabiyullah Ibrahim AS dilindungi Allah dari panasnya api yang dinyalakan oleh Namrud dan pengikutnya. Musa AS semasa bayi diselamatkan Allah dari pembunuhan Fir’aun. Nabi Muhammad SAW dan para sahabat dibela oleh Allah dalam berbagai peristiwa peperangan sepanjang sejarah.
b. Kemenangan dari Allah (Nashrun minallãh)
Bentuk dukungan Allah dalam kisah harun dan Musa di atas sangatlah jelas. Atas kehendak-Nya, kemenanganpun didapatkan. Tatkala Fir’aun dan tentaranya mengejar Musa dan umat yang beriman, hingga akhirnya pasukan Musa terdesak di pantai, secara kalkulasi kemanusiaan sulit untuk melepaskan diri. Wajar jika para pengikut Musa mengatakan: “Sesungguhnya kita benar-benar akan tersusul” (QS. Asy Syu’arã [26]: 61). Akan tetapi dengan segenap keyakinan akan pertolongan Allah, Nabi Musa AS mengatakan kepada pengikutnya: “Sekali-kali tidak akan tersusul, sesungguhnya Tuhan bersamaku, Dia akan memberi petunjuk kepadaku” (QS. Asy Syu’arã [26]: 62). Maka dengan kuasa dan kebersamaan-Nya, laut bisa terbelah tatkala Musa memukulkan tongkat ke atas permukaannya, hingga membentuk jalan yang bisa dilalui oleh umat yang beriman. Tatkala Fir’aun menyusul, Allah menenggelamkan mereka di lautan. Demikian mudah Allah memenangkan nabi-Nya di atas musuh-musuhnya sebagai bentuk kebersamaan yang bersifat khusus.
Kebersamaan Allah SWT secara khusus (Ma’iyyatullãh al-‘Khãsshah) adalah sebuah kebersamaan umum (Ma’iyyatullãh al-‘Ãmmah) yang disadari. Jika disadari, maka kebersamaan Allah SWT secara umum itu akan menjadi ‘kode etik’ yang bakal mendatangkan berbagai macam pertolongan, pengampunan dosa, pelimpahan nikmat, dan petunjuk kepada jalan yang lurus.
Sebaliknya, jika kebersamaan Allah SWT secara umum tidak disadari, maka itu berarti telah ‘meniadakan Wujud Allah SWT’. Dan itu berarti ia telah kufur, na’ûdzu billãhi min dzãlik (kita berlindung kepada Allah dari hal itu).
Bagi siapa yang menyadari akan kebersamaan-Nya secara umum, maka Allah SWT akan mendekatinya secara khusus dan menjamin:
اِنَّا فَتَحْنَا لَكَ فَتْحًا مُّبِيْنًاۙ ۞ لِّيَغْفِرَ لَكَ اللّٰهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْۢبِكَ وَمَا تَاَخَّرَ وَيُتِمَّ نِعْمَتَهٗ عَلَيْكَ وَيَهْدِيَكَ صِرَاطًا مُّسْتَقِيْمًاۙ ۞ وَّيَنْصُرَكَ اللّٰهُ نَصْرًا عَزِيْزًا ۞
“Sesungguhnya Kami telah menganugerahkan kepadamu kemenangan yang nyata (1), agar Allah memberikan ampunan kepadamu (Nabi Muhammad) atas dosamu yang lalu dan yang akan datang, menyempurnakan nikmat-Nya atasmu, menunjukimu ke jalan yang lurus (2), dan agar Allah menolongmu dengan pertolongan yang besar (3)”. (QS. Al-Fath [48]: 1-3).
Semoga Allah SWT memudahkan upaya kita untuk mendekati-Nya secara khusus dan memberikan kesadaran akan kebersamaan-Nya yang bahkan lebih dekat dari urat leher kita sendiri. Ãmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.
Wallãhu A’lamu bish-Shawãb
__________
* Disarikan dari berbagai sumber