Seandainya kita mau membuka Al-Qur’an dan mencari definisi qur’aniyahnya, maka akan kita temukan bahwa makna kata ‘kafir’ sebenarnya sama sekali tidak terkait dengan perbedaan agama secara langsung.
A. Makna ‘Kafir’
Mari kita buka Al-Qur’an. Kita biasakan mencari definisi qur’aniyah dari segala istilah agama yang kita kenal. Dengan demikian, kita akan terbiasa untuk membuka Al-Qur’an dan pelan-pelan Insya Allah kita akan merasakan Al-Qur’an benar-benar berfungsi bagi kehidupan kita. Kita belajar untuk memahami agama ini, bukan sekedar menghafal dalil-dalil agama yang belum tentu benar, apa lagi menggunakannya untuk, misalnya, mendebat orang lain. Ini tentu bukan hal yang baik.
Definisi qur’aniyyah dari kata ‘orang kafir’, bisa kita temukan di surat Al-Kahfi ayat 100 dan 101.
Q.S. 18:100, “dan Kami tampakkan Jahannam pada hari itu kepada orang-orang kafir (Al-Kafiriin) dengan jelas.”
Q.S. 18:101, “yaitu orang-orang yang matanya dalam keadaan tertutup dari ‘zikri’ (diterjemahkan di terjemahan qur’an bahasa Indonesia dengan kata ‘memperhatikan’) terhadap tanda-tanda kebesaran-Ku, dan adalah mereka tidak sanggup mendengar.”
Dari dua ayat di atas, kita dapatkan definisi qur’aniyyah dari kata ‘kafir’. Al-Kafiriin, atau orang-orang kafir, adalah mereka yang matanya tertutup dari ‘zikri’ terhadap tanda-tanda kebesaran Allah, dan telinganya tidak sanggup mendengar.
Jika demikian, apakah orang yang kebetulan ketika lanjut usia ia menjadi tuli atau menjadi buta karena usia tua, apakah ia berarti ditakdirkan akan mati dalam keadaan kafir? Atau, jika seseorang kebetulan ditakdirkan tuli atau buta sejak lahir, apakah artinya ia ditakdirkan untuk hidup sebagai orang kafir? Sebab sama sekali bukan keinginannya untuk dilahirkan sebagai orang buta atau tuli. Apakah Allah menakdrkannya kafir karena kebetulan lahir sebagai orang tuli atau buta?
Tentu jawabannya tidak. Semua orang, termasuk mereka yang buta atau tuli, diberi-Nya kesempatan untuk mati kelak dalam keadaan diridhoi-Nya.
Jika demikian, mata dan telinga mana yang tertutup?
Jawabannya bisa kita dapatkan pada Al-Qur’an surat Al-Hajj (22) ayat 46.
Q.S. 22:46, “Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah qalb-qalb mereka (quluubun) yang ada di dalam dada.”
Dari definisi Qur’an tersebut, yang disebut ‘kafir’ bukanlah orang yang berbeda agama. Yang disebut kafir adalah mereka yang mata dan telinga qalb di dalam dadanya tidak berfungsi. Asal kata ‘kafir’ dan ‘kufur’ adalah ‘kafara’ yang artinya ‘tertutup’ (kata ini jkemudian diserap ke dalam bahasa Inggris menjadi ‘cover’ artinya penutup). ‘Kafir’ adalah mereka masih yang tertutup dari ‘Al-Haqq’ (kebenaran mutlak).
Mata dan telinga yang di dalam dada, maksudnya adalah mata dan telinga yang adanya bukan pada level jasad kita, tapi lebih dalam lagi. Mata dan telinga yang dimaksud adalah mata dan telinga yang ada dalam qalb kita, dalam dada/shuduur, yang ada pada level jiwa (nafs). Shuduur artinya ‘dada spiritual’, sebagaimana hati yang biasa kita kenal bukanlah liver maupun jantung, tapi lebih kepada ‘hati spiritual’ seperti nurani.
Jiwa atau nafs itu, jiwa yang mana? Kita mengetahui, bahwa ada tiga unsur yang dipersatukan dalam membentuk satu manusia yang hidup, yaitu Ruh, Nafs (jiwa), dan Jasad. Jiwa inilah, yang diabadikan dalam Q.S. 7:172, yang dahulu sekali disumpah di hadapan Allah untuk menjadi saksi (syahid, perhatikan kata bahasa arabnya: syahidna, kami bersaksi) mengenai siapakah Rabb mereka.
Q.S. 7:172, “Dan (ingatlah) ketika Rabb-mu mengeluarkan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil persaksian terhadap nafs-nafs (jiwa-jiwa, anfusihim) mereka: “Bukankah aku ini Rabb-mu?” Mereka menjawab, “Betul, kami bersaksi (syahidna)”.
Nafs, atau jiwa, inilah yang diminta persaksiannya dahulu, dan kelak akan diminta pertanggungan jawabnya ketika mati. Sementara pada saat itu jasad kita terurai menjadi tanah, dan ruh kita yang menjadi daya hidup bagi jasad (fungsinya mirip seperti energi yang ada pada baterai) kembali pada-Nya. Kita tidak mengetahui apa-apa tentang ruh, karena ruh adalah urusan Allah. Disebutkan dalam Q.S. 17 : 85, “Katakanlah, Ruh itu termasuk urusan Tuhanku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan (tentangnya) melainkan sedikit.”
Dengan demikian, barangsiapa yang mata dan telinga yang ada dalam dadanya ini belum berfungsi, pada dasarnya ia masih ‘kafir’, atau tertutup. Ia tidak akan bisa memahami petunjuk Allah, karena petunjuk Allah diturunkan bukan ke telinga dan mata jasad kita, tapi ke ‘mata dan telinga’ qalb pada level jiwa (nafs) kita.
Dasar dari hal ini bisa kita lihat dalam surat At-Taghabuun ayat 11:
Q.S. 64:11, “… Dan barangsiapa beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada qalb nya (di terjemahan qur’an ditulis: ‘kepada hatinya’).”
Dan, barangsiapa yang mata dan telinga dalam dadanya belum berfungsi, dia tidak akan mampu memahami Al-Qur’an dengan sebenar-benarnya, karena Al-Qur’an sebenarnya bukan untuk dihafal dalam otak. Sebagaimana yang dialami Rasulullah, Al-Qur’an diturunkan ke dalam dadanya. Rasulullah seorang yang buta huruf, tapi bagaimana Beliau saw. bisa memahami Al-Qur’an hingga ke hakikat terdalamnya? Karena Al-Qur’an seharusnya, dan sesungguhnya, ada dalam dada, bukan dalam kepala.
Q.S. 29:49, “Sebenarnya (Al-Qur’an) itu adalah ayat-ayat yang nyata dalam dada orang-orang yang diberi ilmu.”
Al-Qur’an dalam dada (qalb di dalam shuduur/dada) kita inilah yang akan kita bawa hingga ke akhirat kelak, dan bukan Al-Qur’an yang dihafalkan dalam kepala. Ketika mati kelak, otak kita dan segala apa yang ada dalam kepala kita akan hancur menjadi tanah. Kita harus memahami dengan hati hingga ke tingkat makna dan hakikatnya, bukan sekedar menghafalkan dalil-dalil Qur’ani di kepala.
Dari data-data di atas, maka bisa kita pahami makna ‘kafir’. Kata ‘kafir’ bukan berarti mereka yang tidak beragama Islam. ‘Kafir’ adalah mereka yang telinga dan mata dalam dadanya belum berfungsi, sehingga tertutup dari Al-Haqq (kebenaran mutlak, kebenaran Ilahiyah). Dengan demikian, bahkan saya sendiri masih kafir karena mata dan telinga jiwa saya belum berfungsi dengan baik, belum sempurna dalam melihat tanda-tanda kebesaran-Nya, dan belum memahami Al-Qur’an dengan sempurna.
Untuk memperkuat bahwa makna ‘kafir’ sebenarnya ada dalam konteks ketertutupan qalb dan tidak secara langsung terkait dengan perbedaan agama, kita lihat lagi dua ayat berikut yang sangat terkenal:
Q.S. Al-Baqarah (2) : 6 – 7,
“Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak akan beriman [6].”
“Allah telah mengunci mati hati (qalb-qalb, quluubihim) dan pendengaran mereka, dan pengelihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat [7].”
Sayang dua ayat di atas sering dijadikan dalil untuk bersikap kurang bersahabat terhadap saudara kita yang beragama lain. Padahal, seandainya kita lebih teliti lagi, kata ‘kafir’ sebenarnya ada dalam konteks ketertutupan hati, bukan dalam konteks perbedaan agama.
Ayat ini sama sekali bukan rujukan supaya kita menunjukkan sikap tidak bersahabat pada saudara-saudara kita dari agama lain. Ayat ini justru memperkuat keterangan tadi, bahwa ‘kafir’ ada dalam konteks ketertutupan qalb, dan bukan dalam konteks perbedaan agama. Bukankah Allah menempatkan dua ayat ini secara berdampingan? Tentu ini sama sekali bukan kebetulan yang tanpa makna. ‘Kafir’ adalah sebuah kondisi (ruhaniyyah) tentang qalb, bukan status (keagamaan).
Jadi, secara sederhana bisa kita katakan bahwa orang kafir adalah orang yang qalb-nya masih tertutup dari Al-Haqq (kebenaran ilahiyah), dan tidak secara langsung terkait dengan orang-orang yang tidak beragama Islam.
Kondisi kafir sendiri bertingkat-tingkat, dari yang sama sekali tidak bisa memahami Al-Haqq, sedikit memahami, agak memahami, cukup memahami, dan seterusnya. Kadar kekufuran seseorang berbeda-beda, tergantung sejauh mana ia mampu memahami kebenaran (ilahiyyah). Kini semakin jelas bahwa kekafiran adalah sebuah kondisi, bukan status.
Karena saya sendiri masih kafir (atau masih banyak kekufuran yang ada dalam diri saya), jelas tidak ada gunanya bagi saya untuk menyebut orang lain, atau orang yang tidak beragama Islam, sebagai orang kafir. Hal ini tidak akan menambah kebaikan apapun bagi diri saya, bahkan justru akan menambah dosa saja.
Apakah orang yang tidak beragama Islam semuanya tidak beriman, semuanya laknatullah, atau semuanya ahli neraka? Belum tentu. Kita harus berhati-hati sekali karena ada ayat-ayat ini dalam Al-Qur’an.
Q.S. 3:199, “Dan sesungguhnya di antara para ahli kitab ada orang yang beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kamu dan kepada mereka, sedang mereka berendah hati kepada Allah, dan mereka tidak menukarkan ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit. Mereka memperoleh pahala di sisi Rabb-nya. Sesungguhnya Allah amat cepat perhitungannya.”
Q.S. 3:113, “Mereka itu tidak sama; di antara ahli kitab itu ada golongan yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud.” Q.S.3:114, “Mereka beriman kepada Allah dan hari penghabisan, mereka menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah kepada yang munkar, dan bersegera kepada mengerjakan kebaikan. Mereka itu termasuk orang-orang yang saleh.”
Dan yang membuat kita harus lebih berhati-hati lagi, camkanlah bahwa tidak semua orang yang ber-Islam dengan sendirinya telah beriman. Kita perhatikan ayat berikut ini:
Q. S. 49 : 14, “Orang-orang Arab (badui) itu berkata, “Kami telah beriman.” Katakanlah (kepada mereka), “Kamu belum beriman, tetapi katakanlah ‘kami telah ber-Islam’ (perhatikan teks Qur’an-nya: ‘aslamna’ artinya ‘kami telah berserah diri’, di terjemahan Indonesia menjadi ‘kami telah tunduk’), karena iman itu belum masuk ke dalam qalb-qalb mu (quluubikum)…”
Perhatikanlah pada ayat di atas, bahwa beriman hingga masuk ke hati itu setingkat di atas tingkatan Islam. Dengan demikian, bisa jadi seseorang telah ber-Islam, tapi belum tentu dia memiliki iman.
Jadi menurut saya, mengatakan kafir pada orang lain meskipun mudah di lidah, bisa jadi merupakan hal yang beresiko besar untuk dipertanggungjawabkan di hadapan Allah ta’ala kelak. Di sisi lain, kita tidak perlu marah jika seandainya dihujat sebagai kafir, karena sangat mungkin memang masih banyak kekufuran dalam diri kita ini.
B. Makna ‘Syuhada’
Kata ’syuhada’, dalam buku agama Islam di masa sekolah dasar saya dulu, maknanya diartikan sebagai orang yang gugur di medan perang melawan ‘musuh Islam’. Maka ketika dewasanya orang berlomba-lomba ingin berperang (atau membuat perangnya sendiri dan musuhnya sendiri) karena ingin mati sebagai syuhada, yang jaminannya adalah surga.
Ada sebuah hadits yang ‘menggelitik’:
“Barangsiapa yang memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan benar untuk mati syahid, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memberikan kedudukan sebagai syuhada meskipun ia meninggal di atas tempat tidurnya”. (Hadits Riwayat Tirmidzi, Nasa’i, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dalam shahihnya, Al-Hakim dan ia menshahihkannya).
Bagaimana mungkin mati di tempat tidur mendapatkan derajat kematian seperti seorang syuhada? Atau hadits berikut ini:
“Kebanyakan orang yang syahid dari ummatku, ialah mereka yang mati di tikar tidurnya. Dan banyak pula orang yang terbunuh di antara dua baris perang, yang Allah Maha Mengetahui apa niat sebenarnya”. (HR Ahmad dari Ibnu Mas’ud)
Bagaimana mungkin, sebagian besar syuhada justru meninggal di atas tempat tidurnya? Dan Rasulullah sendiri yang mengatakan hal ini.
Ini bisa kita pahami, jika kita teliti Al-Qur’an. Kata ’syuhada’, akar katanya sama dengan kata pada syahadat kita ‘Asyhadu’, artinya bersaksi, mempersaksikan dengan sepenuh kepercayaan, dengan sepenuh keyakinan (mengenai Tuhannya). Kata ’syuhada’ tidak semata-mata berarti orang yang mati di medan perang. Kata ’syuhada’ berarti ‘orang yang telah mempersaksikan (dengan sebenar-benarnya)’.
Di Al-Qur’an ayat 7 : 172 tadi, ketika Allah mengambil persaksian dari jiwa-jiwa manusia, kata yang dipakai adalah ‘Asyhadahum ala anfusihim’, mengambil persaksian atas jiwa-jiwa mereka. Dan jiwa-jiwa tersebut menjawab, ‘Qaalu, bala syahidna,” benar, sesungguhnya kami bersaksi.
Demikian pula kata yang sama (syuhada) dipakai dengan jelas di Q.S. Al-Hadiid ayat 19,
Q.S. 57:19, “Dan orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasulnya, mereka itu orang-orang Shiddiqiin dan ‘syuhada inda Rabbihim’ (menjadi saksi di sisi rabb mereka), bagi mereka pahala dan cahaya mereka…”
Maka jelas bahwa ’syuhada’ berarti orang yang mempersaksikan (kebenaran Ilahiyah). Menjadi syuhada tidak harus melalui peperangan. Seorang yang meninggal di atas tempat tidurnya pun bisa menjadi seorang syuhada, asal ia benar-benar memintanya, sebagaimana disebutkan dalam hadits di atas.
Di zaman Rasulullah, mereka yang gugur ketika berniat mengorbankan jiwa mereka untuk Allah melalui jalan yang tersedia dan dibutuhkan ummat pada masa itu (berperang), yang pengorbanannya diterima oleh Allah, dianugerahi sebuah ‘penyaksian (akan kebenaran/Al-Haqq)’ melalui gugurnya mereka di medan perang. Namun demikian, belum tentu jalan pengorbanan yang paling dibutuhkan ummat pada setiap masa adalah berperang.
Dengan demikian, belum tentu setiap orang yang gugur di medan perang adalah ’syuhada’, jika pada saat kematiannya tidak dianugerahi sebuah penyaksian akan Al-Haqq. Juga hal ini berimplikasi bahwa banyak cara lain menjadi seorang ’syuhada’ selain melalui peperangan. Di atas semua itu, sudah tentu lebih bisa kita pahami sekarang mengapa orang yang telah berhasil menjadi seorang ’syuhada’ maka jaminannya adalah surga.
Semoga bermanfaat,
Herry Mardian, Yayasan Islam Paramartha.
17 Februari 2006.