Ungkapan itu sering kali muncul apabila seseorang menghadapi suatu kesulitan yang ditengarahi direkeyasa oleh seseorang atau sekelompok orang, dimana “si korban” seolah olah tak berdaya. Namun apakah pantas kita mengeluarkan statement “Tuhan tidak tidur”? Sedekat apa kita kog berani berstatement tentang sifat ketuhanan?
Sama saja ketika misalnya kita ditanya eh mas mobilnya baru ya? Saya kira mobil yang dipakai itu mobil pinjaman? Terus dijawab ” iya mbak mobil pinjaman, pinjam dari Allah”. Jawaban ini juga seolah olah merasa dekat dengan Tuhan sampai sampai berani meminjam “property” Tuhan.
Dua contoh kasus diatas kalau dibuat gaya gayaan, maka pastilah penggunaannya adalah tidak benar. Berkhusnuzon kepada Tuhan adalah kunci dari hubungan Makhluk dengan Kholiqnya. Apapun takdir Allah kepada makhluknya, kita sebagai makhluk seyoogyanya bisa ikhlas menerima dan terus berhusnudzon kepada Allah “bi alqadari khairihi wa syarrihī min Allāhi ta’ala”.Bila kita melihat dengan kaca mata yang lebih netral, istilah “Gusti Allah mboten Sare” pada mulanya tidak dikonotasikan sebagai representasi “penyesalan”, “putus asa” atau “ngenes” karena di dzolimi pihak pihak lain. Istilah ini lebih sering diucapkan dan digunakan untuk memotivasi orang orang disekitar yang sedang mengalami degradasi motivasi akibat kegagalan atau tidak tercapainya expektasi. Ucapan ini dimaksudkan sebagai bentuk untuk memberi motivasi bahwa Allah itu ada dan tahu apapun yang kita lakukan dan penguatan bahwa pada saatnya Allah pasti memberikan ijabah atas apa yang kita perbuat, tentu dengan caraNya.
Apapun takdir Allah, kita sebagai makhluk mau atau tidak mau harus menerima apa adanya, ikhlas menjadi titik tertinggi keberserahan kepadaNya. Namun kadang kala bila ikhlas didefinisikan dengan tanpa pamrih kog sepertinya cukup berat diterima. Pemahaman sederhana ikhlas bisa juga dengan menuntut hak yang lebih sedikit dari apa yang seharunya didapatkan dan memberi lebih banyak dari kewajiban yang harusnya ditunaikan. Namun kadang kala, ketika menerima dari takdir Tuhan muncuk ego kemanusiaan kita, yang selalu menanyakan kenapa begini, kenapa begitu, kenapa harus dia dan banyak lagi pertanyaan yang muncul untuk menggugat atau mencari jawaban.
Disisi lain memang di hadist Qudsi disebutkan bila Tuhan itu lebih deket dari urat nadi leher kita, memang kita sebagai manusia adalah “kholifatan fillard”, kita juga “mutawaqilun” namun bukan berarti automatically kita representasi Tuhan, emang kita ini siapa? Kita hanya seonggok daging bertulang yang diberi nyawa yang dulunya berasal dari “air” yang hina. Masih ingatkah jika dalam sehari kita minimal membaca 17 kali “iyyakannakbudu waiyya kanasstain”. Itu bukti bila kita ini nothing! Kita ini hanyalah setitik debu dalam hamparan peradaban yang berlindung dibalik atribut ketuhanan.
Achmad Room Fitrianto