Home / Agama / Kajian / Makna Bashirah dan Tingkatannya

Makna Bashirah dan Tingkatannya

“Syaikh Ahmad ibn ‘Athaillah Assakandary dalam al-Hikamnya membagi bashîrah dalam tiga tingkatan; Syu’ãul bashîrah, ‘Ainul bashîrah dan Haqqul bashîrah”.

Oleh: Admin*

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ

Bismillâhirrahmânirrahîm
Wasshalâtu wassalâmu ‘alâ Muhammadin wa âlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘âmmati wal-hidâyatit tâmmah, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.

“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn“.

Saudaraku yang dikasihi Allah SWT. Bashîrah berasal dari kata dalam Bahasa Arab, bashara, arti dasarnya ‘melihat’. Melalui perubahan tashrifi, kata bashîrah terbentuk berdasarkan rumus fa’îlah, sehingga ia bermakna akal. Selain akal, bashîrah dapat juga disepadankan dengan makna ‘pengertian yang dalam’, pandangan mata bathin, kecerdasan, pengetahuan, kepandaian, kearifan, tauladan, bukti, hujjah, kesaksian, firasat yang tepat, dst.

Bashîrah dapat dimejemukkan dengan kata lain, semisal syu’ãul bashîrah. yang bermakna ‘pandangan bathin yang bercahaya’. Syu’ãul bashîrah adalah cahaya yang mempersaksikan kepadamu tentang dekatnya Allah kepadamu. Selain itu, ‘Ainul bashîrah (pandangan ilmu yang bercahaya) adalah cahaya yang mempersaksikan kepadamu akan ketiadaan dirimu karena wujudNya. Haqqul bashîrah (pandangan kebenaran yang bercahaya) adalah cahaya yang mempersaksikan kepadamu wujud Allah tentang ketiadaan dirimu dan ketiadaan wujudmu.

Mursyid kami, Syaikh Ahmad ibnu ‘Athaillah qaddasallãhu sirrah, menuturkan dengan khidmat kepada pembaca Kitab al-Hikam tentang tiga tingkatan bashîrah (pandangan bathin). Beliau berkata:

شُعَاعُ الْبَصِيْرَةِ يُشْهِدُكَ قُرْبَهُ مِنْكَ وَعَيْنُ الْبَصِيْرَةِ يُشْهِدُكَ عَدَمكَ لِوُجُوْدِهِ وَحَقُّ الْبَصِيْرَةِ يُشْهِدُكَ وُجُوْدَهُ لَا عَدَمَكَ وَلَا وُجُوْدَكَ

“Sinar matahati (syu’ãul bashîrah) itu dapat memperlihatkan dekatnya Allah kepadamu. Dan matahati (‘ainul bashîrah) itu sendiri dapat memperlihatkan kepadamu ketiadaanmu karena wujud (adanya) Allah dan hakikat matahati (haqqul bashîrah) itulah yang menunjukkan kepadamu, hanya adanya Allah, bukan ketiadaanmu (‘adam) dan bukan pula wujudmu.”

1. Syu’ãul Bashîrah

Cahaya matahati (syu’ãul bashîrah) maksudnya adalah cahaya akal. Cahaya akal adalah cahaya permulaan. Maksudnya, dengan akal seseorang terkena hukum syari’at. Dengan demikian, orang yang gila tidak terkena hukum syariat. Ahkãmul khamsah (hukum yang lima) yaitu wãjib, sunnah, harãm, makrûh, mubãh diletakkan beban hukum pada manusia dewasa yang berakal.

Akal sehat sangat butuh kepada dalil. Sebab akal sehat hanya bicara sekitar bukti dan pembuktian, seputar keterangan demi keterangan, dari dalil ke dalil, dari penjelasan ke penjelasan yang bertumpu pada kehadiran materi konsep, prinsip, prosedur, fakta dan nilai.

Diantaranya, ketika akal sehat menuntut penjelasan bahwa Allah SWT itu dekat, penjelasan tersebut harus metodologis ilmiah, objektif, sistematis, rasional, universal, berbasis data, bisa diuji dan bisa diobservasi, tapi setelah dipenuhi persyaratan ilmiah di atas, banyak pula yang belum percaya, seperti Abu Jahal dan kawan-kawannya. Pada posisi ini, akal sehat bisa mengantarkan seseorang beriman kepada Allah SWT, dan akal sehat jugalah yang kufur dan mendebat Allah SWT (jadal).

Tidak sedikit manusia yang menggunakan akal sehat berujung kufur kepada Allah SWT dengan akal sehat dirinya sendiri. Firman Allah SWT dalam surah Luqman ayat 20:

اَلَمْ تَرَوْا اَنَّ اللّٰهَ سَخَّرَ لَكُمْ مَّا فِى السَّمٰوٰتِ وَمَا فِى الْاَرْضِ وَاَسْبَغَ عَلَيْكُمْ نِعَمَهٗ ظَاهِرَةً وَّبَاطِنَةً ۗوَمِنَ النَّاسِ مَنْ يُّجَادِلُ فِى اللّٰهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَّلَا هُدًى وَّلَا كِتٰبٍ مُّنِيْرٍ ۞

“Tidakkah kamu memperhatikan bahwa sesungguhnya Allah telah menundukkan apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi untukmu. Dia (juga) menyempurnakan nikmat-nikmat-Nya yang lahir dan batin untukmu. Akan tetapi, di antara manusia ada yang membantah (keesaan) Allah tanpa (berdasarkan) ilmu, petunjuk, dan kitab suci yang menerangi.” (QS. Luqman [31]: 20)

Diantara manusia ada yang mendebat Allah tanpa ilmu, tanpa petunjuk (hidayah) dan tanpa kitab yang menerangi (al-Qur’an). Bahkan dengan akal sehatlah sering manusia mendebat Allah SWT dengan mencari alasan-alasan (dalil) yang dirasionalkan, sehingga diterima akal sehat untuk tidak menunaikan perintah Allah SWT dan diterima akal sehat untuk bisa melanggar aturan-aturan Allah SWT.

Orang tua dan sekaligus guru bagi penulis (Buku al-Burhanah), yang mulia Allah yarham H. Zahran pernah berbincang ringan dengan penulis, bahwa orang yang menggunakan akal sehat untuk tidak menunaikan suruhan Nya dan melanggar larangan Nya, orang tersebut tidak masuk neraka dan tidak dibakar, tapi Allah SWT masukkan dulu dia ke dalam tempayan, lalu tempayan itu yang dimasukkan ke dalam neraka. Allah SWT tidak membakar dirinya, tapi Allah SWT hanya membakar tempayan di dalam neraka. Bantahan mereka terhadap Allah SWT dengan akal sehat yang telah menghijab (mendinding) dirinya dengan Allah SWT. Nanti akan Allah SWT bantah mereka di pengadilan Allah SWT.

Sebagaimana kalam qadimNya dalam surah Al-Kahfi ayat 54-55 :

وَلَقَدْ صَرَّفْنَا فِيْ هٰذَا الْقُرْاٰنِ لِلنَّاسِ مِنْ كُلِّ مَثَلٍۗ وَكَانَ الْاِنْسَانُ اَكْثَرَ شَيْءٍ جَدَلًا ۞ وَمَا مَنَعَ النَّاسَ اَنْ يُّؤْمِنُوْٓا اِذْ جَاۤءَهُمُ الْهُدٰى وَيَسْتَغْفِرُوْا رَبَّهُمْ اِلَّآ اَنْ تَأْتِيَهُمْ سُنَّةُ الْاَوَّلِيْنَ اَوْ يَأْتِيَهُمُ الْعَذَابُ قُبُلًا ۞

“Sungguh, Kami telah menjelaskan segala perumpamaan dengan berbagai macam cara dan berulang-ulang kepada manusia dalam Al-Qur’an ini. Akan tetapi, manusia adalah (makhluk) yang paling banyak membantah (54). Tidak ada yang menghalangi manusia untuk beriman ketika petunjuk telah datang kepada mereka dan untuk memohon ampunan kepada Tuhannya, kecuali akan datang kepada mereka ketetapan (Allah yang telah berlaku pada) umat yang terdahulu atau datang kepada mereka azab yang nyata.(55)”. (QS. Al-Kahfi [18]: 54-55)

Ayat ini telah jelas mengulas, bahwa akal yang tidak disinari oleh iman bukanlah akal sehat (‘aqlun salîm), tetapi akal yang sakit (‘aqlun saqîm). Akal sakit bermakna hati yang sakit (qalbun saqîm). Sehari-harinya hanyalah berdebat.

Allah SWT memberikan gambaran selanjutnya dalam surah al-Kahfi ayat 56:

وَمَا نُرْسِلُ الْمُرْسَلِيْنَ اِلَّا مُبَشِّرِيْنَ وَمُنْذِرِيْنَۚ وَيُجَادِلُ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا بِالْبَاطِلِ لِيُدْحِضُوْا بِهِ الْحَقَّ وَاتَّخَذُوْٓا اٰيٰتِيْ وَمَآ اُنْذِرُوْا هُزُوًا ۞

“Kami tidak mengutus rasul-rasul melainkan sebagai pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan. (Akan tetapi,) orang-orang yang kufur membantah dengan (cara) yang batil agar dengan itu mereka dapat melenyapkan sesuatu yang hak (kebenaran). Mereka menjadikan ayat-ayat-Ku dan apa yang diperingatkan terhadap mereka sebagai olok-olok.” (QS. Al-Kahfi [18]: 56)

Dengan akal sehatpun kita tidak boleh menghina atau mencari kesalahan al-Qur’an. Zaman yang terus bergulir ini menjadi medan saksi bagi orang-orang yang telah berjatuhan di jalan iman dan berguguran di kancah dakwah. Tidak sedikit mereka yang menukar ganti hari-hari kesibukan ibadah mereka menjadi hari-hari memuja duniawi. Dahulunya adalah orang shaleh, sekarang dan kemudian menjadi orang salah karena sedikit telah menambah kantong-kantong pengikut, sedikit gelar dan sedikit penambahan pundi-pundi khazanah duniawi.

Allah SWT peringatkan mereka yang telah lalai setelah ingatnya, mereka yang sekarang durhaka setelah taatnya, dengan firman-Nya dalam surah al-Kahfi ayat 57 :

وَمَنْ اَظْلَمُ مِمَّنْ ذُكِّرَ بِاٰيٰتِ رَبِّهٖ فَاَعْرَضَ عَنْهَا وَنَسِيَ مَا قَدَّمَتْ يَدَاهُۗ اِنَّا جَعَلْنَا عَلٰى قُلُوْبِهِمْ اَكِنَّةً اَنْ يَّفْقَهُوْهُ وَفِيْٓ اٰذَانِهِمْ وَقْرًاۗ وَاِنْ تَدْعُهُمْ اِلَى الْهُدٰى فَلَنْ يَّهْتَدُوْٓا اِذًا اَبَدًا ۞

“Siapakah yang lebih zalim daripada orang yang telah diperingatkan dengan ayat-ayat Tuhannya, lalu dia berpaling darinya dan melupakan apa yang telah dikerjakan oleh kedua tangannya? Sesungguhnya Kami telah meletakkan penutup pada hati mereka, (sehingga mereka tidak) memahaminya dan (meletakkan pula) sumbatan di telinga mereka. (Dengan demikian,) kendatipun engkau (Nabi Muhammad) menyeru mereka kepada petunjuk, niscaya mereka tidak akan mendapat petunjuk untuk selama-lamanya.” (QS. Al-Kahfi [18]: 57)

Semestinya, cahaya akal mengantar pada pemahaman dan pengenalan adanya wujud Allah SWT yang Maha Tunggal. Di sinilah fungsi akal sebagai alat untuk mengamati gejala-gejala alam yang bergerak (dinamis) berdasarkan surah al-Ghasiyah ayat 17-21:

اَفَلَا يَنْظُرُوْنَ اِلَى الْاِبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْۗ ۞ وَاِلَى السَّمَاۤءِ كَيْفَ رُفِعَتْۗ ۞ وَاِلَى الْجِبَالِ كَيْفَ نُصِبَتْۗ ۞ وَاِلَى الْاَرْضِ كَيْفَ سُطِحَتْۗ ۞ فَذَكِّرْۗ اِنَّمَآ اَنْتَ مُذَكِّرٌۙ ۞

“Tidakkah mereka memperhatikan unta, bagaimana ia diciptakan? (17). Bagaimana langit ditinggikan? (18). Bagaimana gunung-gunung ditegakkan? (19). Bagaimana pula bumi dihamparkan? (20). Maka, berilah peringatan karena sesungguhnya engkau (Nabi Muhammad) hanyalah pemberi peringatan. (21)”. (QS. Al-Ghasyiah [88]: 17-21)

Dengan akal sehat (‘aqlun salîm) yang bercahaya (nûrul ‘aqli) mampu menembus kegelapan (dzulum) alam semesta. Bahwa yang tegak nyata di alam semesta ini hanyalah Allah SWT sebagai wujud haqiqi, sedangkan yang selain Allah SWT hanyalah wujud majazi. Wujud majazi ada karena diadakan, hadir dihadirkan, hidup dihidupkan, mati dimatikan. Sekehendak sang pemilik, Allah SWT.

Seperti kalam Tuhan dalam surat At-Thariq ayat 5-10 :

فَلْيَنْظُرِ الْاِنْسَانُ مِمَّ خُلِقَ ۞ خُلِقَ مِنْ مَّاۤءٍ دَافِقٍۙ ۞ يَّخْرُجُ مِنْۢ بَيْنِ الصُّلْبِ وَالتَّرَاۤىِٕبِۗ ۞ اِنَّهٗ عَلٰى رَجْعِهٖ لَقَادِرٌۗ ۞ يَوْمَ تُبْلَى السَّرَاۤىِٕرُۙ ۞ فَمَا لَهٗ مِنْ قُوَّةٍ وَّلَا نَاصِرٍۗ ۞

“Hendaklah manusia memperhatikan dari apa dia diciptakan (5). Dia diciptakan dari air (mani) yang memancar (6), yang keluar dari antara tulang sulbi (punggung) dan tulang dada (7). Sesungguhnya Dia (Allah) benar-benar kuasa untuk mengembalikannya (hidup setelah mati) (8), pada hari ditampakkan segala rahasia (9). Maka, baginya (manusia) tidak ada lagi kekuatan dan tidak (pula) ada penolong (10).” (QS. Ath-Thariq [86]: 5-10)

2. ‘Ainul Bashîrah

‘Ainul bashîrah sering diartikan cahaya ilmu. Cahaya ilmu menjadi tingkatan kedua yang masih sebagai alat untuk mengenal dan mengerti tentang Allah SWT. Fungsi cahaya ilmu ini menjadikan alam semesta untuk mengenal Allah SWT.

Alam semesta ini digerakkan oleh kekuatan yang maha dahsyat. Tetapi jika tanpa hidayah, ilmu akan liar dan manusia bisa menyembah alam untuk kepentingan hawa nafsunya. Ilmu bagi manusia adalah cahaya dari Allah SWT yang dititipkan kepada hamba pilihan Nya. Tetapi setelah mereka merasa berilmu, mereka berbuat semena-mena untuk kepentingan dan kekayaan dirinya seperti Haman.

Cahaya ilmu inipun sama dengan akal dalam hal (keadaan) selalu membutuhkan dalil (alasan) untuk menyatakan Allah SWT itu Ada, Allah SWT itu Hadir, Allah SWT itu Maha Penyayang, Allah SWT itu Maha Pengasih.

Ilmu yang benar adalah ilmu yang mendapat hidayah langsung dari Allah SWT tanpa perantara. Tanpa perantara di sini dimaksudkan supaya tidak ada yang merasa berjasa di hadapan Allah SWT, baik merasa berjasa karena guru yang mengajar, dan merasa berjasa karena murid mau belajar. Apabila demikian keadaannya, maka Allah SWT terhijab dengan ilmu pengetahuan.

3. Haqqul Bashîrah

Haqqul bashîrah adalah kebenaran pandangan yang tembus kepada batin dunia dan hawa nafsu sebagai pelajaran (‘ibrah). Sudah tidak terdinding (terhijab) lagi antara hatinya dengan Allah SWT. Haqqul bashîrah juga sering disamakan kandungan maknanya dengan haqqul yaqîn (kebenaran keyakinan). Jika telah terlihat bahwa hanya ada Allah SWT yang mawjûd pada alam semesta, tiada lagi perbuatan alam, sifat alam, nama alam dan dzat alam. Hal ini bermakna bahwa ketiadaan itu semua tersimpul pada kalimah “Lã mawjûd” (tidak ada yang wujud) dan segera disusul dengan kalimah itsbãt (peneguhan) “illallãh” (kecuali yang wujud hanya Allah), di dalam kesempurnaan kalimah Lã mawjûd illallãh.

Haqqul yaqîn pada meniadakan (nafi) yang dicintai dalam perbuatan cinta, sifat cinta, nama cinta dan dzat cinta, dan hanya meneguhkan (itsbãt) perbuatan, sifat, nama dan dzat cinta hanya kepada Allah SWT, Sang Maha Pencinta (al-Wadûd) di dalam simpul syahãdahLã mahbûb illallãh”.

Demikian pula, Allah SWT yang maha diketahui, terang dzahir-Nya, terang batin-Nya, dalam simpul syahãdah “Lã ma’lûm illallãh”. Atau, Allah SWT yang maha diketahui perbuatan, sifat dan nama Nya, sedang yang tersembunyi adalah dzat-Nya (ghaibul muthlaq). Selain itu, Dia diketahui dan dikenal langit dan bumi dalam simpul syahãdah “Lã ma’rûf illallãh”. Lalu, Dia selalu hadir dan tidak pernah pergi saat taat atau maksiat hamba, selalu menyertai dan sangat dekat, bahkan lebih dekat daripada urat leher manusia, simpul syahãdahnya adalah “Lã mahdhûr illallãh”.

Kehadiran Allah SWT pada setiap detiknya menjadi penciri dan penguat bagi cahaya yaqin (nûrul yaqîn) dan cahaya pengenalan terhadap Allah dengan Allah (nûrul ma’rifatullãh billãh). Dengan demikian, jadikan Allah SWT sebagai khalîl (sahabat terbaik) di dunia dan di akhirat. Atau, bersahabatlah dengan orang yang tidak mengikuti hawa nafsunya.

Semoga Allah membukakan bashîrah kepada kita, sehingga dimudahkan untuk memandang yang haq adalah haq dan yang bathil adalah bathil, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.

Wallãhu A’lamu bish-Shawãb

_______

* Dikutip dari Buku al-Burhanah, Ma’ruf Zahran, IAIN Pontianak Press (Anggota IKAPI), Cetakan Pertama: Februari 2022

About admin

Check Also

Bermursyid Kepada Mursyid yang Sudah Wafat Menurut Para Sãdãt Shûfiyyah

“Bergabung bersama para shufi adalah fardhu ‘ain, karena tidak ada seorang pun yang kosong dari ...