Asep Nendi
Ngaleut minggu lalu mengambil tempat di kota Bogor (Buitenzorg), ada beberapa tempat yang dikunjungi mulai dari makam tentara Jerman (Nazi) di Lereng Pangrango tepatnya di daerah Arca Domas (pada Zaman Hindu merupakan tempat pemakaman juga), Prasasti Batu Tulis peninggalan kerajaan Pajajaran, Makam Eyang Dalem Bogor (merupakan salah satu wali yang menyebarkan Islam di Kota Bogor), stasiun lama Batu Tulis, Makam Raden Salaeh Syarif Bustaman, Kampung Arab, berkeliling di Kebun Raya Bogor, dan berakhir di Kelenteng Jl. Suryakencana. Semuanya dapat dilihat di catatan perjalanan Indra Pratama (Aleut oge).
Entah kenapa saya tertarik dengan tokoh Raden Saleh Syarif Bustaman. Komplek makamnya terletak di sekitar Kampung Empang, pinggiran Kota Bogor. Sebuah komplek makam yang tidak megah untuk seorang yang menyandang nama besar, komplek makam ditata dengan rapi, mencerminkan siapa sebenarnya Raden Saleh, didalamnya terdapat dua makam berdampingan, yaitu makam Raden Saleh dan Istrinya, lalu terdapat batu bertuliskan peringatan, sebuah auditorium kecil yang menampilkan sejarah hidup Raden Saleh dan replika lukisan karya Raden Saleh di dinding (tembok) belakang makamnya. Nama Raden Saleh sepertinya sempat populer di telinga saya, saya sendiri lupa siapa sebenarnya beliau. Tidak banyak orang yang mengenalnya dengan pasti.
Raden Saleh adalah seorang maestro seni lukis berkelahiran Hindia Belanda yang reputasinya diakui dunia, separuh hidupnya dihabiskan di Belanda (Eropa) untuk belajar dan melukis. Raden Saleh sendiri adalah seorang “Anak Negeri”, sebuah istilah yang diberikan Kerajaan Belanda.
Pekerjaannya sebagai ahli lukis yang bekerja untuk Kerajaan Belanda menjadikan tokoh Raden Saleh tidak terperhatikan, padahal beberapa lukisannya sering menghiasi buku-buku pelajaran sejarah sekolah. Raden Saleh dilahirkan di Terboyo, Semarang, Jawa Tengah, sekitar Tahun 1814. Ayahnya bernama Sayid Husen bin Alwi bin Awal dan Ibunya bernama Mas Ajeng Zarip Husen. Keduanya merupakan cucu dari Kyai Ngabeki Kertoboso Bustam (1681-1759), seorang asisten Residen Terboyo dan pendiri Keluarga Besar Bustaman yang menghasilkan para residen, patih dan anggota utama kelas priyayi bangsawan. Kertosobo Bustam sendiri adalah seorang penterjemah bagi VOC. Kontroversi kelahirannya sampai saat ini masih terjadi, dalam beberapa sumber dikatakan bahwa Raden Saleh lahir 1807, 1909, 1810, namun saya memakai tahun 1814 sesuai penelitian Harja W. Bachtiar, karena rangkaian tahun ke tahunnya cukup jelas.
Raden Saleh menghabiskan masa kecilnya di Terboyo sampai tahun 1822. Raden Saleh kemudian tinggal di Cianjur untuk bersekolah, yang pada waktu itu merupakan ibukota Karesidenan Priangan. Di Cianjur Raden Saleh mempelajari baca-tulis Melayu, aritmetika dasar, serta aksara Arab di satu-satunya sekolah yang ada di Cianjur. Menurut Harja W. Bachtiar, adalah Antonie Aauguste Joseph Paijen (1792-1853), seorang pelukis berkebangsaan Belgia yang mencium bakat dari Raden Saleh. Besar kemungkinan Paijen yang memasukkan ke sekolah di Cianjur itu. Paijen sendiri adalah pelukis pemerintahan bagi Professor C.G.C Reinwardt yang menjabat sebagai Direktur Pertanian, Seni dan Ilmu. Reinwardt sendiri adalah pendiri Kebun Raya Botani Bogor. Setelah tinggal di Cianjur, Raden Saleh tinggal bersama Paijen di Bogor. Paijen sendiri yang mengajarkan Raden saleh menggambar dan melukis. Ia bahkan mengajak Raden Saleh dalam beberapa ekspedisinya. Paijen kembali ke Eropa pada awal Tahun 1825.
Raden Saleh kemudian menjadi bagian dari sebuah keluarga berkebangsaan Belgia (keluarga De Linge). Tahun 1829 Raden Saleh ikut bersama rombongan tersebut, tujuannya adalah melaporkan kondisi finansial koloni kepada Raja. Keluarga De Linge menumpang kapal Pieter en Karel. Setelah tahun tersebut Raden Saleh sering pulang pergi dan menetap untuk beberapa lama di Belanda. Di sana Raden Saleh belajar melukis menggunakan cat minyak dengan tanggungan biaya hidup dari Belanda. Kesempatan tinggal di Belanda tidak disia-siakan Raden Saleh, ia kemudian belajar melukis di negara-negara Eropa lainnya. Bahkan ia sempat mengadakan beberapa pameran lukisan di Eropa, hal tersebut semakin memantapkan Raden Saleh di dunia lukis Eropa hingga pada akhirnya reputasi Raden Saleh sebagai pelukis besar naturalis dengan gaya lukis modern painting pun diperolehnya.
Di Belanda, Keterampilan menggambarnya berkembang pesat, bahkan suatu waktu teman-teman di sekolahnya sempat dikagetkan dengan sesosok mayat yang bersimbah darah di kamar Raden Saleh, teman-teman Saleh yang merupakan orang Eropa berteriak-teriak dan menjerit-jerit melihat sosok yang dikiranya Saleh tersebut terkapar dengan darah mengucur di lantainya. Dengan tenangnya Raden Saleh keluar dari balik pintu, dan menertawakan teman-temannya tersebut, karena sosok mayat yang dilihat tersebut adalah sebuah lukisan karya Raden Saleh. Kejadian ini benar-benar membuat Raden Saleh diperhitungkan di Eropa, teman-teman semasa menuntut ilmu di Belanda bahkan menyimpan rasa iri namun segan terhadapnya.
Di samping mempelajari seni lukis, Raden Saleh juga mempelajari bahasa khususnya bahasa Belanda. Dalam bidang seni lukis Raden Saleh mempelajari seni lukis potret dari Cornelius Krussemen dan tema pemandangan dari Andreas Schelfhout. Tahun 1849 Raden Saleh dianugerahi gelar “Pelukis sang Raja”. Gelar tersebut diharapkan dapat membantu Raden Saleh dalam pergaulan diantara sesama Orang Jawa.
Tahun 1851, Raden Saleh ke Batavia. Bersama istrinya yang kaya dan berkebangsaan Belanda kemudian menetap di daerah Cikini. Rumahnya di Cikini merupakan rumah tinggal yang megah dan luas pada zamannya. Rumahnya kini adalah RS Cikini, sedangkan halaman rumahnya yang luas diberikan untuk dijadikan kebun binatang, sekarang halaman rumahnya adalah Taman Ismail Marzuki. Tahun 1855, tepatnya tanggal 8 Februari, Pangeran Diponegoro yang memimpin perang dengan Belanda tahun 1825-1830 wafat di pengasingannya di Makasar, Sulawesi Selatan. Wafatnya Diponegoro inilah yang menginspirasikan lukisan penangkapan Diponegoro. Walaupun sebelumnya sudah ada lukisan yang sama dengan detil yang berbeda yang dilakukan oleh pelukis Belanda. Pada lukisan Raden Saleh digambarkan Diponegoro hanya menggunakan tasbih di tangan kanannya, ini berbeda dengan lukisan terdahulu yang menggambarkan keris di kiri dan pedang di kanannya. Lukisan hasil karya Saleh ini menggambarkan bahwa Diponegoro benar-benar berniat untuk mengadakan perundingan, karena waktu itu merupakan Bulan Ramadhan. Hal ini pula yang memudahkan Belanda dalam mengangkap Pangeran Doponegoro. Lukisan ini begitu kontroversial bagi beberapa anggota Kerajaan Belanda, Raden Saleh dianggap tidak seharusnya melukis sedemikian rupa. Lukisan ini kemudian diserahkan sebagai hadiah bagi Raja Belanda.
Tahun 1867-an Raden Saleh menikah lagi dengan perempuan sebangsanya, yang merupakan saudara sepupu Sultan Yogyakarta. Ia bercerai dengan istri lamanya karena istri lamanya tidak berasal dari kalangan bangsawan, sementara pergaulan Raden Saleh yang serba jetset dengan para bangsawan Eropa. Hal tersebut menjadikan Raden Saleh minder dan menceraikannya.
Tahun 1868, Raden Saleh tinggal di Bogor, lokasinya di belakang Hotel Bellevue, tepat di kaki Gunung Salak, yang dihiasi pemandangan lembah Cisadane. April 1869, sebuah pemberontakan penduduk pribumi pecah di Bekasi. Raden Saleh sendiri dituduh terlibat dalam pemberontakan itu. bahkan Residen Belanda di Batavia menyuruh agar Raden Saleh menemuinya di Batavia. Raden Saleh disidangkan, dalam pengadilan Raden Saleh ditudih Jaksa mengorganisir pemberontakan tersebut, walaupun pada akhirnya tuduhan tersebut tidak terbukti. Adalah Bassa Kollot yang meniru sebagai Raden Saleh untuk menjalankan pemberontakan. Tahun 1875 Raden Saleh, istri serta anak adopsinya yang bernama Sartinah pergi ke Belanda. Disana Raden Saleh berkeliling Eropa, ketika di Paris istri Raden Saleh jatuh sakit dan dioperasi. Tahun 1878 Raden Saleh beserta rombongan kembali ke tanah air, selanjutnya ia tinggal di Bogor.
Pada tanggal 23 April 1880 Raden Saleh wafat, karena trombosis atau pembekuan darah. Sebelumnya sempat beredar isu kalau Raden Saleh wafat karena diracuni oleh pembantunya, namun hal tersebut tidak terbukti. Gambaran romantisme muncul dalam lukisan-lukisan Raden Saleh yang mengandung paradoks, gambaran keagungan sekaligus kekejaman, cerminan harapan (religiusitas) sekaligus ketidakpastian takdir (realitas). Melalui lukisan-lukisannya bernuansa coklat dan abu-abu, Raden Saleh menyindir nafsu manusia yang terus menerus mengusik makhluk lain. Misalnya lukisan perburuan singa, rusa, dan banteng. Raden Saleh sendiri percaya pada idealisme, kebebasan dan kemerdekaan, maka dari itu ia menentang penindasan, walaupun dengan cara yang berbeda.
Berikut ini beberapa kontroversi mengenai nasionalisme dari diri Raden Saleh :
1. Raden Saleh pergi meninggalkan tanah air disaat bangsanya terlibat dalam peperangan melawan kolonial Belanda. Dan statusnya sebagai “anak negeri”. 2. Dalam beberapa acara jamuan makan bahkan pesta di kalangan bangsawan Eropa, Raden Saleh tidak pernah lepas dari atribut pakaian raja Jawa-nya. Padahal pada saat itu orang-orang biasa mengenakan pakaian ala Barat. Mungkin saja Raden Saleh mengenakan pakaian Jawa sebagai ciri yang menunjukkan bahwa ia orang Jawa, atau mungkin saja ia mengenakan pakaian Jawa untuk menarik perhatian di acara pesta-pesta.
3. Lukisan kontroversialnya yang menceritakan penangkapan Pangeran Diponegoro, lukisan ini bahkan membuat Jenderal De Cock marah kepada Raden Saleh. Beberapa ahli mengatakan bahwa Raden Saleh memiliki jiwa nasionalisme, dan lukisan tersebut merupakan salah satu bentuk perlawanan terhadap Kerajaan Belanda dan membuka mata dunia terhadap kelicikan Belanda.
4. Pada nisan makamnya di Bondongan, Bogor, tertulis “Raden Saleh Djoroegambar dari Sri Padoeka Kandjeng Radja Wolanda”. Kalimat inilah yang banyak ditafsirkan orang kemudian diperdebatkan nasionalismenya.