Home / Agama / Kajian / Madzhar Tuhan Pada Dirimu

Madzhar Tuhan Pada Dirimu

Oleh: Admin

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ

Bismillâhirrahmânirrahîm
Wasshalâtu wassalâmu ‘alâ Muhammadin wa âlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘âmmati wal-hidâyatit tâmmah, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.

“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn“.

Manusia adalah sebuah Kitab, sebuah tulisan dan “prototype Tuhan” di muka bumi. Banyak sekali terhampar bukti dan dalil yang menunjukkan bahwa manusia adalah sebuah manifestasi Tuhan dimuka bumi. Allah SWT perintahkan manusia untuk banyak-banyak membaca dan menyelaraskan kitabnya (dirinya) sendiri dengan Madzhar Tuhan.

Dalam beberapa hadits yang berderajat shahîh, Rasulullah SAW menjelaskan tentang penciptaan manusia yang menyatakan serupa dengan-Nya:

Diriwayatkan oleh Abu Hurairah RA, Nabi SAW bersabda,

خَلَقَ اللَّهُ عزَّ وجلَّ آدَمَ علَى صُورَتِهِ، طُولُهُ سِتُّونَ ذِراعًا

“Allah ‘Azza wa Jalla menciptakan Adam dalam bentuk-Nya. Tinggi beliau 60 hasta.” (HR. Bukhari no.6227, Muslim no. 2841).

Dalam riwayat Muslim,

إِذَا قَاتَلَ أحَدُكُمْ أخاهُ، فَلْيَجْتَنِبِ الْوَجْهَ، فإنَّ اللَّهَ خَلَقَ آدَمَ عَلَى صُوْرَتِهِ

“Jika kalian saling berkelahi dengan saudaranya, maka jangan pukul wajah. Karena Allah ‘Azza wa Jalla menciptakan Adam dalam bentuk-Nya.” (HR. Muslim no. 2612).

Diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar RA, Nabi SAW bersabda,

إنَّ اللهَ خلق آدمَ عَلَى صُوْرَةِ الرَّحْمَنِ

“Sesungguhnya Allah menciptakan Adam dalam bentuk Ar-Rahman.” (HR. Ad Daruquthni. Ibnu Hajar dalam Fathul Bari [5/217] mengatakan, “sanadnya dan perawinya tsiqah”).

Dalam banyak hal, Allah SWT memberikan sinyalemen bahwa manusia diciptakan dengan segala atribut inderawinya dan fungsinya masing-masing menunjukkan suatu prototype Diri-Nya sendiri. Lalu Allah SWT memerintahkan manusia untuk membaca kitabnya masing-masing.

اقْرَأْ كِتَابَكَ كَفَىٰ بِنَفْسِكَ الْيَوْمَ عَلَيْكَ حَسِيبًا ۞

“Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada waktu ini sebagai penghisab terhadapmu”. (QS. Al-Isra’ [17]: 14)

Manusia dibandingkan makhluk yang lain sangatlah unik. Keunikan manusia terletak pada adanya Madzhar (Manifestasi) Tuhan di dalam dirinya. Memang manusia bukanlah Tuhan, tapi keunikan manusia justru mencitrakan fungsi-fungsi Ketuhanan di dalam dirinya. Allah SWT berfirman dalam Hadits Qudsiy:

الْإِنْسَاُن سِرِّيْ وَأَنَا سِرُّهُ

“Manusia itu adalah rahasia-Ku dan Aku adalah rahasianya”

Dalam pembagian sifat dua puluh, ada disebutkan kategori sifat Ma’ãni (7 sifat) dan Ma’nawiyyah (7 sifat). Kedua kategori sifat wajib bagi Allah SWT tersebut secara fungsional juga terdapat pada diri manusia. Sifat Ma’ãni yang terdiri dari; Qudrah, Irãdah, Ilmu, Hayat, Sama’, Bashar, dan Kalãm, itu lalu bersambung dengan tujuh sifat Ma’nawiyyah lainnya; Qadîr, Murîd, ‘Alîm, Hayy, Samî’, Bashîr dan Mutakallim.

Keempat belas sifat-sifat Ma’ãni dan Ma’nawiyyah tersebut jika disandingkan dan disambungkan sebagai berikut:

1. Qudrah adalah Kekuasaan dan Qadir adalah Maha Kuasa.
2. Irãdah adalah Kehendak dan Murîd adalah Maha Berkehendak.
3. Ilmu adalah Pengetahuan dan ‘Alîm adalah Maha Mengetahui.
4. Hayãt adalah Kehidupan dan Hayy adalah Maha Hidup.
5. Sama’ adalah Pendengaran dan Samî’ adalah Maha Mendengar.
6. Bashar adalah Penglihatan dan Bashîr adalah Maha Melihat.
7. Kalãm adalah Ucapan dan Mutakallim adalah Maha Berbicara.

Sifat-sifat Ketuhanan yang berada dan menjadi fungsi dasar inderawi manusia sudah cukup menjadi petunjuk bahwa kesadaran manusia atas dirinya sendiri (mengenal dirinya) akan membawanya kepada kesadaran mengenal Tuhannya. Jendela kesadaran itu berada pada 14 Sifat Ma’ãni dan Ma’nawiyyah di atas. Madzhar Tuhan pada diri manusia akan disadari ketika manusia berada pada kondisi peniadaan dirinya (nafi) secara sempurna.

Menurut Syaikh Yusuf al-Makassari dalam Tãjul Asrãr fî Tahqîqi Masyãribil ‘Ãrifîn min Ahlil Istibshãr dikemukakan bahwa seorang Kekasih Allah yang berakal dan seorang ‘Arif yang sempurna hendaknya mengetahui dan berkeyakinan bahwa Allah SWT itu bersamanya di manapun berada. Hal ini sesuai dengan Sabda Rasulullah SAW; “Sebaik-baik keimanan seseorang terhadap Allah SWT hendaknya ia mengetahui bahwa Allah SWT selalu bersamanya di manapun berada“. Juga sebagaimana firman Allah SWT; “Dia selalu bersama kalian semua di manapun kalian berada” (QS. Al-Hadid [57]: 4).

Seorang Kekasih Allah SWT hendaknya meyakini dan mengetahui juga bahwasanya Allah SWT itu selalu menyertai semua yang ada di alam semesta. Untuk hal ini, Allah SWT memberikan petunjuk; “Dia selalu menyertai atas segala sesuatu” (QS. Fushshilat [41]: 54). Dan “Allah itu atas segala sesuatu selalu menyertai” (QS. An-Nisa’ [4]: 126). Dan “Ilmu Allah SWT benar-benar meliputi/menyertai atas segala sesuatu” (QS. Ath-Thalaq [65]: 12).

Karena itu, sikap selalu bersama Allah itu sebagaimana bersamanya ruh dan jasadnya. Atau seperti bersamanya pelaku dengan yang dilakukannya. Sikap inilah yang disebut sebagai Ma’iyyatul Ihãthah (kebersamaan yang meliputi), yang diketahui dan dipahami menurut orang yang ‘Arif secara sempurna, tidak seperti ma’iyyahnya salah satu dari dua hal dengan hal yang lain yang diketahui di kalangan orang-orang pada umumnya.

Dari sinilah awal mula perjalanan hamba Allah yang ingin menyingkap al-Futuhãt al-Ilãhiyyah atau Al-Asrãr al-Ilãhiyyah atas kehidupan ini bisa dipahami secara tepat.

Wallãhu A’lamu bish-Shawãb

 

About admin

Check Also

Makna Bashirah dan Tingkatannya

“Syaikh Ahmad ibn ‘Athaillah Assakandary dalam al-Hikamnya membagi bashîrah dalam tiga tingkatan; Syu’ãul bashîrah, ‘Ainul bashîrah ...