Sekilas jawaban tersebut tampak sebagai jawaban yang sangat ideal dan bijaksana. Namun saya pribadi terperanjat mendengarnya. Saya tetap berusaha berprasangka baik kepada Pak Bud, mungkin beliau tergesa-gesa dalam menjawab, dan ia bukanlah seorang dengan latar belakang ilmu tatanegara, sosial-politik, dan ia belumlah menjadi seorang negarawan. Beliau baru menjadi seorang praktisi ekonom dan kini sambil belajar menjadi negarawan. Semoga belajar Anda membuahkan prestasi yang gemilang seiring perjalanan waktu.
Letakkan Agama di Bawah Negara
Agama berbeda dengan Tuhan. Agama adalah bagian dari unsur budaya masyarakat, yakni sistem kepercayaan. Sistem kepercayaan yang kemudian dilembagakan oleh manusia. Agama menjadi lembaga yang berisi tata cara, upacara, aturan, dengan seperangkat nilai yang mengatur kehidupan umat manusia dalam berhubungan dengan sesama umat dan dengan Tuhan. Di Indonesia sedikitnya memiliki 6 lembaga agama yang diakui oleh Negara. Fungsi negara terhadap agama adalah urusan mengelola bagaimana idealnya agama hidup berdampingan dengan agama lainnya. Negara menjamin agar supaya masing-masing umat agama bisa menjalankan tata aturan agama secara merdeka dalam arti tidak direcoki umat agama lain.
Dengan demikian fungsi negara adalah sebagai wasit (arbitrasi) di antara agama-agama yang ada agar tidak terjadi benturan. Fungsi Negara sebagai PENGELOLA tetap harus netral dan adil berdiri di atas semua agama. Apalagi Indonesia bukanlah negara agama, bukan pula hanya ada satu agama di nusantara. Dapat dibayangkan apa yang akan terjadi jika semua agama-agama yang ada di tanah air ini diletakkan di atas otoritas negara, dalam arti peran agama lebih diutamakan ketimbang peran negara, maka konsekuensinya agama mengambil alih peranan menjadi PENGELOLA negara. Jika hal itu terjadi maka peran negara akan menjadi lemah, sebaliknya masing-masing agama akan memiliki pendirian yang berbeda dan masing-masing akan berebut pengaruh. Implikasinya bisa timbul hukum rimba siapa yang kuat atau siapa yang mayoritas akan mendominasi permainan. Negara pun akan didikte sesuai kemauan pihak yang mendominasi. Sementara agama yang memenangkan percaturan, tetap saja tidak akan mampu mengganti peran negara sebagai pengelola bangsa. Implikasinya akan sangat berbahaya, karena Indonesia adalah bangsa yang plural, heterogen, meliputi berbagai suku, ras, agama, kelompok politik, dan golongan. Tentu saja dominasi agama apapun dalam pengelolaan negara justru akan mengakibatkan perlawanan yang bertubi dan akan menghancurkan negeri ini.
Kejadian yang tidak kita semua kehendaki. Lain halnya jika negara memainkan peannya sebagai pengelola, yang menjamin kemerdekaan kepada setiap umat untuk menjalankan kegiatan peribadatan agama, maka kehidupan antar umat beragama akan menjadi tenteram, khusuk, saling menghargai, toleransi, damai sejahtera. Sehingga setiap warga bangsa secara leluasa bisa mengembangkan pencapaian spiritualitasnya tanpa gangguan umat lainnya.
Agama Bukanlah Tuhan
Mungkin membaca tulisan saya di atas, bisa saja ada yang tergesa menyimpulkan, sebagai tulisan sekuleris, melemahkan peran agama, atau yang paling ekstrim meletakkan Tuhan di bawah kekuasaan negara. TIDAK. Tuhan tetaplah Tuhan. Tuhan berbeda dengan agama. Tuhan bukanlah lembaga agama. Tuhan bukan pula sekedar nama. Nama-nama Tuhan adalah urusan bahasa manusia. Bukankah Tuhan sudah ada semenjak manusia berikut bahasanya belum diciptakan.
Pada waktu itu tentu saja Tuhan belum diberikan nama apapun oleh segenap manusia. Tuhan tentu saja tidak menyembah apapun sehingga Tuhan tidak memeluk dan memerlukan satu agamapun yang ada di muka bumi ini. Agama adalah sistem kepercayaan masyarakat yang telah dilembagakan, karenanya agama sangat dibutuhkan umat manusia untuk menata kehidupan agar tertib dan teratur. Agama menyediakan jalan spiritual yang bisa dilalui oleh manusia. Agama adalah urusan pribadi masing-masing orang. Sedangkan negara adalah lembaga besar yang mengurusi seluruh warga bangsa tanpa boleh sepihak, pilih kasih berdasarkan suku, ras, golongan, agama. Itulah garis besar negara, sudah seharusnya mengikuti rumus kebijaksanaan Tuhan.
Tuhan di Atas Segalanya
Tuhan adalah sang Causa Prima, penyebab segala yang ada di jagad raya. Penyebab utama, yang tidak disebabkan oleh suatu apapun juga. Tuhan dapat dibayangkan sebagai episentrum dari semua energi yang ada di jagad raya ini. Tuhan berada di ruang transendental di luar diri, namun ada di alam ruang pribadi manusia. Jauh tak berjarak, dekat tak bersentuhan. Tidak di mana-mana namun ada di mana-mana. Tuhan tak bisa dihitung, karena Tuhan bukan benda/makhluk “countable noun”. Tuhan itu uncountable, namun bukan berarti jamak. Tuhan bukannya satu, namun tunggal. Jika Tuhan itu satu (countable) berarti Tuhan bisa dihitung dan menjadi sangat terbatas. Meskipun demikian Tuhan berbeda pula dengan udara, air api yang uncountable noun. Kesimpulannya, Tuhan Maha Besar tak bisa lagi dibayangkan dengan rasio. Tuhan tidaklah warna-warni, tidak pula beragam, Tuhan mengatasi segala perbedaan, melampaui suku, bangsa, ras, lembaga sistem kepercayaan, golongan, dan kelompok kepentingan. Dengan demikian barulah layak jika kita menempatkan Tuhan di atas negara. Jadi, prinsip negarawan hendaklah menyerupai prinsip keTuhanan yang melampaui semua perbedaan “kulit”. Tuhan tidak terikat oleh unsur SARA, dan kepentingan pribadi. Negarawan mengatasi lingkup wilayah negara tertentu dengan segala perbedaan yang ada. Sementara itu kekuasaan Tuhan mengatasi segalanya yang ada di jagad raya. Negarawan mengatasi segala warna dan perbedaan yang ada di wilayah negara dan bangsanya. Negarawan harus memiliki “ruh” kemanunggalan. Letakkan Tuhan di atas negara, letakkan agama di bawah pengelolaan negara. Jangan ragu, walau agama diletakkan di bawah pengelolaan negara, bukan berarti negara kita Indonesia Raya menjalankan roda pemerintahan tanpa landasan spiritualitas yang luhur. Konsep demikian sudah jelas-jelas terangkum di dalam PANCASILA yang merepresentasikan UNIVERSALITAS NILAI-NILAI RELIGIUS dari ajaran agama-agama yang ada di planet bumi. Itulah kehebatan petuah Pancasila.
Kenapa calon negarawan masih bingung dalam menentukan sikap kenegarawanannya.
Mau Jadi Negarawan atau Politisi
Siapapun Capres-Cawapres terpilih hendaklah menanggalkan perannya sebagai politisi, dan mulailah menjadi seorang negarawan. Berbeda dengan politisi, seorang negarawan tidak pernah melakukan “kebijakan” yang berdasar kepentingan sepihak, primordialis, etnosentris, rasis. Karena negara adalah milik seluruh warga bangsa yang heterogen dan plural. Negara yang ideal adalah mengatasi seluruh warga bangsa termasuk di dalamnya agama sebagai sistem kepercayaan dan beragamnya suku bangsa yang ada di Indonesia. Lain halnya politisi, ia bukanlah negarawan, politisi lebih mengutamakan kepentingan kelompok atau golonganya sendiri, bahkan kepentingan pribadinya. Siapapun Anda yang kelak menduduki kursi jabatan sebagai pemimpin negeri, haruslah melakukan brain washing, merevolusi sikap dan prinsip dari seorang politisi menjadi seorang negarawan sejati. Dan hal itu tidak mudah dipraktekan dalam kehidupan sehari-hari.
Tinggalkan Tabiat Jahiliyah
Terlepas dari upaya dukung mendukung, kampanye, apalagi menjatuhkan, sebagai sesama manusia dan sebagai warga bangsa, saya berharap semoga semua capres dan cawapres bila target politiknya sudah tercapai, berhasil menjadi pemimpin negeri. Hendaknya mampu menjalankan tugasnya sambil terus belajar tanpa henti untuk menjadi negarawan sejati.. Setiap saat belajar menjadi lebih baik lagi. Dimulai sejak dini tidak ada lagi sikap saling menyerang kelemahan dan kesalahan lawan demi mengunduh keuntungan popularitas pribadi. Jangan ada lagi rasa tega hati “menari di atas bangkai lawan”, karena tak ada seorangpun bisa luput, sapa nggawe bakal nganggo, siapa menanam akan mengetam. Artinya tabiat buruk demikian itu pasti akan berbalik menghantam diri sendiri. Berikanlah masyarakat contoh-contoh yang baik, arif, ideal, bijak, bagaimana harus bersikap terhadap lawan politik, yakni tetap menaruh sikap hormat setinggi-tingginya, baik dalam perilaku maupun ucapannya. Hapus dan hilangkan kebiasaan buruk para politisi yang gemar mencari-cari kelemahan lawan untuk tujuan menjatuhkan popularitasnya. Amat baik dan mulia bilamana para politisi kita bermain fairplay, lebih baik memfokskan diri giat mengenali jati diri, mengetahui kelemahan pribadi, untuk selanjutnya mampu menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Lakukan segala sesuatu yang baik dan bermanfaat kepada sebanyak-banyaknya orang, dan JANGAN PERNAH MENILAI dan MENGHITUNG-HITUNG AMAL KEBAIKAN yang pernah anda lakukan. Biarkan masyarakat yang menilai sendiri secara obyektif. Hampir semua CAPRES-CAWAPRES bersikap NARSIStis, dikiranya sikap itu akan melambungkan image kebesaran nama. Padahal siasat itu justru meluluhlantakkan track record di hadapan Tuhan dan di depan masyarakat yang kini tidak bodoh lagi menilai. Tak satupun yang berani melakukan TAPA MENDHEM, mengubur segala kebaikan yang pernah ia lakukan kepada orang lain dari ingatan Anda sendiri. Tapa mendhem (mengubur diri) berkaitan erat dengan KETULUSAN dalam berbuat baik. Kenyataannya adalah paradoksal, semuanya melakukan pamer, mengalami berbagai sindrom negatif : “eksibisionis”, narsis, mengagungkan diri sendiri, megalomania, dan itu semua menjadi BUKTI NYATA bahwa calon pemimpin kita BELUM LULUS belajar KETULUSAN HATI. Ketulusan hati yang ada dalam diri pribadi Anda semua Capres-cawapres akan sangat berpengaruh kepada keberhasilan Anda kelak menjadi pemimpin bangsa dan negara yang besar ini. Dan Anda adalah manusia pertama dan kedua yang bertanggungjawab atas apa yang akan terjadi di negeri ini.
Tulisan ini sekedar suara hati nurani rakyat jelata. Peran saya pun tak ubahnya punakawan Mbilung dan Togog. Biarpun teriak-teriak lantang, mulut berbusa kehabisan ludah, tetap saja semua pepeling kepada para kesatria dari nagri sabrangan, sudah biasalah dicuek. Mungkinkah hari gini orang masih mengira, bahwa jelata itu bukanlah apa-apa, maka abaikan saja. Saya percaya, para “kesatria Pendawa Lima” tetaplah ada, namun sembunyi di manakah mereka, atau memang belum saatnya tampil memimpin negeri ini.
Sumber : http://sabdalangit.wordpress.com/2009/06/24/kontemplasi-untuk-capres-cawapres/