Home / Agama / Kajian / Laku Sufi Abu Bakar As-Shiddiq

Laku Sufi Abu Bakar As-Shiddiq

Oleh: Mushofa

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ

Bismillãhirrahmãnirrahîm
Wash-shalãtu was-salãmu ‘alã Muhammadin wa ãlihî ma’at taslîmi wa bihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘ãmmati wal-hidãyatit tãmmah, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn.

“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn”.

Sahabat adalah orang-orang yang pernah berjumpa dengan Rasulullah SAW dalam keadaan Iman kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW. Istilah sahabat ini dipakai karena untuk menggambarkan kedekatan meraka dengan Rasulullah SAW sebagaimana dekatnya seorang sahabat.

Peran sahabat nabi ini sangat besar di dalam dakwah islamiyyah. Mereka adalah orang-orang terbaik yang memang ditaqdirkan oleh Allah SWT untuk mendampingi perjuangan nabi.

Mereka orang-orang yang sangat loyal dan totalitas di dalam membantu nabi. Dari sekian banyak sahabat nabi, ada empat sahabat mulia yang mereka di juluki khulafa’ al-Rasyidin yang artinya pengganti nabi yang telah mendapat petunjuk. Setelah nabi wafat merekalah yang secara estafet menggantikan posisi nabi baik dalam rangka meneruskan penyelenggaraan negara dan memimpin agama.

Keberadaan mereka ini diabadikan oleh Allah SWT dalam firman-Nya QS. At-Taubah [9]: 100:

وَالسّٰبِقُوْنَ الْاَوَّلُوْنَ مِنَ الْمُهٰجِرِيْنَ وَالْاَنْصَارِ وَالَّذِيْنَ اتَّبَعُوْهُمْ بِاِحْسَانٍۙ رَّضِيَ اللّٰهُ عَنْهُمْ وَرَضُوْا عَنْهُ وَاَعَدَّ لَهُمْ جَنّٰتٍ تَجْرِيْ تَحْتَهَا الْاَنْهٰرُ خٰلِدِيْنَ فِيْهَآ اَبَدًا ۗذٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيْمُ ۞

“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Ansar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada-Nya. Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang agung.”

Secara umum, ayat ini menggambarkan begitu ridhanya Allah SWT kepada mereka, yaitu orang-orang yang pertama kali masuk Islam. Mereka sudah dijamin surganya oleh Allah SWT. Namun diantara mereka itu ada sahabat-sahabat yang di dekatkan oleh Allah SWT kepada nabi, yakni para sahabat khulafa’ur rasyidin ini.

Jika nabi diibaratkan matahari maka para sahabat ini diibaratkan bintang yang menyinari bumi. Artinya apa, sepeninggal nabi, merekalah yang bisa kita ikuti di dalam beragama, karena meraka adalah orang-orang yang telah mendapat pancaran sinar dari nabi secara langsung. Kemudian sinar nabi ini dipantulkan melalui mereka sehingga sampai kepada kita.

Rasulullah SAW bersabda:

اَصْحَابِي كاَلنُّجُوْمِ باِيّهِمْ اِقْتَدَيْتُمْ اِهْتَدَيْتُمْ

“Sahabat-sahabatku laksana bintang-gemintang, kepada siapapun diantara mereka, kalian mengikutinya maka kalian akan mendapat petunjuk.” (HR. Al-Baihaki dan Ad-Dailami dari Ibn ‘Abbas)

Terlepas dari perdebatan ulama mengenai status hadits ini, apakah lemah atau kuat atau bahkan palsu, kita tidak dalam ranah membahas hal ini. Yang jelas, hadits ini bukan dalam ranah hukum, tetapi dalam ranah keutamaan (fadhãil al-a’mãl). Dan ulama’ telah sepakat bahwa dalam ranah keutamaan tidak perlu memandang status hadits. Jika tidak melanggar syari’at, akal dan hati nurani maka itu baik.

Oleh karena itu, melihat hadits ini, kita bisa memahami bahwa keberadaan sahabat nabi adalah orang-orang yang hebat yang dipilih Allah SWT untuk melanjutkan dakwah islamiyah kepada umat. Mereka adalah orang-orang yang secara langsung mendapatkan ilmu dari sumbernya, sehingga mereka diibaratkan bintang, maka siapapun yang mengambil ilmu darinya dipastikan akan mendapat petunjuk yang benar.

Meneladani mereka adalah hal yang lazim bagi kita umat Islam. Mereka orang-orang yang mempunyai akhlak mulia yang tingkat spiritualitas agamanya tidak diragukan lagi. Sebagaimana disampaikan oleh As-Sarraj dalam Al-Luma’: “Saya menerima berita dari Abu Uthbah al-Hawani yang pernah menjelaskan tentang kondisi spiritual para sahabat nabi, yaitu: (1) Mereka lebih senang bertemu Allah daripada hidup di dunia; (2) Mereka tidak pernah takut musuh; (3) Mereka tidak pernah takut miskin dunia dan selalu yakin bahwa Allah SWT akan selalu memberi rizki; (4) Jika dilanda musibah dan wabah penyakit, mereka tidak pernah lari dari tempat tinggalnya sampai Allah memutuskan nasibnya.”

Abu Bakar As-Shiddiq adalah sosok sahabat yang terkenal kuat ketauhidannya. Hal ini terbukti saat hati para sahabat tergoncang ketika Nabi SAW wafat, ia berpidato di hadapan para sahabat dengan mengatakan: “Barangsiapa yang menyembah Muhammad, maka ketahuilah Muhammad telah wafat, barangsiapa menyembah Allah, maka sesungguhnya Allah adalah Dzat yang Maha Hidup dan tidak akan pernah mati.” (HR, Ahmad, Abdurrazaq dari Aisyah dan Ibn Abbas dan Ibn Abi Syaibah dari Ibn Umar).

Ada pesan tauhid yang sangat halus di dalam pidatonya ini. Beliau mencoba meneguhkan hati para sahabat. Bahwa Yang Maha hidup adalah Allah SWT, sementara manusia siapapun itu pasti akan mati, termasuk nabi. Makna yang tersembunyi lagi yang dapat digali dari pidatonya ini adalah nabi adalah manusia bukan Tuhan, maka mengimani Nabi SAW berarti bukan menyembahnya melainkan meyakini dan membenarkan ajaran-ajarannya. Tidak dibenarkan mengkultuskan nabi sebagai sesembahan melainkan sebagai Rasul.

Abu Bakar As-Shiddiq juga sosok yang sangat dermawan, ia menginfakkan semua hartanya untuk kepentingan agama Allah. Totalitas dalam membela agama Allah ini sangat diacungi jempol. Hal ini terbukti saat Rasulullah SAW bertanya kepadanya, “Apa yang engkau tinggalkan untuk keluargamu?” Abu Bakar menjawab, “Allah dan Rasul-Nya” (HR. Attirmidzi dari Umar).

Kedermawanan Abu Bakar ini pasti didasari oleh ketauhidan yang kuat. Ia tidak ragu lagi untuk mengeluarkan hartanya demi kepentingan agama Allah. Karena ia yakin bahwa Allah Maha Memberi rizqi. Dan harta yang didermakan untuk perjuangan dakwah tidak akan sirna, tetapi abadi disisih-Nya.

Sifat dermawan ini kemudian menjadi prasyarat menjadi wali/kekasih Allah SWT. Sebab untuk menjadi walinya Allah SWT seseorang harus melepaskan harta dalam dirinya. Orang yang pelit, sulit bahkan tidak akan mungkin menjadi wali, karena hatinya masih terikat dengan dunia. Nabi pernah berwasiyat kepada Sayyidina Ali, “Ya Ali sesungguhnya wali-wali Allah SWT itu mendapat keluasan rahmat dan ridha-Nya bukan sebab banyaknya ibadah, tetapi sebab dermawannya jiwa dan menganggap ringan terhadap dunia.” Sifat dermawan adalah bagian dari buah kezuhudan terhadap dunia. Zuhud terhadap dunia adalah prasyarat menjadi kekasih Allah SWT.

Abu Bakar As-Shiddiq adalah orang yang sangat wara’. Artinya orang yang sangat hati-hati betul dan selektif dengan apa yang dimakan, dipakai dan digunakan. Jika benar-benar tidak halal maka orang yang wara’ tidak akan melakukannya. Hal ini terbukti diceritakan suatu ketika ia pernah memakan makanan yang syubhat. Ketika ia tahu jika makanan tersebut syubhat maka ia langsung memuntahkannya sembari berkata: “Andaikan makanan itu tidak bisa keluar kecuali dengan mengorbankan jiwa (ruh) ku maka akan aku keluarkan juga, sebab aku pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda: ‘Tubuh yang diberi makan dari barang haram maka neraka lebih pantas untuknya.’ (HR. At-Tirmidzi dan Ibn Hibban dari Ka’ab bin ‘Ajarah).

Hal ini menunjukkan betapa wara’ nya dia, ia rela mati dalam rangka mengeluarkan barang syubhat di dalam tubuhnya. Ia benar-benar memegang teguh apa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW.

Alhasil, setidaknya ada tiga sifat mulia yang bisa di telisik dari laku sufinya yaitu ketauhidan yang kuat, kedermawanan dan wara’, yang mana tiga sifat tersebut adalah sifat dasar seorang sufi. Hal ini menunjukkan bahwa Abu Bakar As-Shiddiq adalah sahabat yang meletakkan dasar-dasar laku sufi. Sebenarnya banyak sekali laku sufi yang bisa ditampilkan di sini, namun penulis membatasi tiga ini saja, karena bagi penulis bisa meneladani tiga sifat ini saja sudah luar biasa.

Sudah seharusnya seorang Muslim menjauhi sifat kikir. Rasulullah SAW mengajarkan sebuah doa agar terhindar dari sifat kikir:

اَللّٰهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنَ الْبُخْلِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ الْجُبْنِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ أَنْ نُرَدَّ إِلَى أَرْذَلِ الْعُمُرِ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الْقَبْرِ .

Allahumma inni a’udzubika minal bukhli wa a’udzubika minal jubni wa a’udzubika min min an murodda ilaa ardzalil ‘umuri wa a’udzubika minal fitnati dunnya wa ‘adzabil qobri.

“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari sifat kikir, aku berlindung kepada-Mu dari sifat pengecut, aku berlindung kepada-Mu dari kepikunan, aku berlindung kepada-Mu dari fitnah dunia dan siksa kubur,” (Kitab shahih Bukhari Muslim nomor 6390 versi Fathul Bari dan nomor 5911 versi Al Alamiyah)

_________

Source: Alif.Id

About admin

Check Also

Mengapa Harus Bulan Ramadhan?

”Mengapa Allah SWT menurunkan perintah berpuasa kepada orang-orang beriman jatuh di bulan Ramadhan?”. Oleh: Admin ...