Home / Agama / Kajian / Kritik Al-Ghazali atas Kesalahpahaman Memaknai Tauhid dan Ilmu Kalam

Kritik Al-Ghazali atas Kesalahpahaman Memaknai Tauhid dan Ilmu Kalam

Oleh: H. Derajat

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ

Bismillâhirrahmânirrahîm
Wasshalâtu wassalâmu ‘alâ Muhammadin wa âlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘âmmati wal-hidâyatit tâmmah, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.

“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn“.

Pergeseran makna dari suatu kata memang sering terjadi. Di antara penyebabnya ialah karena adanya kesalahpahaman yang terlanjur sering digunakan dan tak segera dibenarkan. Tidak hanya di kalangan orang awam, di kalangan ahli ilmu pun tidak menutup kemungkinan untuk terjadi kesalahpahaman.

Akan tetapi, jika kesalahpahaman itu menyangkut ilmu, maka wajib bagi yang mengetahui untuk segera mengutarakan kebenarannya. Karena apabila terus dibiarkan, hal itu akan berakibat pada kesalahpahaman lain yang kelak akan diderita oleh pencari ilmu. Selain itu juga menjadikan turunnya martabat suatu ilmu dan kurang bernilainya ilmu yang dimaksudkan.

Salah satu kasus yang dikritik Imam Al-Ghazali ialah tentang perubahan makna ilmu tauhid, yang disalah-artikan menjadi ilmu kalam. Beliau mengurainya secara lugas dalam masterpiece beliau yang berjudul Ihyâ Ulumiddîn, dalam pembahasan ketiga dari kitâbul ‘ilmi.

Hal ini bermula dari kegelisahan Imam Al-Ghazali terkait kesalahpahaman sebagian orang yang belakangan justru terkesan mengarahkan “tauhid” seakan-akan sama dengan “kalam”. Meskipun tujuan dan maksud keduanya masih serupa, yakni mengesakan Allah SWT., tetapi keduanya tentu berbeda.

Karena kesalahpahaman itu, ilmu tauhid seakan berbelok makna menjadi pengetahuan tentang metode untuk mengukuhkan argumentasi menyangkut Tuhan, yang bisa dimunculkan ketika berada dalam perdebatan dan menjawab pertanyaan. Sehingga menjadikan orang yang menguasainya dianggap sebagai juru adil dan ahli tauhid. Padahal sejatinya bukanlah demikian, ia hanyalah seorang yang pandai berfilsafat, dan bukan seorang muwahhid (orang yang bertauhid).

Termasuk bagian dari ilmu kalam adalah menjelaskan tentang kalimat lâ ilâha illâ Allâh’ dalam kaitannya dengan membangun “persatuan bangsa”. Padahal seharusnya, kalimat tersebut sejatinya adalah kalimat ‘aqîdah yang pencapaiannya melalui ‘amaliyah (dimulai dengan wirid dan dzikir lisan) yang bertujuan membentuk pribadi yang berketuhanan. Artinya, pendidikan untuk diri sendiri.

Untuk meng-counter kekeliruan tersebut, Imam Al-Ghazali kembali memberikan definisi tauhid, sesuai dengan yang dimaksudkan oleh ulama salaf.

Beliau mendefinisikan tauhid sebagai sesuatu yang berhubungan dengan keyakinan bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini ialah berasal dari Allah SWT., tanpa harus menampakkan sebab dan mediator dari adanya kejadian maupun perwujudan. Sekaligus juga mempercayai bahwa segala kebaikan dan berbagai akibat dari keburukan itu berasal dari ketentuan Allah SWT.

Tauhid juga beliau ibaratkan seperti buah yang sangat berharga yang terbungkus oleh berlapis-lapis kulit. Adapun jarak antara buah dan kulitnya terbilang cukup jauh. Maka dari itu, beliau mengkritik orang-orang yang baru mengambil kulit saja tetapi tergesa-gesa membuang seluruh buah dan intisarinya.

Jika mengikuti pengibaratan tauhid dengan buah, sebagaimana disebutkan di atas, Imam Al-Ghazali pun membagi kategori orang bertauhid menjadi tiga kelompok.

Pertama, tauhid kulit luar. Yakni tauhidnya orang yang melafalkan kalimat lâ ilâha illâ Allâh’, tetapi sebatas dalam lisannya saja. Hal ini memang bisa membedakan diri dari keyakinan trinitas orang Nasrani, tetapi secara keyakinan bisa jadi tidak sesuai dengan yang diucapkan.

Dalam satu kesempatan, lisan bisa saja menyatakan sebuah kebenaran, tetapi dalam kesempatan lain bisa juga menyatakan kebohongan. Dan perlu diingat bahwa maksud dari tauhid bukan hanya sebatas kesaksian lisan saja. Lebih dalam dari itu, yaitu menyangkut kesaksian hati. Walaupun untuk sampai kepada kesaksian hati, tetap saja dimulai dengan lisan.

Kedua, tauhid kulit dalam. Yakni tauhidnya orang yang tiada pengingkaran terhadap keesaan Allah di dalam hatinya, tetapi masih membutuhkan sejumlah argumen untuk membuatnya percaya.

Berada pada kategori inilah, manusia yang disebut Imam Al-Ghazali sebagai orang yang mengalami kesalahpahaman dalam memaknai tauhid. Termasuk di dalamnya adalah ulama yang terlalu getol menonjolkan ilmu kalam atau ilmu filsafat (mutakallimîn) untuk dapat mempercayai bahwa segala sesuatu berasal dari Allah SWT.

Ketiga, buah tauhid. Yakni tauhidnya orang yang telah mampu memandang segala sesuatu dari Allah SWT., tanpa butuh apa dan mengapa. Tanpa menuntut bagaimana sebabnya dan siapa perantaranya.

Adapun yang dimaksud oleh Imam Al-Ghazali sebagai makna tauhid ialah tauhid pada kelompok yang ketiga ini. Karena jika telah mencapai pada tingkatan buah tauhid, seseorang akan terhindar dari perbuatan yang ditujukan untuk memuaskan hawa nafsunya. Hatinya juga tak akan berpaling dari Allah SWT.

Seseorang dapat disebut sebagai orang yang mengesakan Allah dengan sebenar-benarnya (al-muwahhid al-haqîqiy), apabila ia tidak memandang suatu keadaan, kecuali berasal dari Dzat Yang Maha Esa. Atau dengan kata lain –menurut Al-Murtadha dalam Syarh Ithâf as-Sâdah al-Muttaqîn, bahwa seseorang tersebut tidak memandang sesuatu dari wujud yang tampak, tetapi dari Dzat Yang Menciptakan. Itulah yang dimaksud dengan berkepribadian ilâhiyah (pribadi yang berketuhanan). Wallâhu A’lam bish-shawâb.

Source: Dinukil dari tulisan Habib Maulana dalam situs Bincang Syariah.

About admin

Check Also

Makna Bashirah dan Tingkatannya

“Syaikh Ahmad ibn ‘Athaillah Assakandary dalam al-Hikamnya membagi bashîrah dalam tiga tingkatan; Syu’ãul bashîrah, ‘Ainul bashîrah ...