Dibandingkan dengan harga sayuran di supermarket, harga sepaket fast-food seperti burger dan soft drink jauh lebih murah. Konsekuensinya malnutrisi, bukan kurang gizi alias undernutrition seperti yang terjadi di negara berkembang, kurang gizi di US manifestasinya obesitas. Saat ini korelasi antara obesitas dan penghasilan rendah dibuktikan berkorelasi oleh berbagai study di US. Penyebab obesitas bukan sekedar makanan yang masuk ditambah rendahnya aktifitas, tapi juga dipengaruhi oleh faktor stress yang berkaitan dengan hormon. Kelas sosial dengan penghasilan lebih mendapat keuntungan untuk sehat selama berat badan ada di kisaran normal. Tapi ini cerita lain.
Tentu saja ada orang yang kurang gizi di negara ini, tapi kebanyakan kasusnya disebabkan oleh anorexia atau bulimia akibat persepsi langsing itu cantik diterapkan secara berlebihan.
Kapan mulainya konglomerasi makanan siap saji ? Menurut penulis buku yang dijadikan nara sumber untuk film documenter “Food Inc.”, hal ini sudah berlangsung sejak tahun 1950-an mengikuti keberhasilan McD menjual burger sebagai gaya hidup. Agar kesuksesan penjualan produknya tetap terjaga, perusahaan itu melakukan standarisasi bahan makanan dengan membuat pabrik daging (bukan makanan kaleng ya, tapi daging segar). Mulailah mereka menjajah peternak, dengan memberikan loan untuk berternak pada petani dengan pendekatan bisnis: pengeluaran sekecil-kecilnya dan penghasilan sebesar-besarnya plus suntikan teknologi seperti hormon, antibiotik dan pesticida. Peternak yang membangkang akan dikerjain oleh perusahaan itu sampai bangkrut, mulai ditutup aksesnya ke pasar daging atau dituntut secara hukum.
Bagaimana proses produksi daging ini dilakukan? Para peternak akan mendapat panduan kandang seperti apa yang harus mereka buat untuk memaksimalkan produk. Kandang ternak menjadi sangat tidak berperikehewanan baik untuk sapi, ayam maupun babi.
Kita mulai dengan ayam. Peternak ayam harus membeli anak ayam (yang sudah disuntik hormon) dari perusahaan daging, merawatnya dalam beberapa bulan, sebelum dipanen. Dan ayam itu dipelihara didalam kandang yang amat sangat padat alias overcrowded. Karena ayamnya disuntik hormon, berat badan ayam menjadi 2 kali berat badan ayam yang biasa, hanya bisa jalan beberapa langkah sebelum jatuh terduduk. Tapi kesempatan jalanpun nyaris tidak ada di dalam kandang yang sempit itu. Saat panen ayam tiba mereka akan diambil dan dilemparkan seenaknya ke dalam kotak-kotak pengangkut. Kalau saya jadi salah satu ayam itu, mungkin saya akan berteriak-teriak apa salah dan dosaku, sejak lahir sampai mati kok sengsara banget. Mungkin saya akan mogok makan dan setelah BB saya turun, akan kabur dari kandang ke alam liar (Ok, fantasi liar, efek kebanyakan nonton film animasi kayaknya). Saya tidak ingat bagaimana cara mereka dijagal, untuk penjagalan yang saya ingat dari film itu adalah penjagalan babi.
Babi dibantai dengan cara dimasukan kedalam ruangan sempit terus diberi gas beracun, setelah beberapa saat terus masuk ke area pencincangan. Perlakukan kandang sama dengan perlakukan terhadap ayam, overcrowded. Saya lupa apakah babi juga disuntik hormon atau antibiotik, maklum deh saya tidak begitu simpati dengan babi.
Perlakuan terhadap sapi lain lagi, selain kandang yang overcrowded, sapi hanya diberi pakan jagung (jadi sapinya tidak pernah merasakan enaknya rumput segar atau berlari-lari kecil menikmati angin di padang rumput diiringi Cowboy yang memainkan gitar atau harmonika — kekeke… ok, meracau lagi saya). Karena selalu berada didalam kandang sapi jadi berkubang kotorannya sendiri sampai batas lutut, dan seperti juga ayam, mereka sering jatuh terduduk karena tidak bisa menopang berat badannya. Walaupun tidak sakit sapi mendapat jatah antibiotika secara rutin, yang membuat bakteri E. Coli didalam lambungnyanya bermutasi menjadi strain berbahaya yang resisten terhadap antibiotika. Untuk mengurangi polusi lingkungan dan menghemat pupuk, kotoran ternak terutama sapi dan babi ditaburkan di ladang lettuce dan kentang. Ga perlu heran kalau sering terjadi outbreak E. Coli yang fatal di negara maju ini.
Setelah panen daging akan didistribusikan ke restoran mereka yang berjibun dimana-mana dengan harga makanan jauh lebih murah dan keuntungan yang sangat besar untuk konglomerasi itu serta penanam modal, tapi tidak untuk peternaknya. Peternak yang tinggi ambisinya untuk sukses sering masuk ke lingkaran hutang kredit yang membuat mereka tidak punya posisi tawar terhadap konglomerasi.
Kelebihan panenan daging yang tidak terserap oleh restoran siap saji akan dilemparkan ke supermarket dan dijual dengan harga rendah pula. Walaupun banyak protes dari masyarakat yang mendapat kerugian dari sistem ini, terutama yang fatal, tidak mendapat support dari anggota congress atau lembaga pemerintahannya. Iya di negara adidaya ini, konglomerasi tetap mampu melakukan lobby tingkat tinggi untuk mempertahankan industri mereka.
Whoah saya sampai tercengang habis nonton film documenter ini. Ternyata politisasi dibalik restoran siap saji yang membuka franchise dimana-mana ini sangat rumit dan tidak mudah untuk ditaklukan. Ga heran saat mereka membuka cabang di Indonesia, juga lebih powerful. BTW, saya kok jadi sangsi sekarang dengan kehalalan daging (baca= penjagalan sapi dan ayam) untuk restoran siap saji di Indonesia. Bukan tidak mungkin dagingnya juga bagian dari panenan daging di negeri ini dan bukan daging lokal. Whoa … sepertinya saat balik ke Indonesia saya mungkin tidak akan pernah lagi makan di restoran burger siap saji, ga peduli apa merk restorannya. (haha: jadi ekstrim!).
Disini juga banyak yang akhirnya menjadi vegetarian bukan karena alasan agama, tapi karena tidak tega untuk makan daging dari hewan yang diperlakukan tidak layak ini. Memang sih tidak adil untuk sebagian besar peternak. Saya rasa faktor serakah untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya menjadi penyebab dari tidak sehatnya makanan yang seharusnya sehat.
Untuk mengcounter konglomerasi ternak ini, beberapa peternak kembali ke alam. Mereka bukan sekedar petani tapi juga aktivis untuk makanan sehat. Para petani independen ini hanya membutuhkan lahan untuk berternak, memang keuntungan yang mereka dapatkan tidak banyak, cukup itu kaya adalah prinsip peternak independen.
Sapi, ayam atau babi dipelihara di alam, dengan kandang yang layak. Sapi dilepaskan dipadang rumput dan tidak diberi pakan jagung. Mereka dijagal penuh perikehewanan, alias melalui penggorokan di leher bukan di gas atau cara-cara lain yang lebih biadab.
Peternak independen ini tidak melempar produknya ke supermarket, mereka hanya menjualnya di farmers market lokal. Harga produk mereka juga lebih mahal dari harga rata-rata (walaupun keuntungnya jauh lebih kecil) tapi terjamin sehat. Dan para peternak itu juga memutuskan tidak akan menambah kuota produknya dari yang seharusnya. Para peternak independen ini hidup dengan tentram, ga dikejar-kejar hutang maupun hati nurani.
Selesai menonton film ini saya merasa mendapat masukan dan menyadari betapa kejamnya sistem konglomerasi. Terus terang saya tidak tahu apa yang bisa saya sumbangkan untuk memperbaiki kecuali harus mengubah diri menjadi vegan dan mensupport petani/peternak lokal dengan belanja di farmers market, membeli makanan yang sedang musim saja, tidak membeli makanan import.
Yeah … banyak hal yang tidak kepikiran jadi kepikiran setelah mendapat kesempatan belajar di negri orang ini, hal yang amat sangat saya syukuri setiap harinya.
http://misscomplaint.wordpress.com