Home / Agama / Kajian / Konsep Mi’raj Hati; Pelajaran Jelang Lailatul Qadar, Mawas Diri Menggapai Cinta Ilahi

Konsep Mi’raj Hati; Pelajaran Jelang Lailatul Qadar, Mawas Diri Menggapai Cinta Ilahi

Oleh: H. Derajat

Bismillaahirrahmaanirrahiim
Allaahumma shalli ‘alaa sayyidinaa Muhammad wa ‘alaa aali sayyidinaa Muhammad

Saudaraku yang dimuliakan Allah, berikut ingin kusampaikan sebuah jalan menuju Hadirat Ilahi (Mi’rajnya hati) yang pernah dialami oleh Mursyid kami Syeikh Abu Yazid al-Bisthami. Tentunya dalam penyampaian ini saya berharap engkau telah mempunyai seorang Guru Pembimbing ruhani yang telah pula sampai ke Maqamat itu, yang memiliki sanad silsilah keilmuan hingga ke Rasulullah tanpa hal itu tentunya pelajaran berikut dikhawatirkan membawamu ke pengetahuan yang tidak baik akibat prasangka buruk kepada kaum Sufi.

Dalam acara Perayaan Isra Mi’raj di Pasulukan Loka Gandasasmita tahun 2020 ini, aku telah menerima pelajaran dari Mursyidku: “Anakku, Isra kan pikiran, perjalankan ia dari kebersihan akal menuju kepada kesucian akal. Setelah itu Mi’raj kan hatimu menuju kepada Kerajaan Allah yang bahkan Jibril pun tak mampu menapakinya. Larutkan jiwamu dalam AL KALAM temuilah Sang Mutakalliman sehingga dalam kehidupan sehari-harimu engkau hanya akan mendengar suara Tuhanmu”. Demikianlah Mursyidku mengajarkanku langsung pada saat itu. Semoga kalianpun akan menerima pelajaran langsung dari Mursyid pendahulu kami wahai murid !!!

Dikarenakan sangat sakralnya pelajaran dari Mursyid kami ini, maka izinkan aku untuk memulainya dengan do’a Rasulullah SAW:

Beliau berdoa:

اَللّٰهُمّ اجْعَلْ فِي قَلْبِي نُورًا وَفِي لِسَانِي نُورًا وَاجْعَلْ فِي سَمْعِي نُورًا وَاجْعَلْ فِي بَصَرِي نُورًا وَاجْعَلْ مِنْ خَلْفِي نُورًا وَمِنْ أَمَامِي نُورًا وَاجْعَلْ مِنْ فَوْقِي نُورًا وَمِنْ تَحْتِي نُورًا اَللّٰهُمّ أَعْطِنِي نُورًا

Allaahummaj’al fii qalbii nuuran wa fii lisaanii nuuran waj’al fii sam’ii nuuran, waj’al fii basharii nuuran, waj’al min khalfii nuuran, wa min amaamii nuuran, waj’al min fauqii nuuran, wa min tahtii nuuran, allaahumma a’thinii nuuran

“Ya Allah, jadikanlah di dalam hatiku cahaya dan di dalam lisanku (juga) cahaya. Jadikanlah di dalam pendengaranku cahaya dan di dalam penglihatanku (juga) cahaya. Jadikanlah dari belakangku cahaya dan dari depanku (juga) cahaya. Jadikanlan dari atasku cahaya dan dari bawahku (juga) cahaya. Ya Allah, berilah aku cahaya.” (HR Bukhari Muslim).

Memaknai “memi’rajkan hati” tentulah tidak mudah apalagi cuma mengandalkan pencarian melalui diri kita sendiri tanpa adanya seorang Mursyid. Sekali lagi aku tekankan kepadamu wahai sahabat, tanpa seorang Guru Mursyid mustahillah kita akan sampai kepada maqamat Ilahiyyah, karena bagaimana mungkin kita sampai dan memahami setiap maqamat bathin selain kepada Guru yang telah mengalaminya. Yakinlah, tiap maqamat tidak mungkin bisa dipelajari dari buku ataupun google, karena yang mengetahui maqamat murid hanyalah Gurunya sendiri dengan cakupan ilmu yang telah didapatkan dari Guru pendahulunya.

Inilah risalah Syeikh Yazid al-Bisthami yang setiap katanya harus direnungkan dan merupakan pedoman langkah yang harus dilalui untuk mencapai Ma’rifatullah (mengenal Allah dengan sesungguhnya).

Syeikh Yazid al-Bisthami pernah mengisahkan tentang Mi’rajnya sebagai berikut:

Aku memandang Allah dengan mata keyakinan setelah Dia mengangkatku ke derajat kemerdekaan dari semua makhluk dan Dia memberikan pencerahan kepadaku dengan cahaya-Nya, menyingkapkan rahasia-rahasia-Nya yang menakjubkan dan memanifestasikan kebesaran ke-Dia-an-Nya. Aku memandang diriku sendiri, dan merenungkan dalam-dalam rahasia-rahasia dan sifat-sifatku. Cahayaku adalah kegelapan di sisi cahaya-Nya. Kebesaranku menyusut menjadi keburukan di sisi kebesaran-Nya. Kemuliaanku hanyalah kesombongan di sisi kemuliaan-Nya. Milik-Nya lah segala kesucian, dan milikku lah segala kekotoran.

Saat aku memandang lagi, aku melihat keberadaanku berasal dari cahaya-Nya. Aku sadar bahwa kebesaran dan kemuliaanku berasal dari kebesaran dan kemuliaan-Nya. Apa saja yang aku lakukan, aku lakukan dengan kemampuan yang berasal dari kemahakuasaan-Nya. Apapun yang dilihat oleh mata tubuh fisikku, dilihat melalui-Nya. Aku memandang dengan mata keadilan dan realitas. Semua ibadahku merupakan karunia-Nya, bukan dariku, namun aku menyangka bahwa akulah yang menyembah-Nya.

Aku merenung, “ Ya Allah, apa ini?”

Dia berkata, “Aku, dan bukan selain-Ku.”

Lalu Dia menjahit mataku, agar tidak menjadi alat untuk melihat, agar aku tidak melihat. Kemudian Dia mengajarkan pokok permasalahan, yakni ke-Dia-an-Nya pada pandangan mataku. Dia mencerabut aku dari keberadaanku, dan membuatku abadi melalui keabadian-Nya. Dia menyingkapkan ke-Esa-an-Nya, tak terdesak oleh keberadaanku.

Di sana aku terdiam sejenak, aku menemukan ketenangan. Aku menutup telinga penentangan, aku menarik lidah hasrat ke dalam tenggorok kekecewaan. Aku mengabaikan pengetahuan yang dipelajari, dan mengenyahkan campur tangan jiwa yang mengajak kepada keburukan. Aku tetap diam sejenak, tanpa alat dan perantara apapun, dan dengan tangan kesucian-Nya aku menyapu bid’ah dari jalan-jalan akar prinsip-prinsip.

Allah mengasihiku, Dia menganugerahiku pengetahuan hakiki, dan memasang lidah kebaikan-Nya kedalam tenggorokanku. Dia menciptakan mataku dari cahaya-Nya, maka aku melihat semua makhluk melalui-Nya. Dengan lidah kebaikan-Nya aku berkomunikasi dengan-Nya, dari pengetahuan-Nya aku memperoleh pengetahuan, dan dengan cahaya-Nya aku memandang-Nya.

Dia berkata, “Wahai engkau yang semua tanpa semua maupun dengan semua, tanpa kelengkapan maupun dengan kelengkapan!”

Aku berkata, “Ya Allah, jangan biarkan aku terpedaya oleh hal ini, jangan biarkan aku berpuas diri dengan keberadaanku, tidak merindukan-Mu. Lebih baik Engkau menjadi milikku tanpaku, daripada aku menjadi milikku sendiri tanpa-Mu. Lebih baik aku berbicara pada-Mu melalui-Mu, daripada aku berbicara pada diriku sendiri tanpa-Mu.”

Aku berkata, “Aku telah menyatakan keimananku dan hatiku percaya dengan teguh. “Dia memberi pencerahan padaku, dan menghantarkanku keluar dari kegelapan jiwa jasmani dan pelanggaran-pelanggaran watak badaniah. Aku sadar bahwa melalui-Nya lah aku hidup, dan karena karunia-Nya lah aku dapat menghamparkan permadani kebahagiaan dalam hatiku.

Aku mengatakan, “Aku menginginkan-Mu, karena Engkau lebih baik daripada karunia, lebih besar daripada kedermawanan, dan melalui-Mu aku telah menemukan kepuasan dalam diri-Mu. karena Engkau milikku, aku telah menggulung lembaran karunia dan kedermawanan. Jangan cegah aku dari-Mu, dan jangan tawarkan aku apa yang rendah di hadapan-Mu.”

Melihat kelemahan dan kebodohanku, Dia memperkuatku dengan kekuatan-Nya dan menghiasiku dengan perhiasan-Nya.

Dia menyematkan mahkota kemurahan hati di kepalaku, dan membukakan pintu istana ke-Esa-an bagiku. Ketika Dia melihat bahwa sifat-sifatku menjadi hampa di hadapan-Nya, Dia menganugerahiku sebuah nama dari kehadiran-Nya, dan memanggilku dengan ke-Esa-an-Nya.

Lalu Dia membuatku merasakan tikaman kecemburuan dan membangkitkanku lagi. Aku bangkit dalam kesucian dari tungku ujian. Dia berkehendak untuk menunjukkan bahwa bila tanpa kasih sayang-Nya, semua makhluk ini tidak akan pernah menemukan ketenangan, dan bahwa bila tidak karena cinta-Nya, niscaya kemahakuasaan-Nya dapat menimbulkan kerusakan pada segala hal.

Aku mencari dalam padang belantara yang luas, tak ada permainan yang aku lihat yang lebih baik daripada kefakiran yang amat sangat, tak ada sesuatu yang aku ketahui yang lebih baik daripada ketidakmampuan absolut. Tak ada lampu yang aku lihat lebih terang daripada diam, dan tak ada kata-kata yang aku dengar yang lebih baik daripada kebungkaman. Aku menjadi penghuni istana kesunyian, aku mengenakan pakaian ketabahan, hingga segala persoalan mencapai inti mereka.

Dia membuka celah kelegaan dalam dadaku yang kelam, dan memberiku lidah kebebasan dan penyatuan. Maka kini aku memiliki lidah, hati dan mata karya Ilahi. Dengan pertolongan-Nya aku bicara, dengan kekuatan-Nya aku menggenggam.

Lidahku adalah lidah penyatuan, jiwaku adalah jiwa pembebasan. Bukanlah dariku aku bicara, aku hanya penyampai belaka, juga bukan melaluiku aku bicara, aku hanya pengingat belaka. Dia menggerakkan lidahku sesuai dengan kehendak-Nya. Aku tiada lain hanya penerjemah belaka. Kenyataannya, Dialah yang berbicara, bukan aku.

“Aku tidak ingin melihat makhluk-Mu, namun jika Engkau berkehendak untuk menghadirkanku dihadapan para makhluk-Mu, aku tidak akan menentang-Mu, letakkan aku dalam ke-Esa-an-Mu, sehingga ketika makhluk-makhluk-Mu melihatku dan memandang karya-Mu, mereka akan melihat yang mencipta, dan aku tidak berada disana sama sekali”

Dia mengabulkan permohonanku, dan menyemaikan mahkota kemurahan hati di kepalaku, dan membuatku melampaui maqam watak badaniahku.

Ia juga mengisahkan: ketika aku mencapai penyatuan, dan itulah saat pertama kali aku merasakan yang Esa, selama bertahun-tahun aku berlari dalam lembah itu dengan kaki pemahaman, hingga aku menjadi seekor burung yang tubuhnya adalah ketunggalan, yang sayapnya adalah keabadian, aku terus terbang ke cakrawala ke-tanpasyarat-an. Saat aku telah lenyap dari segala yang diciptakan.

“Ya Allah, apapun yang telah aku lihat, segalanya aku. Tiada jalan bagiku menuju-Mu, selama masih ada “aku” yang tersisa, tak ada pelampauan kedirianku bagiku. Apa yang harus aku lakukan?”

“Untuk menghilangkan ke-Aku-anmu, ikutilah kekasih-Ku, Muhammad saw, urapi matamu dengan debu kakinya, dan teruslah mengikutinya.”

Pasulukan Loka Gandasasmita

 

About admin

Check Also

Penyandang Gelar Kebesaran Islam (Bagian 2)

“Gelar kebesaran dalam Islam (Ulama, Imam, Syekh, Kiai dan Ustadz) seringkali diklaim sendiri oleh seseorang ...