Home / Agama / KONSEP-KONSEP TEOLOGIS

KONSEP-KONSEP TEOLOGIS

KONSEP-KONSEP TEOLOGISoleh Djohan Effendi

Perkataan teologi tidak  berasal  dari  khazanah  dan  tradisi agama  Islam.  Ia  istilah yang diambil dari agama lain, yaitu dari khazanah dan tradisi Gereja Kristiani. Hal  ini  tidaklah dimaksudkan  untuk  menolak  pemakaian kata teologi itu. Sebab pemungutan suatu istilah dari khazanah dan tradisi agama  lain tidaklah harus dipandang sebagai sesuatu yang negatif, apalagi jika istilah tersebut bisa memperkaya  khazanah  dan  membantu mensistematisasikan pemahaman kita tentang Islam.

Kata  teologi  sebagaimana  dijelaskan  dalam Encyclopaedia of Religion and Religions berarti “ilmu yang membicarakan tentang Tuhan  dan  hubungan-Nya dengan alam semesta, namun seringkali diperluas mencakup keseluruhan bidang agama.” Dalam pengertian ini  agaknya  perkataan  teologi lebih tepat dipadankan dengan istilah fiqih, dan bukan hanya dengan  ilmu  kalam  atau  ilmu tauhid.  Istilah  fiqih  di  sini bukan dimaksudkan ilmu fiqih sebagaimana kita pahami selama ini,  melainkan  istilah  fiqih seperti  yang  pernah digunakan sebelum ilmu fiqih lahir. Imam Abu Hanifah, Bapak ilmu fiqih, menulis buku al-fiqh-u ‘l-akbar yang  isinya  bukan  tentang  ilmu  fiqih, tapi justru tentang aqidah yang menjadi obyek  bahasan  ilmu  kalam  atau  tauhid.

Boleh  jadi,  ilmu  fiqih seperti yang berkembang sekarang ini dalam kerangka pemikiran Imam  Abu  Hanifah  adalah  al-fiqh-u ‘l-ashghar.  Sebab,  keduanya baik ilmu kalam atau ilmu tauhid maupun ilmu fiqih pada dasarnya adalah  fiqih  atau  pemahaman yang  tersistematisasikan.  Yang  pertama,  menyangkut  bidang ushuliyah (tentang yang prinsip atau  yang  pokok),  sedangkan yang  kedua  meyangkut  bidang furu’iyah (detail atau cabang).

Akan tetapi perjalanan  sejarah  dan  tradisi  keilmuan  Islam telah  menyingkirkan pengertian fiqih sebagaimana dipergunakan Imam Abu Hanifah. Dengan menyinggung masalah ini, hanya  ingin dikatakan  bahwa  pemakaian  istilah  teologi mempunyai alasan cukup kuat, sebab ia membantu kita memahami Islam secara lebih utuh dan lebih terpadu.

Pijakan  tulisan  ini  tentang  teologi  al-Qur’an. Kita tentu sepakat bahwa ide sentral dalam teologi al-Qur’an  adalah  ide tauhid.   Pertanyaan  yang  perlu  kita  munculkan,  bagaimana

sebaiknya kita memahami dan kemudian menghayati ide tauhid itu dalam  kehidupan  kita  sebagai  muslim? Dalam pengalaman kita –sekurang-kurangnya sebagian dari kita– mengenal atau pernah diberi pelajaran ilmu tauhid. Biasanya, dalam mempelajari ilmu tersebut, pertama-tama  kita  diperkenalkan  dengan  apa  yang disebut  sebagai  “hukum  akal.”  Hal ini bisa kita baca dalam buku-buku ilmu tauhid, dari  yang  sangat  tradisional  hingga yang   termasuk  modern  seperti  buku  Risalah  Tawhid  karya Muhammad  Abduh,  misalnya.  Melalui  kategori-kategori   yang dirumuskan  sebagai hukum akal itu, yakni: wajib, mustahil dan harus, kita  diajak  memahami  tentang  konsep  ketuhanan  dan kenabian.  Maka  kita  pun  mengetahui  sifat-sifat  Tuhan dan Nabi-nabi, baik yang dikategorikan  sebagai  sifat-sifat  yang wajib,  sifat-sifat  yang  mustahil  maupun  sifat-sifat  yang harus.  Masalah-masalah  lain  seperti   kepercayaan   tentang malaikat,  kitab-kitab  wahyu,  hari  akhirat maupun qadla dan qadar,  adalah  kelanjutan  atau  pelengkap  dari  kepercayaan terhadap  Tuhan  dan Kenabian tersebut. Pembahasan tentang dan di sekitar hal-hal inilah yang selama ini disebut sebagai ilmu tauhid.

Jelas  sekali  pembahasan tentang teologi sebagaimana terdapat dalam   ilmu   tauhid   sangat   intelektualistik    sifatnya. Lebih-lebih  kalau  kita memasuki pembahasan yang lebih rumit, terutama ketika membicarakan sifat-sifat  Tuhan,  yang  selama ini  dikenal  sebagai  “sifat dua puluh.” Dalam membahas sifat dua puluh itu, muncul berbagai konsep seperti sifat  nafsiyah, Salbiyah,   ma’ani  dan  sifat  ma’nawiyah.  Juga  dikemukakan pembahasan tentang  kaitan  atau  ta’alluq  sifat-sifat  Tuhan dengan  alam ini, dan muncullah konsep-konsep tentang ta’alluq ma’iyah, ta’alluq  ta’tsir,  ta’alluq  hukmiyah,  ta’alluq  bi ‘l-quwwah,  ta’alluq  shuluhi  qadim,  ta’allaq tanjizi qadim, ta’alluq tanjizi hadits.  Kebanyakan  dari  kita  tentu  tidak akrab dengan istilah-istilah atau konsep -konsep tersebut.

Dengan  mengemukakan  hal itu ingin diturunkkan betapa jauhnya teologi yang dibahas dalam buku-buku ilmu tauhid dengan  dunia praktis,  dengan problematika kemanusiaan. Teologi semacam itu adalah teologi yang steril  dan  mandul.  Ia  tidak  mempunyai relevansi  dengan realitas kehidupan kita. Teologi semacam itu tidaklah  membuahkan  elan  vital  (gairah  hidup).  Ia  tidak melahirkan   innerforce   (kekuatan   batin),   moral   maupun

spiritual,  yang  membuat  kita  bergairah  dalam  aksi  untuk membebaskan  diri kita dan masyarakat sekitar kita dari segala bentuk kemusyrikan.

BENTUK-BENTUK KEMUSYRIKAN

Dalam memahami ide tauhid,  ada  baiknya  bila  kita  memahami apa-apa  yang  oleh  al-Qur’an  dianggap  sebagai  syirik atau kemusyrikan.  Al-Qur’an  mengemukakan  dua  ciri  utama   dari kemusyrikan, yakni, pertama, menganggap Tuhan mempunyai syarik atau sekutu, dan kedua, menganggap Tuhan mempunyai andad  atau saingan.  Kedua  ciri  utama  itu  wujud dalam berbagai bentuk manifestasi.

Kalau kita mendengar perkataan syirik  atau  kemusyrikan  yang segera  terbayang  dalam angan-angan kita biasanya penyembahan berhala, seperti dilakukan para penganut agama-agama  “pagan.” Dan  memang  al-Qur’an  sendiri  menyinggung  bahkan  mengecam orang-orang  yang  menjadikan  berhala   sebagai   ilah   atau sesembahan  (QS. 6:74; 7:138; 21:52). Selain berhala al-Qur’an juga mengemukakan  hal-hal  lain  yang  bisa  dijadikan  obyek sesembahan  selain  Tuhan,  misalnya  penyembahan  benda-benda langit seperti matahari, bulan dan bintang  (QS.  41:37)  atau benda-benda  mati  lainnya (QS. 4:117). Juga disinggung adanya penyembahan  makhluk  halus  seperti  jin  (QS.  6:101)   atau tokoh-tokoh    yang   dipertuhan   atau   dianggap   mempunyai unsur-unsur ketuhanan  (QS.  4:171;  5:116;  6:102;  19:82-92; 16:57; 17:40 dan 37:49).

Berkenaan  dengan penyembahan berhala, benda-benda langit atau benda-benda mati lainnya, atau penyembahan makhluk halus  atau manusia  yang  dipertuhan, kiranya dari segi keberagamaan kita sebagai  muslim,  bukanlah  persoalan  yang  masih  memerlukan perhatian lebih banyak. Masalahnya sangat jelas dan karena itu menghindarinya  pun  sangat   mudah.   Akan   tetapi   masalah kemusyrikan  tidak  berhenti  sampai  di  situ saja. Al-Qur’an masih mengemukakan hal-hal lain yang berkaitan dengan  masalah kemusyrikan,  yang  lebih  halus  sifatnya, terutama berkaitan dengan ciri kemusyrikan yang  menempatkan  adanya  andad  atau saingan   terhadap   Tuhan,  bukan  dalam  bentuk  penyembahan melainkan dalam bentuk kecintaan (QS. 2:165).  Dalam  kategori ini bisa dimasukkan juga sikap ketaatan yang sama sekali tanpa reserve  terhadap  ulama  (QS.  9:31)  atau  sikap   fanatisme golongan,  aliran  atau  juga organisasi yang berlebih-lebihan (QS. 23:52-53; 30:31-32).

Hal-hal lain yang  oleh  al-Qur’an  dijadikan  contoh  sebagai saingan  Tuhan  dalam  kaitannya  dengan kecintaan kita adalah keluarga  dan  kerabat  dekat  kita,  kekayaan,   usaha   atau bussiness  kita, dan rumah-rumah mewah kita (QS. 9:24). Selain itu masih ada satu hal lagi  yang  oleh  al-Qur’an  disebutkan sebagai “sesuatu yang bisa menjadi ilah atau sesembahan kita,” yaitu hawa nafsu kita sendiri (QS.25:43).

Berbagai bentuk manifestasi kemusyrikan tersebut,  sebagaimana dikemakakan  al-Qur’an,  menunjukkan bahwa masalah kemusyrikan bukanlah sesuatu yang sederhana, karena itu usaha kita menjadi orang yang benar-benar bertauhid bukanlah masalah yang mudah.

KESERAKAHAN DAN KETIDAKPEDULIAN SOSIAL

Berangkat  dari  berbagai  bentuk manifestasi kemusyrikan yang disebutkan al-Qur’an di atas, kita bisa sampai pada kesimpulan bahwa  teologi  al-Qur’an  tidak  sekedar  terbatas pada aspek kepercayaan saja. Ia sangat terkait dengan hal-hal yang sangat praktis. Kebertauhidan tidak hanya menyangkut kepercayaan kita terhadap Tuhan Yang Maha Esa tetapi juga menyangkut  pandangan dan  sikap  kita terhadap manusia, benda dan lembaga. Hubungan manusia dengan benda, baik pandangan maupun sikapnya, mendapat sorotan yang sangat tajam dalam al-Qur’an. Khususnya berkaitan dengan kekayaan. Hal ini menarik dan perlu untuk dikaji  lebih jauh.

Suatu  hal  yang  sangat  menggoda  untuk  direnungkan adalah, justru pada surat-surat  atau  ayat-ayat  yang  diwahyukan  di masa-masa  permulaan  kenabian  Muhammad  saw  tidak  terdapat kecaman terhadap penyembahan berhala. Yang ada  malah  kecaman terhadap   keserakahan   dan   ketidakpedulian  sosial.  Untuk memperjelas hal ini ada baiknya bila lebih dahulu  dikemukakan tentang periodisasi turunnya al-Qur’an.

Seperti  kita ketahui masa turunnya al-Qur’an dibagi dalam dua periode:  periode  Mekkah  (610-622  M.)  dan  periode  Madinah (622-632  M.).  Periode  Mekkah sendiri juga dibagi dalam tiga tahap,  tahap  Mekkah  awal   (610-615   M.),   tahap   Mekkah pertengahan (616-617) dan tahap Mekkah akhir (618-622 M.).

Pada   masa   periode  Mekkah  awal  terdapat  48  surah  yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad saw. Di sini hanya diambil  12 surah  paling  awal saja, yakni: (1) Surah al-‘Alaq, (2) Surah al-Mudatstsir, (3) Surah al-Lahab, (4) Surah  al-Quraysy,  (5) Surah  al-Kawtsar,  (6)  Surah al-Humazah, (7) Surah al-Ma’un, (8) Surah al-Takatsur, (9) Surah al-Fil, (10) Surah  al-Layli, (11) Surah al-Balad, dan (12) Surah al-Insyirah. Sengaja hanya diambil 12 surah di atas, sebab surah yang ke-13 adalah  Surah al-Dhuha.   Beberapa   mufassir   menceriterakan  bahwa  Surah al-Dhuha turun sesudah Nabi mengalami masa jeda di mana  wahyu terhenti  beberapa  lama. Karena itu ke-12 surah di atas turun atau diwahyukan kepada Nabi pada masa-masa  sangat  awal  dari kenabian, atau dari sejarah Islam.

Ke-12  surah  tersebut  sama  sekali tidak menyinggung masalah penyembahan  berhala.   Enam   surah   di   antaranya   justru menyinggung   masalah   keserakahan   terhadap   kekayaan  dan ketidakpedulian terhadap  orang-orang  yang  menderita.  Dalam Surah al-Lahab, yang turun dalam urutan ke-3, disinggung bahwa harta kekayaan dan usaha  seseorang  sama  sekali  tidak  akan menyelamatkannya dari hukuman di Hari Akhirat.

Tidak berguna baginya kekayaannya, dan apa yang dikerjakannya! Akan dibakar ia dalam api menyala Surah al-Humazah, yang turun dalam urutan ke-6,  dengan  keras mengingatkan akan nasib celaka bagi mereka yang dengan serakah menumpuk-numpuk kekayaan dan menganggap kekayaannya  itu  bisa mengabadikannya.

Celaka amat si pengumpat si pemfitnah. Yang menumpuk-numpuk harta kekayaan dan menghitung-hitungnya. Ia  menyangka  harta kekayaannya bisa mengekalkannya.

Dalam surah yang turun berikutnya, Surah al-Ma’un, orang-orang yang  tidak  mempedulikan  penderitaan  anak-anak  yatim   dan orang-orang  miskin  dikualifikasikan sebagai orang-orang yang membohongkan agama.

Tahukah engkau orang yang membohongkan agama Itulah  dia  yang mengusir  anak  yatim.  Dan  tidak  menganjurkan memberi makan orang-orang miskin.

Surah  berikutnya  yang  turun  dalam   urutan   ke-8,   Surah al-Takatsur,  memberikan peringatan keras terhadap orang-orang yang asyik berlomba-lomba dalam kemewahan dan kekayaan.

Kalian menjadi lalai karena perlombaan mencari  kemegahan  dan kekayaan. Hingga kalian masuk ke pekuburan.

Dalam  Surah  al-Layli  yang  diwahyukan  dalam  urutan  ke-10 diberikan kabar baik terhadap mereka  yang  suka  memberi  dan sebaliknya kabar buruk bagi mereka yang kikir dan bakhil.

Maka  siapa  yang  suka  memberi dan bertaqwa. Dan membenarkan nilai kebaikan Kami akan memudahkan baginya jalan kebahagiaan. Dan   siapa   yang   kikir  dan  menyombongkan  kekayaan.  Dan mendustakan nilai kebaikan Kami akan  mudahkan  baginya  jalan kesengsaraan.  Dan tiada berguna baginya kekayaannya ketika ia binasa.

Yang terakhir Surah  al-Balad yang diwahyukan dalam urutan ke-11, menyinggung keengganan manusia  memberikan bantuan kepada sesamanya   yang hidup  dalam  penderitaan dan kesengsaraan.

Dan  Kami tunjuki ia dua jalan. Tapi tak mau ia menempuh jalan mendaki. Tahukah engkau jalan mendaki itu. Memerdekakan  budak sahaya.  Atau  memberi  makanan  di  masa kelaparan. Pada anak yatim yang  punya  tali  kekerabatan.  Atau  orang  papa  yang terlunta-lunta.

Pesan-pesan  al-Qur’an di atas, yang diwahyukan justru di masa yang sangat awal dari kenabian, sangat jelas dan sama sekali tidak  memerlukan penafsiran. Ia memperlihatkan betapa, dalam al-Qur’an masalah kekayaan,  keserakahan  dan  ketidakpedulian sosial mempunyai perspektif teologis. Ia tidak sekedar masalah etik dan moral. Ia langsung menyangkut kebertauhidan kita.

REFORMASI SOSIAL

Kalau kita renungkan mengapa masalah kekayaan, keserakahan dan ketidakpedulian  sosial  mendapat sorotan tajam pada masa yang sangat awal dari kenabian Muhammad, mungkin kita bisa  menarik kesimpulan  bahwa  Risalah Nabi kita terutama untuk mengadakan reformasi sosial. Hal ini bisa kita kaitkan  dengan  penegasan al-Qur’an  yang  mengatakan  bahwa Muhammmad diutus tidak lain kecuali dalam rangka membawa rahmat  bagi  seluruh  alam  (QS. 21:107).  Dengan  perkataan lain, misi utama Nabi Muhammad saw adalah  membantu  manusia  mewujudkan  tata   kehidupan   yang disemangati nilai-nilai rahmah.

Anjuran Nabi agar kita selalu memulai kegiatan dan kerja kita dengan  ucapan  “Bismillahirrahmanirrahim”  (bism-i   ‘l-Lah-i ‘l-rahman-i  ‘l-rahim),  memberikan  suatu isyarat kepada kita agar kita menjadikan diri kita  sebagai  perwujudan   dari nilai-nilai  rahmah  itu  bagi  sesama  makhluk  Tuhan. Dengan perkataan lain apapun profesi  kita,  motivasi dan  orientasi kita tidak  boleh bergeser dari ide untuk menciptakan –atau setidak-tidaknya  menjadi bagian dari proses menciptakan– suatu tata kehidupan yang dilandasi nilai-nilai rahmah itu.

Pertanyaan yang mungkin timbul, bagaimana kaitan antara sorotan tajam terhadap kekayaan, keserakahan  dan ketidakpedulian sosial dengan  cita-cita tentang reformasi

sosial yang dilandasi semangat mewujudkan kehidupan yang penuh rahmah tu?  Kaitannya sangat  elas,  bahwa keserakahan dan ketidakpedulian sosial adalah yang menimbulkan suatu kehidupan yang tidak   disemangati nilai-nilai rahmah. Karena  itu reformasi  sosial mestilah ditandai, pertama-tama  oleh distribusi  kekayaan  yang adil.  Itulah prioritas utama yang digumuli Nabi dalam usaha mewujudkan reformasi sosial.

About admin

Check Also

Kisah Sayyidah Aminah Saat Mengandung Rasulullah SAW

“Bertebaran petunjuk dan cahaya, betapa haru biru perasaan Sayyidah Aminah saat mengandung bayi Nabi Suci ...