Home / Agama / KONSEP-KONSEP KEADILAN

KONSEP-KONSEP KEADILAN

KONSEP-KONSEP KEADILANoleh Abdurrahman Wahid

 Tidak dapat dipungkiri, al-Qur’an meningkatkan  sisi  keadilan dalam   kehidupan   manusia,   baik   secara  kolektif  maupun individual.  Karenanya,  dengan  mudah  kita  lalu  dihinggapi semacam  rasa  cepat  puas diri sebagai pribadi-pribadi Muslim dengan  temuan  yang  mudah  diperoleh  secara  gamblang  itu.

 Sebagai  hasil  lanjutan  dari rasa puas diri itu, lalu muncul idealisme atas al-Qur’an sebagai sumber pemikiran paling  baik tentang  keadilan.  Kebetulan  persepsi  semacam  itu  sejalan

dengan doktrin keimanan Islam sendiri  tentang  Allah  sebagai Tuhan  Yang  Maha  Adil.  Bukankah  kalau Allah sebagai sumber keadilan itu sendiri, lalu sudah  sepantasnya  al-Qur’an  yang menjadi   firmanNya   (kalamu   ‘l-Lah)  juga  menjadi  sumber pemikiran tentang keadilan?

Cara berfikir  induktif  seperti  itu  memang  memuaskan  bagi mereka  yang  biasa  berpikir sederhana tentang kehidupan, dan cenderung menilai refleksi filosofis yang sangat kompleks  dan rumit.  Mengapakah  kita  harus  sulit-sulit mencari pemikiran dengan kompleksitas sangat tinggi tentang  keadilan?  Bukankah lebih  baik  apa  yang  ada  itu  saja segera diwujudkan dalam kenyataan hidup kaum Muslimin secara tuntas? Bukankah refleksi yang  lebih  jauh  hanya  akan  menimbulkan  kesulitan belaka?

“Kecenderungan praktis” tersebut,  memang  sudah  kuat  terasa dalam  wawasan  teologis  kaum skolastik (mutakallimin) Muslim sejak delapan abad terakhir ini.

Argumentasi seperti itu memang tampak menarik  sepintas  lalu. Dalam  kecenderungan  segera  melihat  hasil penerapan wawasan Islam tentang keadilan dalam hidup nyata. Apalagi  dewasa  ini justru    bangsa-bangsa    Muslim   sedang   dilanda   masalah ketidakadilan  dalam  ukuran  sangat  massif.  Demikian  juga, persaingan  ketat  antara  Islam  sebagai sebuah paham tentang kehidupan, terlepas  dari  hakikatnya  sebagai  ideologi  atau bukan,  dan  paham-paham  besar  lain  di  dunia ini, terutama ideologi-ideologi   besar   seperti   Sosialisme,   Komunisme, Nasionalisme  dan Liberalisme. Namun, sebenarnya kecenderungan serba praktis seperti itu adalah sebuah  pelarian  yang  tidak akan  menyelesaikan  masalah. Reduksi sebuah kerumitan menjadi masalah  yang  disederhanakan,  justru  akan  menambah   parah keadaan.  Kaum  Muslim akan semakin menjauhi keharusan mencari pemecahan yang  hakiki  dan  berdayaguna  penuh  untuk  jangka panjang,  dan  merasa  puas  dengan “pemecahan” sementara yang tidak akan berdayaguna efektif dalam jangka panjang.

Ketika Marxisme dihadapkan kepada  masalah  penjagaan  hak-hak perolehan  warga  masyarakat,  dan dihadapkan demikian kuatnya wewenang  masyarakat  untuk   memiliki   alat-alat   produksi, pembahasan  masalah itu oleh pemikir Komunis diabaikan, dengan menekankan slogan “demokrasi sosial” sebagai pemecahan praktis yang  menyederhanakan  masalah. Memang berdayaguna besar dalam jangka   pendek,   terbukti    dengan    kemauan    mendirikan negara-negara   Komunis   dalam  kurun  waktu  enam  dasawarsa terakhir ini. Namun, “pemecahan masalah” seperti itu  ternyata membawa  hasil  buruk,  terbukti dengan “di bongkar pasangnya” Komunisme dewasa ini oleh  para  pemimpin  mereka  sendiri  di mana-mana.  Rendahnya  produktivitas individual sebagai akibat langsung dari hilangnya kebebasan individual warga  masyarakat yang  sudah  berwatak  kronis,  akhirnya  memaksa parta-partai Komunis untuk melakukan perombakan total  seperti  diakibatkan

oleh  perestroika  dan  glasnost  di Uni Soviet beberapa waktu lalu.

Tilikan atas pengalaman orang lain itu mengharuskan kita untuk juga  meninjau  masalah  keadilan dalam pandangan Islam secara lebih cermat dan mendasar. Kalaupun ada persoalan, bahkan yang paling  rumit  sekalipun,  haruslah  diangkat ke permukaan dan selanjutnya dijadikan bahan kajian mendalam untuk pengembangan wawasan kemasyarakatan Islam yang lebih relevan dengan perkembangan kehidupan umat manusia di masa-masa mendatang.

Berbagai masalah dasar yang sama akan dihadapi juga oleh paham yang dikembangkan Islam, juga  akan  dihadapkan  kepada  nasib yang  sama  dengan  yang  menentang Komunisme, jika tidak dari sekarang dirumuskan pengembangannya secara  baik  dan  tuntas, bukankah hanya melalui jalan pintas belaka.

Pembahasan  berikut  akan  mencoba mengenal (itemize) beberapa aspek yang harus dijawab oleh Islam tentang  wawasan  keadilan sebagaimana tertuang dalam al-Qur’an. Pertama-tama akan dicoba untuk mengenal wawasan yang ada, kemudian  dicoba  pula  untuk menghadapkannya kepada keadaan dan kebutuhan nyata yang sedang dihadapi umat manusia. Jika dengan cara ini lalu menjadi jelas hal-hal  pokok  dan  sosok kasar dari apa yang harus dilakukan selanjutnya, tercapailah sudah apa yang dikandung dalam hati.

PENGERTIAN KEADILAN

Al-Qur’an menggunakan pengertian yang berbeda-beda  bagi  kata atau istilah yang bersangkut-paut dengan keadilan. Bahkan kata yang digunakan untuk menampilkan sisi  atau  wawasan  keadilan juga  tidak  selalu  berasal  dari  akar  kata ‘adl. Kata-kata sinonim seperti qisth,  hukm  dan  sebagainya  digunakan  oleh al-Qur’an dalam pengertian keadilan. Sedangkan kata ‘adl dalam berbagai bentuk konjugatifnya bisa saja  kehilangan  kaitannya yang  langsung  dengan  sisi keadilan itu (ta’dilu, dalam arti mempersekutukan Tuhan dan ‘adl dalam arti tebusan).

Kalau dikatagorikan, ada beberapa  pengertian  yang  berkaitan dengan keadilan dalam al-Qur’an dari akar kata ‘adl itu, yaitu sesuatu  yang  benar,  sikap  yang  tidak  memihak,  penjagaan hak-hak   seseorang   dan  cara  yang  tepat  dalam  mengambil keputusan  (“Hendaknya  kalian   menghukumi   atau   mengambil keputusan   atas   dasar   keadilan”).   Secara   keseluruhan, pengertian-pengertian di atas  terkait  langsung  dengan  sisi keadilan,  yaitu  sebagai  penjabaran  bentuk-bentuk  keadilan dalam kehidupan. Dari terkaitnya beberapa pengertian kata ‘adl dengan  wawasan  atau  sisi keadilan secara langsung itu saja,

sudah  tampak  dengan  jelas  betapa  porsi  “warna  keadilan” mendapat  tempat  dalam  al-Qur’an,  sehingga dapat dimengerti sikap  kelompok  Mu’tazilah  dan  Syi’ah   untuk   menempatkan keadilan  (‘adalah) sebagai salah satu dari lima prinsip utama al-Mabdi al-Khamsah.) dalam keyakinan atau akidah mereka.

Kesimpulan  di  atas  juga  diperkuat  dengan  pengertian  dan dorongan  al-Qur’an  agar  manusia  memenuhi  janji, tugas dan amanat yang dipikulnya, melindungi yang menderita,  lemah  dan kekurangan, merasakan solidaritas secara konkrit dengan sesama warga  masyarakat,  jujur  dalam  bersikap,  dan   seterusnya.

Hal-hal yang ditentukan sebagai capaian yang harus diraih kaum Muslim  itu  menunjukkan  orientasi  yang  sangat  kuat   akar keadilan  dalam al-Qur’an. Demikian pula, wawasan keadilan itu tidak hanya dibatasi hanya pada lingkup mikro  dari  kehidupan warga  masyarakat  secara  perorangan,  melainkan juga lingkup makro kehidupan masyarakat itu sendiri. Sikap adil tidak hanya dituntut  bagi  kaum  Muslim  saja  tetapi  juga  mereka  yang beragama lain. Itupun tidak hanya dibatasi  sikap  adil  dalam urusan-urusan  mereka  belaka,  melainkan juga dalam kebebasan mereka untuk mempertahankan keyakinan dan melaksanakan  ajaran agama masing-masing.

Yang cukup menarik adalah dituangkannya kaitan langsung antara wawasan  atau  sisi  keadilan  oleh  al-Qur’an  dengan   upaya peningkatan  kesejahteraan  dan  peningkatan taraf hidup warga masyarakat, terutama mereka yang menderita dan lemah posisinya dalam percaturan masyarakat, seperti yatim-piatu, kaum muskin, janda, wanita hamil atau yang baru saja mengalami  perceraian.

Juga sanak keluarga (dzawil qurba) yang memerlukan pertolongan sebagai  pengejawantahan  keadilan.  Orientasi  sekian  banyak “wajah  keadilan”  dalam  wujud  konkrit itu ada yang berwatak karikatif maupun yang mengacu kepada transformasi sosial,  dan dengan demikian sedikit banyak berwatak straktural.

Fase terpenting dari wawasan keadilan yang dibawakan al-Qur’an itu adalah sifatnya  sebagai  perintah  agama,  bukan  sekedar sebagai  acuan etis atau dorongan moral belaka. Pelaksanaannya merupakan pemenuhan kewajiban agama, dan dengan demikian  akan diperhitungkan  dalam  amal  perbuatan  seorang Muslim di hari perhitungan (yaum al-hisab) kelak.  Dengan  demikian,  wawasan keadilan dalam al-Qur’an mudah sekali diterima sebagai sesuatu yang  ideologis,  sebagaimana  terbukti  dari  revolusi   yang dibawakan  Ayatullah  Khomeini  di  Iran.  Sudah  tentu dengan segenap bahaya-bahaya  yang  ditimbulkannya,  karena  ternyata dalam  sejarah, keadilan ideologis cenderung membuahkan tirani yang mengingkari keadilan itu

Sebab kenyataan penting juga harus dikemukakan dalam hal  ini, bahwa sifat dasar wawasan keadilan yang dikembangkan al-Qur’an ternyata bercorak mekanistik, kurang bercorak  reflektif.  Ini mungkin  karena  “warna”  dari bentuk konkrit wawasan keadilan itu  adalah  “warna”  hukum  agama,  sesuatu  yang  katakanlah legal-formalistik.

PERMASALAHAN

Mengingat  sifat dasar wawasan keadilan yang legal-formalistik dalam al-Qur’an itu, secara langsung kita dapat melihat adanya dua buah persoalan utama yaitu keterbatasan visi yang dimiliki wawasan keadilan itu sendiri,  dan  bentuk  penuangannya  yang terasa    “sangat   berbalasan”   (talionis,   kompensatoris). Keterbatasan visi itu tampak dari kenyataan, bahwa kalau suatu bentuk  tindakan telah dilakukan, terpenuhilah sudah kewajiban berbuat  adil,  walaupun  dalam  sisi-sisi  yang  lain  justru wawasan  keadilan  itu  dilanggar.  Dapat  dikemukakan sebagai contoh, umpamanya, seorang suami telah “bertindak  adil”  jika “berbuat  adil”  dengan menjaga ketepatan bagian menggilir dan memberikan nafkah antara dua orang isteri, tanpa mempersoalkan apakah  memiliki  dua  orang  isteri itu sendiri adalah sebuah tindakan  yang  adil.  Dengan  demikian,  pemenuhan   tuntutan keadilan  yang  seharusnya  berwajah utuh, lalu menjadi sangat parsial dan tergantung  kepada  pelaksanaan  di  satu  sisinya belaka.

Warna  kompensatoris  dari  wawasan  keadilan  yang  dibawakan al-Qur’an itu juga terlihat dalam sederhananya  perumusan  apa yang  dinamakan  keadilan  itu sendiri. Wanita yang diceraikan dalam keadaan  hamil  berhak  memperoleh  santunan  hingga  ia melahirkan   anak   yang  dikandungnya,  cukup  dengan  jumlah tertentu berupa uang atau bahan makanan. Sangat  terasa  watak berbalasan  dari  “pemenuhan  keadilan” yang berbentuk seperti ini, karena ada “pertukaran jasa” antara mengandung anak (bagi suami) dan memberikan santunan material (bagi isteri).

Dari  pengamatan  akan  kedua  hal di atas lalu menjadi jelas, bahwa permasalahan utama bagi wawasan keadilan dalam pandangan al-Qur’an   itu  masih  memerlukan  pengembangan  lebih  jauh, apalagi jika dikaitkan  dengan  perkembangan  wawasa  keadilan dalam kehidupan itu sendiri.

Sampai  sejauh  manakah  dapat  dikembangkan wawasan demokrasi yang utuh bila dipandang  dari  sudut  wawasan  keadilan  yang dimiliki  al-Qur’an  itu?  Dapatkah  kepada kelompok demokrasi yang utuh bila dipandang  dari  sudut  wawasan  keadilan  yang dimiliki  al-Qur’an  itu?  Dapatkah  kepada kelompok minoritas agama diberikan hak yang sama untuk memegang tampuk kekuasaan?

Dapatkah   wawasan   keadilan  itu  menampung  kebutuhan  akan persamaan derajat agama  dikesampingkan  oleh  kebutuhan  akan hukum  yang  mencerminkan  kebutuhan  akan persamaan perlakuan hukum secara mutlak bagi  semua  warga  negara  tanpa  melihat asal-usul   agama,   etnis,  bahasa  dan  budayanya?  Dapatkah dikembangkan sikap untuk  membatasi  hak  milik  pribadi  demi meratakan pemilikan sarana produksi dan konsumsi guna tegaknya demokrasi  ekonomi?  Deretan  pertanyaan   fundamental,   yang jawaban-jawabannya akan menentukan mampukah atau tidak wawasan keadilan yang terkandung dalam  al-Qur’an  memenuhi  kebutuhan sebuah masyarakat modern di masa datang.

Diperlukan    kajian-kajian    lebih   lanjut   tentang   peta permasalahan seperti dikemukakan di atas, namun  jelas  sekali bahwa  visi keadilan yang ada dalam al-Qur’an dewasa ini harus direntang  sedemikian   jauh,   kalau   diinginkan   relevansi berjangka  panjang dari wawasan itu sendiri. Jelas, masalahnya lalu menjadi  rumit  dan  memerlukan  refleksi  filosofis,  di samping    kejujuran    intelektual    yang    tinggi    untuk merampungkannya secara kolektif.  Masalahnya,  masih  punyakah umat  Islam  kejujuran  intelektual  seperti  itu, atau memang sudah  tercebur  semuanya  dalam  pelarian   sloganistik   dan “kerangka  operasionalisasi”  serba terbatas, sebagai pelarian yang manis?

About admin

Check Also

Penyandang Gelar Kebesaran Islam (Bagian 3)

“Gelar kebesaran dalam Islam (Ulama, Imam, Syekh, Kiai dan Ustadz) seringkali diklaim sendiri oleh seseorang ...