Home / Agama / Kajian / Konsep Islam dan Nasionalisme serta Implikasinya dalam Kehidupan Bernegara

Konsep Islam dan Nasionalisme serta Implikasinya dalam Kehidupan Bernegara

Konsep Islam dan Nasionalisme serta Implikasinya dalam Kehidupan Bernegara[1]

Oleh: Achmad Muhibbin Zuhri[2]

Relevansi dan Fokus

Sebagai negeri yang mayoritas warganya muslim ini, diskursus hubungan Islam dan Nasionalisme telah berlangsung sejak didirikannya Republik Indonesia. Diskursus ini mulai mengemuka dalam fenomena perumusan dasar negara. Misalnya bisa dibaca dalam perdebatan-perdebatan Soekarno di satu pihak, Muhammad Natsir, Wahid Hasyim, Sukiman, Mohammad Roem, Agus Salim dan yang lainnya di pihak lain. Yang satu ingin Islam sebagai dasar negara, yang lain menginginkan Pancasila; yang satu menginginkan agama sebagai dasar kebangsaan, yang lain ingin kesatuan bangsa.

Sebagian umat Islam percaya bahwa nasionalisme tidak bertentangan dengan Islam dan bahkan merupakan bagian dari Islam itu sendiri. Seperti pendapat Hassan al-Banna, mereka berpendapat bahwa menjadi seorang muslim yang baik, tidak berarti menjadi seorang yang anti-nasionalisme; Islam tidak bertentangan dengan Nasionalisme dan bahkan keduanya bersenyawa. Fakta itulah yang telah ditunjukkan para perintis perjuangan kemerdekaan Indonesia tempo dulu. Sehingga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan bangunan nation-state nya merupakan bentuk final yang harus tetap dipertahankan, karena merupakan hasil jihad dan ijtihad umat Islam dalam proses sejarah yang panjang.

Diskursus Islam-Nasionalisme akhir-akhir ini menguat kembali seiring dengan terbukanya kran demokrasi dengan kebebasan mengekspresikan gagasan di kalangan warga negara. Muncullah suatu genre muslim transnasional yang merasa tidak perlu disatukan oleh nation, tidak lagi mau terbatasi kantor imigrasi dan paspor. Menurut mereka, persatuan mutlak dibangun berdasar kesamaan akidah. Mereka ini adalah sekelompok muslim yang konsisten meletakkan agama di atas bangsa dan setia mengampanyekan gagasan khilafah universal yang lintas negara. Bagi mereka, nasionalisme tidak penting bahkan tercela, karena merupakan produk barat dan hanya akan memecah belah umat Islam.

Selain karena alasan ideologis, resistensi terhadap nasionalisme juga disebabkan oleh reduksi terhadap makna nasionalisme itu sendiri sepanjang Orde baru. Pada masa Orba, nasionalisme tampaknya ditafsirkan top-down, sehingga masyarakat tidak menganggapnya sebagai ide kreatif dari bawah. Lalu, nasionalisme dianggap paket rezim status quo yang bertindak totaliter. Pancasila, kesamaan teritori, bahasa, etnik dan lain sebagainya yang sebenarnya merupakan faktor simbolik perekat nasionalisme (Daniel Dakhidae: 2002), terkesan lebih ditekankan daripada faktor substantif seperti keadilan dan kepercayaan. Kenyataan itu turut mendorong warga dan sebagian umat Islam untuk –paling tidak mempertanyakan ulang signifikansi nasionalisme dan relasinya dengan Islam.

Bagaimana sebenarnya relasi Islam dan Nasionalisme serta implikasinya dalam kehidupan bernegara, menjadi menarik untuk kembali diperbincangkan dalam konteks membuka ruang dialog untuk mengeliminir potensi-potensi gerakan radikal yang mengusung gagasan dan simbol-simbol agama (Islam).

Islam : Ajaran dan Sejarah

Islam mengusung misi kesejahteraan bagi alam semesta (rahmatan li al-`alamin), dimana manusia sebagai khalifah ditugasi untuk mewujudkannya. Kemaslahatan dalam hal ini menjadi sasaran (maqashid) dari Syari’at Islam itu sendiri. Ia meliputi seluruh aspek kehidupan umat manusia sebagai individu, dan dalam hubungannya dengan manusia dan Sang Pencipta, kapanpun dan dimanapun. Oleh karena itu, ajaran Islam bersifat universal. Sifat universalitasnya itulah yang memungkinkan Islam berdialektika dengan historisitas yang serba berubah sesuai dengan perkembangan kemaslahatan umat manusia. Dalam kerangka ini, di dalam sumber-sumber ajaran Islam terdapat petunjuk-petunjuk tertentu yang bersifat praktis dan hanya memerlukan sikap ta’abbudi. Tetapi juga terdapat medan ijtihad terkait dengan dinamika kemaslahatan manusia, termasuk dalam soal bagaimana mereka harus membangun sistem sosial, politik dan bernegara.

Merupakan fakta yang tidak diragukan bahwa ajaran Islam dapat memasuki dan berkembang di daerah geografis dan lingkungan kultural yang berbeda-beda. Karena substansi Islam sendiri adalah ajaran yang relevan dan kompatibel untuk setiap periodisasi sejarah dan kawasan manapun (shalih li kulli zaman wa makan).Wahyu ditujukan kepada semua manusia agar mereka memeluk Islam dan ditujukan secara khusus kepada orang-orang mukmin untuk mematuhi aturan-aturannya. Mematuhi ajaran Islam berarti memutuskan hubungan dengan orde sosial kesukuan (‘ashabiyyah) dan mengidentifikasikan dirinya dengan kesatuan baru. Seperti halnya agama semitik lainnya, kecuali Yahudi, Islam dapat masuk kategori agama translokal atau transnasional. Namun afiliasi dan loyalitas kepada komunitas yang berdasarkan keimanan tidak berarti bahwa Islam melarang ikatan-ikatan lain selain ikatan berdasar keimanan. Alih-alih, Islam menganjurkan bentuk-bentuk ikatan lain, seperti ikatan keluarga, selama tidak bertentangan dengan Islam.

Secara doktrin, orang Islam memang tidak mengenal batas-batas kewilayahan, kebangsaan, negara, bendera, dan macam-macam simbol lainnya. Sebagaimana halnya sejarah Islam juga mengenal sistem khilafah universal. Tetapi sebetulnya itu tidak lain merupakan realitas historis yang merupakan konsekuensi saja dari penaklukan demi penaklukan yang dilakukan penguasa-penguasa Islam saat itu, dan proses sejarah menyebut mereka ini dengan sebutan khalifah.

Perubahan terjadi ketika abad ke-18 dan ke-19 mulai terjadi kompartementalisasi wilayah-wilayah di dunia. Dalam bentuk yang modern, juga terjadi balkanisasi, seperti terpecahnya negara-negara kecil di Semenanjung Balkan. Memang dasar-dasarnya bisa nation atau kesatuan bangsa, dan bisa juga agama. Tapi kenyataan historis mengantarkan umat Islam ke dalam alam modern yang berbasis nation-state. Gelora nasionalisme dan lain sebagainya itu, selalu saja diletakkan dalam konteks bagaimana memerdekakan diri dari penjajahan dan penguasaan pihak asing. Oleh karena itu, banyak sejarawan menulis tentang fajar atau bangkitnya nasionalisme di awal abad ke-20, baik di Asia, Afrika, dan tempat-tempat lainnya. Sebab, memang pada awal abad ke-20 itulah kekuatan-kekuatan dan belenggu-belenggu kolonial mulai terlepas.

Jadi, dengan membaca secara cermat realitas sejarah tersebut, dapat disimpulkan bahwa pada term nasionalisme dimaksud mengandung gagasan kecintaan terhadap tanah air, mempererat persaudaraan, bela negara untuk membebaskan diri dari kolonialisme. Nasionalisme dalam makna demikian itu, tentu tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Sebaliknya, bahkan merupakan bagian dari Islam karena mencerminkan nilai-nilai universalnya. Nasionalisme yang ditolak oleh Islam, adalah ta’ashshub atau sikap fanatisme dan kecintaan berlebihan terhadap suku atau bangsa sehingga menimbulkan mudlarrat (bahaya) bagi pihak lain di luarnya. Nasionalisme semacam ini sepadan dengan chauvinisme, atau yang dalam istilah Syafi’i Ma’arif diebut “Nasionalisme Ekspansif”, seperti paham yang dianut oleh Hittler dan Israel. Tentu saja hal itu bertentangan dengan ajaran Islam. Adapun “Nasionalisme Formatif” yang mengandaikan kecintaan terhadap tanah air (hubb al-wathan), pembebasan (hurriyyah), dan persaudaraan (ukhuwwah) justeru merupakan bagian dari ajaran universal Islam itu sendiri.

Dengan demikian, perbincangan menganai hubungan antara Islam dengan nasionalisme tidak harus diletakkan dalam posisi diametral. Menjadi seorang muslim yang baik, tidak berarti menjadi seorang yang anti-nasionalisme. Fakta itulah yang telah ditunjukkan para perintis perjuangan kemerdekaan Indonesia tempo dulu.

Khilafah : Paham Politik atau Doktrin Teologis?

Kalau batasan-batasan khilafah itu diletakkan dalam konteks doktrin agama saja, tentu tidak menjadi persoalan. Akan tetapi ketika batasan-batasan khilafah itu diletakkan dalam kerangka nation-state lain yang lebih besar, maka akan menimbulkan persoalan baru, karena pergeseran konteks dari doktrin dan ajaran ke politik. Dalam kerangka baru itu, nation-nya khilafah akan menjadi nation Islam, sedangkan state-nya adalah wilayah mana saja yang bisa dikuasai umat Islam atau semacam macro nation-state.

Persoalan politik adalah domain agama yang bersifat dhanni, dan oleh karena itu tidak terkait dengan tebal dan tipisnya keimanan seorang muslim. Khilafah adalah paham politik dan bukan doktrin teologis. Setiap kelompok umat Islam bisa saja berbeda dalam soal ini dan boleh saja mengembangkan gagasan itu. Jadi, kalau sebagian komunitas muslim berusaha keras menekankan pentingnya memperjuangkan Pan-Islamic State atau Pan-Caliphate State sebagai sebuah gagasan, boleh saja, kalau bisa. Tetapi sebenarnya hal itu merupakan romantisme masa lalu saja. Karena meskipun secara historis gagasan itu memang pernah eksis di dunia Islam, tapi di zaman modern, nasionalisme merupakan realitas pilihan umat Islam yang sudah melembaga sedemikian rupa.

Sebagai persoalan politik, seperti halnya sistem khilafah, Indonesia sebagai negara bangsa (nation-state) juga merupakan hasil dialektika Islam dengan realitas historis. Maka ia juga bersifat dhanni. Dengan cara pandang seperti ini, mestinya tidak relevan untuk mempertentangkan antara sistem khilafah dengan nation-state. Keduanya seharusnya diletakkan sebagai pilihan. Pertimbangan kemaslahatan-lah yang akhirnya membawa umat Islam di Indonesia, khususnya dan di dunia Islam lainnya telah menjatuhkan pilihannya pada nation-state di alam modern ini. Titik krusialnya ialah ketika sementara orang yang bersikap puritan terhadap paham khilafah yang diyakininya sebagai bagian tak terpisahkan dari keimanan seorang muslim. Selanjutnya menganggap sistem lainnya sebagai penyimpangan dari Islam. Maka, kemudian ekspresi yang ditimbulkan dari sikap itu adalah radikalisme dengan simbol-simbol agama.

Memang terjadi perbedaan pandangan di kalangan umat Islam dalam menyikapi pranata sosial dan politik yang melingkupi kehidupan umat Islam, terutama yang tidak secara genuine berasal dari Islam. Pertama, ialah mereka yang berpandangan bahwa soal politik dipisahkan dan bukan merupakan bagian dari agama dan oleh karenanya mereka disebut kalangan sekular yang menarik garis demarkasi antara entitas agama dan negara; kedua, ialah mereka yang berpandangan moderat dan menekankan perlunya dilakukan kontekstualisasi wahyu dengan mempertimbangkan kemaslahatan (maslahah) sebagai sasaran (maqashid) syari`at; Ketiga, ialah sebagian lainnya yang berpendirian tekstualis dengan cara mengikuti apa yang termaktub dalam dhahir nash serta mengembalikan persoalan pada tradisi muslim generasi awal. Kelompok kedua ini juga berpandangan bahwa soal bentuk negara adalah termasuk bagian fundamental dari Islam yang harus didasarkan pada petunjuk nash atau tradisi generasi salaf; menganggap bahwa nasionalisme adalah pengertian dari kata “ta’ashshub” yang dilarang, sesuai hadits riwayat Abu Dawud[3], dan ; harus ditolak karena berasal dari Barat. Selain itu, karena merupakan bagian fundamental dari agama, maka pandangan ini harus diperjuangkan dengan cara jihad. Cara pandang seperti ini dapat diidentifikasi sebagai corak berfikir salafis dan fundamentalis dalam Islam.

Islam dan Nasionalisme Indonesia

Islam adalah faktor penting dalam bangunan kebangsaan Indonesia. Sumber daya budaya, sosial dan politik serta ekonomi negara ini secara potensial berada dan melekat dalam tubuh warganya yang mayoritas muslim. Kolaborasi Islam dan budaya lokal selama berabad-abad hingga cucuran keringat, air mata dan darah para syuhada’ telah memperkokoh bangunan ke-Indonesia-an modern. Sejarah Indonesia juga mencatat penolakan dan penentangan umat Islam terhadap penindasan kolonialisme. Agenda ekonomi, politik, sosial, pendidikan dan keagamaan yang digerakkan oleh SI, Muhammadiyah dan NU terbukti mengusung cita-cita luhur memperjuangkan terwujudnya kemerdekaan dan pemerintahan sendiri oleh rakyat Indonesia.

Demikian halnya para tokoh pergerakan nasional dari kalangan muslim, meskipun mereka kelihatan berbeda-beda penekanan dan perspektifnya tentang nasionalisme Indonesia, tak diragukan lagi kecintaan dan komitmen mereka pada perjuangan terwujudnya negara bangsa Indonesia yang merdeka dan berdaulat.

Fakta-fakta tersebut cukup menjelaskan bahwa Islam tidak merintangi nasionalisme, justru dari rahim Islamlah, nasionalisme Indonesia dapat tumbuh subur. Pergerakan-pergerakan Islam sudah lama mempunyai ikatan kebangsaan lebih kuat jika dibandingkan dengan organisasi lokal yang masih berbasis etnik, termasuk Budi Utomo yang berbasis kepentingan priyayi Jawa.

Jika kehidupan bernegara ditujukan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur, maka tentulah berkenaan dengan umat Islam Indonesia. Maka umat Islam juga harus mengambil peran strategis dan kreatif memajukan Indonesia menuju negara plural yang kuat. Penolakan terhadap nation-state dalam sisi tertentu menunjukkan kekhawatiran berlebihan terhadap subordinasi Islam oleh negara, juga merupakan ekspresi dari ketidakberdayaan mengambil peran-peran kreatif dan strategis dalam merealisasikan keIslamann dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dengan mempertimbangkan keragaman agama sebagai salah satu faktor dalam nasionalisme, maka perjuangan mewujudkan berlakunya syari’at Islam di tengah-tengah masyarakat dapat dilakukan melalui gerakan-gerakan kultural dan struktural melalui sarana politik, sebagai bentuk dari pengamalan syuro. Dalam konteks ini maka pilihannya bukan negara Islam atau juga sistem khilafah yang menerapkan syariah atau negara sekuler yang menolak syariah, tapi negara Indonesia yang merealisasikan nilai-nilai universal ajaran agama (Islam) dalam bingkai Ukhuwwah Basyariyyah, Ukhuwwah Islamiyyah, dan Ukhuwwah Wathaniyyah.

Islam dan Nasionalisme Indonesia adalah dua sisi mata uang yang saling memberikan makna. Keduanya tidak bisa diposisikan secara diametral atau dikhotomik. Nasionalisme selalu meletakkan keberagaman atau pluralitas sebagai konteks utama yang darinya dapat melahirkan ikatan dasar yang menyatukan sebuah negara bangsa. Idealnya umat Islam tidak perlu merasa khawatir kehilangan identitasnya karena persenyawaannya dalam negara bangsa. Perjuangan yang ditekankan untuk menonjolkan identitas atau simbol-simbol keIslaman dalam kerangka perjuangan politik kebangsaan hanya merupakan cerminan kelemahan umat Islam sendiri. Selain itu, meskipun terbuka peluangnya di alam demokrasi ini, penekanan berlebihan dalam hal itu akan potensial menjadi penyulut disintegrasi, dan ini tidak sejalan dengan nasionalisme itu sendiri. Idealnya, perjuangan politik umat Islam menekankan pada penguatan nasionalisme Indonesia dengan memperkokoh faktor-faktor perekat kebangsaan yang secara substantif. Nilai-nilai dimaksud merupakan nilai-nilai universal Islam yang menyentuh kesadaran pragmatis warga negara, seperti keadilan, kesejahteraan, kepercayaan, dan sebagainya.

Itulah sebabnya Al mawardi, dalam kitab al-Ahkam al-Shulthaniyyah mempersyaratkan keadilan bagi seorang pemimpin negara dan tidak memasukkan syarat harus beragama Islam, dan dalam kitabnya yang lain, yakni Adab al-Dunya wa al-Din ia merumuskan proposisi bahwa umur persatuan sebuah bangsa sesungguhnya ditentukan oleh keadilan dalam bangsa itu. Selama keadilan ada dalam kehidupan bangsa itu, selama itu pula mereka akan tetap bersatu. Begitu keadilan berganti dengan kezhaliman, maka tunggulah saat perpecahan mereka.

Wallahu A’lam.

Endnotes:

[1] Disiapkan untuk Acara Seminar Nasional “Relasi Islam Dengan Nasionalisme Dalam Menangkal Radikalisme Dan Terorisme” yang diselenggarakan oleh Badko HMI Jawa Timur, di Surabaya, tanggal 22 Nopember 2011.

[2] Staf Pengajar Fakultas Tarbiyah dan Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya ; Direktur Museum Nahdlatul Ulama

[3]

حَدَّثَنَا ابْنُ السَّرْحِ حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي أَيُّوبَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْمَكِّيِّ يَعْنِي ابْنَ أَبِي لَبِيبَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي سُلَيْمَانَ عَنْ جُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَيْسَ مِنَّا مَنْ دَعَا إِلَى عَصَبِيَّةٍ وَلَيْسَ مِنَّا مَنْ قَاتَلَ عَلَى عَصَبِيَّةٍ وَلَيْسَ مِنَّا مَنْ مَاتَ عَلَى عَصَبِيَّةٍ

“Bukanlah golongan kami orang yang menyeru kepada ‘ashabiyah. Bukan golongan kami orang yang berperang atas dasar ‘ashabiyah, dan bukan golongan kami orang yang mati karena membela ‘ashabiyah” (HR. Abu Dawud)

 

 

About admin

Check Also

Kalimat Haqq Bertujuan Bathil

“Sebuah fenomena akhir zaman yang penuh fitnah, tipuan dan kepalsuan, menuntut kita semua untuk istiqâmah ...