Home / Ensiklopedia / Komando Jihad Made In Opsus

Komando Jihad Made In Opsus

Komando Jihad Made In OpsusKomando Jihad ialah Satu istilah yang sampai sekarang masih polemik pendefinisian dan peristilahannya. Salah satu peristiwa pelanggaran hak asasi manusia berat di Indonesia yang korbannya ialah umat Islam. Ribuan aktifis Islam ditangkapi secara sewenang-wenang, disiksa, dipenjara tanpa prosedur dan vonis tanpa landasan hukum. Walaupun korbannya ribuan tetapi kasus ini seakan telah dilupakan. Dokumen yang paling pasti, peristilahan Komando Jihad dilahirkan di meja pengadilan dan kejaksaan. Satu institusi Negara yang berkesatuan dengan kerja-kerja kepolisian dan militer di masa orde baru. Lembaga-lembaga itu semuanya dibawah kendali pemimpin tertinggi Soeharto.

Diantara aktifis Islam itu bahkan ada yang dihukum mati. Peristiwa kekerasan dan kesewenang-wenangan itu semua dibangun dalam konteks penghancuran politik umat Islam pasca pemusnahan komunisme PKI. Ali Murtopo seorang OPSUS dan tangan kanan Soeharto menyebut tahun itu sebagai tahun yang menentukan bagi kekuasaan orde baru pasca krisis Orde Lama. Sesuai cita-cita Ali Murtopo, akhirnya peristiwa Komando Jihad turut mengantarkan pada menunggalnya dan refresifnya kekuasaan politik orde baru.

Ada unsur rekayasa politik dalam kasus Komando Jihad di era Orde Baru yang ditandai operasi intelijen melalui sebuah Operasi Khusus. Selain itu, juga tampak jelas penyalahgunaan aparat militer yang bernaung di bawah Komando Keamanan dan Ketertiban (Komkamtib) di tingkat pusat dan Pelaksana Khusus Daerah (Laksusda) di tingkat daerah,”. Demikian disampaikan Busyro Muqoddas dalam ujian promosi untuk memperoleh doktor ilmu hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Agustus 2010 silam.

Ia mempertahankan disertasinya berjudul ‘Kasus Komando Jihad Ditinjau dari Perspektif Independensi dan Transparansi Kekuasaan Kehakiman‘ di hadapan tim penguji. Dikatakan Muqoddas (yang kini menjadi pimpinan KPK), rezim Orde Baru telah menyalahgunakan kekuasaan dengan menempatkan aparat militer dan intelijen untuk merekayasa suatu lakon politik yang menimbulkan korban pada kalangan Muslim.

Muara dari proses peradilan kasus Komando Jihad tersebut adalah praktik kekuasaan kehakiman yang tidak independen dan tidak transparan di bawah tekanan sebuah rezim politik otoriter dan antidemokrasi. “Indikasi itu tampak dalam proses peradilan dan putusan peradilan yang menyalahi peraturan dan ketentuan hukum sebagaimana yang harus dijunjung tinggi oleh negara hukum,” bebernya.

Institusi peradilan, menurut dia, menjadi alat penguasa sehingga berdampak pada sejumlah warga negara mengalami tindakan pelanggaran hukum dan hak asasi manusia yang dilakukan oleh aparat pemerintah. “Seiring dominasi penguasa, terjadi pelanggaran institusi peradilan yang menyebabkan kekuasaan kehakiman tidak mampu berjalan secara independen dan transparan,” kata penerima penghargaan Bung Hatta Anti Corruption Award (BHACA) pada 2008 itu.

Kontroversi  kisah Komando Jihad di Indonesia dibukukan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Busyro Muqoddas, dengan judul Hegemoni Rezim Intelijen: Sisi Gelap Peradilan Komando Jihad. Mantan Ketua Komisi Yudisiil itu  pernah terlibat langsung mendampingi sejumlah terdakwa dari kelompok radikal yang dituduh melakukan aksi terorisme di era 1970 hingga 1980-an.

Dalam buku itu, Busyro Muqoddas menyebut perjuangan Soekarmadji Maridjan Kartosuwiryo yang mencita-citakan syariat Islam di Indonesia sebenarnya telah selesai pada 1962. Namun kelompok itu dihidupkan kembali oleh intelijen dalam wujud Komando Jihad. Lantas kelompok tersebut dihancurkan kembali untuk memenangkan Golongan Karya pada 1971.

Jenderal Purn AM Hendropriyono, mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) mengaku tak bisa memberikan komentar membenarkan ataupun menyalahkan hipotesa tersebut. Alasannya, waktu itu dirinya masih berada di jajaran perwira Kopassus yang tak terlibat dengan segala permasalahan politik nasional.

Hendropriyono sepakat dengan informasi yang ditulis Buysro, Komando Jihad merupakan permainan Ali Moertopo selaku Operasi Khusus (Opsus).  Hal ini juga terungkap lewat pengakuan Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin), Soetopo Joewono.

Hendropriyono menyebut fenomena  itu seperti sebuah permainan antara siapa yang mengendalikan dan siapa dikendalikan. Maksud Ali Moertopo mengandalikan Komando Jihad untuk keperluan politik, namun tidak terkendali sampai kemudian ditumpas Jenderal LB Moerdani.

Manuver Intelijen

Dalam buku : Intel: Inside Indonesia’s Intelligence Service, terbitan Equinox tahun 2004,  Ken Conboy menjelaskan, Komando Jihad berakar dari sisa-sisa kelompok Darul Islam pimpinan Sekarmaji Marijan Kartosuwirjo, yang bercita-cita mendirikan Negara Islam Indonesia (NII). Gerakan Darul Islam dan NII berhasil dipadamkan, setelah Kartosuwirjo dibekuk tahun 1962.

Namun Darul Islam tak langsung diberangus, karena sejumlah faksi di tubuh Angkatan Bersenjata RI, seperti Ali Moertopo yang memimpin Operasi Khusus, justru menggandengnya untuk menghadapi komunis. Opsus adalah sebuah unit dalam Komando Intelijen Negara (KIN) yang bertugas melawan Persemakmuran (Inggris dan sekutunya). Unit ini dibentuk khusus serta bertanggungjawab kepada Soeharto sebagai komandan operasi pemulihan keamanan dan ketertiban pasca kudeta 30 September 1965.

Menurut Conboy, salah satu agen Opsus, Sugiyanto, berhasil menjalin hubungan dengan Danu Mohammad Hasan, salah satu komandan Darul Islam di Jawa Barat yang mendapat amnesti. Hubungan itu belakangan berguna, karena sisa-sisa Darul Islam di bawah pimpinan Dodo Mohammad Darda bin Kartosuwiryo, anak Kartosuwirjo, mulai menghidupkan lagi Darul Islam dengan nama Komando Jihad. Ada keraguan di kemudian hari apakah sebenarnya nama Komando Jihad benar-benar bikinan kelompok itu.

Seperti ditulis Ken Conboy, Opsus melihat Komando Jihad bisa dimanfaatkan untuk mendukung partai tertentu yang disokong pemerintah, pada pemilu 1971. Pitut Suharto, salah satu agen Opsus, lantas ditugaskan menyusup ke kelompok tersebut. Pitut punya sejarah hubungan baik dengan kelompok radikal. Lulusan Sekolah Intelijen Angkatan Darat ini sempat diturunkan pangkatnya, karena menentang komunis pada saat Orde Lama. Ia melarikan diri ke Sulawesi Selatan, dan meminta perlindungan dari kelompok radikal Islam.

Pitut tidak perlu menyamar untuk masuk ke kelompok radikal Islam. Ia sejak lama sudah dikenal sebagai perwira militer antikomunis. Ia justru bernegosiasi dengan menawarkan konsesi ekonomi untuk meraih dukungan kelompok radikal bagi Golkar.

Pitut memperoleh hak distribusi minyak tanah untuk wilayah Jawa dari negara. Wilayah-wilayah distribusi penting ini ditawarkan kepada pemimpin Darul Islam yang lantas memberikan hak distribusi lokal kepada simpatisan mereka.

Dua anggota Komando Jihad, Danu dan Ateng Djaelani, menerima tawaran dari Pitut. Bahkan, Ateng bertanggung jawab atas jaringan distribusi minyak tanah yang dijatahkan untuk Opsus. Total, dari 26 pimpinan Komando Jihad, sepertiga bersedia menerima pasokan minyak tanah ini. Kelompok radikal luar Jawa sempat dongkol kepada Ateng yang dinilai pelit membagi konsesi minyak tanah. Ini menyebabkan cabang-cabang Darul Islam baru atau Komando Jihad, sulit dibentuk di luar Jawa.

Pitut semakin dipercaya oleh faksi Danu di kelompok Komando Jihad. Namun Haji Ismail Pranoto dan Dodo Kartosuwirjo menolak keras Pitut. Sebagian aktivis Komando Jihad mendapat pelatihan dari Institute of Dakwah Islamiyah di Tripoli, Libya. Libya yang dipimpin Moammar Al-Ghadafi adalah tempat bersemainya pemikiran Islam bernapas sosialis. Ghadafi menyetuskan visi gabungan gerakan kiri Pan-Arab dengan Islam, melawan imperialisme dan zionisme.

Anton Ngenget, mantan anggota Partai Komunis Indonesia yang menjadi informan intelijen, mengatakan, diplomat Konsulat Uni Soviet pada tahun 1970-an mendorong mantan anggota PKI bawah tanah berhubungan dengan Komando Jihad. Moskow dilaporkan siap memberikan bantuan militer kepada kelompok progresif didikan Libya di Indonesia. Namun, semua tak terealisasi.

Pemilu 1977, Komando Jihad mulai mengarahkan dukungan ke Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Opsus mulai kehilangan kesabaran. Empat bulan sebelum pemilu, pemerintah menangkapi ratusan aktivis Komando Jihad. Sebagian melarikan diri, namun Komando Jihad akhirnya lumpuh. Conboy menjelaskan, kedekatan kelompok intelijen Operasi Khusus pimpinan Ali Moertopo dengan Komando Jihad memunculkan kecurigaan Benny Moerdani. Opsus dicurigai ikut mendukung pembajakan pesawat oleh kelompok radikal Islam.

Ken Conboy menyebutkan gamblang, bagaimana dunia intelijen di Indonesia begitu semrawut dan dipenuhi intrik. Siapa menunggangi siapa, siapa dimanfaatkan siapa. Itulah yang terjadi pada kelompok radikal yang dikenal sebagai Kelompok Imron.

Namanya Imron bin Zein. Pemuda Minang kelahiran tahun 1950 itu sempat mengadu nasib di Arab Saudi, dan kembali ke Sumatra Barat tahun 1977. Dua tahun kemudian ia menjadi pedagang kaki lima di Jakarta, dan mulai menjadi juru dakwah ajaran Wahabi yang dipelajarinya di Saudi.

Tahun 1980-an, nama Imron meroket. Ia mulai membetot pengikut beretnis Sunda, Jawa, orang Sumatera Utara, dan tentu saja, Sumatera Barat. Keberhasilan Revolusi Iran oleh Khomeini menginspirasi Imron untuk melakukan hal sama di Indonesia. Bahkan, konon, ia menyurati Khomeini dan mengaku sebagai pemimpin Dewan Revolusi Islam Indonesia.

Tanggal 11 Maret 1981, Salman Hafidz, sekondan Imron, bersama 14 orang pengikutnya menyerbu sebuah pos polisi di Bandung. Mereka merampas dua pucuk pistol jenis Colt dan melumpuhkan empat orang petugas kepolisian yang tengah berjaga. Rezim Orde Baru bertindak cepat, dan menggebuk balik kelompok Imron. Puluhan pengikut Imron yang tidak tahu-menahu penyerbuan itu ikut diciduk.

Imron melarikan diri dan menyusun taktik balasan: membajak sebuah pesawat Garuda. Ia hendak menyandera para penumpang pesawat, dan menukarnya dengan para pengikutnya yang dipenjara. Lima orang ditunjuk sebagai pelaksana pembajakan pada 28 Maret 1981. Sasarannya Garuda DC-9 yang sedang dalam penerbangan dari Palembang menuju Medan.

Dengan berani, para pembajak itu mengalihkan perjalanan pesawat ke Bangkok, Thailand. Di sana, mereka mengeluarkan tuntutan: pembebasan 80 orang aktivis Islam radikal (di antaranya aktivis Komando Jihad), uang tunai USD 1,5 juta, dan pesawat yang kemungkinan akan diterbangkan ke Libia.

Mayor Jenderal Leonardus Benny Moerdani, Wakil Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin), bergerak melakukan operasi penyelamatan. Sukses. Namun, setelah peristiwa itu, tersiarlah kabar bahwa kemungkinan besar ada yang mendalangi para pembajak ini. Belakangan diketahui lima orang pembajak adalah aktivis Komando Jihad yang punya kedekatan dengan orang-orang intelijen.

Salah seorang agen CIA juga melihat para pembajak begitu mudah menghamburkan uang untuk membeli barang yang tak penting, seperti jam tangan merek Rolex. Dari mana sumber dana mereka? Conboy menulis dalam bukunya, Benny Moerdani mencurigai adanya campur tangan rahasia pemerintah dalam pembajakan tersebut. “Sangatlah mudah melihat hubungan lama antara Opsus dengan kelompok agama ekstrim kanan,” tulis Conboy.

Moerdani dengan menahan marah menelpon Aswis Sumarmo, Deputi III Bakin. “Bilang pada Pitut untuk menghentikannya, atau ia akan kutangkap.” Pitut Suharto adalah salah satu agen Opsus, yang ditugaskan menyusup ke Komando Jihad.

Namun, keberhasilan Moerdani pada akhirnya melumpuhkan Bakin. Dua bulan setelah pembajakan Garuda, Bakin direorganisasi. Deputi III yang bertugas menyusupi dan mempengaruhi elemen-elemen penting masyarakat dipangkas, dan langsung ditangani Benny Moerdani. Moerdani lantas melepas jabatannya sebagai Wakil Kepala Bakin, dan mulai berkonsentrasi membesarkan Badan Intelijen Strategis (Bais) yang merupakan intelijen militer.

About admin

Check Also

Syaikh Jumadil Kubro; Moyang Para Wali Nusantara

“Dari data peta migrasi genetik, secara ilmiah terbukti jika leluhur Syekh Jumadil Kubro berasal dari ...