“Al-Buthi adalah sosok Ulama yang multidisipliner, ia tidak hanya ahli dalam ilmu agama belaka, melainkan juga menguasai berbagai keilmuan modern, seperti filsafat. Karena itu, ia dikenal sebagai “al-Ghozali Hadza al-Zaman” (al-Ghozali masa kini)”
Oleh: M. Jauharil Ma’arif Annur*
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
Bismillâhirrahmânirrahîm
Wasshalâtu wassalâmu ‘alâ Muhammadin wa âlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘âmmati wal-hidâyatit tâmmah, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn“.
Al-Azhar banyak melahirkan para Ulama yang mempunyai peranan besar dalam menyebarkan Islam berwajah moderat, ramah, dan toleran. Keilmuan para Azhariyyun ini tidak hanya diakui oleh dunia Islam saja, melainkan juga sering menjadi rujukan dunia barat dalam mendeskripsikan agama Islam.
Hadirnya para Ulama ini banyak merubah pandangan barat mengenai Islam. Islam yang awalnya dianggap agama teroris, intoleran, dan sumber kekerasan berubah menjadi agama yang penuh kasih sayang, adil, toleran dan menyejukan. Hal ini bisa kita lihat jelas dari sosok seperti Ahmad Muhammad Thayib (Grand Syaikh al-Azhar saat ini), Muhammad Abduh, dan Said Ramadhan al-Buthi.
Kali ini, penulis akan membahas sosok yang terakhir ini, Said Ramadhan al-Buthi dan kitabnya tentang cinta.
Nama lengkapnya adalah Muhammad Said Mula Ramadhan al-Buthi. Ia dilahirkan pada tahun 1929 M di desa Jilka, Pulau Buthan, sebuah daerah yang berada di bagian utara perbatasan antara Turki dan Irak. Ia berasal dari suku kurdi yang hidup dengan berbagai tekanan kekuasan Arab-Irak selama berabad-abad. Al-Buthi kecil Bersama keluarganya pindah ke Damaskus pada saat umurnya baru 4 tahun.
Al-Buthi mendapatkan pendidikan awal tentang agama, seperti aqidah, sejarah Nabi, nahwu, dan sharaf langsung di bawah bimbingan sang ayah, Syaikh Mulla Ramadhan. Ia mampu menghafalkan 1000 bait nadzam alfiyah ibnu malik ketika umurnya baru 4 tahun dan hafal 30 juz al-Qur’an saat menginjak umur 6 tahun (anak pondok pasti ketar-ketir nih dengernya!). Ini menunjukkan bahwa dari kecil al-Buthi mempunyai kecerdasan di atas rata-rata anak seusianya.
Al-Buthi remaja menyelesaikan pendidikan menengahnya di Ma’had at-Taujih al-Islamy Damaskus yang dipimpin oleh Syekh Hasan Habannakeh pada tahun 1953 M. Saat itu usianya belum genap 17 tahun, namun ia sudah diamanahi untuk naik mimbar menjadi khatib salat jum’at. Lalu, ia menjatuhkan hati pada Universitas al-Azhar untuk menjadi pelabuhan dahaga keilmuan selanjutnya (sama seperti penulis sih kampusnya! Tapi, kalo ilmunya tolong jangan dibandingkan ya, wahai pembaca yang budiman!).
Dalam waktu 2 tahun, al-Buthi berhasil menyelesaikan pendidikan S1-nya dalam bidang syari’ah (wah, kalo ini penulis yang yang ketar-ketir!). Kemudian ia melanjutkan S2-nya di Universitas yang sama dengan jurusan Bahasa Arab. Ia sempat Kembali ke Damaskus beberapa tahun dan menjadi dekan fakultas Syari’ah di Universitas Damaskus. Pada tahun 1965 M, al-Buthi merampungkan program doktornya di Universitas al-Azhar dengan disertasi yang berjudul “Dlawabit al-Mashlahah fi asy-Syari’at al-Islamiyyah”. Disertasi ini mendapat rekomendasi dari al-Azhar sebagai “Karya yang Layak Dipublikasikan”. Bahkan di Indonesia, karyanya ini menjadi sumber rujukan primer dalam kajian Bahtsul Masail yang diadakan oleh pesantren-pesantren salaf.
Sebab keluasan ilmunya (yang diakui oleh dunia barat dan timur) dan kemoderatan berpikirnya, ia dipercaya memimpin suatu lembaga penelitian theology dan agama-agama di Universitas Damaskus, menjadi anggota di lembaga penelitian kebudayaan Islam Kerajaan Yordania dan anggota Majelis Tinggi Penasihat Yayasan Thabah Abu Dhabi, bahkan ia diangkat menjadi salah satu anggota di Majelis Tinggi Senat di Universitas Oxford Inggris.
Walapun memegang banyak jabatan strategis dan banyak mengikuti konferensi tingkat tinggi di berbagai negara, al-Buthi adalah penulis yang sangat produktif. Ia menulis kurang lebih 70 karya, meliputi bidang syari’ah, sastra, filsafat, sosial, masalah-masalah kebudayaan, dan lain-lain. Beberapa karyanya antara lain: Fiqhu as-Sirah an-Nabawi, Syakhshiyyat Istawqafatni, l-Islam Maladz Kull al-Mujtama’at al-Insaniyyah, Azh-Zhullamiyyun wa an-Nuraniyyun, as-Syuro Fi al-Islam, dan al-Hubb fi al-Qur‘an wa Dawr al-Hubb fi Hayah al-Insan. Kitab terakhir inilah yang akan kita bahas di akhir, kitab yang mencoba menguak penjelasan cinta dalam al-Qur’an.
Al-Buthi sangat aktif dalam mengkritik dan menjawab pernyataan-pernyataan para orientalis yang misinterpretation (gagal paham) mengenai agama islam. Hal ini tergambar jelas dalam salah satu kitabnya, al-Islam wa al-Ghorb. Selain menulis, ia juga mempunyai rutinan mengisi beberapa majlis ta’lim di Damaskus. setiap untai kata yang keluar dari mulut al-Buthi mengandung limpahan hikmah yang dapat membuncahkan air mata, jika dipahami mendalam terlebih yang mendengar langsung dari mulutnya sendiri. Tak jarang dalam majlis yang ia isi, air matanya bercucuran ketika berbicara tentang nikmat dan karunia Allah. Oleh karena itu, majlis yang ia isi tak pernah sepi dari penuntut Ilmu dari berbagai belahan dunia.
Al-Buthi adalah sosok Ulama yang multidisipliner. Ia tidak hanya ahli dalam ilmu agama belaka, melainkan juga menguasai berbagai keilmuan modern, seperti filsafat. Karena kepiawaiannya dalam berbagai hal ini, maka tidak heran, ia dikenal sebagai “al-Ghozali Hadza al-Zaman”, al-Ghozalinya masa ini, sebagaimana al-Ghozali yang juga menguasai berbagai multidisiplin keilmuan.
Pada kamis malam, 21 Maret 2013 M, seperti biasa ia mengisi kajian tafsir di Masjid al-Imam Damaskus. setelah 20 menit berjalan kajian, sebuah bom meledak—yang dilakukan salah satu kelompok ekstrimis Islam Radikal—tepat di depannya. Dengan simbahan darah di kepala, perlahan beliau syahid di kursi tempat ia mengisi kajian sembari memeluk al-Qur’an yang berada di depannya bersama 50 muridnya dan satu cucunya tercintanya, Ahmad.
Al-Buthi berpulang dalam keadaan syahid pada usia 84 tahun. Ia dimakamkan bersebelahan dengan makam Salahuddin al-Ayyubi. Wafatnya al-Buthi menyebabkan kesedihan mendalam bagi rakyat Damaskus, bahkan dunia Islam. Sekalipun begitu, jalan pikir serta semangatnya dalam menegakkan ajaran islam masih bersinar diikuti oleh berbagai kalangan di dunia sampai sekarang.
Kitab al-Buthi Mengenai Cinta dalam Al-Qur’an
Al-Buthi sering menguak permasalahan-permasalahan yang belum sempat terbahas oleh Ulama-Ulama sebelum dirinya. Ini tergambar jelas dari salah satu karyanya yang berjudul al-Hubb fi al-Qur‘an wa Dawr al-Hubb fi Hayah al-Insan (yang berarti penjelasan cinta dalam al-Qur’an dan keterkaitannya dalam kehidupan manusia).
Dalam karyanya ini, ia berpandangan bahwa selama ini masih belum ada Ulama yang berani membedah keterangan mengenai cinta di dalam al-Qur’an. Ketika mengikuti konferensi international Ulama di berbagai negara, ia merasa penjelasan mengenai cinta dalam al-Qur’an belum pernah sama sekali dibahas. Inilah alasan utama al-Buthi menulis karyanya satu ini.
Kitab ini secara umum terbagi 2: penjelasan cinta dalam al-Qur’an dan pengaruh cinta dalam hidup manusia. Pada awal kitab, al-Buthi berpandangan bahwa Allah sudah cinta kepada manusia dari awal diciptakan, baik nantinya manusia ini akan taat kepada Allah ataupun tidak. Ini ia dapatkan dari memahami ayat ke-70 dari surat al-Isra’ yang menerangkann bahwa Allah memuliakan manusia dan mengunggulkannya dari jenis makhluk lainnya. Bentuk pemuliaan Allah inilah yang menunjukkan bahwa Allah sudah cinta kepada manusia bahkan sebelum manusia diciptakan. Karena memuliakan pasti berasal dari rasa cinta. Rasa cinta ini ia namakan sebagai al-Hubb al-Qadim.
Namun untuk mempertahankan konsistensi cinta Allah ini, seorang manusia harus berusaha sekuat tenaga untuk manaati perintah Allah dan menjauhi larangan-NYA. Dengan artian, apabila tidak menjalankan perintah Allah, manusia bisa kehilangan cinta Allah dan mendapat siksa-NYA. Cinta jenis kedua ini al-Buthi namai dengan al-Hubb al-Kasbi.
Selanjutnya, al-Buthi menjelaskan bahwa manusia juga sudah cinta kepada Allah sejak sebelum dilahirkan. Ia juga membagi cinta Bani Adam kepada Allah menjadi 2: al-Hubb al-Qadim dan al-Hubb al-Kasbi, dengan penjelasan yang sangat memukau, memadukan antara al-Qur’an dan logika.
Di akhir kitab, al-Buthi menjelaskan secara panjang lebar bahwa ketika seorang Bani Adam sudah cinta dengan Allah, maka ia rela mengorbankan harta, jiwa, dan apapun demi agama Allah. Karena ketika cinta sudah mengakar dalam diri hamba, ia akan merasa bahwa semua yang dimilikinya di dunia ini tidak lain tidak bukan hanya untuk dipersembahkan kepada Allah dan al-Muhibb (pencinta) akan mengorbankan apapun demi al-Habib (orang yang dicintai). Dalam karya al-Buthi kita akan disuguhkan berbagai argumentasi (baik secara logika atapun nas) yang sangat menarik untuk dibaca.
Begitulah sosok as-Syahid Ramadhan al-Buthi dan sedikit mengenai salah satu karyanya. Ia adalah Ulama yang menjadi rujukan umat Islam dalam berbagai hal. Jasanya sangat besar untuk umat ini. Semoga generasi muda Islam bisa berteladan padanya dan menjadi al-Buthi al-Buthi baru di masa mendatang.
____________
* Penulis Kolom
* Source: Alif.Id