”Selama syahwat itu subur, maka hilir mudik setan pada diri manusia senantiasa ada. Selama pengaruh setan masih ada, maka keagungan Allah tidak akan mampu tersingkap bagi manusia dan dia terhijab untuk bertemu dengan-Nya.”
Oleh: Admin
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
Bismillãhirrahmãnirrahîm
Wasshalãtu wassalãmu ‘alã Muhammadin wa ãlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inãyatil ‘ãmmati wal-hidãyatit tãmmah, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn“.
Sahabatku yang dirahmati Allah SWT. Ada sebuah kitab yang ditulis oleh Imam al-Ghazali yang menjelaskan tentang rahasia-rahasia puasa. Kitab tersebut merupakan bagian dari Kitab Ihyã’ Ulûmiddîn bernama Asrãrus Shaum (Rahasia-Rahasia Puasa).
Rasulullah SAW bersabda:
لَوْلَا أَنَّ الشَّيَاطِيْنَ يَحُوْمُوْنَ عَلَى قُلُوْبِ بَنِيْ آدَمَ لَنَظَرُوْا إِلَى مَلَكُوْتِ السَّمَآءِ
“Andaikata setan tidak menggerumungi hati manusia, niscaya manusia dapat menyaksikan kerajaan-kerajaan langit”. (H.R. Imam Ahmad dari Abu Hurairah).
Selama syahwat itu subur, maka hilir mudik setan pada diri manusia senantiasa ada. Selama pengaruh setan masih ada, maka keagungan Allah tidak akan mampu tersingkap bagi manusia dan dia terhijab untuk bertemu dengan-Nya.
Demikian penjelasan Imam al-Ghazali dalam Asrãrus Shaum. Asrãrus Shaum atau rahasia-rahasia puasa adalah bab dalam kitab Ihyã’ Ulûmiddîn di seperempat kitab pertama yang menjelaskan tentang ibadah (rub’il ibãdah). Bab ini kemudian dipetik dan dipisahkan sendiri oleh banyak percetakan untuk dicetak menjadi kitab, sehingga lebih praktis dan mudah dipelajari.
Di awal pembahasan, Imam al-Ghazali telah membuka dengan keistimewaan puasa. Bahwa puasa adalah ibadah yang pelakunya terlihat tidak ngapa-ngapain. Puasa adalah ibadah yang tidak terlihat oleh makhluk. Secara lahir, tidak ada beda antara orang yang sedang dan tidak berpuasa.
Dikarenakan puasa hanya Allah yang tahu, maka nilai pahalanya rahasia Allah juga. Di sisi lain, ibadah puasa tergolong ibadah yang ‘cukup unik’. Orang puasa menahan diri untuk tidak makan padahal ia mampu melaksanakan. Ini tentu cukup sulit. Meninggalkan sesuatu yang telah menjadi kebiasaan dan prilaku yang wajar bagi makhluk hidup.
Rasulullah SAW berkomentar sangat positif terkait orang puasa. Mereka yang meninggalkan aktivitas makan dan minumnya. Beliau bersabda:
وَقَدْ جَمَعَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي رُتْبَةِ الْمُبَاهَاةِ بَيْنَ الزُّهْدِ فِي الدُّنْيَا وَبَيْنَ الصَّوْمِ فَقَالَ : « إِنَّ اللهَ تَعَالَى يُبَاهِيْ مَلَآئِكَتَهُ بِالشَّآبِّ الْعَابِدِ فَيَقُوْلُ : أَيُّهَا الشَّآبُّ التَّارِكُ شَهْوَتَهُ لِأَجْلِيْ الْمُبْذِلُ شَبَابَهُ لِيْ، أَنْتَ عِنْدِيْ كَبَعْضِ مَلَآئِكَتِيْ »
Rasulullah SAW menyamakan antara derajat puasa dan orang yang berzuhud terhadap kesenangan duniawi, beliau bersabda: “Sungguh Allah membanggakan seorang pemuda ahli ibadah kepada para malaikat-Nya. Dia berfirman: ‘Wahai pemuda, yang meninggalkan syahwatnya dan mengerahkan waktu mudanya untuk Aku. Kalian dalam pandangan-Ku adalah sebagaimana para malaikat-Ku’”.
Sebagaimana diketahui, Kitab Ihyã’ Ulûmiddîn sendiri memadukan materi kajian Fiqih dengan sisi Tasawuf. Keterangan Fiqih ini terlihat ketika Imam al-Ghazali menjelaskan pasal pertama. Pasal ini berisikan tentang hal-hal yang wajib lahiriyah ketika berpuasa, kesunahan-kesunahan lahir dan konsekwensi dari batalnya puasa.
Kewajiban lahiriyah meliputi enam hal, yaitu memperhatikan awal puasa, niat, mencegah masuknya sesuatu ke dalam lubang di tubuh, menahan bersetubuh, menghindari kepuasan seksual (istimna’) dan tidak berusaha muntah dengan sengaja. Konsekwensi batalnya puasa bisa berupa meng-qadha, kaffarat, membayar fidyah dan tetap menahan diri dari yang membatalkan puasa di sisa harinya.
Sementara kesunahan puasa meliputi mengakhirkan sahur, menyegerakan berbuka, tidak bersiwak selepas masuk waktu dzuhur, memperbanyak derma, tadarrus al-Qur’an dan ber-i’tikaf di sepertiga terakhir bulan Ramadhan.
Pada pasal selanjutnya, Imam al-Ghazali mulai membahas rahasia puasa. Materi ini sering dibawakan oleh para da’i dalam ceramahnya. Kitab ini adalah kitab wajib ngaji posoan, yakni rujukan standar bagi orang yang sudah ‘aqil baligh untuk melaksanakan ibadah puasa.
Imam al-Ghazali juga mengklasifikasikan puasa dalam beberapa tingkatan, yakni puasa awam, puasa khusus dan khususul khusus. Hal itu sudah seringkali kita dengar dalam ceramah-ceramah setelah shalat tarawih di masjid-masjid. Sehingga tidak asing lagi di telinga kita.
Tujuan puasa agar nafsu terkendali. Dengan mengada-adakan menu buka dan sahur semacam ini, malah menjadi ajang mengembala nafsu agar semakin menggemukan diri. Bukan sedang menghakimi, tapi jujur saya sendiri pun masih kerap melakoni.
Imam Al-Sya’rani dalam Mizan-nya memberikan pantangan untuk tidak memakan sesuatu apapun yang bernyawa ketika buka atau bersantap sahur sebelum puasa. Pernyataan Imam Asy-Sya’roni ini kemudian oleh KH. Ahmad Asrari Al-Ishaqy dan banyak ulama lainnya dijadikan acuan dalam mengamalkannya selama bulan puasa. Tarak namanya. Mutih, istilah lain menyebutnya.
Dengan menerapkan sistem semacam ini tentu tidak semua jenis makanan akan dapat masuk dan diolah oleh perut begitu saja. Ada riyãdhah atau latihan untuk hanya memakan makanan yang berupa biji-bijian saja. sehingga seorang murid tidak akan merasa kekenyangan. Konsekwensinya, jika ia tidak kekenyangan, maka fokus aktivitasnya tidak terganggu oleh urusan jasmani, seperti mengantuk ataupun kebutuhan kamar mandi, sehingga kewajiban ibadahnya terpenuhi.
Di pasal selanjutnya, dipaparkan penjelasan mengenai puasa sunnah dan urutan keutamaannya. Menurut Imam al-Ghazali, hari yang utama untuk berpuasa setelah Ramadhan adalah hari ‘Arafah tanggal 9 bulan Dzulhijjah, hari ‘Asyura tanggal 10 Muharram, sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah dan sepuluh hari pertama bulan Muharram.
Sementara setiap bulannya (hijriyah), yang paling dianjurkan adalah permulaan bulan, pertengahan dan akhir bulan. Sedang untuk setiap pekannya, hari yang paling utama berpuasa adalah Senin, Kamis dan Jum’at. Pada hari-hari ini disunahkan memperbanyak kebaikan, agar pahala dilipatgandakan sebab keberkahan pada hari-hari tersebut.
Alhasil, maqshûdul a’dzham atau tujuan utama adanya puasa -atau dalam hal ini adalah melanggengkan rutinitas berpuasa- adalah agar terbiasa menahan diri, mengendalikan emosi, membatasi nafsu dan hasrat diri. Sebagian ulama membenci empat hari berturut-turut tanpa adanya puasa. Mereka beralasan, hal itu membuat kerasnya hati, menimbulkan perilaku yang rendah serta membuka pintu syahwat.
Sebagai penutup, keterangan singkat ini saya rasa masih sangat mewakili isi Kitab Asrãrus Shaum. Sehingga alangkah baiknya untuk membacanya lebih lanjut di kitab aslinya. Kalau tidak mampu beli Kitab Ihya’nya, ya minimal punya Kitab Asrãrus Shaumnya aja. Semoga Ramadhan tahun ini menjadi Ramadhan yang penuh keberkahan. Ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn.
Saudaraku yang dirahmati Allah SWT, untuk menambah koleksi kitab secara online, berikut kami sajikan Kitab Asrãrus Shaum yang diterjemahkan oleh Bahrudin Achmad dalam bentuk e-book. Silahkan didownload atau sekedar dibaca secara daring.
____________
Source: Zakki El-Saidy, Asrorus Shoum: Kitab Wajib Ngaji Posoan, Alif.id