“Sebagian ulama zaman dulu menyadari bahwa mereka lebih nyaman berada pada zona ketidaktahuan daripada merasa serba tahu dalam segala hal.”
Oleh: Admin*
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
Bismillâhirrahmânirrahîm
Wasshalâtu wassalâmu ‘alâ Muhammadin wa âlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘âmmati wal-hidâyatit tâmmah, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn“.
Saudaraku yang dikasihi Allah SWT. Zaman akhir semakin nyata. Betapa kebanyakan dari kita terlalu mudah “sesumbar” sebagai orang yang paling mengetahui banyak hal. Betapa mudahnya kita semua lupa diri dan tak tahu diri.
Sebagian dari kita, bahkan begitu mudahnya mengeklaim bahwa pengetahuan kita adalah “milikku” dan hasil “usahaku”. Lalu ia berbicara dan “menceramahi” orang lain sebagai seorang yang memiliki otoritas untuk menentukan kebenaran. Ia tidak sadar, bahwa dirinya sudah lari menjauh dari hakikat kebenaran yang Hanya Milik Tuhan. Karena itu, Pengetahuan juga Milik Tuhan.
Yuval Noah Harari di dalam bukunya “21 Lessons For 21 Century” menulis bahwa manusia secara individu hanya mengetahui sedikit sekali mengenai dunia, dan seiring berjalannya sejarah, pengetahuan manusia semakin berkurang. Seorang pemburu-pengumpul di Zaman Batu tahu bagaimana cara membuat pakaian, menyalakan api, berburu kelinci, dan menghindari singa. Kita berfikir bahwa saat ini kita mengetahui lebih banyak, tetapi sebagai individu, kita sebenarnya mengetahui lebih sedikit. Kita mengandalkan keahlian orang lain dalam hampir semua kebutuhan.
Dalam satu percobaan yang menumbangkan keangkuhan kita, orang diminta mengevaluasi sebaik apa mereka mengerti cara kerja ritsleting yang biasa dipakai ketika memakai celana atau baju. Sebagian besar orang dengan yakin menjawab bahwa mereka mengerti ritsleting dengan baik (karena, mereka menggunakan ritsleting sehari-hari). Kemudian mereka diminta menjabarkan sedetail mungkin seluruh langkah yang ada dalam cara kerja ritsleting. Ternyata kesimpulannya, sebagian besar tidak tahu.
Itulah yang disebut Steven Sloman dan Phillip Ferbach sebagai ”Ilusi Pengetahuan”. Meskipun secara individual kita sebenarnya hanya tahu sedikit sekali, kita mengira bahwa kita mengetahui banyak hal karena kita menganggap pengetahuan dalam akal budi orang lain seolah-olah adalah pengetahuan kita sendiri.
Orang jarang menyadari ketidaktahuannya karena mereka mengunci diri dalam ruang gema yang berisi kawan-kawan sepemikiran dan asupan berita yang serba membenarkan, tempat kepercayaan mereka terus menerus diperkuat dan jarang ditantang.
Sebagian ulama zaman dulu menyadari ini sehingga mereka lebih nyaman berada pada zona ketidaktahuan daripada merasa serba tahu dalam segala hal. Sebut saja sahabat Nabi Umar bin Khattab yang populer dengan 3 level menuntut ilmu. Pada tahap awal dia merasa tahu segalanya dan pada tahap akhir dia tidak tahu apapun. Imam Malik ketika ditanya tentang sekian banyak persoalan agama, Beliau lebih banyak menjawab ”Saya Tidak Tahu” ketimbang jawaban sok tahu.
Ketika mengutip hadits Nabi tentang sesuatu, seolah-olah dia paham betul apa yang dimaksud Nabi dan kutipan dia sudah dianggap sebagai pesan Nabi. Padahal bisa jadi apa yang diucapkan Nabi maknanya bukan seperti itu. Dalam kasus lebih akut, orang ketika mengutip ayat-ayat kitab suci kemudian menjadikan itu sebagai senjata untuk menyerang orang lain, dia menganggap bahwa Tuhan telah beserta dia dan membenarkan segala tindakan dia, hanya gara-gara sepotong ayat yang dia yakini sebagai pesan spesifik Tuhan kepadanya.
Orang Wahabi sampai kiamat tetap akan menolak tarekat, tasawuf dan tradisi yang berkembang di kalangan Islam tradisional (Baca: Ahlusunnah), karena bagi mereka segala amalan orang tarekat itu mengada-ada (bid’ah) bahkan menjadi syirik. Mereka sampai kapanpun tetap menganggap menziarahi makam wali sebagai tindakan musyrik, termasuk merayakan maulid, dianggap sebagai pengkultusan terhadap Nabi.
Nampaknya kita akan terus berkutat memperdebatkan hal-hal remeh, tentang jumlah rakaat tarawih, qunut tidak qunut sementara ada kelompok yang senang berdebat dengan orang berbeda agama. Islam menyalahkan teologi kristen dan kristen menyalahkan hindu dengan konsep polyteisnya.
Ketika dalam satu agama terus berdebat (saling klaim golongan mana paling benar), kalangan penganut agama berbeda juga saling mempertahankan kebenaran agama masing-masing, tanpa disadari dunia semakin modern ini akan semakin banyak orang-orang tidak peduli tentang agama, bahkan tidak peduli tentang Tuhan sama sekali.
Orang sekuler menganggap agama hanya beban masa lalu, hanya cocok untuk manusia abad pertengahan. Ketika orang sakit terjadi di masa lalu, suku di pedalaman afrika akan membawa orang ke dukun, dan dukun menyarankan untuk membaca mantra-mantar agar roh jahat keluar dari tubuh si sakit. Ketika orang sakit di abad pertengahan di eropa, orang akan dianjurkan untuk bertaubat, menyumbang ke gereja, berziarah agar sakitnya sembuh. Tapi zaman sekarang, dokter telah menjadi solusi utama. Tidak peduli apakah dia sunni atau syiah, kaum murtad atau para penyembah berhala, semuanya akan di obati dengan metode yang sama dan hasilnya sama. Orang tidak perlu lagi orang sakti untuk menurunkan hujan, atau melaksanakan shalat meminta hujan, cukup dengan merekayasa cuaca, hujan bisa datang dan pergi kapan saja di inginkan.
Orang di Arab Saudi dalam sepuluh tahun terakhir ini begitu terkejut dengan gebrakan Muhammad bin Salman (MBS) yang mulai membawa Saudi kepada sistem sekuler. Ulama-ulama yang menentang ditangkap, hiburan mulai dibebaskan dan hal-hal selama ini tabu, terlarang mulai dilonggarkan bahkan dilegalkan. Sebagian pengikut wahabi mulai sadar bahwa selama ini apa yang mereka sebut sebagai ilmu agama, ilmu sunnah ternyata hanya ilusi yang diciptakan negara untuk melanggengkan kekuasaannya. Orang mulai sadar bahwa ajaran Wahabi yang selama ini begitu sakral di Saudi hanyalah produk politik, dan agama sebenarnya adalah negara itu sendiri. Tidak ada sunnah, tidak ada bid’ah, yang ada hanyalah Kerajaan Arab Saudi yang harus tetap berdiri kokoh. Ketika angin bergeser ke kiri, maka segala hal yang berwarna kanan wajib dimusnahkan, disesuaikan dengan arah angin. Perubahan itu tidak lama lagi juga akan melanda Iran, senang atau tidak senang.
Tidak beda dengan kelompok yang mengklaim diri sebagai Ahlusunnah, mati-matian mempertahankan keyakinannya yang kadang melupakan Islam sebagai pokok dari segalanya. Orang lebih bangga mengenalkan akidah ahlusunnah dari pada akidah Islam itu sendiri. Apa-apa harus ahlusunnah. Padahal pelebelan ahlusunnah itu sendiri adalah bentuk perlawanan terhadap stempel ”Sunnah” yang dipakai oleh wahabi. Ketika suatu saat wahabi lenyap maka gerakan ahlusunnah juga akan lenyap. Orang akan beragama dengan apa yang telah ada tanpa perlu embel-embel. Orang suatu saat akan tidak lagi mempermasalahkan apakah dia NU atau Muhamadiyah.
Secara tak terduga, muncul pula keributan di akhir-akhir ini tentang sebagian orang yang mempertanyakan dan menggugat nasab kaum Ba’alawi yang diklaim bersambung kepada Nabi Muhammad SAW. Kaum Ba’alawi mengeklaim bahwa nasabnya sudah ratusan tahun syuhrah wal-istifadhah bahkan diklaim sudah ijma’ ulama dan dinyatakan bersambung kepada Nabi Muhammad SAW. Mereka mengeklaim sebagai dzuriyyat Nabi SAW berdasarkan bukti-bukti “ilmiyah” dan mengeklaim pula hak privilege yang “untouchabale” dari kritik. Mengeklaim pula hak atas surga dan kebebasan berprilaku tanpa mengindahkan nasehat orang lain. Mengeklaim pula sebagai kaum yang paling mulia di kolong langit ini.
Lalu di sisi lain, sebagian umat muslim menggugat dan mempertanyakan bahwa nasab kaum Ba’alawi tidak sah sebagai keturunan Nabi SAW berdasarkan data-data dan fakta-fakta sejarah. Mereka mengeklaim telah melakukan penelitian yang menghasilkan bahwa nasab kaum Ba’alawi telah terputus selama 500 tahun, bahkan disimpulkan bahwa tokoh-tokoh tertentu dalam mata rantai nasab kaum Ba’alawi yang dianggap tersambung kepada Nabi SAW dipastikan adalah sosok fiktif, tak ditemukan sedikitpun jejak-jejak data dari tokoh tersebut. Selain itu, barisan para penggugat juga membentuk Laskar Sabilillah yang siap menghadang “laju” hegemoni kaum Ba’alawi yang mereka sebut sebagai “domplengan para penjajah Belanda” itu.
Walhasil, akankah kaum Ba’alawi dan para penggugatnya mau mengambil waktu untuk sedikit berkontemplasi dengan kepala dingin agar ia dapat meletakkan pembahasan tentang nasab secara proporsional, sehingga kepentingan akan nasab tidak bercampur aduk dengan kepentingan akan akhlaq dan keadaan dirinya di hadapan Tuhan? Ketersambungan jiwa kepada Nabi SAW jauh lebih penting daripada ketersambungan nasab darah kepada Nabi SAW. Ketersambungan jiwa kepada Nabi SAW itulah yang akan membuka kesadaran murni.
Ilusi Pengetahuan akan sirna ketika berhadapan dengan realitas murni yaitu pemilik kebenaran itu sendiri (Al-Haqq). Maka fokus kita bukan pada pengetahuan tapi kepada sumber dari segala sumber pengetahuan yaitu Allah SWT. Nabi Muhammad SAW yang hidup 1500 tahun begitu paham tentang embrio di dalam rahim Ibu, meskipun zaman itu tidak ada alat untuk meneropong ke dalam rahim. Beliau begitu paham dengan susunan benda langit dan hal-hal mustahil diketahui lainnya karena Beliau tersambung kepada sumber segala sumber pengetahuan. Begitu harmoni nya hubungan Beliau dengan Allah, sebagai hubungan kekasih dengan yang dikasihi, namun selalu ada celah ketidaktahuan Beliau sebagai wujud rendah hati, ”kalian lebih mengetahui tentang dunia kalian dari pada aku”.
Kiamat, kehidupan setelah kematian, Tuhan, siksa kubur, siksa neraka dan kenikmatan surga hanya menjadi ilusi bagi kaum sekuler. Mereka menganggap berita kitab suci hanyalah fiksi untuk menenangkan pengikutnya. Freud, Einstein, Karl Mark dan sebagian besar ilmuan telah berjaya menghasilkan pemikiran besar berdasarkan sifat sekuler mereka. Dalam ilmu pengetahuan modern tidak ada lebel-lebel agama yang bisa dilekatkan. Mereka menemukan jalan sendiri dan mereka juga mempunyai Tuhan sendiri. Albert Einstein juga pernah berkata bahwa dia beriman pada “Tuhannya Spinoza”. Baruch Spinoza adalah salah satu filsuf besar di era Renaissance Eropa: pemikir yang membuka jalan baru bagi metafisika, epistemologi, dan filsafat. Magnum opusnya, the Ethics, pun masih menjadi sumber inspirasi sampai hari ini.
Kita tidak tahu apakah diakhir hayat Einstein berjumpa dengan Tuhan versi Spinoza atau dia memejamkan mata hanya melihat sekilas Cahaya seperti ledakan nuklir, atau di akhir hayat dia menyadari bahwa seluruh pengetahuan dia Terutama tentang Tuhan adalah Ilusi Pengetahuan. Eisntein bukan Wali apalagi Nabi, konsep Relativitas nya akan kita terima karena terbukti sedangkan konsep Ketuhanan Einstein bisa jadi hanya sebatas angan-angan saja.
Ketika Tuhan masih memberi kita hidup, berarti Dia memberi kita kesempatan untuk menemukan Pengetahuan Sejati, pengetahuan yang berasal langsung dari diri-Nya. Manusia diberi kesempatan untuk terlepas dari Ilusi Pengetahuan agar ketika waktunya tiba maka dia menjadi damai karena telah bersama dengan Tuhan yang menciptaan dia bukan Tuhan yang dia ciptakan. Wahabi berhenti sejenak, menarik nafas, merenungi, apa memang begini Ber-agama itu? Apakah saya benar-benar kenal dengan Allah atau saya hanya mengenal Allah yang telah saya ciptakan? Pun kelompok sebelah merenungi juga, apakah yang saya jalani ini, mempelajari sifat-sifat Allah, membaca al-Qur’an, telah mengantarkan kepada Sang Pencipta? Atau hanya sampai kepada Tuhan versi angan-angan.
Pada akhirnya, akan sampai kita ke ujung pengetahuan bahwa ”Kita Tidak Mengetahui Apa-apa”. Belajar bukan untuk mengetahui tapi untuk bisa rendah hati. Guru Sufi pun menasehati murid-muridnya, ”Berguru bukan sampai pintar (tamat), tapi sampai mati!”.
اَللّٰهُمَّ طَهِّرْ قَلْبِي مِنَ النِّفَاقِ وَعَمَلِي مِنَ الرِّيَآءِ وَ لِسَانِي مِنَ الْكَذِبِ وَعَيْنِي مِنَ الْخِيَانَةِ، إِنَّكَ تَعْلَمُ خَائِنَةَ الأَعْيُنِ وَمَا تُخْفِى الصُّدُوْرِ، اَللّٰهُمَّ ارْزُقْنَا فَهْمَ النَّبِيِّيْنَ وَحِفْظَ اْلمَرْسَلِيْنَ وَإِلْهَامَ الْمَلَآئِكَةِ الْمُقَرَّبِيْنَ، بِرَحْمَتِكَ يَآ أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ .
Allãhumma thahhir qalbî minan nifãqi wa ‘amalî minar riyã’i wa lisãnî minal kadzibi wa ‘ainî minal khiyãnati, innaka ta’lamu khã’inatal a’yuni wa mã tukhfish shudûr, Allãhummarzuqnã fahman nabiyyîna wa hifdzhal mursalîna wa ilhãmal malãikatil muqarrabîn, birahmatika yã arhamar rãhimîna.
“Ya Allah, sucikanlah hatiku dari kemunafikan, amal perbuatanku dari pamer, lidah dan ucapanku dari kebohongan, dan sucikan mataku dari khianat, sesungguhnya Engkau mengetahui pandangan mata yang khianat dan mengetahui apa saja yang tersembunyi dalam hati, Ya Allah, anugerahilah kami pemahaman para Nabi, hafalan para Rasul, dan ilhamnya para Malaikat yang dekat (dengan-Mu), sebab kasih sayang-Mu, wahai Zat yang Maha Pengasih.” Ãmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.
____________
* Dikutip dan dimodifikasi dari Sufi Muda