بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
Bismillãhirrahmãnirrahîm
Washshalãtu wassalãmu ‘alã Muhammadin wa ãlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inãyatil ‘ãmmati wal-hidãyatit tãmmah, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn“.
Gunung santri merupakan salah satu bukit dan nama kampung yang ada di Desa Bojonegara Kecamatan Bojonegara Kabupaten Serang. Daerah ini berada di sebelah barat laut daerah pantai utara, 7 Kilometer dari Kota Cilegon.
Letak gunung santri berada di tengah, dikelilingi gugusan gunung-gunung yang memanjang, dimulai dari pantai dan berakhir pada gunung induk yaitu gunung gede.
Di puncak gunung santri terdapat makam seorang wali yaitu Syekh Muhammad Sholeh. Jarak tempuh dari kaki bukit menuju puncak bejarak 500 M. Hanya bisa dilalui dengan berjalan kaki.
Kampung di sekitar gunung santri antara lain Kejangkungan, Lumajang, Ciranggon, Beji, Gunung Santri dan Pangsoran. Di kaki bukit sebelah utara di kampung Beji terdapat masjid kuno yang seumur dengan masjid Banten lama, yaitu Masjid Beji. Masjid tersebut merupakan masjid bersejarah yang masih kokoh, tegak berdiri yang masih menampakkan bentuk aslinya sejak zaman Kesultanan Banten. Kala itu Kesultanan Banten dipimpin oleh Sultan Hasanuddin, anak dari Sunan Gunung Jati, Cirebon.
Syekh Muhammad Sholeh adalah Santri dari Sunan Ampel. Setelah beberapa tahun menimba ilmu pada Sunan Ampel, beliau menemui Sultan Syarif Hidayatullah atau lebih di kenal dengan gelar Sunan Gunung Jati (ayahanda dari Sultan Hasanuddin) yang pada masa itu penguasa Cirebon.
Syaikh Muhamad Sholeh diperintah oleh Sultan Syarif Hidayatullah untuk mencari putranya yang sudah lama tidak ke Cirebon. Sambil berdakwah untuk mengamalkan ilmunya, Syaikh Muhammad Sholeh tinggal dan menetap di Banten. Kala itu Banten masih berada di bawah kekuasaan Kerajaan Pajajaran yang mayoritas penduduknya beragama Hindu. Saat itu Pajajaran dipimpin oleh Prabu Pucuk Umun dengan pusat pemerintahannya berada di Banten Girang.
Sesuai ketelatenannya, akhirnya Syaikh Muhammad Sholeh pun bertemu Sultan Hasanuddin di Gunung Lempuyang, dekat kampung Merapit Desa Ukir Sari Kec. Bojonegara yang terletak di sebelah barat pusat kecamatan. Sultan Hasanuddin saat itu sedang bermunajat kepada Allah SWT. Setelah menasehatinya, Syaikh Muhammad Sholeh mengajak Sultan Hasanuddin untuk berangkat ke Cirebon menemui ayahnya. Namun Sultan Hasanudin menolak ajakan itu.
Karena kedekatannya dengan sang ayah, Sultan Hasanudin pun mengangkat Syaikh Muhammad Sholeh untuk menjadi pengawal sekaligus penasehat pribadinya. Syaikh Muhammad Sholeh dijuluki oleh Sultan Hasanuddin sebagai “Cili Kored”, karena telah berhasil meningkatkan produk pertanian. Ia mengelola sawah untuk hidup sehari-hari dengan julukan sawah si derup yang berada di blok Beji.
Syiar agam Islam yang dilakukan Sultan Hasanuddin mendapat tantangan dari Prabu Pucuk Umun, karena berhasil menyebarkan agama Islam di Banten sampai bagian Selatan Gunung Pulosari (Gunung Karang) dan Pulau Panaitan Ujung Kulon. Keberhasilan ini mengusik Prabu Pucuk Umun karena semakin kehilangan pengaruh. Lalu menantang Sultan Hasanuddin untuk bertarung dengan cara mengadu ayam jago. Sebagai taruhannya, akan dipotong lehernya. Tantangan Prabu Pucuk umun pun diterima oleh Sultan Hasanuddin.
Setelah Sultan Hasanudin bermusyawarah dengan pengawalnya, Syaikh Muhammad Sholeh, akhirnya disepakati yang akan bertarung melawan Prabu Pucuk Umun adalah Syaikh Muhammad Sholeh yang bisa menyerupai bentuk ayam jago seperti halnya ayam jago biasa. Hal ini terjadi karena kekuasaan Allah SWT.
Pertarungan dua ayam jago tersebut berlangsung seru. Akhirnya, ayam jago milik Sultan Maulana Hasanudin yang memenangkan pertarungan dan membawa ayam jago tersebut ke rumahnya. Ayam jago tersebut berubah menjadi sosok Syaikh Muhammad Sholeh sekembalinya di rumah Sultan Maulana Hasanudin.
Akibat kekalahan adu ayam jago tersebut, Prabu Pucuk Umun pun tidak terima dan mengajak berperang Sultan Maulana Hasanuddin. Ajakan perang pun dilayani oleh Sultan Hasanuddin. Akhirnya, pasukan Prabu Pucuk Umun pun kalah dalam perperangan. Pasukannya mundur ke selatan dan bersembunyi di pedalaman Rangkas, yang sekarang dikenal dengan suku Baduy.
Setelah selesai mengemban tugas dari Sultan Maulana Hasanudin, Syaikh Muhammad Sholeh pun kembali ke kediamannya di Gunung santri. Kemudian ia melanjutkan aktifitasnya sebagai muballigh dan menyiarkan agama Islam kembali. Keberhasilan Syaikh Muhammad Sholeh dalam menyebarkan agama Islam di pantai utara Banten ini didasari dengan rasa keikhlasan dan kejujuran dalam menanamkan tauhid kepada santrinya. Semua itu patut diteladani oleh kita semua sebagai generasi penerus untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar.
Beliau Wafat pada usia 76 Tahun. Sebelumnya, ia berpesan kepada santrinya bahwa jika ia wafat agar dimakamkan di Gunung Santri. Di dekat makam beliau, terdapat pengawal sekaligus santri syaikh Muhammad Sholeh, yaitu makam Malik, Isroil, Ali dan Akbar yang setia menemani syaikh dalam menyiarkan agama Islam. Syaikh Muhammad Sholeh wafat pada tahun 1550 Masehi / 958 Hijriyah.
Jalan menuju makam Waliyullah tersebut mencapai kemiringan 70-75 derajat sehingga membutuhkan stamina yang prima untuk mencapai tujuan jika akan berziarah. Jarak tempuh dari tol Cilegon Timur 6 KM ke arah Utara Bojonegara. Jika dari Kota Cilegon melalui jalan Eks Matahari lama sekarang menjadi gedung Cilegon Trade Center 7 KM ke arah utara Bojonegara.
Saudaraku tercinta, kututup artikel ini dengan mengajak para pembaca sekalian untuk bersama-sama membaca Surat al-Fatihah yang dikirimkan khusus untuk beliau. Semoga Allah SWT mensucikan rahasia maqamnya yang tinggi dan menganugerahkan kepada kita pantulan cahaya yang telah Allah limpahkan kepada beliau, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.
أَلْفَاتِحَةَ إِلَى حَضْرَةِ النَّبِيِّ الْمُصْطَفَى رَسُوْلِ اللّٰهِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَإِلَى رُوْحِ خُصُوْصًا مَوْلَانَا سُلْطَان حَسَنُ الدِّيْن وَالشَّيْخِ مُحَمَّد صَالِح وَأُصُوْلِهِمْ وَفُرُوْعِهِمْ وَذَوِي الْحُقُوْقِ عَلَيْهِمْ أَجْمَعِيْنَ، أَنَّ اللّٰهَ يَغْفِرُ لَهُمْ وَيَرْحَمُهُمْ وَيُعْلِيْ دَرَجَاتِهِمْ فِي الْجَنَّةِ، وَيَنْفَعُنَا بِأَسْرَارِهِمْ وَأَنْوَارِهِمْ وَعُلُوْمِهِمْ وَنَفَحَاتِهِمْ وَبَرَكَاتِهِمْ فِي الدِّيْنِ وَالدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، اَلْفَاتِحَةَ أَثَابَكُمُ اللّٰهُ …
Al-fâtihata ilâ hadhratin nabiyyil mushthafâ rasûlillâhi muhammadin shallallâhu ‘alaihi wa sallam, wa ilâ rûhi khushûshan Maulana Sulthan Hasanuddin wa Syaikh Muhammad Sholeh wa ushûlihimâ wa furû’ihimâ wa dzawil huqûqi ‘alaihimâ ajma’în, annallâha yaghfiru lahumâ wa yarhamuhumâ wa yu’lî darajâtihimâ fil-jannah, wa yanfa’unâ bi asrârihimâ wa anwârihimâ wa ‘ulûmihimâ wa nafahâtihimâ wa barakâtihimâ fid-dîni wad-dunyâ wal-âkhirah, al-fâtihata atsâbakumullâh…
________________
Dinukil dari buku “Gunung Santri Objek Wisata Religius”.