بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
Bismillâhirrahmânirrahîm
Wasshalâtu wassalâmu ‘alâ Muhammadin wa âlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘âmmati wal-hidâyatit tâmmah, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn“.
Saudaraku terkasih, Tuan Guru Mursyid kami, Sunan Kudus atau Raden Ja’far Shadiq adalah salah satu penyebar agama Islam di Indonesia yang tergabung dalam Wali Songo. Beliau lahir sekitar 1500-an Masehi dan bernama lengkap Sayyid Ja’far Shadiq Azmatkhan.
Beliau adalah seorang wali yang sangat dikenal dengan sikap toleransinya yang tinggi. Hal tersebut masih dikenal sampai sekarang dan diikuti oleh pengikutnya yang mencintai kedamaian.
Asal-usul Sunan Kudus
Sunan Kudus memiliki nama asli Sayyid Ja’far Shadiq Azmatkhan. Nama Ja’far Shadiq diambil dari nama datuknya yaitu Ja’far ash-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib yang beristerikan Fatimah az-Zahra binti Muhammad Saw.
Menurut Agus Sunyoto budayawan Nahdlatul Ulama’ (NU), dalam karyanya Atlas Wali Songo (2017) dengan mengutip Babad Tanah Jawi dan Naskah Derajad menjelaskan bahwa Raden Ja’far Shadiq (Sunan Kudus) merupakan putra dari Sunan Ngudung atau Usman Haji dan Syarifah Ruhil atau Dewi Ruhil yang bergelar Nyai Anom Manyuran binti Nyai Ageng Melaka binti Sunan Ampel.
Raden Usman Haji sendiri merupakan putra dari Ali Murtadha kakak dari Sunan Ampel. Kemudian Sunan Ampel dan Ali Murtadho (kakek Sunan Kudus) merupakan putra dari Syaikh Ibrahim as-Samarkandiy, seorang ulama’ dari Asia Tengah yang menikah dengan puteri kerajaan Champa, Vietnam.
Ketika Syaikh Ibrahim as-Samarkandiy pergi ke tanah Jawa untuk menyebarkan agama Islam, kedua anaknya (Sunan Ampel dan Ali Murtadha) tersebut dibawa. Kedua puteranya tersebut juga menyebarkan ajaran Islam, Sunan Ampel menjadi wali besar dan Ali Murtadha juga melahirkan keturunan seorang ulama besar’ bernama Usman Haji, yang kemudian melahirkan putra bernama Sunan Kudus.
Dikisahkan, Raden Usman Haji (ayah Sunan Kudus) oleh Sunan Ampel dijadikan imam di daerah Jipang, Panolan, Dusun Ngudung. Kemudian, Usman Haji melakukan semedi (bertapa) di Gunung Jambangan selama tiga bulan.
Dari sanalah kemudian Usman Haji mengalami pengalaman spiritual dan menjadi wali. Nama Usman Haji oleh masyarakat sekitar sana kemudian diberikan gelar sebagai Sunan Ngudung, sebutan untuk wali yang tinggal di daerah Ngudung.
Sunan Kudus adalah keturunan ke-24 dari Nabi Muhammad Saw, berikut adalah urutannya:
Sunan Kudus bin Sunan Ngudung bin Fadhal Ali Murtadha bin Ibrahim Zainuddin Al-Akbar bin Jamaluddin Al-Husain bin Ahmad Jalaluddin bin Abdillah bin Abdul Malik Azmatkhan bin Alwi Ammil Faqih bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khali’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al-Uraidhi bin Ja’far Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Al-Husain bin Ali bin Abi Thalid dan Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti Nabi Muhammad Rasulullah SAW.
Guru-gurunya
Selain belajar agama kepada Raden Usman Haji ayahnya sendiri, Ja’far Shadiq juga belajar kepada beberapa ulama terkenal seperti Kiai Telingsing, Ki Ageng Ngerang dan Sunan Ampel kakeknya.
Kiai Telingsing naman aslinya adalah Ling Sing, beliau merupakan seorang ulama dari negeri Cina yang dahulu datang ke Tanah Jawa bersama Laksamana jenderal Cheng Hoo. Dalam sejarah dikatakan, bahwa jenderal Cheng Hoo yang beragama Islam itu datang ke Jawa untuk menyebarkan agama Islam melalui perdagangan.
Di jawa, The Ling Sing kemudian dipanggil dengan sebutan Telingsing. Beliau tinggal di sebuah daerah yang terletak diantara sungai Tanggulangin dan sungai Juwana. Disana Kiai Telingsing tidak hanya mengajarkan Islam, namun juga mengajarkan kepada penduduk seni ukir yang indah. Banyak yang datang berguru seni kepada Kiai Telingsing, termasuk Sunan Kudus itu sendiri.
Dengan belajar kepada Kiai Telingsing yang berasal dari negeri Tirai Bambu itu, Raden Ja’far Shadiq sedikit banyak mewarisi bagian dari sifat positif masyarakat Cina yaitu ketekunan dan kedisiplinan dalam berjuang. Hal ini berpengaruh besar bagi kehidupan dakwah Sunan Kudus di masa mendatang yaitu ketika menghadapi masyarakat Jawa yang kebanyakan dulu masih beragama Hindu dan Budha.
Selain itu, Sunan Kudus juga berguru kepada Sunan Kalijaga dan ia menggunakan gaya berdakwah ala gurunya itu yang sangat toleran pada budaya setempat serta cara penyampaian yang halus. Didekatinya masyarakat dengan memakai simbol-simbol Hindu-Budha seperti yang tampak pada gaya arsitektur Masjid Kudus.
Gaya dakwah Sunan Kalijaga sebagai gurunya banyak diadopsi oleh Sunan Kudus. Sebuah gaya dakwah yang tidak menghakimi sehingga lebih persuasif, komprehensif dan inklusif. Lebih membaur dan menyatu kepada masyarakat pribumi sehingga tetap menjaga kehidupan dan budaya masyarakat.
Strategi Dakwah yang Mempribumi
Sunan Kudus termasuk wali yang sangat toleran dan juga pendukung gagasan, Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga yang menerapkan strategi dakwah kepada masyarakat secara luwes sebagaimana berikut :
- Membiarkan dulu adat istiadat, budaya dan kepercayaan lama yang sukar dirubah. Mereka sepakat untuk tidak mempergunakan jalan kekerasan atau radikal dalam menghadapi kondisi masyarakat yang demikian.
- Budaya dan Adat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam namun mudah dirubah maka segera dihilangkan.
- Tut Wuri Handayani, artinya mengikuti dari belakang terhadap perilaku dan adat rakyat. Namun diusahakan untuk dapat mempengaruhi sedikit demi sedikit dengan menerapkan prinsip Tut Wuri Hangiseni, artinya mengikuti dari belakang sambil mengisi ajaran agama Islam.
- Menghindarkan konfrontasi secara langsung atau secara keras dalam dakwah menyiarkan agama Islam. Prinsipnya mengambil ikan tetapi tidak mengeruhkan airnya.
Strategi dakwah seperti ini diterapkan oleh Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Muria, Sunan Kudus dan Sunan Gunung Jati. Karena siasat mereka dalam berdakwah berbeda dengan garis yang ditetapkan oleh Sunan Ampel, itu sebabnya mereka kemudian disebut kaum Abangan atau Aliran Tuban. Sedang metode Sunan Ampel yang didukung Sunan Giri dan Sunan Drajad kemudian disebut sebagai Kaum Putihan atau Aliran Giri.
Namun atas inisiatif Sunan Kalijaga, kedua pendapat yang berbeda itu pada akhinya dapat dikompromikan dan dapat menjadikan masyarakat Islam yang baik.
Merangkul Masyarakat Hindu
Dahulu masyarakat Kudus masih banyak yang beragama Hindu dan Budha dan mengajak mereka masuk agama Islam tentu bukanlah hal yang mudah. Apalagi tidak sedikit dari mereka yang masih memegang teguh dan memeluk dengan kuat kepercayaan lama. Dalam masyarakat seperti itulah Sunan Kudus harus berjuang menegakkan agama Islam.
Dikisahkan pada suatu hari Sunan Kudus membeli seekor sapi (dalam riwayat lain disebut Kebo Gumarang). Sapi tersebut berasal dari Hindia yang dibawa para pedagang Asing dari kapal besar. Sapi itu kemudian diikat di halaman rumah Sunan Kudus.
Masyarakat Kudus yang kebanyakan beragama Hindu lantas terheran-heran, ingin tahu apa yang akan dilakukan Sunan Kudus terhadap sapi tersebut. Dalam pandangan agama Hindu Sapi adalah hewan suci yang menjadi kendaraan para dewa. Bagi mereka menyembelih sapi merupakan perbuatan dosa yang dikutuk para dewa.
Lalu apa yang akan dilakukan Sunan Kudus? Apakah sang Sunan hendak menyembelih sapi di hadapan para rakyat yang kebanyakan justru memujanya dan menganggap binatang itu keramat? Itu berarti Sunan Kudus melukai hati rakyatnya sendiri dan bisa saja terjadi konflik.
Tidak lama kemudian halaman rumah Sunan Kudus dibanjiri rakyat, baik yang beragama Islam maupun Budha. Setelah yang datang bertambah banyak, Sunan Kudus kemudian keluar dari dalam rumahnya. Lalu Sunan Kudus membuka suara:
“Sedulur-sedulurku yang saya hormati, segenap sanak kadang yang saya cintai, saya melarang saudara-saudara menyakiti apalagi menyembelih sapi. Sebab di waktu saya masih kecil, saya pernah mengalami saat yang berbahaya, hampir mati kehausan lalu seekor sapi datang menyusui saya. Demi rasa hormat saya kepada jenis hewan yang pernah menolong saya, maka dengan ini saya melarang penduduk Kudus menyakiti atau menyembelih sapi.”
Kontan para penduduk terpesona mendengar cerita itu. Mereka yang masih beragama Hindu terkagum-kagum dan menyangka Ja’far Shadiq itu adalah titisan dewa Wisnu, maka mereka pun bersedia mendengarkan ceramahnya. Sunan kudus kemudian melanjutkan,
“Salah satu diantara surat-surat dalam Al-Qur’an yaitu surat yang kedua dinamakan Surat Sapi atau dalam bahasa Arabnya Al-Baqarah.” kata Sunan Kudus.
Masyarakat semakin tertarik. Kok ada sapi di dalam Al-Qur’an? Mereka kemudian menjadi ingin tahu lebih banyak dan untuk itulah mereka harus sering-sering datang mendengarkan keterangan Sunan Kudus. Maka, sesudah simpati itu berhasil diraih akan memudahkan jalan untuk mengajak masyarakat berduyun-duyun masuk agama Islam.
Bentuk masjid yang dibuat Sunan Kudus pun tak jauh bedanya dengan pura dan candi-candi milik orang Hindu. Contohnya kita bisa melihat menara Kudus, yang hingga sekarang dikagumi orang di seluruh dunia karena keanehannya.
Dengan bentuknya yang mirip candi tersebut orang-orang Hindu akhirnya merasa akrab dan tidak takut atau segan masuk ke dalam masjid guna mendengarkan ceramah dan nasehat dari Sunan Kudus.
Merangkul Masyarakat Buddha
Sesudah berhasil menarik umat Hindu ke dalam agama Islam dengan sikap toleransi yang tinggi, kini Sunan Kudus bermaksud menjaring umat Buddha. Caranya memang tidak mudah, harus kreatif dan tidak bersifat memaksa.
Sesudah masjid berdiri, beliau lalu membuat padasan atau tempat wudhu dengan pancuran yang berjumlah delapan. Masing-masing pancuran diberi arca kepala kebo gumarang di atasnya. Hal ini disesuaikan dengan ajaran Buddha, “Jalan berlipat delapan” atau “Sanghika Marga” yaitu:
1. Harus memiliki pengetahuan yang benar
2. Mengambil keputusan yang benar
3. Berkata yang benar
4. Hidup dengan cara yang benar
5. Bekerja dengan benar
6. Beribadah dengan benar
7. Dan menghayati agama dengan benar.
Strategi itu pun membuahkan hasil, banyak umat Budha yang penasaran. Sehingga mereka berdatangan ke masjid untuk mendengarkan keterangan Sunan Kudus.
Selamatan Mitoni
Di dalam cerita tutur disebutkan bahwa Sunan Kudus itu pada suatu ketika pernah gagal mengumpulkan rakyat yang masih berpegang teguh pada adat istiadat lama.
Seperti diketahui, masyarakat tradisional Jawa banyak melakukan adat istiadat yang aneh, yang kadang kala bertentangan dengan ajaran Islam, misalnya berkirim sesaji di kuburan untuk menunjukkan bela sungkawa atau berduka cita atas meninggalnya salah seorang anggota keluarga, selamatan neloni, mitoni dan lain-lain.
Sunan Kudus sangat memperhatikan upacara-upacara ritual tersebut dan berusaha sebaik-baiknya untuk merubah atau mengarahkannya dalam bentuk yang Islami. Cara ini juga dilakukan oleh Sunan Kalijaga dan Sunan Muria.
Contohnya, dahulu bila seorang istri orang Jawa hamil tiga bulan maka akan dilakukan acara selamatan yang disebut mitoni sembari minta kepada dewa bahwa bila anaknya lahir supaya tampan seperti Arjuna, jika anaknya perempuan supaya cantik seperti Dewi Ratih.
Sunan Kudus tidak menentang adat tersebut secara keras melainkan diarahkan dalam bentuk Islami. Acara selamatan boleh terus dilakukan tapi niatnya bukan sekedar kirim sesaji kepada para dewa. Melainkan diganti dengan bersedekah kepada penduduk setempat dan sesaji yang dihidangkan boleh dibawa pulang.
Sedangkan permintaannya langsung kepada Allah dengan harapan anaknya lahir laki-laki akan berwajah rupawan seperti nabi Yusuf, dan bila perempuan seperti Siti Maryam ibunda Nabi Isa. Untuk itu orang tua harus sering membaca surat Yusuf dan surat Maryam dalam Al-Qur’an.
Kemudian, sebelum acara selamatan dilaksanakan diadakanlah pembacaan Layang Ambiya atau sejarah para Nabi. Biasanya yang dibaca adalah bab tentang Nabi Yusuf. Hingga kini acara pembacaan Layang Ambiya yang berbentuk tembang Asmarandana, Pucung dll itu masih hidup di kalangan masyarakat pedesaan.
Namun ternyata, ketika pertama kali melaksanakan gagasannya, Sunan Kudus pernah gagal mengundang seluruh masyarakat baik yang Islam, Hindu dan Buddha ke dalam masjid. Dikisahkan dalam undangan disebutkan hajat Sunan Kudus hendak Mitoni dan bersedekah atas kehamilan sang isteri yang telah tiga bulan.
Sebelum masuk mesjid, masyarakat harus membasuh kaki dan tangannya di kolam yang sudah disediakan. Dikarenakan harus membasuh tangan dan kaki inilah banyak rakyat yang tidak mau dan enggan datang, terutama di kalangan Hindu dan Buddha.
Inilah kesalahan Sunan Kudus. Beliau awalnya terlalu mementingkan pengenalan syariat berwudhu kepada masyarakat, sehingga akibatnya mereka malah menjauh. Karena iman atau tauhid mereka belum terbina.
Maka pada kesempatan lain, Sunan Kudus mengundang masyarakat lagi dan kali ini tidak usah membasuh tangan dan kakinya waktu masuk masjid. Hasilnya masyarakat berbondong-bondong memenuhi undangan tersebut.
Di saat inilah Sunan Kudus menyisipkan bab keimanan dalam agama Islam secara halus dan menyenangkan masyarakat. Caranya menyampaikan materi cukup cerdik, ketika mereka tengah antusias mendengarkan keterangan sunan Kudus, karena waktu sudah terlalu lama dan dikuatirkan mereka jenuh, beliau mengakhiri ceramahnya.
Cara tersebut kadang mengecewakan, namun di situlah letak segi positifnya, rakyat jadi ingin tahu kelanjutan ceramahnya. Dan pada kesempatan lain mereka datang lagi ke mesjid, baik dengan undangan maupun tidak.
Karena keingin-tahuan mereka demikian besar akhirnya tak peduli lagi pada syarat yang diajukan Sunan Kudus yaitu membasuh kaki dan tangannya lebih dahulu, yang lama-lama menjadi kebiasaan untuk berwudhu. Dengan demikian beliau berhasil menebus kesalahannya di masa lalu. Rakyat pun menaruh simpati dan menghormatinya.
Cara-cara yang ditempuh Sunan Kudus dalam mengislamkan masyarakat cukup banyak. Baik secara langsung melalui ceramah agama, adu kesaktian dan melalui kesenian. Beliaulah yang pertama kali menciptakan tembang Mijil dan Maskumambang yang di dalamnya disisipkan ajaran-ajaran agama Islam.
Kisah Sunan Kudus Mengobati Wabah Penyakit di Mekkah
Dalam budaya pitutur, dikisahkan bahwa Raden Ja’far Shadiq itu suka mengembara, baik ke tanah Hindustan maupun ke tanah Suci Mekkah. Sewaktu berada di Mekkah beliau menunaikan ibadah haji dan kebetulan di sana ada wabah penyakit yang sulit diatasi.
Penguasa negeri arab mengadakan sayembara, siapa yang berhasil melenyapkan wabah penyakit itu akan diberi hadiah harta benda yang cukup besar jumlahnya. akan tetapi sudah banyak orang mencoba tetap tidak pernah berhasil.
Pada suatu hari Sunan Kudus menghadap penguasa negeri itu namun kedatangannya disambutnya dengan sinis.
“Dengan apa tuan akan melenyapkan wabah penyakit itu?” Tanya sang Amir.
“Dengan doa”, jawab Ja’far Shadiq singkat.
“Jika hanya doa kami sudah puluhan kali melakukannya, di tanah Arab ini banyak ulama dan syekh-syekh ternama. Tapi mereka tak pernah berhasil mengusir wabah penyakit ini.” Jawab Amir kembali
“Saya tahu memang tanah Arab ini gudangnya para ulama. Namun jangan lupa, ada saja kekurangannya sehingga doa mereka tidak terkabulkan”, kata Ja’far Shadiq.
“Hah, sungguh berani tuan mengatakan demikian”, kata Amir itu dengan nada berang.
“Apa kekurangan mereka?” Lanjut Amir.
“Anda sendiri yang menyebabkannya,” kata Ja’far Shadiq dengan tenangnya.
“Anda telah menjanjikan hadiah yang menggelapkan mata hati mereka sehingga doa mereka tidak ikhlas. Mereka berdoa hanya karena mengharapkan hadiah.”
Sang Amir pun terbungkam seribu bahasa atas jawaban tersebut. Ja’far Shadiq lalu dipersilahkan melaksanakan niatnya. Kesempatan itu tak disia-siakan.
Secara khusus Ja’far Shadiq berdoa dan membaca beberapa amalan. Dalam tempo singkat wabah penyakit mengganas di negeri Arab telah menyingkir. Bahkan beberapa orang yang menderita sakit keras secara mendadak langsung sembuh.
Bukan main senangnya hati sang Amir. Rasa kagum mulai menjalari hatinya. Hadiah yang dijanjikannya bermaksud diberikan kepada Ja’far Shadiq. Namun Ja’far Shadiq menolaknya, dia hanya ingin minta sebuah batu yang berasal dari Baitul Maqdis.
Sang Amir kemudian mengizinkannya. Batu itu lalu dibawa ke tanah Jawa, dan dipasang di pengimaman masjid Kudus yang didirikannya sekembali dari Tanah suci.
Peninggalan Sunan Kudus
Tidak hanya mengajarkan agama Islam, Sunan Kudus meninggalkan bukti sejarah yang sampai saat ini masih dirawat oleh masyarakat. Adapun beberapa peninggalannya antara lain :
1. Masjid dan Menara Kudus
Disebut juga Masjid Al-Manar atau nama resminya Masjid Al-Aqsa Manarat Qudus. Bangunan Masjid dengan gaya arsitektur Islam, Hindu, dan Budha ini memiliki keunikan dan keindahan sehingga menunjukkan terjadinya proses akulturasi.
Masjid yang didirikan pada tahun 1549 M., ini ramai dikunjungi masyarakat untuk beribadah serta ziarah ke makam Sunan. Masjid ini juga menjadi pusat keramaian saat festival Dhandhangan dalam menyambut bulan Ramadhan.
2. Keris Cintoko
Pusaka ini merupakan salah satu peninggalan sejarah yang masih dirawat sampai sekarang. Terdapat ritual rutin setiap tahun usai Idul Adha yaitu menjamas atau memandikan keris tersebut. Acara ini adalah suatu rangkaian sakral wujud penghormatan pada peninggalan Sunan Kudus.
3. Dua Tombak Sunan Kudus
Berama dengan Keris Cintoko, dua tombak ini juga merupakan peninggalan yang masih dilestarikan hingga sekarang. Upacara tradisi yang sudah berusia ratusan tahun dilaksanakan di dekat pintu makam Sunan. Selain menjaga pusaka peninggalannya, acara ini juga bertujuan untuk mengingat nilai yang terkandung didalamnya yaitu kebijaksanaan dan kekuasaan (Dapur Panimbal).
4. Tembang Asmarandana
Melalui tembang Asmarandana ini Sunan Kudus mengajarkan agama Islam dengan memasukkan lirik yang terkandung di dalamnya. Sehingga dengan mudah diterima baik oleh masyarakat Hindu Budha saat itu.
5. Budaya Qurban Non Sapi
Sunan Kudus meminta kepada masyarakat untuk tidak berqurban dengan menyembelih hewan sapi saat Idul Adha. Tujuannya yaitu untuk menghormati masyarakat Hindu, sehingga mereka mengganti hewan qurban dengan memotong kerbau. Kepercayaan ini oleh masyarakat masih dianut sampai sekarang.
Wafatnya Sunan Kudus
Sunan Kudus wafat sekitar tahun 1550 M., pada saat menjadi Imam shalat subuh di Masjid Menara Kudus dalam posisi sujud. Beliau kemudian dimakamkan di lingkungan masjid tersebut. Sampai sekarang makam beliau ramai dikunjungi masyarkat untuk ziarah.
Beliaulah salah satu tokoh penting dalam masyarakat Islam, menjadi panutan dan masih dikenang sampai sekarang. Cara dakwahnya yang penuh toleransi menjadikan Sunan Kudus dengan mudah diterima oleh masyarakat.
Saudaraku terkasih, semoga kita diberikan berkah dan kemampuan oleh Allah SWT untuk meneladani keluhuran ajaran yang ditanamkan oleh Guru kita, Syeikh Ja’far Shadiq (Sunan Kudus), mendapatkan pantulan rahasianya, cahayanya dan ilmunya fid-dîn wad-duniâ wal-âkhirah, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.
Mari kita berdo’a dan membaca Surat al-Fatihah untuk beliau:
نَسْأَلُ اللّٰهَ بِأَنَّهُ يَتَغَشَّاهُ بِالرَّحْمَةِ وَالْمَغْفِرَةِ وَيُسْكِنُهُ الْجَنَّةَ، وَيَنْفَعُنَا بِأَسْرَارِهٖ وَأَنْوَارِهٖ وَعُلُوْمِهٖ وَنَفَحَاتِهٖ وَبَرَكَاتِهٖ فِي الدِّيْنِ وَالدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، آمِيْنَ، وَإِلَى حَضْرَةِ النَّبِيِّ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، اَلْفَاتِحَةَ أَثَابَكُمُ اللّٰهُ … ۞
“Kami mohon kepada Allah, bahwa sesungguhnya Allah menganugerahi kepada beliau rahmat, ampunan, dan memberikan tempat di surga, dan dapat limpahan manfaat kepada kami segala rahasia-rahasianya, cahaya-cahayanya, ilmu-ilmunya, harum semerbak kedudukannya dan keberkahannya dalam agama, dunia dan akhirat, Ya Allah perkenankanlah doa ini, dan dengan kehadiran Nabi Muhammad SAW, bacalah Surat al-Fatihah semoga kalian mendapat balasan…”
Wallâhu A’lam