بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
Bismillãhirrahmãnirrahîm
Wash-shalãtu was-salãmu ‘alã Muhammadin wa ãlihî ma’at taslîmi wa bihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inãyatil ‘ãmmati wal-hidãyatit tãmmah, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn“.
Berikut adalah kisah seorang sahabat Imam Sari as-Saqathi (ulama sufi terkemuka di Baghdad, wafat 253 H) yang dijukuli Sang Pecinta.
Namanya adalah Abul Hasan Sumnun bin Abdullah (Hamzah) al-Khauwash, ulama sufi yang terkenal dengan ceramah dan syair-syairnya berisi cinta mistis.
Pada akhir hayatnya, Sumnun didakwa oleh Ghulam al-Khalil dan wafat kira-kira Tahun 300 Hijriyah (913 Masehi).
Dalam buku “Kisah Karomah Wali Allah” karangan Syekh Yusuf bin Ismail an-Nabhani diceritakan, Sumnun adalah sahabat Imam Sari as-Saqathi dan tokoh sufi semasa dengan Imam Junaid Al-Baghdadi.
Beliau dijukluki Sang Pencita (walaupun beliau sendiri menjuluki dirinya sebagai Sumnun Pendusta).
Sumnun mempunyai sebuah doktrin yang istimewa mengenai cinta. Doktrin ini lebih diutamakannya daripada doktrin mistik. Jadi berlawanan sekali dengan pandangan mayoritas tokoh-tokoh sufi.
Ketika Sumnun memberi ceramah mengenai cinta, dari angkasa meluncurlah seekor burung dan hinggap di atas kepalanya, kemudian pindah ke tangannya dan setelah itu ke dadanya. Dan dari dada Sumnun burung itu meloncat ke atas tanah, paruhnya dipatuk-patukkan dengan keras ke tanah sehingga mengeluarkan darah. Sesaat kemudian burung itu kehabisan tenaga dan mati.
Ketika Sumnun pergi ke Hijaz, orang-orang Faid mengundangnya untuk menyampaikan ceramah. Sumnun naik ke atas mimbar hendak berkhutbah ternyata tak seorang pun yang mendengarkannya. Maka perpalinglah ia kepada lampu-lampu di dalam masjid dan berkata: “Aku akan memberikan pengajaran kepada kalian mengenai cinta.” Seketika itu lampu-lampu saling berbenturan dan hancur berantakan.
Dikisahkan, suatu hari Sumnun menikah dan dikaruniai seorang puteri. Ketika puterinya berusia tiga tahun, Sumnun sangat menyayanginya. Dan suatu malam Sumnun bermimpi dan dalam mimpinya ia menyaksikan dirinya telah berada pada Hari Berbangkit. Beliau menyaksikan setiap golongan ditegakkan sebuah panji. Salah satu di antara panji-panji itu sedemikian gemerlapnya sehingga menerangi padang-padang surgawi.
“Golongan apakah yang memiliki panji ini?” tanya Sumnun. Kemudian ada yang berkata: “Golongan yang dikatakan Allah. Dia mencintai mereka dan mereka mencintai Dia (maksudnya golongan pencinta).”
Sumnun menyelinap ke tengah orang-orang yang berteduh di bawah panji itu. Tetapi salah seorang di antara mereka mendorongnya keluar. “Mengapa engkau mengusirku?” Sumnun berteriak. “Karena panji ini adalah panji para Pencinta, sedang engkau bukan seorang pencinta.”
“Aku bukan seorang pencinta,” teriak Sumnun. “Bukankah orang-orang menjulukiku sebagai Sumnun Sang Pencinta dan Allah Maha Mengetahui apa-apa yag terkandung di dalam hatiku ini.”
“Sumnun, dahulu engkau memang seorang pencinta. Tetapi sejak hatimu lebih cenderung kepada anakmu itu, namamu telah dihapus dari daftar para pencinta.”
Di dalam mimpi, Sumnun mohon ampunan kepada Allah: “Ya Allah, jika karena anakku aku akan tergelincir, tunjukilah aku jalan yang baik.” Ketika Sumnun terbangun, terdengarlah suara gaduh: “Anak itu terjatuh dari atas loteng dan meninggal dunia.”
Selanjutnya diriwiyatkan pula bahwa pada suatu ketika Sumnun menyenandungkan syair: “Tidak ada kebahagiaan bagiku, kecuali di dalam diri-Mu. Jadi, jika Engkau menghendaki, ujilah aku.” Sesaat itu juga saluran kencingnya tersumbat. Maka dikunjunginyalah sekolah demi sekolah dan kepada anak-anak murid ia berpesan: “Berdoalah untuk pamanmu Sang Pendusta ini semoga Allah menyembuhkannya kembali.”
Kisah Sumnun dan Ghulam Khalil
Ghulam Khalil memperkenalkan dirinya sebagai seorang sufi. Kepada khalifah, ia menukar keselamatan yang kekal abadi dengan kenikmatan-kenikmatan duniawi. Di depan khalifah ia selalu menfitnah para sufi dengan maksud agar mereka dihukum sehingga tak seorang pun memperoleh hikmah dari ajaran-ajaran mereka. Dengan demikian ia memperoleh kekuasaan yang tidak tercela.
Ketika Sumnun dewasa, kemasyhuran namanya tersiar ke mana-mana. Namun, Ghulam Khalil sering membuatnya menderita dan senantiasa mencari-cari kesempatan untuk dapat menfitnah Sumnun.
Pada suatu hari, seorang wanita kaya datang menyerahkan dirinya kepada Sumnun. “Lamarlah aku,” kata wanita itu kepada Sumnun. Sumnun menolak. Wanita itu mengadukan halnya kepada Imam Junaid dan meminta Imam Junaid untuk mewakilinya membujuk Sumnun agar mau menikahinya. Tetapi Imam Junaid malah memarahinya dan mengusirnya.
Wanita itu pergi menghadap Ghulam Khalil dan menjelekkkan-jelekkan Sumnun. Ghulam Khalil sangat senang hatinya dan hal itu segera disampaikannya kepada khalifah. Khalifah memberikan perintah agar Sumnun dihukum pancung. Algojo pun dipanggil dan ketika khalifah hendak memerintahkan “penggal!” Tiba-tiba ia menjadi bisu tak dapat berkata-kata. Lidahnya kelu menyumbat tenggorokannya.
Malam harinya ia bermimpi dan di dalam mimpi itu ia mendengar suara yang berkata kepadanya: “Kerajaanmu tergantung kepada hidup Sumnun.” Esok harinya ia memanggil Sumnun untuk dibebaskan dengan segala hormat dan diperlakukan dengan penghargaan yang setinggi-tingginya.
Sejak peristiwa itu, kebencian Ghulan Khalil terhadap Sumnun semakin menjadi-jadi. Pada hari tuanya Ghulam Khalil menderita penyakit kusta. “Ghulam Khalil menderita penyakit kusta,” seseorang mengabarkan kepada Sumnun. Sumnun berkata: “Rupa-rupanya ada beberapa orang sufi yang belum sempurna telah berniat buruk dan melakukan perbuatan yang tidak baik terhadap dirinya.
Memang Ghulam Khalil adalah penentang tokoh-tokoh sufi dan telah berkali-kali menyusahkan mereka dengan perbuatannya. Semoga Allah menyembuhkan Ghulam Khalil!” Kata-kata Sumnun itu disampaikan orang kepada Ghulam Khalil. Ghulam Khalil pun bertobat, memohon kepada Allah agar diampuni dosa-dosa yang telah dilakukannya, dan menyerahkan semua harta kekayaannya kepada para sufi. Tetapi para sufi itu tidak mau menerimanya.
Oleh: Rusman H Siregar
Source: SINDOnews.