“Nabi Yusya’ bin Nun atau Joshua dalam literatur Taurat, adalah seseorang yang membawa Bani Israil memasuki Baitul Maqdis, setelah kegagalan Nabi Musa AS”.
Oleh: Admin*
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
Bismillâhirrahmânirrahîm
Wasshalâtu wassalâmu ‘alâ Muhammadin wa âlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘âmmati wal-hidâyatit tâmmah, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn“.
Saudaraku yang disayangi Allah SWT, berikut kita simak hikmah dari kisah sosok Nabi Yusya’ yang dengan sangat heroik merebut Baitul Maqdis.
Yūsya’ bin Nūn (يُوْشَعُ بْنُ نُوْنٍ) adalah murid Nabi Musa AS. Beliaulah yang disebut Allah dalam Al-Qur’an dengan lafadz fatā (anak muda) yang menemani nabi Musa saat mencari nabi Khidir. Setelah Nabi Musa dan Nabi Hārūn wafat, beliau diangkat Allah menjadi nabi dan memimpin Banī Isrā’īl.
Di masa kepemimpinan beliau, Banī Isrā’īl diajak berjihad dan menang hingga menduduki tanah Kanaan. Saat memasuki tanah yang hendak ditaklukkan itulah terjadi peristiwa yang diceritakan dalam Al-Qur’an. Yakni saat Allah memerintahkan agar Banī Isrā’īl masuk gerbang sambil mengucapkan ḥittatun (حِطَّة) yang bermakna istighfar, sebagian orang-orang zalim secara “slengekan”, canda, mengejek dan main-main mengubah bacaan tersebut dengan lafadz mirip ḥiṭṭatun dalam bahasa mereka, tapi maknanya “biji pada sehelai rambut”.
Maksudnya, mereka mengejek bahwa upaya berjihad memerangi banyak raja di tanah Kanaan itu hampir mustahil dan sangat sulit seperti sulitnya mengikat sebutir biji dengan sehelai rambut, atau seperti orang makan biji dengan rambut yang akan mencekik pemakan.
Yūsya’ bin Nūn disebut sebagai seorang nabi sebagaimana disebut dalam sebuah hadits,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « غَزَا نَبِيٌّ مِنَ الْأَنْبِيَآءِ، فَقَالَ لِقَوْمِهِ: لَا يَتْبَعْنِي رَجُلٌ مَلَكَ بُضْعَ امْرَأَةٍ، وَهُوَ يُرِيدُ أَنْ يَبْنِيَ بِهَا، وَلَمَّا يَبْنِ بِهَا وَلَا أَحَدٌ بَنَى بُيُوتًا وَلَمْ يَرْفَعْ سُقُوفَهَا، وَلَا أَحَدٌ اشْتَرَى غَنَمًا أَوْ خَلِفَاتٍ، وَهُوَ يَنْتَظِرُ وِلَادَهَا، فَغَزَا، فَدَنَا مِنَ الْقَرْيَةِ صَلَاةَ الْعَصْرِ، أَوْ قَرِيبًا مِنْ ذَلِكَ، فَقَالَ لِلشَّمْسِ: إِنَّكِ مَأْمُوْرَةٌ وَأَنَا مَأْمُوْرٌ، اَللّٰهُمَّ احْبِسْهَا عَلَيْنَا، فَحُبِسَتْ حَتَّى فَتَحَ اللّٰهُ عَلَيْهِ، فَجَمَعَ الْغَنَائِمَ فَجَاءَتْ يَعْنِي النَّارَ لِتَأْكُلَهَا فَلَمْ تَطْعَمْهَا، فَقَالَ: إِنَّ فِيكُمْ غُلُوْلًا، فَلْيُبَايِعْنِي مِنْ كُلِّ قَبِيلَةٍ رَجُلٌ، فَلَزِقَتْ يَدُ رَجُلٍ بِيَدِهِ، فَقَالَ: فِيْكُمُ الْغُلُولُ، فَلْيُبَايِعْنِي قَبِيلَتُكَ، فَلَزِقَتْ يَدُ رَجُلَيْنِ أَوْ ثَلَاثَةٍ بِيَدِهِ، فَقَالَ: فِيْكُمُ الْغُلُوْلُ، فَجَآءُوْا بِرَأْسٍ مِثْلِ رَأْسِ بَقَرَةٍ مِنَ الذَّهَبِ، فَوَضَعُوْهَا، فَجَاءَتِ النَّارُ فَأَكَلَتْهَا، ثُمَّ أَحَلَّ اللّٰهُ لَنَا الْغَنَائِمَ، رَأَى ضَعْفَنَا وَعَجْزَنَا، فَأَحَلَّهَا لَنَا ». « صحيح البخاري » (4/ 86 ط السلطانية)
“Dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu berkata: Rasulullah ﷺ bersabda: “Ada seorang Nabi diantara para Nabi yang berperang lalu berkata kepada kaumnya: ‘Janganlah mengikuti aku seseorang yang baru saja menikahi wanita sedangkan dia hendak menyetubuhinya karena dia belum lagi menyetubuhinya (sejak malam pertama), dan jangan pula seseorang yang membangun rumah-rumah sedang dia belum memasang atap-atapnya, dan jangan pula seseorang yang membeli seekor kambing atau seekor unta yang bunting sedang dia menanti-nanti hewan itu beranak.’ Maka Nabi tersebut berperang dan ketika sudah hampir mendekati suatu kampung datang waktu shalat ‘Ashar atau sekitar waktu itu lalu Nabi itu berkata kepada matahari: ‘Kamu adalah hamba yang diperintah begitu juga aku hamba yang diperintah. Ya Allah tahanlah matahari ini untuk kami.’ Maka matahari itu tertahan (berhenti beredar) hingga Allah memberikan kemenangan kepada Nabi tersebut. Kemudian Nabi tersebut mengumpulkan ghanimah lalu tak lama kemudian datanglah api untuk memakan (menghanguskannya) namun api itu tidak dapat memakannya. Maka, Nabi tersebut berkata: ‘Sungguh di antara kalian ada yang berkhianat (mencuri ghanimah) untuk itu hendaklah dari setiap suku ada seorang yang berbai’at kepadaku. Maka ada tangan seorang laki-laki yang melekat (berjabatan tangan) dengan tangan Nabi tersebut lalu Nabi tersebut berkata: ‘Di kalangan sukumu ada orang yang mencuri ghanimah maka hendaklah suku kamu berbai’at kepadaku.’ Maka tangan dua atau tiga orang laki-laki suku itu berjabatan tangan dengan tangan Nabi tersebut lalu Nabi tersebut berkata: ‘Di kalangan sukumu ada orang yang mencuri ghanimah.’ Maka mereka datang dengan membawa emas sebesar kepala sapi lalu meletakkannya’ Kemudian datanglah api lalu menghanguskannya. Kemudian Allah menghalalkan ghanimah untuk kita karena Allah melihat kelemahan dan ketidakmampuan kita sehingga Dia menghalalkannya untuk kita.” (H.R. al-Bukhārī)
Dalam hadits di atas Rasulullah ﷺ menegaskan bahwa ada seorang nabi di kalangan Banī Isrā’īl yang bisa menahan gerakan matahari saat berjihad. Sudah diketahui dalam sejarah bahwa beliau adalah Yūsya’ bin Nūn. Jadi, riwayat ini secara implisit menunjukkan Yūsya’ bin Nūn adalah seorang nabi.
Dalam riwayat Ahmad ditegaskan, nabi yang menahan pergerakan matahari ini memang Nabi Yūsya’ bin Nūn. Ahmad meriwayatkan,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : « إِنَّ الشَّمْسَ لَمْ تُحْبَسْ عَلَى بَشَرٍ إِلَّا لِيُوشَعَ لَيَالِيَ سَارَ إِلَى بَيْتِ الْمَقْدِسِ ». «مسند أحمد» (14/ 65 ط الرسالة)
“Dari Abu Hurairah, dia berkata: Rasulullah ﷺ Bersabda: “Sesungguhnya matahari tidak pernah ditahan untuk menusia kecuali untuk Nabi Yusya` ketika malam perjalanan dia menuju Baitul Maqdis.” (H.R. Ahmad)
Dalam literasi orang-orang ahlul kitāb, mereka menyebut Nabi Yusya’ dengan nama Yosua/Joshua. Salah satu surat dalam Taurat (Tanakh) mengkhususkan bab tersendiri dengan nama beliau: Kitab Yosua. Yahudi Samaritan/Samaria hanya mengakui surat ini bersama surat Hakim-Hakim sebagai penambah Pentateukh.
Dalam literatur lain, Nabi Yusya’ disebut juga Joshua (dalam Bahasa Inggris), atau Yehoshu (Bahasa Ibrani), atau Isho (Bahasa Aramaic). Nabi Yusya’ adalah seorang nabi yang ditunjuk langsung oleh Nabi Musa sebagai penggantinya. Dialah yang membawa Bani Israil memasuki Baitul Maqdis, setelah kegagalan Nabi Musa as.
Syaikh Umar Sulaiman Al-Asyqor (Guru Besar Universitas Islam Yordania) dalam kitabnya “Kisah-kisah Shahih Seputar Para Nabi dan Rasul” menyampaikan hadits Rasulullah SAW , bahwa tatkala Nabi Yusya’ menembus Benteng Yerikho, matahari sempat dibuat berhenti beredar oleh Allah SWT. Hari itu, yakni hari Jumat, berlangsung lebih lama dari yang semestinya.
Hal ini dilakukan untuk memberi kesempatan kepada Nabi Yusya’ beserta kaumnya menyelesaikan amanahnya, karena keesokan harinya sudah masuk Hari Sabat (Sabtu) di mana di hari itu, sesuai syariat yang diturunkan melalui Nabi Musa, Bani Israil diperintahkan untuk berhenti beraktivitas.
Maka ia (Yusya’) berangkat hingga mendekati kota kira-kira pada waktu Ashar. Ia kemudian berkata kepada matahari, “Hai matahari, engkau tengah menjalankan tugasmu dan aku pun sedang menjalankan tugas dari Allah. Maka, wahai Tuhanku, hentikanlah matahari! Dan matahari pun berhenti sejenak hingga Allah mengaruniakan kemenangan kepadanya.” (HR Muslim)
Pada hari ketujuh, setelah tembok Yorikho runtuh, Nabi Yusya’ dan pasukannya menyerbu masuk ke dalam kota, dan membumihanguskan seluruh isi kota tanpa tersisa, kecuali rumah yang dihuni oleh Rahab dan keluarganya.
Pendamping Nabi Musa
Nama Yusya’ tidak disebutkan secara eksplisit di dalam Al-Qur’an. Namun, beliaulah yang mendampingi Nabi Musa AS ketika keduanya berjalan hingga bertemu dengan Nabi Khidir seperti yang tertuang dalam sebuah ayat di Surah Al-Kahfi:
وَاِذْ قَالَ مُوْسٰى لِفَتٰىهُ لَآ اَبْرَحُ حَتّٰٓى اَبْلُغَ مَجْمَعَ الْبَحْرَيْنِ اَوْ اَمْضِيَ حُقُبًا ۞
“Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada muridnya: “Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan; atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun.” (QS Al-Kahfi [18]: 60)
Kalangan mufassir termasuk Ibnu Katsir menjelaskan bahwa murid Nabi Musa yang disebut dalam Al-Quran tersebut adalah Yusya’ ibnu Nun. Selanjutnya nama Yusya’ juga disebut Al-Quran dalam surat Al-Maidah ayat 23. Allah SWT berfirman:
قَالَ رَجُلَانِ مِنَ الَّذِيْنَ يَخَافُوْنَ اَنْعَمَ اللّٰهُ عَلَيْهِمَا ادْخُلُوْا عَلَيْهِمُ الْبَابَۚ فَاِذَا دَخَلْتُمُوْهُ فَاِنَّكُمْ غٰلِبُوْنَ ەۙ وَعَلَى اللّٰهِ فَتَوَكَّلُوْٓا اِنْ كُنْتُمْ مُّؤْمِنِيْنَ ۞
“Berkatalah dua orang laki-laki di antara mereka yang bertakwa, yang telah diberi nikmat oleh Allah, ‘Serbulah mereka melalui pintu gerbang itu. Jika kamu memasukinya niscaya kamu akan menang. Dan bertawakallah kamu hanya kepada Allah, jika kamu orang-orang beriman.” (QS Al-Ma’idah [5]: 23)
Dalam Tafsir Jalalain disebutkan bahwa dua orang laki-laki di antara mereka tersebut adalah Yusya’ dan Kalib. Ibnu Katsir juga mengatakan kedua orang tersebut menurut suatu pendapat bernama Yusya’ ibnu Nun dan Kalib ibnu Yufana. Demikian menurut Ibnu Abbas, Mujahid, Ikrimah, Atiyyah, As-Saddi, dan Ar-Rabi’ ibnu Anas serta lain-lainnya yang bukan hanya seorang dari kalangan ulama Salaf dan Khalaf.
Tokoh Sentral
Di sisi lain, Nabi Yusya’ disebut sebagai tokoh sentral di Kitab Yosua, Alkitab Perjanjian Lama. Dalam keterangan lain, seperti yang tercantum di Kitab Keluaran (Exodus), Bilangan dan Kitab Yosua, ia disebut sebagai abdi dan murid dari Nabi Musa yang menjadi pemimpin Bani Israil menggantikan Nabi Musa.
Nabi Musa dianugerahi mukjizat besar ketika membawa kaumnya keluar dari negeri Firaun di Mesir dalam sebuah pelarian yang spektakuler. Kala itu, dibentangkanlah jalan kering yang membelah Laut Merah dengan izin-Nya.
Namun, selepas peristiwa itu, kaum Bani Israil ternyata masih terikat dengan hawa nafsu, keadaan yang nyaman dan kemewahan negeri Mesir yang dulu, sehingga mereka lalu menyembah patung sapi emas yang dibuat dari leburan barang-barang berharga yang sempat mereka bawa selama pelarian.
Lama waktu berselang, Bani Israil kembali menentang perintah nabinya sendiri untuk berperang dan memasuki Yerusalem, tanah yang dijanjikan kepada mereka. Mereka berdalih bahwa kota itu dikelilingi oleh benteng yang sangat tebal dan kokoh, serta dijaga oleh sosok bangsa berperawakan besar. Rasa takut, yang bersumber dari kecintaan akan dunia ini, membuat Bani Israil enggan untuk berjihad di Jalan Allah.
Tertawan Kecintaan Hidup
Nabi Musa menyadari bahwa selama hati kaumnya masih tertawan pada kecintaan hidup di dunia, tidak akan mungkin bisa menduduki Yerusalem.
Hal serupa pernah disabdakan oleh Rasulullah SAW tatkala Beliau menerangkan mengapa Bani Israil tertunda memasuki Baitul Maqdis. Rasulullah SAW bersabda, “Tidak akan ada seorang pun penyembah berhala yang bisa memasuki Baitul Maqdis (Yerusalem).”
Karena keengganan mereka untuk berjihad ini, Bani Israil terhukum dengan melewati hidup terkatung-katung di padang gurun selama 40 tahun lamanya. Rentang 40 tahun ini menjadi rentang masa yang cukup untuk melahirkan sebuah generasi baru Bani Israil.
Menjelang akhir hayatnya, Nabi Musa menyadari bahwa saat-saat yang ditunggu telah tiba bagi kaumnya untuk memasuki tanah yang dijanjikan, meskipun tanpa kehadiran dirinya. Melalui bimbingan Allah SWT, Nabi Musa pun mempersiapkan Yusya’ bin Nun, sebagai pemimpin Bani Israil menggantikan dirinya.
Ibnu Jarir mengutip Muhammad bin Ishaq, dalam Tarikhnya, menjelaskan kenabian itu diserahkan oleh Musa kepada Yusya’ pada akhir hayatnya. Kala itu, Musa menemui Yusya’ dan menanyakan kepadanya berbagai perintah dan larangan yang disampaikan Allah kepadanya (Musa).
Hingga akhirnya Yusya’ menjawab, ”Wahai Kalimullah (orang yang diajak berbicara langsung oleh Allah-ed), sesunguhnya aku tidak bertanya tentang apa yang diwahyukan Allah kepadamu sehingga engkau sendiri yang yang memberitahukannya kepadaku.”
Nabi Musa meninggal dunia sebelum berhasil membebaskan Baitul Maqdis. Oleh karena itu, beliau menunjuk Yusya’ bin Nun sebagai pemimpin Bani Israil untuk melanjutkan visinya menaklukkan Baitul Maqdis.
Kekuatan Gaib
Begitu Nabi Yusya’ bin Nun menjadi pemimpin, ia segera mengatur rencana untuk menembus Benteng Yerikho. Ia kemudian mengirim dua orang pengintai untuk mengamati wilayah kota itu.
Hampir saja kedua pengintai itu tertangkap oleh pasukan Yerikho jika tidak diselamatkan oleh seorang wanita tuna susila bernama Rahab. Dari wanita ini pulalah diketahui bahwa penduduk Kota Yerikho sebenarnya lebih takut kepada kaum Bani Israil yang mereka anggap memiliki kesaktian atau kekuatan gaib lantaran dukungan dari Yang Maha Kuasa.
Rahab, sang wanita itu, mengatakan, “Kengerian menghinggapi kami karena Tuhan telah mengeringkan Laut Merah bagi kalian. Ketika kami mendengarnya, ciutlah hati kami dan jatuhlah semangat tiap-tiap orang dari kami, sebab Tuhan kalian adalah Penguasa langit dan bumi.”
Kemudian saat yang lama dinantikan itu pun tiba, Nabi Yusya’ a.s. mempersiapkan kaumnya untuk berangkat menjelang takdir penaklukan Yerusalem. Rasulullah SAW pernah menjelaskan ihwal persiapan perang suci ini di dalam sebuah hadits:
“Salah satu dari nabi telah melakukan perang suci. Ia berkata kepada kaumnya: ‘Barangsiapa yang telah menikahi seorang perempuan dan berkehendak untuk bercampur dengannya namun belum terlaksana; lalu mereka yang sedang membangun rumah namun belum menegakkan atap rumahnya; juga mereka yang telah membeli kambing-kambing dan unta-unta yang hamil dan menunggu kelahirannya, mereka itu tidak akan ikut (untuk berperang) bersamaku.'” (HR. Muslim 19/4327).
Nabi Yusya’ mempersyaratkan bahwa mereka yang ikut berperang bersamanya adalah mereka yang tidak tertawan hatinya kepada pernak-pernik dunia. Karena bukanlah jumlah prajurit yang dicari, melainkan keikhlasan dalam melaksanakan perang suci ini. Ia berkata kepada kaumnya, “Sucikan dan teguhkanlah niatmu, sebab besok Tuhanmu akan melakukan perbuatan yang ajaib di antara kamu.” Nabi Yusya’ berkata kepada para imam, “Bawa dan usung Tabut Perjanjian, berjalanlah kalian di depan.”
Mengusung Tabut adalah simbol bahwasanya perjuangan ini adalah perintah-Nya dan hanya dapat dilakukan dengan kekuatan-Nya semata, bukan oleh kekuatan sendiri.
Sementara itu, Allah SWT telah mempersiapkan sebuah mukjizat yang tak disangka-sangka. Sesampai di tepi Sungai Yordan, tatkala para imam mulai mencelupkan kakinya ke dalam air untuk menyeberang, tiba-tiba aliran sungai terhenti dan terbukalah jalan kering melintasi sungai di depan mereka, persis seperti tatkala Allah SWT menyiapkan jalan kering bagi Musa dan pengikutnya membelah Laut Merah.
Pasukan Bani Israil pun menyeberangi sungai yang lebar dan dalam itu, tanpa mengalami kesulitan yang berarti. Berita tentang kedatangan pasukan Bani Israil kian santer menyebar ke seluruh negeri. Mereka ketakutan. Gerbang Yerikho yang besar dan kokoh itu pun ditutup rapat-rapat, tak seorang pun dapat keluar atau masuk.
Dalam Kitab Yosua dikisahkan bagaimana Nabi Yusya’ dijanjikan kemenangan dan menerima petunjuk agar memerintahkan semua orang berjalan mengelilingi benteng kota itu selama enam hari, sementara para imam ditugaskan meniup trompet sangkakala yang terbuat dari tanduk domba. Di hari ketujuh, dinding benteng raksasa itu runtuh dan para prajurit Nabi Yusya’ merangsek masuk ke dalam kota.
Wallãhu A’lamu bish-Shawãb
Mari kita tutup dengan doa yang diajarkan oleh Nabi SAW dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim;
اَللّٰهُمَّ اهْدِنِيْ، وَسَدِّدْنِي، اَللّٰهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْهُدَى وَالسَّدَادَ
Allãhumma hdinî wa saddidnî, Allãhumma innî as’alukal hudã was-sadãd
“Ya Allah, berilah aku hidayah dan berilah aku kebenaran. Ya Allah, aku meminta kepada-Mu hidayah dan kebenaran.”
_____________
* Source: Disarikan dari berbagai sumber