بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
Bismillâhirrahmânirrahîm
Wasshalâtu wassalâmu ‘alâ Muhammadin wa âlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘âmmati wal-hidâyatit tâmmah, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn“.
Tak terasa bayi Muhammad SAW sudah menginjak tiga tahun dalam pengasuhan Halimah binti Abi-Dhua’ib dari Bani Sa’ad. Muhammad yang belum menjadi Nabi itu punya waktu beberapa tahun lagi untuk tinggal di sahara, menikmati udara pedalaman yang jernih dan bebas, tidak terikat oleh sesuatu ikatan jiwa, juga tidak oleh ikatan materi.
“Pada masa itu, sebelum usianya mencapai tiga tahun, ketika itulah terjadi cerita yang banyak dikisahkan orang,” tulis Husen Heikal dalam bukunya “Sejarah Hidup Muhammad”.
Ceritanya ketika itu, Muhammad dengan saudaranya yang sebaya sesama anak-anak itu sedang berada di belakang rumah di luar pengawasan keluarganya. Tiba-tiba anak yang dari Keluarga Sa’ad itu kembali pulang sambil berlari, dan berkata kepada ibu-bapaknya.
“Saudaraku yang dari Quraisy itu telah diambil oleh dua orang laki-laki berbaju putih. Dia dibaringkan, perutnya dibedah, sambil di balik-balikan,” cerita saudaranya sambil gemetaran.
Husen Haekal mengatakan, tentang apa yang terjadi kepada Muhammad SAW kecil, ini ada juga diceritakan versi lainnya, bahwa mengenai diri dan suaminya ia berkata:
“Lalu saya pergi dengan ayahnya ke tempat itu. Kami jumpai dia sedang berdiri. Mukanya pucat-pasi. Kuperhatikan dia. demikian juga ayahnya. Lalu kami tanyakan:
“Kenapa kau, nak?” Dia menjawab: “Aku didatangi oleh dua orang laki-laki berpakaian putih. Aku dibaringkan, lalu perutku dibedah. Mereka mencari sesuatu di dalamnya. Tak tahu aku apa yang mereka cari.”
Halimah dan suaminya kembali pulang ke rumah. Orang itu sangat ketakutan, kalau-kalau anak itu sudah kesurupan. Sesudah itu, dibawanya anak itu kembali kepada ibunya di Makkah. Atas peristiwa ini Ibn Ishaq membawa sebuah Hadits Nabi sesudah kenabiannya.
Tetapi dalam menceritakan peristiwa ini Ibn Ishaq nampaknya hati-hati sekali dan mengatakan bahwa sebab dikembalikannya kepada ibunya bukan karena cerita adanya dua malaikat itu, melainkan -seperti cerita Halimah kepada Aminah- ketika ia di bawa pulang oleh Halimah sesudah disapih, ada beberapa orang Nasrani Abisinia memperhatikan Muhammad SAW dan menanyakan kepada Halimah tentang anak itu.
Dilihatnya belakang anak itu, lalu mereka berkata: “Biarlah kami bawa anak ini kepada raja kami di negeri kami. Anak ini akan menjadi orang penting. Kamilah yang mengetahui keadaannya.”
Halimah lalu cepat-cepat menghindarkan diri dari mereka dengan membawa anak itu. Demikian juga cerita yang dibawa oleh Ath-Tabari, tapi ini masih di ragukan; sebab dia menyebutkan Muhammad SAW dalam usianya itu, lalu kembali menyebutkan bahwa hal itu terjadi tidak lama sebelum kenabiannya dan usianya empat puluh tahun.
Baik kaum orientalis maupun beberapa kalangan kaum Muslimin sendiri tidak merasa puas dengan cerita dua malaikat ini dan menganggap sumber itu lemah sekali. Yang melihat kedua laki-laki (malaikat) dalam cerita penulis-penulis sejarah itu hanya anak-anak yang baru dua tahun lebih sedikit umurnya.
Begitu juga umur Muhammad SAW waktu itu. Akan tetapi sumber-sumber itu sependapat bahwa Muhammad SAW tinggal di tengah-tengah Keluarga Sa’ad itu sampai mencapai usia lima tahun. Andaikata peristiwa itu terjadi ketika ia berusia dua setengah tahun, dan ketika itu Halimah dan suaminya mengembalikannya kepada ibunya, tentulah terdapat kontradiksi dalam dua sumber cerita itu yang tak dapat diterima.
Oleh karena itu, beberapa penulis berpendapat, bahwa ia kembali dengan Halimah itu untuk ketiga kalinya. Dalam hal ini Sir William Muir tidak mau menyebutkan cerita tentang dua orang berbaju putih itu, dan hanya menyebutkan, bahwa kalau Halimah dan suaminya sudah menyadari adanya suatu gangguan kepada anak itu, maka mungkin saja itu adalah suatu gangguan krisis urat-saraf, dan kalau hal itu tidak sampai mengganggu kesehatannya ialah karena bentuk tubuhnya yang baik.
Barangkali yang lainpun akan berkata: Baginya tidak diperlukan lagi akan ada yang harus membelah perut atau dadanya, sebab sejak dilahirkan Tuhan sudah mempersiapkannya supaya menjalankan risalahNya. Dermenghem berpendapat, bahwa cerita ini tidak mempunyai dasar kecuali dari yang diketahui orang dari teks ayat yang berbunyi:
أَلَمْ نَشْرَحْ لَكَ صَدْرَكَ ۞ وَوَضَعْنَا عَنْكَ وِزْرَكَ ۞ الَّذِي أَنْقَضَ ظَهْرَكَ
“Bukankah sudah Kami lapangkan dadamu? Dan sudah Kami lepaskan beban dari kau? Yang telah memberati punggungmu?” (QS. Al-Insyirah [94]: 1-3)
Apa yang telah diisyaratkan Qur’an itu adalah dalam arti rohani semata, yang maksudnya ialah membersihkan (menyucikan) dan mencuci hati yang akan menerima Risalah Kudus, kemudian meneruskannya seikhlas-ikhlasnya, dengan menanggung segala beban karena Risalah yang berat itu.
Versi Lain Suasana Pembedahan
Ada beberapa hadits yang berbicara tentang peristiwa ini. Di antaranya adalah apa yang diriwayatkan oleh Al Imam Muslim, dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu. Beliau mengatakan,
أَنَّ رَسُولَ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَاهُ جِبْرِيلُ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَلْعَبُ مَعَ الْغِلْمَانِ فَأَخَذَهُ فَصَرَعَهُ فَشَقَّ عَنْ قَلْبِهِ فَاسْتَخْرَجَ الْقَلْبَ فَاسْتَخْرَجَ مِنْهُ عَلَقَةً فَقَالَ هَذَا حَظُّ الشَّيْطَانِ مِنْكَ، ثُمَّ غَسَلَهُ فِي طَسْتٍ مِنْ ذَهَبٍ بِمَاءِ زَمْزَمَ ثُمَّ لَأَمَهُ ثُمَّ أَعَادَهُ فِي مَكَانِهِ، وَجَاءَ الْغِلْمَانُ يَسْعَوْنَ إِلَى أُمِّهِ يَعْنِي ظِئْرَهُ فَقَالُوا إِنَّ مُحَمَّدًا قَدْ قُتِلَ فَاسْتَقْبَلُوهُ وَهُوَ مُنْتَقِعُ اللَّوْنِ . قَالَ أَنَسٌ وَقَدْ كُنْتُ أَرْئِي أَثَرَ ذَلِكَ الْمِخْيَطِ فِي صَدْرِهِ
“Bahwasanya Rasulullah SAW didatangi Malaikat Jibril ‘alaihis sallam ketika beliau sedang bermain dengan beberapa anak. Lalu Jibril menangkapnya, menelentangkannya, lalu Jibril membelah dada beliau, mengeluarkan jantungnya, lalu mengeluarkan dari qalbu beliau segumpal darah sambil mengatakan “Ini adalah bagian syaithan darimu”.
Jibril kemudian mencucinya dalam wadah yang terbuat dari emas dengan air zam-zam, lalu ditumpuk, kemudian dikembalikan ke tempatnya.
Sementara anak-anak kecil, teman-teman Rasulullah segera menjumpai ibu persusuannya sambil berlari-lari sembari mengatakan, “Sesungguhnya Muhammad telah dibunuh”.
Kemudian mereka bersama-bersama menjumpainya. Ketika itu, Rasulullah SAW sangatlah pucat.
Anas kemudian mengatakan, “Saya pernah diperlihatkan bekas jahitan di dadanya.”
Dalam riwayat yang lain disebutkan,
فَبَيْنَمَا أَنَا مَعَ أَخٍ لِي خَلْفَ بُيُوْتِنَا نَرْعَى بِهِمَا لَنَا إِذْ أتَانِي رَجُلاَنِ – عَلَيْهِمَا ثِيَابٌ بِيْضٌ- بِطَسْتٍ مِنْ ذَهَبٍ مَمْلُوْءٍ ثَلْجًا ثُمَّ أَخَذَانِي فَشَقَّا بَطْنِي ثُمَّ اسْتَخْرَجَا قَلْبِي فَشَقَّاهُ فَاستخْرَجَا مِنْهُ عَلَقَةً سَوْدَاءَ فَطَرَحَاهُ ثُمَّ غَسَلاَ قَلْبِي وبَطْنِي بِذَلِكَ الثَّلْجِ حَتَّى أَنْقَيَاه ُ
“Ketika aku sedang berada di belakang rumah bersama saudaraku (saudara angkat) menggembalakan anak kambing, tiba-tiba aku didatangi dua orang lelaki—mereka mengenakan baju putih—dengan membawa baskom yang terbuat dari emas penuh dengan es. Kedua orang itu menangkapku, lalu membedah perutku. Keduanya mengeluarkan qalbuku dan membedahnya, lalu mereka mengeluarkan gumpalan hitam darinya dan membuangnya. Kemudian keduanya membersihkan dan menyucikan qalbuku dengan air itu sampai bersih.”
Bukan Metaforis
Pembelahan dada dan pencucian qalbu pada diri nabi ini adalah benar-benar terjadi. Peristiwa ini diriwayatkan dengan periwayatan yang shahih. Jika riwayat tersebut terbukti kuat dan sahih, kita tak punya pilihan selain menerimanya sepenuh hati. Tidak boleh menolaknya walau mungkin tidak bisa dicerna oleh akal kita.
Demikian juga hendaknya hendaknya kita pahami peristiwa ini apa adanya sebagaimana yang bisa kita pahami dari kaidah-kaidah bahasa Arab. Tidak boleh kemudian menganggap peristiwa ini sebagai kejadian metafor (kiasan) saja. Apalagi nanti kejadian pencucian ini akan berulang sebelum beliau melakukan isra’ dan mi’raj.
Kembali Kepada Ibunya
Setelah peristiwa tersebut, Halimah merasa cemas atas diri beliau sehingga dikembalikan lagi kepada ibundanya. Beliau hidup bersama ibundanya sampai berusia enam tahun.
Ketika itu Aminah memandang perlu untuk menziarahi kuburan suaminya di Yatsrib sebagai bentuk kesetiaannya terhadapnya. Akhirnya, dia keluar dari Mekkah dengan menempuh perjalanan yang mencapai 500 km bersama anaknya yang masih yatim, Muhammad SAW, pembantunya, Ummu Aiman dan mertuanya, ‘Abdul Muththalib.
Setelah menginap selama sebulan disana, dia kembali pulang ke Mekkah akan tetapi di tengah perjalanan dia diserang sakit keras sehingga akhirnya meninggal dunia di Al Abwa’, suatu tempat yang terletak antara Mekkah dan Madinah.
Dalam Perawatan Sang Kakek
Beliau SAW dibawa kembali ke Mekkah oleh kakeknya. Perasaan sayang terhadap sang cucu yang sudah yatim piatu semakin bertambah di dadanya, dan hal ini ditambah lagi dengan adanya musibah baru yang seakan menimpali luka lama yang belum sembuh betul. Maka ibalah ia terhadapnya; sebuah perasaan yang tak pernah ia tumpahkan terhadap seorangpun dari anak-anaknya. Dia tidak lagi membiarkan cucunya tersebut hanyut dengan kesendirian yang harus dialaminya bahkan dia lebih mengedepankan kepentingannya daripada kepentingan anak-anaknya.
Menurut Ibnu Hisyam, dahulu Abdul Muththalib biasa menghamparkan permadaninya di bawah naungan Ka’bah, lalu anak-anaknya duduk di sekitar permadani tersebut hingga dia keluar. Tak seorangpun dari anak-anaknya tersebut yang berani duduk-duduk di atas permadani itu untuk menghormati kedudukannya. Namun tidak demikian halnya dengan Rasulullah SAW, tatkala beliau masih anak-anak, dia datang dan langsung duduk-duduk di atas permadani tersebut, paman-pamannya sertamerta mencegahnya agar tidak mendekati tempat itu.
Melihat apa yang dilakukan oleh anak-anaknya itu, Abdul Mutthalib berkata kepada mereka, “Biarkan anakku ini melakukan apa saja! Demi Allah! Sesungguhnya dia memiliki sebuah keistimewaan!”
Kemudian dia duduk-duduk bersama beliau di permadani itu, mengelus-elus punggungnya dengan tangan kasihnya. Dia merasa senang dengan apa yang dilakukan oleh cucunya tersebut.
Kakek beliau SAW meninggal di Makkah saat beliau berusia delapan tahun dua bulan sepuluh hari. Sebelum meninggal, dia memandang bahwa selayaknya dia menyerahkan tanggung jawab terhadap cucunya tersebut kepada paman beliau SAW, Abu Thalib yang merupakan saudara kandung ayah beliau, Abdullah.
Hikmah di Balik Kesendirian Rasulullah
Bukanlah kebetulan jika Rasulullah SAW terlahir dalam keadaan yatim. Bahkan, tidak lama kemudian sang kakek menyusul ke alam baka. Oleh karena itu, pada masa pertumbuhan, Rasulullah SAW tidaklah mengenyam pendidikan sang ayah, tidak pula kasih sayang ibunya.
Allah SWT sengaja memilihkan masa pertumbuhan seperti ini untuk nabi kesayangannya. Di balik itu semua, tentu tersimpan hikmah luar biasa. Bisa jadi agar tak ada seorang pun yang menemukan celah untuk menghembuskan keraguan ke dalam hati umat manusia bahwa Muhammad SAW menimba ilmu dakwah yang ia sebarkan dari ayah atau kakeknya.
Keraguan semacam itu sangat mungkin dihembuskan, terutama karena kakek Muhammad, Abdul Muthallib, adalah pemuka kaumnya. Sesuatu yang wajar jika seorang kakek atau ayah mewariskan apa saja yang biasa diwariskan secara turun-temurun kepada anak-cucunya. Allah Yang Mahabijaksana rupanya telah menakdirkan Rasulullah SAW seperti ini. Dengan demikian, tertutuplah celah bagi orang-orang sesat yang akan meragukan kenabiannya.
Semasa kecil, Nabi Muhammad SAW tumbuh tanpa mengenyam pengasuhan ayah, ibu, dan kakeknya. Bahkan, pada masa-masa awal setelah dilahirkan, Allah berkehendak untuk menempatkan Muhammad SAW di tengah desa Bani Sa’ad yang jauh dari sanak keluarga.
Ketika sang kakek meninggal dunia, pengasuhan Muhammad SAW berpindah ke tangan pamannya, Abu Thalib, yang hidup sampai sekitar tiga tahun sebelum Rasulullah SAW hijrah ke Madinah. Keengganan Abu Thalib untuk memeluk Islam hingga meninggal ternyata juga menjadi penyempurna bukti kebenaran risalah Muhammad SAW. Dengan begitu, tak seorang pun dapat menuduh Abu Thaliblah yang mengajarkan kandungan agama Islam kepada Muhammad SAW atau menuduh bahwa sebenarnya agama yang dibawa Muhammad SAW tidak lebih dari sekadar masalah dominasi kekuasaan di kalangan suku Quraisy.
Demikian juga Rasulullah SAW tumbuh sebagai yatim di bawah pertolongan langsung dari Allah SWT. Tidak ada yang memanjakannya. Tak banyak pula harta yang membuatnya hidup nyaman. Semua itu bagian dari rencana Allah SWT agar Muhammad SAW tidak tumbuh menjadi sosok yang mencintai harta atau kedudukan. Allah takdirkan agar beliau tidak menjadi pribadi yang menari kedudukan dan kehormatan sehingga orang lain dengan mudah menuduh kenabian suci yang diembannya adalah upaya untuk mencari kedudukan yang sifatnya duniawi.
Wallahu A’lam
Source: Dari Berbagai Sumber