“Penari yang baik adalah penari yang tidak berbicara ketika menari apalagi sambil menyanyi”.
Oleh: H. Derajat
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيم
اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلٰى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلٰى اٰلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ
Bismillaahirrahmaanirrahiim
Allahumma shalli ‘alaa Sayyidinaa Muhammad wa ‘ala aali Sayyidina Muhammad.
وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ
“Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya”. (QS. Qaaf: 16).
Ungkapan dan firman Allah di atas adalah ungkapan terbaik bila kita berbicara masalah kemakrifatan. Banyak beredar di youtube atau medsos lainnya soal Allah yang diungkap sedemikian gamblangnya sampai ke persoalan Wahdatul Wujud.
Apakah ini suatu keburukan? Tentu tidak, apabila para viewernya berpikiran bahwa dirinya hanya ditugaskan Tuhan sebagai penari dalam menjalankan ibadahnya. Penari hanya menjalankan perannya masing-masing dengan sesempurna mungkin. Peran sebagai Hamba Allah dijalankan dengan maksimal, dengan perasaan, dengan mencerminkan dirinya sesempurna mungkin pada peran yang dimainkannya.
Penari yang baik tugasnya hanya menari tanpa mencampur dengan omongan, apalagi menari sambil menyanyi maka perannya sebagai penari tidaklah total. Demikian juga seorang Hamba Allah, tugasnya hanyalah beribadah jangan pernah membicarakan tentang Dzat Allah karena dia akan gagal dalam tugas penghambaannya.
Pengetahuan tentang Allah hanyalah pada terbatas orang saja sebagai modal pada penghambaannya bukan sebagai ilmu yang dengan mudahnya disebarkan karena nantinya akan berefek pada merendahkan Tuhan. Para Walisanga mengadakan sarasehan terbatas antar-mereka sendiri apabila berbicara masalah Ketuhanan seperti yang terdapat pada Lontar Ferrara yang ditulis oleh Khalifah Walisanga ini.
Bagian awal sarasehan naskah Lontar Ferrara berisi tentang sarasehan (tukar pendapat) yang dilakukan oleh para wali yang terdiri dari delapan orang antara lain Pangeran Bonang, Pangeran Cerbon, Pangeran Mojoagung, Pangeran Kalijaga, Syaikh Bentong, Maulana Maghribi, Syaikh Lemah Abang, Pangeran Giri Gajah.
Menurut naskah tersebut pertemuan ini dilaksanakan di Giri Gajah di Gunung Kedaton, Gresik, Jawa Timur pada hari Jum’at tanggal 5 Ramadhan tahun Wawu. Sarasehan ini dilakukan dalam rangka memperbincangkan tema tentang makrifat. Para wali diminta agar mengemukakan i’tikad masing-masing dengan jujur dan diiringi dengan suasana saling mengingatkan apabila terdapat persoalan iman dan tauhid yang masih keliru di antara para Wali.
Sebagian besar Wali menyepakati bahwa persoalan iman dan tauhid memiliki hubungan erat antara posisi kawula (hamba) dan gusti (Allah). Pangeran Mojoagung menyatakan bahwa keberadaan kawula menjadi tanda berlakunya pemujaan (ibadah) dan penghambaan terhadap gusti. Apabila seseorang tidak memahami persoalan ini maka ia dianggap kosong pengetahuannya. Apabila hatinya mendua maka ia telah melakukan kesyirikan dan tidak sah imannya, karena tidak memahami dengan baik hakikat tauhid.
Pangeran Cerbon menambahkan bahwa orang dikatakan telah makrifat apabila ahlul-iman telah menyadari posisinya sebagai kawula yang dikuasai dan diperintah, tidak bisa melihat yang menguasai dan memerintah namun selalu merasa diawasi (nora aningali tiningalan).
Sedangkan menurut Pangeran Kalijaga, makrifat itu tidak dapat diserupakan. Baginya Gusti (Pangeran) itu memiliki pengetahuan yang sempurna sehingga tidak akan menyesatkan apa yang diperintahkan-Nya (Pangeran iku kang sampurna ing pangawruh, kang ora nasar sarehing Pangeran). Syaikh Bentong melanjutkan dengan menggambarkan kekuasaan Allah dengan perumpamaan bahwa Dialah Allah yang mampu berada dalam dua kondisi namun tidak ada duanya dan tetap esa.
Pembicaraan diantara para wali berjalan lancar. Mereka saling menyepakati dan menyempurnakan pendapat masing-masing. Namun suasana berubah seketika setelah Syaikh Lemah Abang mengungkapkan keyakinannya sebagai berikut: “Iya Isun iki Allah, endi si malih, mapan orana malih, saking isun iki” (Iya aku inilah Allah, dimana yang lain, memang tidak ada lagi selain aku ini).
Maulana Maghribi lantas mengkonfirmasi ucapan itu dengan menanyakan apakah yang berbicara ini adalah jasmani Lemah Abang sendiri. Sang Syaikh menjawab: “Nora amba ngrasani jisin malih, mapan dede jisin kang winicara malih, mapan semi amiyak terebeng, ajana rasa-rumasa, den sami tumeka ing pamanggih” (Saya tidak lagi berbicara tentang jasmani, karena memang bukan jasmani lagi yang dibicarakan, sekaligus membuka tabir penghalang, jangan ada lagi perasaan yang bukan-bukan, hendaknya sama-sama mencapai pengertian).
Maulana Maghribi membenarkan beberapa ungkapan Syaikh Lemah Abang, namun ia juga mengkritik bahwa ungkapan itu terdengar tanpa memiliki rasa apalagi ketika diucapkan oleh sukma yang telah menyatu dengan jasmani. Sukma itu sendiri terikat dengan perbuatan (tingkah) jasmaninya. Itu merupakan ucapan yang tidak pantas didengarkan oleh orang lain.
Pangeran Giri menasehati bahwa ungkapan Syaikh Siti Jenar itu seperti halnya gambung yang menancapkan talajung (pancang) sambil mengucap: “sapa weruha ingaran ingsun, yen tan ingsun ingaranana” (Siapa yang mengetahui namaku apabila aku sendiri tidak menyebutkannya).
Kewajiban pemain gambung adalah menari, lain itu tidak. Ia harus menari berdasar pakem (aturan dasar), ritme tarian, dan iringan tetabuhan serta melibatkan berbagai rasa sehingga menghasilkan seni tari penuh penjiwaan. Jangankan menyanyi, berbicara sekalipun dianggap telah melanggar aturan menari yang menjadi tanggungjawabnya.
Penari gambung yang menancapkan talajung, artinya ia telah melanggar aturan yang harus dijalaninya, mengobrak-abrik pakem, dan membuat gerakan-gerakan baru sehingga gambung rusak dan kehilangan ruhnya. Apalagi jika itu dilakukan sambil berbicara dan mengenalkan siapa dirinya. Untuk dikenal ia seharusnya cukup menari dengan baik sampai pertunjukan selesai.
Syaikh Lemah Abang telah keliru yakni ia gagal memahami ajaran Islam dan membicarakan hal yang tidak pada kadarnya tentang posisi gusti dan kawula. Keyakinan ini boleh saja menjadi i’tikad pribadinya, namun i’tikad yang menyimpang itu tidak boleh dibicarakan apalagi diajarkan.
Para wali menasehati Syaikh Lemah Abang. Namun ia telah menutup diri dari semua nasehat itu. Bahkan Syaikh Lemah Abang kemudian meninggalkan majelis dengan tetap pada pendiriannya. Sambil beranjak ia sempat mengucap: “endi si malih, aja karoroan” (dimanakah yang lain, jangan dikira ada dua).
Para wali kemudian tetap melanjutkan pertemuannya tanpa kehadiran Syaikh Lemah Abang. Diantara pembicaraan itu adalah tentang hubungan antara jasad dengan ruh. Perbincangan itu lantas diakhiri dengan kesepakatan bersama untuk tidak memperdebatkan tentang Allah dan Rasulullah, namun melaksanakan apa yang telah diwajibkan atas mereka semua.
رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوْبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ
Rabbanā lā tuzig qulụbanā ba’da iż hadaitanā wa hab lanā mil ladungka raḥmah, innaka antal-wahhāb
“Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia)”