Home / Relaksasi / Renungan / Ketika Allah SWT Memperkenalkan Diri-Nya kepadamu

Ketika Allah SWT Memperkenalkan Diri-Nya kepadamu

Oleh: H. Derajat

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ

Bismillâhirrahmânirrahîm
Wasshalâtu wassalâmu ‘alâ Muhammadin wa âlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘âmmati wal-hidâyatit tâmmah, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.

“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn“.

Saudaraku terkasih, adakalanya Allah SWT berkehendak untuk memperkenalkan Diri-Nya kepada seseorang tanpa mempertimbangkan keadaan amalnya. Meskipun bekal amal yang dimiliki seseorang itu sedikit.

Bahkan jika amal kebaikan seseorang lebih ringan dari amal keburukannya, namun jika Allah SWT berkehendak melalui rahmat-Nya, maka anugerah ma’rifat tersebut merupakan sesuatu yang tak bisa dilihat dengan kacamata timbangan baik buruk.

Karena itu, bersikaplah pasrah. Terimalah dan bersyukurlah atas anugerah yang telah Allah limpahkan kepada dirimu. Karena kehendak Allah itu tak bisa dianalisa dengan hanya mengandalkan kacamata timbangan manusia yang didasarkan atas logika-logika duniawi.

Syaikh Ahmad bin ‘Athaillah Assakandariy dalam al-Hikamnya membuat suatu azas tentang bagaimana cara menykapi Af’al Allah dalam diri seseorang:

إِذَا فَتَحَ لَكَ وِجْهَةً مِنَ التَّعَرُّفِ فَلَا تُبَالِ مَعَهَا أِنْ قَلَّ عَمَلُكَ فَإِنَّهُ مَا فَتَحَهَا لَكَ إِلَّا وَهُوَ يُرِيْدُ أَنْ يَتَعَرَّفَ إِلَيكَ . أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ التَّعَرُّفَ هُوَ مُوْرِدُهُ عَلَيْكَ، وَاْلأَعْمَالُ أَنْتَ مُهْدِيْهَا إِلَـيْهِ، وَأَيْنَ مَا تُهْدِيْهِ إِلَيْهِ مِمَّا هُـوَ مُوْرِدُهُ عَلَيْكَ .

“Ketika Dia membukakan bagimu (suatu) Wajah Pengenalan, maka jangan engkau sandingkan (hadirnya) pengenalan itu dengan sedikitnya amal-amalmu, karena sesungguhnya Dia tidak membukakan pengenalan itu bagimu kecuali (bahwa) Dia semata-mata menginginkan untuk memperkenalkan (Diri-Nya) kepadamu. Tidakkah engkau mengetahui bahwa sesungguhnya (suatu) pengenalan itu (semata-mata) Dia yang menginginkannya atasmu, sedangkan amal-amal itu (semata-mata) suatu hadiah dari engkau kepada-Nya; maka tidaklah sebanding antara apa-apa yang engkau hadiahkan kepada-Nya dengan apa-apa yang Dia inginkan untukmu.”

Ada rahasia yang sangat halus di balik kalimat-kalimat Syaikh Ibnu ‘Athaillah dalam pasal ini. Beliau bukan hendak mengatakan bahwa amaliah tidak berarti apa-apa sama sekali, karena itu adalah sebuah tanda kepatuhan dan kesungguhan kepada-Nya.

Namun, ada point penting yang lebih besar dari itu yang harus dimiliki setiap pejalan suluk. Ketika Allah membuka “Wajah Pengenalan”, maka yang Dia anugerahkan kepada seorang hamba adalah Diri-Nya, Eksistensi-Nya, bukan semata perbuatan-Nya, karunia-Nya, atau surga-Nya. Maka tidaklah sebanding ketika Allah menyerahkan seluruh Diri-Nya untuk dikenali, sementara seseorang hanya menyerahkan amal perbuatannya, bukan menyerahkan dirinya.

Walaupun apa yang diserahkan seorang hamba kepada Allah, apapun bentuknya dan seberapun besarnya, tak akan pernah bisa sebanding. Namun, totalitas penyerahan itu bukanlah dilihat dari perbandingan antara Allah SWT dengan makhluk-Nya, tapi dengan kesungguhan (mujahadah) yang keras. Pada kesungguhan seseorang itulah, Allah SWT melihat keseriusan dan fokusnya kepada-Nya.

Adalah Nabi Muhammad SAW memberi nasihat kepada putrinya, Sayyidah Fatimah RA untuk senantiasa berdoa pada setiap pagi dan petang:

يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيْثُ! أَصْلِحْ لِي شَأْنِيَ كُلَّهُ، وَلَا تَكِلْنِي إِلَى نَفْسِيْ طَرْفَةَ عَيْنٍ

“Wahai (Dzat) yang Maha Hidup dan Maha Berdiri Sendiri! Dengan rahmat-Mu aku memohon pertolongan. Perbaikilah urusanku seluruhnya; dan jangan Engkau serahkan aku kepada diriku walau hanya sekejap mata”. (HR. Imam An-Nasai, Imam Al-Hakim).

Dalam hadits yang lain dikatakan:

اللّٰهُمَّ رَحْمَتَكَ أَرْجُو، فَلاَ تَكِلْنِي إِلَى نَفْسِي طَرْفَةَ عَيْنٍ، وَأَصْلِحْ لِي شَأْنِي كُلَّهُ، لَآ إِلٰهَ إِلَّا أَنْتَ

“Ya Allah, hanya rahmat-Mu yang kuharapkan! Maka janganlah Engkau serahkan aku kepada diriku meski sekejap mata, dan perbaikilah urusanku seluruhnya. (Sungguh) tidak ada tuhan selain Engkau”. (HR. Imam Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Hibban).

Sahabatku tercinta, coba perhatikan redaksi kedua hadits di atas. Betapa Rasulullah SAW begitu sangat halus dalam meletakkan logika kepasrahannya. Kehalusan itu beliau ajarkan kepada anaknya, Sayyidah Fatimah RA, agar benar dalam meletakkan logikanya dalam berserah diri kepada Allah SWT.

Manusia memang lemah; tidak memilliki apa-apa, tidak mengerti apa-apa, tidak bisa berbuat apa-apa, bahkan tidak bisa mengatasi gejolak hawa nafsu di dalam dirinya sendiri. Kecuali itu, Allah SWT memberikan daya itu sehingga manusia menjadi mampu melakukan segala hal. Karena itu, Allah suka terhadap hamba yang menyatakan dengan pasti dan meyakinkan tentang kelemahan dirinya lalu Allah memberikan kekuatan sehingga dirinya kuat. Hanya kesadaran ini yang Allah lihat.

Bahwa kebanyakan manusia mengandalkan urusannya kepada dirinya, kepintarannya, amal perbuatannya. Dan sangatlah sedikit manusia yang menginginkan berserah diri sepenuhnya kepada Allah. Sementara dalam Al-Quran dikatakan bahwa sebaik-baik agama seseorang adalah yang “aslama wajhahu” (menyerahkan wajahnya), seluruh eksistensinya, seluruh jiwa-raganya, hidup dan matinya, hanya kepada Allah.

وَمَنْ أَحْسَنُ دِينًا مِّمَّنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلّٰهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ وَاتَّبَعَ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا ۞

“Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang menyerahkan wajahnya kepada Allah, sedang diapun seorang yang ihsan dan mengikuti millah Ibrahim yang lurus?”. (QS. An-Nisa [4]: 125)

Ma’rifat (mengenal) Allah itu adalah puncak keberuntungan seorang hamba. Maka apabila Tuhan telah membukakan bagimu suatu jalan untuk mengenal-Nya, maka tidak perlu engkau pedulikan berapa banyak amal perbuatanmu. Tak perlu meresahkannya walaupun amal kebaikanmu masih sedikit. Sebab ma’rifat itu suatu karunia dan pemberian langsung dari Allah, maka sekali-kali tidak tergantung kepada banyak atau sedikitnya amal kebaikan.

Abu Hurairah RA meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda dalam Hadits Qudsinya; bahwa Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

قَالَ اللّٰهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: « إِذَا ابْتَلَيْتُ عَبْدِى الْمُؤْمِنَ فَلَمْ يَشْكُنِى إِلَى عُوَّادِهِ أَطْلَقْتُهُ مِنْ إِسَارِى ثُمَّ أَبْدَلْتُهُ لَحْمًا خَيْرًا مِنْ لَحْمِهِ وَدَمًا خَيْرًا مِنْ دَمِهِ، ثُمَّ يَسْتَأْنِفُ الْعَمَلَ ۞ »

“Apabila Aku menguji hamba-Ku yang beriman, kemudian ia tidak mengeluh kepada orang lain, maka Aku lepaskan ia dari ikatan-Ku dan Aku gantikan baginya daging dan darah yang lebih baik dari semula, dan ia boleh memperbarui amal, sebab yang lalu telah diampuni semua.” (HR. Al-Hakim).

Dalam Surah Al-Baqarah ayat 214, Allah SWT menegaskan:

أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَأْتِكُمْ مَثَلُ الَّذِينَ خَلَوْا مِنْ قَبْلِكُمْ ۖ مَسَّتْهُمُ الْبَأْسَاءُ وَالضَّرَّاءُ وَزُلْزِلُوا حَتَّىٰ يَقُولَ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ مَتَىٰ نَصْرُ اللّٰهِ ۗ أَلَا إِنَّ نَصْرَ اللّٰهِ قَرِيبٌ ۞

Am ĥasibtum an tadkhulul jannata wa lammâ ya’tikum matsalul ladzîna khalau min qablikum massat-humul ba’sâ-u wadh-dharrâ’u wa zulzilû ĥattâ yaqûlar rasûlu wal-ladzîna âmanû ma’ahu matâ nashrullâhi, alâ inna nashralllâhi qarîb.

“Apakah kamu mengira kamu akan masuk surga? Padahal belum datang padamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa kesulitan dan kesempitan, serta diguncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: ‘bilakah datangnya pertolongan Allah?’ Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.” (QS. Al-Baqarah [2]: 214)

Diriwayatkan bahwa Allah telah menurunkan wahyu kepada salah seorang Nabi diantara beberapa Nabi-Nya; “Aku telah menurunkan ujian kepada salah seorang hamba-Ku, maka ia berdoa dan tetap Aku tunda permintaannya, akhirnya ia mengeluh, maka Aku berkata kepadanya: ‘Hamba-Ku, bagaimana Aku akan melepaskan dari padamu rahmat yang justru ujian itu mengandung rahmat-Ku. Karena dengan segala kelakuan kebaikanmu engkau tidak dapat sampai ke tingkat yang akan Aku berikan kepadamu, maka dengan ujian itulah engkau dapat mencapai tingkat dan kedudukan di sisi Allah’.”

Saudaraku terkasih, teruslah berusaha untuk tetap nrimo akan halmu. Bekerjalah dan carilah karunia Allah SWT di muka bumi. Tak ada dosa bagimu untuk menyibukkan dirimu pada urusan dunia asalkan tetap pada pendirianmu bahwa tak ada daya dan kekuatan kecuali daya dan kekuatan itu dari Allah SWT Yang Maha Agung.

لَاحَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللّٰهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ

Semoga Allah SWT memberkatimu…, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.

About admin

Check Also

Kitab Rahasia-Rahasia Puasa

”Selama syahwat itu subur, maka hilir mudik setan pada diri manusia senantiasa ada. Selama pengaruh ...