بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
Bismillâhirrahmânirrahîm
Wasshalâtu wassalâmu ‘alâ Muhammadin wa âlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘âmmati wal-hidâyatit tâmmah, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn“.
Orang-orang bijak mengatakan bahwa salah satu alasan kebanyakan manusia tidak mampu untuk bersabar bersama kenestapaan hidup atau saat dalam sebuah permasalahan adalah karena mereka tidak dapat melihat hikmah yang tersembunyi di baliknya.
Apalagi ketika kita terhimpit dalam suatu teka-teki kehidupan yang tak terjawab atau pengalaman penyakit yang tak tertahankan, maka konsep kesabaran atau kepasrahan merupakan obat penawar yang sungguh-sungguh berat untuk kita praktekkan.
Dikisahkan seorang pemuda ingin mempelajari kearifan hidup dan ilmu-ilmu irfaniyah dengan mengunjungi seorang guru sufi. Satu waktu, sebagaimana kebiasaan dalam dunia sufistik, sang guru mengajaknya pergi tanpa menjelaskan ke mana tujuan kepergian mereka. Mereka berdua berjalan melintasi daerah-daerah sunyi, lembah-lembah terjal, perbukitan, hutan belantara dan menelusuri gersangnya gurun pasir di bawah terik matahari yang membakar. Dua hari berlalu tanpa sedikit pun makanan dan minuman.
Si murid merasakan letih tak terkirakan. Tenggorokannya terasa panas terbakar kehausan dan perutnya terasa seakan meledak dililit kelaparan yang benar-benar menyiksa. “Bisakah kita berhenti sejenak untuk mencari sepotong roti dan seteguk air? Sungguh aku nyaris sudah tidak sanggup lagi mengangkat kedua kakiku untuk meneruskan perjalanan,” pinta si murid kepada sang guru. Saat memasuki sebuah desa, sang guru menghampiri rumah pertama yang mereka jumpai, rumah kumuh dan reyot, untuk meminta sedikit makanan dan minuman.
Tiba-tiba muncul seorang lelaki bertubuh tinggi besar dan berpakaian lusuh sambil berjalan tertatih-tatih menyeret kedua kakinya, seolah kedua kakinya adalah godam besar yang tidak dapat ia angkat. Rupanya ia sedang ditimpa kelumpuhan yang hampir-hampir membuat tubuhnya yang besar tidak bisa lagi berjalan. Si murid tersentak kaget bercampur perasaan iba yang mendalam saat melihatnya, sementara sang guru dengan paras datar meminta makanan dan minuman seadanya, seolah tidak terjadi apapun dengan lelaki itu.
Lelaki tersebut melangkah masuk dan sesaat kemudian ia kembali dengan membawa sepotong roti dan sedikit minuman. Sang guru membalas dengan berkata singkat, “Anugerah surgawi tercurah kepadamu!” Dari pakaian jubah panjang dan tatapannya yang sangat berwibawa, lelaki itu tahu siapa orang yang berada di hadapannya. Ia pasti seorang alim yang dekat dengan kerajaan langit. Lelaki itu mengajukan permohonan dengan suara yang amat menghiba;
“Wahai syaikh, sudah hampir delapan tahun aku merasakan sakit ini. Dari hari ke hari bukan semakin sembuh tapi kurasakan semakin parah. Telah kucari pengobatan ke sana kemari namun kesembuhan tak kunjung datang. Dan lidah ini pun setiap waktu memanjatkan doa kepada Allah, namun kasih sayang-Nya belum tercurah juga. Kumohon kepada engkau doakanlah aku kepada Allah agar Dia berkenan menyembuhkan penyakitku yang sangat menyiksa ini.”
Seperti tidak menggubris permohonan tersebut, guru sufi menjawab, “Percayalah ada sebutir mutiara yang tengah diasah dalam dirimu dan suatu waktu percikan cahayanya akan menyinari sekelilingmu. Semoga rahmat Allah selalu bersamamu.”
Melihat kejadian itu, si murid merasa perlakuan gurunya tidak adil, sehingga ia berkata, “Jelas kita belum membalas kemurahan hati lelaki ini. Tidak bisakah engkau memberi dirinya selain rahmat Allah?” lagi-lagi sang guru menjawab datar, “Rahmat Allah itu sudah cukup baginya. Lebih dari itu belum tentu lebih bermanfaat baginya.”
Memperhatikan sikap gurunya yang acuh tak acuh, si murid tidak tahan dan mengajukan alasan-alasan dengan nada lantang, “Wahai guru, jika aku merasakan kelaparan dan kehausan hanya selama satu atau dua jam, mungkin sepotong roti dan seteguk air tadi tidak begitu berarti bagiku. Namun kelaparan dan kehausan yang menyiksa itu aku rasakan selama dua hari dua malam, sehingga tatkala aku melihat sepotong roti dan seteguk air itu, maka aku melihat kehidupan itu sendiri. Dan lelaki inilah yang “memberi”ku kehidupan. Tetapi mengapa engkau tidak membalasnya setimpal, terlebih lagi ia sedang ditimpa penyakit yang membutuhkan pertolonganmu? Tidak bisakah engkau berbagi kebaikan seperti yang diinginkan lelaki ini?”
“Baiklah kalau engkau tidak sabar dan mendesak, aku akan mendoakan untuk kesembuhannya, tetapi kelak engkau akan memahami semuanya,” ujar sang guru dengan tenang. Kemudian guru sufi itu mengangkat kedua tangannya, seraya menatap ke langit ia berdoa, “Ya Allah Dzat Yang Maha Menyembuhkan, sembuhkanlah penyakit hamba-Mu ini yang sangat mengharap obat dari-Mu,” Kepuasan terlihat jelas di wajah si murid dan lelaki itu. Sejurus kemudian, sang guru dan murid pamit untuk meneruskan perjalanan.
Mereka berkelana dari satu desa ke desa lain, dari satu wilayah ke wilayah lain selama tiga tahun. Suatu hari keduanya secara tidak sengaja melewati desa yang sama dan jalan yang sama tempat dulu mereka meminta secuil makanan dan minuman saat berada dalam kelaparan dan dahaga. Tapi rumah kumuh itu sudah tidak ada lagi di sana. Sebagai gantinya berdiri rumah besar dan megah dengan pintu-pintu besi yang tinggi dan kokoh.
Terdorong rasa ingin tahu, si murid bertanya kepada salah seorang yang berada di sana tentang si pemilik rumah mewah tersebut. Orang itu menjawab bahwa rumah itu adalah milik si lelaki bertubuh besar yang dulu selalu sakit-sakitan. Kini dengan kekuatan tubuhnya, dia menjadi tuan tanah yang kaya raya dan sewenang-wenang sehingga orang-orang di sekitarnya menjadi menderita karena kezalimannya. Mendengar penuturan tersebut, si murid tersurut beberapa langkah ke belakang. Ia kaget bukan kepalang seraya berteriak, “Kemalangan yang dulu terbalut ketaatan kini berganti kesenangan yang terbungkus kemaksiatan!”
“Bukankah dulu pernah aku katakan kepadamu bahwa rahmat itu lebih baik daripada kesehatan tubuh? Lalu sekarang apa yang akan kau katakan kepadaku?” tanya sang guru. “Sungguh aku tidak melihat kearifan ini! Lalu apa makna mutiara yang sedang terasah dan percikan cahayanya yang tersebar yang dulu pernah kau katakan kepadanya?” selidik si murid untuk menyibak hikmah lebih jauh. Sang guru mengusapkan tangannya ke wajah si murid.
Seketika itu juga ia menyaksikan pemandangan tentang lelaki bertubuh besar dan tinggi itu sedang khusyuk bermunajat kepada Tuhannya di tengah-tengah malam yang sunyi dan pada siang hari banyak orang bertandang ke gubuknya yang reyot untuk menimba kebijaksanaan hidup. Rupanya penyakit itu telah mengantarkan si lelaki menggenggam lentera kearifan dan membagikannya kepada orang-orang awam. Sekilas kemudian pemandangan itu hilang dari tatapan si murid. Pahamlah sudah tentang isyarat-isyarat yang diungkapkan oleh gurunya tiga tahun silam. Namun sesaat itu juga ia terkejut kembali karena sang guru sudah tidak berada di hadapannya.[]
Pesan Moral
Sangat transparan, kisah ini menggambarkan betapa beratnya bersabar dalam situasi yang penuh teka-teki, tidak diketahui kepastiannya, dan penyakit yang memayahkan. Ternyata sulit untuk bertahan dalam ketabahan di tengah situasi menyakitkan yang belum kita ketahui hikmah-hikmah di baliknya.
Pesan moral ini dipotret oleh Al-Qur’an melalui lisan Nabi Khidir a.s., saat berkata kepada Nabi Musa a.s., “Sesungguhnya engkau sekali-kali tidak akan sanggup untuk bersabar bersamaku. Bagaimana engkau dapat bersabar atas sesuatu yang engkau belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?” (QS. Al-Kahfi: 67 – 68)
قَالَ إِنَّكَ لَن تَسْتَطِيعَ مَعِىَ صَبْرًا ۞ وَكَيْفَ تَصْبِرُ عَلَىٰ مَا لَمْ تُحِطْ بِهِۦ خُبْرًا ۞
Penutup :
1] “Dia (Nuh) berkata, “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari memohon kepada-Mu sesuatu yang aku tidak mengetahui (hakikatnya). Kalau Engkau tidak mengampuniku, dan (tidak) menaruh belas kasihan kepadaku, niscaya aku termasuk orang yang rugi.” (QS. Hud: 47)
قَالَ رَبِّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أَسْأَلَكَ مَا لَيْسَ لِي بِهِ عِلْمٌ ۖ وَإِلَّا تَغْفِرْ لِي وَتَرْحَمْنِي أَكُنْ مِنَ الْخَاسِرِينَ ۞
2] “Sesungguhnya Aku ini Allah. Tiada ilah selain Aku. Barangsiapa yang tidak bersabar atas ujian-Ku, tidak bersyukur atas segala nikmat-Ku, serta tidak ridha atas segala hukum perintah dan larangan-Ku, serta janji qadha dan qadar-Ku, maka keluarlah dari bawah langit-Ku yang selama ini engkau jadikan sebagai atapmu (bumi) dan carilah Tuhan selain Aku.” (Hadist Qudsi; HQR. Ath-Thabrani dan Ibn’ Asakir)
أَنَا اللّٰهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا مَنْ لَمْ يَصْبِرْ عَلَى بَلَائِىْ وَلَمْ يَشْكُرْ نَعْمَائِىْ وَلَمْ يَرْضَ بِقَضَائِىْ فَلْيَتَّخِذْ رَبًّا سِوَائِى ۞
3] Dari Abul ‘Abbas Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata: Suatu hari aku pernah berboncengan bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau bersabda: ”Wahai anak kecil, sungguh aku akan mengajarimu beberapa kalimat: ‘Jagalah Allah, niscaya Dia akan menjagamu, jagalah Allah niscaya engkau akan mendapati-Nya di hadapanmu. Apabila kamu meminta sesuatu mintalah kepada Allah, apabila engkau memohon pertolongan maka mintalah kepada Allah. Ketahuilah, kalau seandainya umat manusia bersatu untuk memberikan kemanfaatan kepadamu dengan sesuatu, niscaya mereka tidak akan mampu memberi manfaat kepadamu kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tentukan untukmu, dan kalau seandainya mereka bersatu untuk menimpakan bahaya kepadamu dengan sesuatu, niscaya tidak akan membahayakanmu kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan akan menimpamu. Pena-pena telah diangkat dan lembaran-lembaran telah kering.” [HR. at Tirmidzi, dan dia berkata hadits ini hasan shahih].
Dalam riwayat selain riwayat at Tirmidzi, dengan lafadz: ”Jagalah Allah niscaya engkau akan mendapati-Nya di hadapanmu, ingatlah Allah dalam keadaan engkau lapang, niscaya Dia akan mengingatmu dalam keadaan engkau sulit. Dan ketahuilah, bahwa segala sesuatu yang Allah tetapkan luput darimu, niscaya tidak akan pernah menimpamu. Dan segala sesuatu yang telah ditetapkan menimpamu, maka tidak akan luput darimu. Ketahuilah, bahwa pertolongan itu bersama kesabaran dan kelapangan itu bersama kesulitan dan bersama kesukaran itu ada kemudahan.” [Diriwayatkan oleh Ahmad dalam al Musnad (1/307), Hannad dalam az Zuhdu (1/304), ‘Abd bin Humaid dalam Musnadnya (hal. 214), ath Thabarani dalam al Kabir (11243), al Hakim dalam al Mustadrak (3/623), al Lalika’i dalam I’tiqad Ahlis Sunnah (4/614) dan al Baihaqi dalam Syu’abul Iman (2/27)]
عَنْ أَبِي الْعَبَّاسِ عَبْدِ اللّٰهِ بنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُمَا قَالَ: كُنْتُ خَلْفَ رَسُوْلَ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: (يَا غُلاَمُ إِنّي أُعَلِّمُكَ كَلِمَاتٍ: احْفَظِ اللّٰهَ يَحفَظْكَ، احْفَظِ اللّٰهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ، إِذَاَ سَأَلْتَ فَاسْأَلِ اللّٰهَ، وَإِذَاَ اسْتَعَنتَ فَاسْتَعِن بِاللّٰهِ، وَاعْلَم أَنَّ الأُمَّةَ لَوِ اجْتَمَعَتْ عَلَى أن يَنفَعُوكَ بِشيءٍ لَمْ يَنْفَعُوكَ إِلَّا بِشيءٍ قَد كَتَبَهُ اللّٰهُ لَكَ، ولَوِ اِجْتَمَعوا عَلَى أَنْ يَضُرُّوْكَ بِشيْءٍ لَمْ يَضُرُّوْكَ إِلَّا بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللّٰهُ عَلَيْكَ، رُفِعَتِ الْأَقْلَامُ، وَجَفّتِ الصُّحُفُ) رَوَاهُ التِّرْمِذِيّ وَقَالَ: حَدِيْثٌ حَسَنٌ صَحِيْحٌ وَفِي رِوَايَةِ غَيْرِ التِّرْمِذِيّ: (اِحفظِ اللّٰهَ تَجٍدْهُ أَمَامَكَ، تَعَرَّفْ إلى اللّٰهِ في الرَّخاءِ يَعرِفْكَ في الشّدةِ، وَاعْلَمْ أَنَّ مَا أَخْطَأَكَ لَمْ يَكُن لِيُصِيْبَكَ، وَمَا أَصَابَكَ لَمْ يَكُن لِيُخْطِئَكَ، وَاعْلَمْ أنَّ النَّصْرَ مَعَ الصَّبْرِ، وَأَنَّ الفَرَجَ مَعَ الكَرْبِ، وَأَنَّ مَعَ العُسْرِ يُسْراً)
4] “Carilah perlindungan hanya kepada Allah Ta’ala, dan mohonlah kepada-Nya agar Dia memilihkan yang terbaik bagimu dalam urusan-urusanmu. Sesungguhnya Dia tidak akan menelantarkan orang yang mencari perlindungan kepada-Nya, dan tidak akan merugikan orang yang memohon pilihan kepada-Nya. Sandarkanlah dirimu kepada Allah dalam semua urusanmu, karena sesungguhnya engkau telah bersandar pada tempat berlindung yang amat kokoh dan dengan penjagaan yang kuat.” (Ali bin Abi Thalib ra)
5] “Ya Allah, saat aku kehilangan harapan dan rencana, tolong ingatkan aku bahwa cinta-Mu jauh lebih besar daripada kekecewaanku, dan rencana yang Engkau siapkan untuk hidupku jauh lebih baik daripada impianku.” (Ali bin Abi Thalib ra)
6] “Apa yang telah ditetapkan Allah atas dirimu pasti terjadi. Jika engkau bersabar, engkau beroleh ampunan dan pahala karenanya. Jika engkau mengeluh atau tenggelam dalam kesedihan, engkau berdosa karenanya.” (Ali bin Abi Thalib ra)
7] “Hendaklah engkau berdiri di depan pintu sabar, dan hendaklah engkau senantiasa mengetuk pintu sabar, karena tak ada pintu lagi di balik pintu sabar kecuali Allah.” (Muhammad bin ‘Abdul Jabbar An-Niffari)
_______________
Referensi: diambil dari “Mendidik Kepasrahan pada Suratan Takdir” dalam : “Hikmah Sakit- Mereguk Kasih Sayang Ilahi Bersama Badiuzzaman Said Nursi”; Dr. Zaprulkhan,M.S.I; Elex Media Komputindo- Kompas Gramedia; Jakarta, 2016.