Oleh: H. Derajat
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
Bismillâhirrahmânirrahîm
Wasshalâtu wassalâmu ‘alâ Muhammadin wa âlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘âmmati wal-hidâyatit tâmmah, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn“.
Saudaraku dan para sahabatku, tibalah kita sekarang pada bab-bab tentang ibadah syari‘at dari kitab al-Futuhât al-Makkiyyah. Topik ini akan memenuhi hampir 7 jilid dari keseluruhan 37 jilid kitab ini, dari jilid 5 hingga awal jilid 11. Terbentang hingga 1.021 halaman pada versi tahqiq ‘Abd Al-‘Azîz Sulthân Al-Manshûb dan 2.895 halaman pada versi tahkik Osman Yahia.
Dibuka dengan bab tentang rahasia diturunkannya syari‘at dan Nama-nama Ilahi apa saja yang mewujudkannya. Alur penjelasan dalam bab ini dimulai dengan konferensi Nama-nama Ilahi untuk memberi eksistensi pada entitas-entitas benda mungkin (mumkinât) yang masih berupa non-eksisten di dalam Ilmu Allah SWT.
Diawali dengan permintaan dari benda-benda mungkin (mumkinât) agar diberi eksistensi, yang membawa mereka mendatangi satu per satu Nama-nama Ilahi guna memenuhi permintaannya. Setiap Nama yang didatangi selalu menyampaikan ketidakmampuannya dan melimpahkan tugas tersebut pada Nama yang mereka anggap lebih berhak.
Dari penjabaran ini, kita bisa melihat gambaran hierarki Nama-nama Ilahi terkait penciptaan alam semesta. Pentingnya memahami hierarki Nama-nama Ilahi tidak hanya berhenti pada taraf konseptual. Bagi seorang salik, pemahaman tersebut juga terkait dengan ritual keseharian dan adab dalam bermu’âmalah dengan Allah SWT.
Salah satu metode khas yang dipakai Syaikh untuk menjelaskan tentang Nama-nama Ilahi adalah dengan mempersonifikasi Nama-nama. Tidak jarang beliau menyifati Nama-nama Ilahi dengan kegembiraan, kesenangan, berkumpul dan berbincang serta sifat-sifat lainnya, hingga seolah-olah Nama-nama itu memiliki independensi ontologis.
Tetapi, penting untuk selalu diingat bahwa semua penggambaran imajinatif tersebut hanyalah demi memudahkan pemahaman pendengar. Syaikh tak hentinya menegaskan setiap kali hendak membuka penjelasan tentang subjek ini bahwa Nama-nama Ilahi hanyalah sebatas keterkaitan, penisbahan dan penyandaran, bukan entitas-entitas nyata yang dapat dibedakan dari Allah SWT atau dari makhluk.
Meyakini Nama-nama sebagai entitas-entitas nyata yang memiliki kemandirian ontologis berarti meyakini adanya multiplisitas dalam Diri Allah SWT, Yang Maha Satu, dan itu adalah sebuah kesalahan serius yang bisa merusak tauhid. Seluruh ajaran Syaikh Ibn Al-‘Arabî RA selalu mengarah pada tauhid, yaitu mengakui dan mengafirmasi Kemahaesaan Allah SWT. Tidak seorang pun yang memiliki akal sehat akan menuduh beliau sebagai penganut politeisme, misalnya dengan menjadikan Nama-nama Ilahi sebagai “tuhan-tuhan kecil atau dewa-dewa”.
Dalam pandangan beliau, Nama-nama Ilahi hanyalah keterkaitan-keterkaitan, dan keterkaitan tidaklah memiliki eksistensi. Seperti ketika satu orang atau individu yang sama bisa disebut sebagai ayah, suami, teman, anak dari bapaknya, saudara, tetangga dan banyak sebutan lainnya, tetapi dari segi zatnya, orang itu hanyalah satu. Allah SWT adalah Satu dari segi Zat-Nya, namun banyak dari segi keterkaitan dan penisbahan yang disandarkan pada-Nya.
Setelah alam semesta mewujud dan benda-benda mungkin (mumkinât) memiliki eksistensi, muncullah potensi konflik dan kekacauan. Pertikaian, perselisihan dan segala macam konflik yang terjadi di alam semesta tiada lain adalah karena multiplisitas keterkaitan Nama-nama Ilahi yang menjadi sandaran benda-benda mungkin (mumkinât). Segala sesuatu di alam semesta memanifestasikan bekasan dan aturan Nama-nama Ilahi.
Nama-nama saling terkait antara satu dan lainnya dengan mode yang berbeda-beda, ada yang selaras dan ada pula yang tidak selaras. Nama al-Muntaqim (Maha Penuntut Balas) dan al-Syadîd al-‘Iqâb (Maha Keras Hukumannya) tidak akan pernah bisa selaras dengan Nama al-‘Afuww (Maha Pemaaf) dan al-Ghafûr (Maha Pengampun). Begitu pula dengan Nama-nama lain yang saling bertentangan. Dari sinilah akar dari konflik dan hierarki di alam semesta berasal.
Demi mengatasi kekacauan tersebut, ditugaskanlah Nama al-Rabb (Maha Pengatur) untuk menjadi imam yang mengatur dan menjaga agar harmoni tetap terjalin demi kemaslahatan alam semesta. Nama al-Rabb memiliki dua wazîr (menteri) yang membantu, yakni Nama al-Mudabbir (Maha Mengatur) yang berwenang di alam tampak dan al-Mufasshil (Maha Memerinci) di alam gaib. Dari Nama al-Rabb inilah kemudian memanifestasikan para pemimpin dan imam yang mengatur umat-umat di alam semesta.
Aturan dan kebijakan yang ditetapkan di alam terbagi menjadi dua; kebijakan berdasar hikmah kebijaksanaan (al-siyâsah al-hikmiyyah) dan kebijakan berdasar syari‘at (al-siyâsah al-syar‘iyyah).
Pemangku kebijakan berdasar hikmah adalah orang-orang bijak (al-Hukamâ’) yang diberi fitrah berupa kebijaksanaan dan kemampuan intelektual melebihi kaumnya. Kebijakan dan hukum-hukum yang mereka terapkan berdasar pada pencarian intelektual dan eksperimen yang berasal dari hikmah kebijaksanaan yang diilhamkan Allah SWT dalam diri mereka.
Sedangkan para pemangku kebijakan berdasar syari‘at (al-siyâsah al-syar‘iyyah), yakni para nabi, rasul dan para wali pewaris mereka. Hukum dan aturan yang mereka terapkan berasal langsung dari wahyu Ilahi yang didiktekan oleh Allah SWT kepada mereka. Orang-orang bijak hanya cenderung pada kemaslahatan duniawi, sedangkan para nabi, rasul dan pewarisnya menjaga kemaslahatan dunia dan akhirat.
Saudaraku dan para sahabatku, keteraturan alam semesta ternyata memiliki tujuannya masing-masing. Entitas-entitas mumkinât secara hirarkies juga memiliki pengaturnya masing-masing. Lebih penting dari itu, bahwa pengetahuan akan hal itu semua bukan semata-mata menjadi obyek kajian filsafat semata. Tapi sebuah pengetahuan yang dianugerahi (mauhûb) oleh mujâhadah al-nafsiyyah untuk meniti jalan Allah SWT.
سُبْحَانَكَ لَا عِلْمَ لَنَا إِلَّا مَا عَلَّمْتَنَا ۖ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَلِيمُ الْحَكِيمُ ۞
“Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.
Wallâhu A’lam