Home / Agama / Kajian / Ketenangan Jiwa Dalam Tafsir Mafātih al-Ghayb (2)

Ketenangan Jiwa Dalam Tafsir Mafātih al-Ghayb (2)

Oleh: Abd Jalaluddin

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ

Bismillãhirrahmãnirrahîm
Wash-shalãtu was-salãmu ‘alã Muhammadin wa ãlihî ma’at taslîmi wa bihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘ãmmati wal-hidãyatit tãmmah, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn.

“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn”.

Pembahasan berikutnya adalah problem jiwa. Problem-problem tersebut, menjadi penghalang bagi jiwa untuk sampai pada tahap tenang dan tentram. Menurut al-Rāzī dalam Tafsīr MafātīAl-Ghayb bahwa problem-problem jiwa ada tujuh yaitu: khauf, ḥazn, al-hulu, ḥubbu al-Dunyā, ḥasad, al-Tafākhur, dan al-Takatsūr. Problem tersebut muncul dari dua aspek yaitu, ketika akal sakit[1]Orang yang terkena penyakit fisik saja sudah jelas memiliki harapan dan semangat yang lemah, bagaimana jika yang sakit itu jiwanya? Sebagaimana penulis sebutkan pada halaman 23 bahwa jiwa merupakan pemberi kehidupan. [Lihat: Syekh ‘Abd al-Laṭīf al-Baghdādī, Al-Shifā Alī wa AlJismī, (Beirut: Dār al-Islāmiyyah, 2003), 239]., dan kurangnya pendidikan, dan dampaknya adalah pandangan semakin sempit[2]Achmad Mubarok, Psikologi Qur’ani, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), Hlm. 27., sehingga ketenangan dalam jiwa menjadi hilang.

Problem pertama, Khauf yang menurut al-Rāzī ialah rasa takut yang hadir ketika mengingat hukuman yang akan dirasakan di akhirat.[3]Fakhruddin al-Rāzī, Mafātīal-Ghayb, Jilid. 19, 40. Berbeda dengan Achmad Mubarok yang mengatakan khauf, muncul dari kurangnya pendidikan. [Lihat: Achmad Mubarok, Psikologi Qurani, 27]. Hal ini didasarkan pada al-Qur’an surah 8:2, yang menurut Omar Ali Shah, rasa takut dikembangkan oleh imajinasi, ketika awalnya manusia takut terhadap sesuatu misalnya, saya takut ini.[4]Omar Ali Shah, Tasawuf Sebagai Terapi, 206. Takut yang dimaksud al-Rāzī tersebut, tidak mendatangkan ketenangan, karena yang diingat hukuman, bukan sebaliknya.[5]Fakhruddin al-Rāzī, Mafātīal-Ghayb, Jilid. 29, Hlm. 128.

Meskipun demikian, takut terhadap hukuman tetap memiliki manfaat (QS. ‘Āli Imrān: 191) diantaranya, dapat menjadi rem[6]Kamāl Al-Haydarī, Al-Tarbiyyah Al-iyyah, (Qum: Dār as-Ṣādiqīn, 2012), Hlm. 15., sehingga tidak bertindak sia-sia dan semborono.[7]Muḥammad al-Ghazālī, al-Jānib al-‘Āifī Min alIslām, (Mesir: Nahḍah Miṣr, 2005), Hlm. 222.

Jadi, takut kepada Allah bukan dalam pengertian menjauhinya, karena dialah yang seharusnya dicintai. Takut kepada-Nya tertuju pada keadilanNya, dan takut tersebut tertuju pada dirinya, karena telah melakukan hal-hal yang buruk, seperti melanggar hak-hak orang lain.[8]Murtadha Muthahhari, Ceramah Seputar Persoalan Penting Agama & Kehidupan, (Ciputat; Lentera, 2000), Hlm. 16.

Problem kedua, ḥāzn. Al-Rāzī mengatakan bahwa kata lā taḥzan memiliki hubungan dengan lā tapada surah al-Māidah: 26.[9]Fakhruddin al-Rāzī, Mafātīal-Ghayb, Jilid. 11, 335. Syekh ‘Abd Al-Laṭīf menyebutkan bahwa kata ḥazn merupakan padanan kata tasa. [Lihat juga: Syekh ‘Abd al-Laṭīf al-Baghdādī, Al-Shifā Alī wa AlJismī, 292]. Ḥazn kebalikan dari kata surūr dan al-farḥ yang bermakna gembira atau senang.[10]Ibn Manẓūr, Lisān al-‘Arab, (Kairo: Dār al-Ḥadīth, 2003), Jilid. 2, Hlm. 429. Menurut Amin Syukur, Gelisah atau ḥazn merupakan tindakan hawatir terhadap sesuatu yang belum terjadi.[11]M. Amin Syukur dan Masharudin, Intelektual Tasawuf, 113. [Lihat juga: Jawādī Amūlī, Tafsīr Sūrah Ibrāhim, 81]. [Lihat juga: Fakhr al-Dīn al-Rāzī, Tafsīr Mafātīal-Ghayb, Jilid. 26, 436]. Kegelisahan ini hadir, ketika berpikir terhadap masa depan yang dihadapi, padahal belum terjadi.[12]Termasuk kondisi yang dialami orang stres adalah gelisah. [Lihat: Jalaluddin Rahmat, Tafsir Kebahagiaan, (Jakarta: Serambi, 2010), 178].

Problem ketiga, al-Hulu’. Menurut al-Rāzī al-Hulu merupakan sifat tamak serta kurang sabar.[13]Fakhruddin al-Rāzī, Mafātīal-Ghayb, Jilid. 30, 243. [Lihat juga: Ibn Manẓūr, Lisān al„Arab, (Kairo: Dār al-Ḥadīth, 2003), 116]. Selain itu, al-Rāzī juga memaknai kata Hulu’ dengan الضجر yang bermakna jemuh.[14]Fakhruddin al-Rāzī, Mafātīal-Ghayb, Jilid. 30, 243. Dalam bahasa Indonesia, kata jemuh bermakna sudah tidak suka lagi; bosan. [Lihat: Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), Edisi 3, 467].

Menurutnya, sifat tamak dan bakhil merupakan sifat yang mencintai harta secara berlebihan, dan jika cinta itu merajai hati, maka itu penyakit yang hebat.[15]Obat yang paling mujarab menurut Al-Rāzi adalah dengan menjauhi objek yang dicintai. [Lihat: Fakhruddin al-Rāzī, Kitāb al-Nafs wa al-wa SharQawāhumā, 122]. Dan akibat dari perbuatan buruk tersebut, akan membuat jiwa bergantung pada perkara duniawi dan material, sehingga jiwa diliputi gelapnya kezaliman dan menjadi penghalang menyaksikan pengetahuan.[16]Kermani, Thuba, “Diskursus Akhlak Dalam Filsafat Mullā Shadrā,” dalam Kanz Philosophia, (Jakarta: Sekolah Tinggi Filsafat Islam (STFI) Sadra, Vol. 4, No.1, 2014), Hlm. 82. Padahal ia merupakan persepsi yang akan melahirkan kebahagiaan dan menjauhi perbuatan abadi.[17]Kermani, Thuba, “Diskursus Akhlak Dalam Filsafat Mullā Shadrā,” dalam Kanz Philosophia, 82.

Problem keempat adalah Ḥubbu al-Dunyā. Dalam surah al-An’am: 32, dunia digambarkan sebagai permainan dan senda gurau. Pada surah al-A’lā: 16-17 dunia disebut sebagai sesuatu yang tidak kekal. Lebih dikuatkan lagi pada surah an-Nisā: 77 bahwa kesenangan dunia hanya sebentar saja. Dari ayat ini dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa cinta dunia sebagai problem jiwa, karena sifat dunia tidak kekal (QS. al-A’lā: 16-17). Sementara jiwa disebut sebagai subtansi yang kekal dan tidak terbatas.[18]Bertrand Russel, Sejarah Filsafat Barat, 186. Sebagai bukti bahwa jiwa tidak terbatas adalah informasi-informasi yang masuk dalam diri manusia bukan tersimpan dalam sel-sel fisik, karena sel-sel fisik tersebut terbatas dan juga mati dalam beberapa saat. [Lihat juga: Irmansyah Effendi, Kesadaran Jiwa, (Jakarta: PT. Gramedia, 2005), 13-14].

Sesuatu yang terbatas menurut al-Rāzī, tentu tidak mampu memenuhi sesuatu yang tidak terbatas.[19]Fakhruddin al-Rāzī, Mafātīal-Ghayb, Jilid. 2, Hlm. 400. Dari sinilah dapat dipahami bahwa cinta pada dunia menjadi sebuah problem jiwa karena tidak mampu memenuhi kebutuhan jiwa.[20]Ikhlas Budiman, “Penerapan Teori-Teori Filosofis Dalam Menafsirkan Al-Qur’an”, dalam Tanzil, (Jakarta: Sekolah Tinggi Filsafat Islam (STFI) Sadra, Vol. 1, No.1, 2015), Hlm. 65.

Bahkan lebih jelas lagi al-Rāzī mengatakan bahwa ketika cinta sudah merajai jiwa (qalbu), maka itulah penyakit yang hebat.[21]Fakhruddin al-Rāzī, Kitāb al-Nafs wa al-wa SharQawāhumā, Hlm. 122. Tentu yang dimaksud cinta pada pembahasan ini adalah cinta pada dunia.[22]Fakhruddin al-Rāzī, Kitāb al-Nafs wa al-wa SharQawāhumā, Hlm. 122. Dapat dianalogikan demikian, barangsiapa yang mencintai sesuatu lebih dari mencintai Allah, berarti hatinya telah terjangkiti penyakit.[23]Al-Ghazālī, Metode Menaklukkan Jiwa, diterjemahkan oleh Rahmani Astuti, (Bandung: Mizan, 2014), Hlm. 115. Sama halnya perut yang memilih-milih makanan kerena pencernaan sakit, bahkan membuat tidak berselera.[24]Al-Ghazālī, Metode Menaklukkan Jiwa, 115. Cinta dunia dapat dikatakan, memalingkan perhatian cinta yang semula kepada allah menjadi kepada dunia, karena mencintai sesuatu, maka objek tersebutlah yang terasa dekat dihati, tak peduli jarak ruangnya.[25]Mulyadhi Kartanegara, Lentera Kehidupan, (Bandung: Mizan, 2017), Hlm. 20.

Problem kelima adalah Ḥasad: Al-Rāzī mengatakan bahwa ḥasad merupakan sifat manusia yang paling buruk.[26]Fakhruddin al-Rāzī, Mafātīal-Ghayb, Jilid. 1, Hlm. 226. Lebih jauh lagi ia menyebutkan bahwa penyebab manusia dimusuhi syaithān adalah karena sifat ḥasad dan itulah yang menyebabkannya keluar dari surga.[27]Fakhruddin al-Rāzī, Mafātīal-Ghayb, Jilid. 3, 464. Syaithān memusuhi manusia dengan cara membisikkan sesuatu yang mengajak pada kedurhakaan dan kemaksiatan.[28]Fakhruddin al-Rāzī, Mafātīal-Ghayb, Jilid. 3, Hlm. 464.

Dari uraian ini, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa sifat ḥasad menjadi problem jiwa karena menginginkan sesuatu yang ada di tangan orang lain hilang, padahal hadits menegaskan bahwa; “Manusia itu satu, sama seperti tubuh, jika salah satu bagiannya sakit, maka bagian yang lain ikut merasakan sakit”. (HR. Abū Nu’mān, Hadits ke-6011).[29][Lihat: al-‘Asqalānī, Fatḥu al-Bārī Syarḥu Ṣaḥīḥ Bukhārī, Jilid. 10, 494-495].

مَثَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مِثْلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهْرِ وَالْحُمَّى

Dengan demikian, sifat ḥasad jelas menjauhkan dari kehidupan yang rukun dengan semboyan gotong royong. Hadits lain juga menekankan, seseorang tidak akan sampai pada hakikat iman hingga “Dia mencintai saudaranya sama seperti mencintai dirinya sendiri (HR. Abu Hurairah, Hadis ke- 14).[30][Lihat: al-‘Asqalānī, Fatḥu al-Bārī Syarḥu Ṣaḥīḥ Bukhārī, Jilid. 1, 74].

لَا يُؤْمِنُ عَبْدٌ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ

Problem keenam adalah al-Tafākhur. Kata al-Tafākhur sepadan dengan kata Takabbur yang menurut istilah, sifat yang merasa dirinya tinggi karena memiliki beberapa kelebihan, dan cukup gagal memahami kesempurnaan Tuhan yang merupaka sumber segalah sesuatu.[31]Muhammad Mahdi bin Abi Dzar an-Naraqi, Penghimpun Kebahagiaan, Hlm. 90. Dampak dari perbuatan ini adalah arogansi, lupa, lalai terhadap kesalahan sendiri, sehingga gagal mengoreksi diri sendiri.[32]Muhammad Mahdi bin Abi Dzar an-Naraqi, Penghimpun Kebahagiaan, Hlm. 90.

Bahkan al-Rāzī mengatakan sifat tersebut, membuat manusia semakin tergiur dengan kemaksiatan.[33]Fakhruddin al-Rāzī, Mafātīal-Ghayb, Jilid. 4, 8. Dalam pandangan yang lain juga disebutkan bahwa perbuatan yang buruk akan membuat jiwa menjadi bergantung pada perkara duniawi dan material, sehingga jiwa diliputi gelapnya kezaliman dan menjadi penghalang menyaksikan pengetahuan. Padahal ia merupakan persepsi yang akan melahirkan kebahagiaan dan menjauhi perbuatan abadi. [Lihat juga: Thuba Kermani “Diskursus Akhlak Dalam Filsafat Mullā Shadrā,” dalam Kanz Philosophia, (Jakarta: Sekolah Tinggi Filsafat Islam (STFI) Sadra, Vol. 4, No.1, 2014), 82]. Di tempat lain al-Rāzī juga mengatan dengan jelas bahwa sikap membanggakan diri memicu pada hal-hal yang tidak halal.[34]Fakhruddin al-Rāzī, Mafātīal-Ghayb, Jilid. 18, Hlm. 474. Padahal sudah jelas kemaksiatan mendatangkan kesengsaraan dalam dirinya.[35]Nurcholish Madjid, Islam Kemoderenan dan Keindonesiaan, Bab. 5, Hlm. 6. Obat yang ditawarkan al-Rāzī adalah ketakwaan yaitu, pengetahuan terhadap kebenaran yang termanifestasi dalam jiwa manusia.[36]Fakhruddin al-Rāzī, Mafātīal-Ghayb, Jilid. 18, Hlm. 474.

Banyak hal menurut al-Rāzī yang dapat menjebak manusia sehingga timbul rasa bangga terhadap diri sendiri diantaranya, merasa lebih kaya, lebih bangsawan, lebih cantik, dan gagah.[37]Fakhruddin al-Rāzī, Mafātīal-Ghayb, Jilid. 28, Hlm. 113. Padahal Allah jelas-jelas melarang, seperti firmannya dalam surah Luqman: 18. Larangan tersebut, bukan tanpa alasan tapi, mempunyai balasan (konsekuensi) dari Allah sebagaimana firman-Nya (QS. An-Nisa ayat 173):

فَاَمَّا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ فَيُوَفِّيْهِمْ اُجُوْرَهُمْ وَيَزِيْدُهُمْ مِّنْ فَضْلِهٖۚ وَاَمَّا الَّذِيْنَ اسْتَنْكَفُوْا وَاسْتَكْبَرُوْا فَيُعَذِّبُهُمْ عَذَابًا اَلِيْمًاۙ وَّلَا يَجِدُوْنَ لَهُمْ مِّنْ دُوْنِ اللّٰهِ وَلِيًّا وَّلَا نَصِيْرًا ۞

“Adapun orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, Allah akan menyempurnakan pahala bagi mereka dan menambah sebagian dari karunia-Nya. Sementara itu, orang-orang yang enggan (menyembah Allah) dan menyombongkan diri, maka Allah akan mengazab mereka dengan azab yang pedih. Mereka pun tidak akan mendapatkan pelindung dan penolong selain Allah.”

Problem jiwa yang ketujuh menurut al-Rāzī adalah al-Takatsūr: Al-Rāzī yang menganggap bahwa bentuk kalimat dari kedua ayat pada surah al-Takatsūr: 1-2 sebagai bentuk Istifhām(pertanyaan) dengan makna Taubīkh (celaan) dan Taqrī’ (cercaan).[38]Fakhruddin al-Rāzī, Mafātīal-Ghayb, Jilid. 32, Hlm. 76. Dan al-Rāzī menjadikan al-Tafākhur (berbangga) dan al-Takātsur sebagai sesuatu yang padu.[39]Fakhruddin al-Rāzī, Mafātīal-Ghayb, Jilid. 32, Hlm. 75.

Sifat bermegah-megahan ini menjadi sebuah problem jiwa ketika kemegahan tersebut mengarahkan pada keinginan nafsu, karena mengikuti hawa nafsu semata akan semakin jauh dari rasa syukur.[40]Fakhruddin al-Rāzī, Mafātīal-Ghayb, Jilid. 32, Hlm. 269-271. Sementara syukur pada dasarnya mengajarkan memamfaatkan sesuatu sesuai tujuan sesuatu itu diciptakan.[41]Yudy Effendy, Sabar & Syukur Rahasia Meraih Hidup Super Sukses, (Jakarta: Quantum Media, 2012), Hlm. 13.

Mengikuti nafsu semata, jelas mengalihkan kesyukuran manusia pada hal-hal yang batil (tidak lagi mengingat Allah).[42]Fakhruddin al-Rāzī, Mafātīal-Ghayb,Jilid. 32, Hlm. 272 Hal itu bisa terjadi karena menganggap ketenangan dan kebahagiaan yang sesungguhnya adalah banyaknya harta dan anak.[43]Fakhruddin al-Rāzī, Mafātīal-Ghayb,Jilid. 32, 271. Paradigma itu bisa saja berubah ketika jiwa sampai pada tahap ilmul yakin, karena jalan merubah paradigma tersebut, adalah ilmu yang membuka hakikat kemegahan itu sendiri.[44]Fakhruddin al-Rāzī, Mafātīal-Ghayb,Jilid. 32, Hlm. 272.

Elemen-elemen yang Menenangkan Jiwa

Berdasarkan Tafsīr MafātīAl-Ghayb, ada beberapa elemen yang dapat menjadi solusi dalam menciptakan jiwa yang tenang yaitu, iman, zikir, tobat, al-Qur’an, do’a, ikhlas, dan tawakal. Elemen-elemen inilah yang membentuk sebuah formula untuk menciptakan jiwa yang tenang, sehingga segala tantangan hidup tidak mampu membuatnya sedih, cemas, gelisah, apalagi sengsara.

Elemen pertama, Iman. Menurut al-Rāzī iman pada dasarnya telah memberikan rasa aman pada pelaku iman itu sendiri, karena dialah yang menghubungkan manusia dengan sumber segala kekuatan.[45]Fakhr al-Dīn al-Rāzī, MafātīAl-Ghayb, Jilid. 6, 508. [Lihatjuga: Llewellyn Vaughan-Lee, Lingkar Cinta Sufi, diterjemahkan oleh Eva Y Nukman dan Sofie Dewayani, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2003), 75].

Sebelum lebih jauh membahas iman, penulis akan menjelaskan problem jiwa yang paling mendasar yang dialami manusia yaitu, tidak mengenal Tuhannya.[46]Murtadha Muthahhari, Manusia Seutuhnya, (Jakarta: Sadra Press, 2012), Hlm. 58. Sebelum sampai pada tahap mengenal Tuhan, tentu diawali mengenal diri, sebagaimana al-Qur’an jelaskan pada surah Fuṣṣilat: 53 dan diperjelas dalam hadits qudsi bahwa, “Barangsiapa yang mengenal dirinya, maka dia akan mengenal Tuhannya.[47]Majmu’ al-Fatāwā, Jilid. 16, 349. [Lihat juga: Ibn Qayyim, Madārij alSālikīn, Jilid. 1, Hlm. 734.

Termasuk bagian dari problem jiwa ketika lupa diri.[48]Bahkan disebutkan dalam penelitian Taufiq Pasiak bahwa yang diulang-ulang selama ini oleh Socrates adalah pengenalan terhadap diri, karena pengenalan terhadap diri, mampu membangkitkan raksasa tidur, otak manusia. Dipertegas lagi bahwa kekuatan itu bukan dari luar tubuh manusia tapi dari dalam diri manusia. Yang tak kalah penting adalah, pemecahan masalah bukan di otak rasional tapi otak emosional-intuitif dan otak spiritual. Dari sini terlihat ada sebuah hubungan langsung dengan kekuatan yang tidak terindra dengan proses penyelesaian masalah. Dia juga menyebutkan bahwa otak itu juga tidak akan rusak selama dia menerima informasi baru. [Lihat: Taufiq Pasiak, Revolusi IQ/EQ/SQ, (Bandung: Mizan, 2002), 20-22]. Penyebabnya adalah mengejar harta, kedudukan, dan kemuliaan.[49]Dalam pandangan yang lain disebutkan, berpalingnya pikiran-pikiran manusia dari semua yang bukan Tuhan, termasuk makrifat. [Lihat: Al-Hujwiri, Kasyful Mahjub, diterjemahkan oleh Suwardjo Muthary dan Abdul Hadi W.M, (Bandung: Mizan, 2015),257]. Ketika yang dikejar tidak tercapai, maka timbullah penyakit-penyakit jiwa seperti ḥazn, khauf, hulu, ḥubbu al-Dunyā, ḥasad, al-Tafākhur, dan al-Takatsūr.

Nah, solusi yang ditawarkan al-Rāzī dalam mengatasi kondisi tersebut adalah dengan iman, karena iman dipandangan sebagai buah dari pengetahuan yang benar akan sebab pengada alam semesta dan kepastian hari akhir.[50]Fakhr al-Dīn al-Rāzī, Kesucian Profetik, diterjemahkan oleh Yusuf Anas, (Jakarta: Sadra Press, 2014), Xii. Pengetahuan tidaklah cukup menjadi elemen untuk menjadi penenang. Khomaini secara terperinci mengatakan bahwa pengetahuan tidak selalu memberikan ketenangan. Ditambahkan dalam penjelasannya dengan mengatakan, iman berasal dari pengetahuan, namun pengetahuan belum tentu kuat untuk membentuk keimanan dalam jiwa manusia. Dia mencontohkan orang yang sudah meninggal. Kata dia, masih banyak yang takut dengan mayat, padahal menurut pengetahuan mereka, di saat sakarat saja sudah tidak mampu berbuat apa-apa apalagi ketika sudah meninggal. Tapi ternyata banya yang takut dengan mayat. Ini sebuat tanda bahwa, pengetahuan tidak lantas menguatkan keimanan. [Lihat: Khomeini, Manajemen Nafsu, (Jakarta: Al-Huda, 2010), 87-92].

Lebih jauh lagi seseorang yang memiliki iman, akan memiliki orentasi dan sikap hidup yang strategis dan bersifat jangka panjang.[51]Nurcholish Madjid, Islam Kemoderenan dan Keindonesiaan, Bab. 5, 8. Dari sinilah terlihat iman dapat menjadi salah satu elemen yang dapat menenangkan jiwa.[52]Ketika seseorang diliputi rasa takut yang sangat dahsyat, satu-satunya upaya yang paling baik dilakukan adalah percaya diri dan iman. Sehingga ia sanggup melewati detik-detik terberat dan menakutkan sekali pun. [Lihat: Ishaq Husaini Kuhsari, Al-Quran & Tekanan Jiwa, (Jakarta: Sadra Press, 2012,), 147]. Jawādī Amūlī lebih jelas mengatakan, iman sebagai elemen yang sangat penting dalam ketenangan jiwa. Ia bahkan memberikan contoh yang jelas dengan ayat al-Qur‟an mengenai orang kafir tidak merasakan sedikit pun ketenangan (QS. Al-Taubah: 45). Bahkan orang yang kokoh keimanannya, akan diturunkan malaikat ke dalam hati mereka untuk membawa ketenangan, sehingga khauf dan azn (takut dan sedih), tidak lagi menghinggapi jiwa mereka (QS. Fuṣṣilat: 30). [Lihat: Jawādī Amūlī, Tafsīr Sūrah Ibrāhim, 80-81].

Dari paparan di atas, penulis mengambil sebuah kesimpulan bahwa keimanan dapat menjadi elemen untuk menenangkan jiwa ketika keimanan tidak sekedar wacana, tapi membentuk sebuah tindakan yang nyata terhadap objek yang diyakini.

Elemen kedua, Zikir. Menurut Al-Rāzī zikir termasuk eleman yang dapat menciptakan jiwa yang tenang.[53]Fakhr al-Dīn al-Rāzī, Tafsīr Mafātīal-Ghayb, (Beirut: Dār Iḥya‟ al-Turāth al-„Arabī, 1420), Jilid. 19, Hlm. 39. Namun zikir yang dimaksud Al-Rāzī, mengingat janji pahala dan rahmat, karena mengingat siksaan justru melahirkan rasa takut dan menyebabkan jiwa tidak tenang.[54]Fakhr al-Dīn al-Rāzī, Tafsīr Mafātīal-Ghayb,Jilid. 19, Hlm. 39. Kedua pandangan ini, tidaklah saling menafikan, karena ketenangan terkait dengan pahala, sementara takut terkait dengan akibat yang timbul dari kemaksiatan.[55]Fakhr al-Dīn al-Rāzī, Tafsīr Mafātīal-Ghayb, Jilid. 19, Hlm. 39.

Di lain tempat, ia mengatakan zikir melahirkan rasa rindu, sementara rasa rindu sendiri, mendatangkan ketenangan.[56]Fakhr al-Dīn al-Rāzī, Tafsīr Mafātīal-Ghayb,Jilid. 1, Hlm. 137. Dapat dianalogikan, seseorang yang sangat rindu pada kekasihnya, akan terbayang indahnya sebuah pertemuan. Hal yang sama terjadi bagi sepasang kekasih yang baru saja menikah, selalu merasa tenang, karena mereka selalu mengingat kenikmatan demi kenikmatan yang sedang mereka alami. Kenikmatan yang dirasakan pada dasarnya, sebuah usaha menghadirkan kenikmatan itu sendiri.[57]Dalam al-Rāzī, mengingat atau berzikir, menjadi sesuatu yang sangat berpengaruh pada tingkat ketenangan jiwa manusia. Proses ingat tersebut, dilakukan oleh akal yang mampu menangkap akibat-akibat yang ada di realitas eksternal, kemudian berlanjut pada realitas yang tak terbatas. Dalam penelitian Taufik Pasiak disebutkan bahwa antara akal kreatif dengan intuisi, ada korelasi antar keduanya. Akal kreatif bisa disebut sebagai akal rasional. Setelah sampai pada puncaknya, akal rasional tidak lagi mampu menangkap realitas, barulah kemudian dilanjutkan oleh akal intuisi. Lebih sederhananya, akal kreatif berhubungan dengan akal rasio, sementara akal intuisi berkaitan dengan hati. Dalam proses pencapaian pengetahuan, ada tiga tahapan yang dilalui menurut Ibn Sina yaitu, indrawi, mengingat, dan inteleksi. Jika diformulasikan berdasarkan pandangan al-Rāzī di atas, jiwa sampai tahap mumainnah ketika sudah sampai pada tahap intuisi, dengan berlandaskan pada pandangan al-Rāzī yang mengatakan, sifat materi terbatas dan tidak kekal. Jiwa yang memahami secara sempurnah pandangan ini, tidak lagi dihinggapi khauf, azn dan hulu, justru jiwanya akan semakin tenang (mumainnah). [Lihat: Fakhr al-Dīn al-Rāzī, Tafsīr Mafātīal-Ghayb, Jilid. 8, 354]. [Lihat juga: Taufiq Pasiak, Revolusi IQ/EQ/SQ, 181-186].[Lihat juga: Rudy Suharto, Revolusi Ruhani, (Depok: Pustaka Intermasa, 2002), 91]. [Lihat juga: Mohammad Ali Shomali, Mengenal Diri, diterjemahkan oleh M. Hashem, (Jakarta: Lentera, 2001), 136].

Demikian pula, ketenangan jiwa, akan hadir karena usaha menghadirkan pemberi ketenangan itu sendiri.[58]Muhammad Djarot Sensa, La Takhaf wa La Tahzan, Hlm. 36.

Elemen ketiga, tobat. Menurut al-Rāzī, dosa berpengaruh pada tingkat ketenangan jiwa.[59]Fakhr al-Dīn al-Rāzī , Tafsīr Mafātīḥ al-Ghayb, Jilid 4, Hlm. 507. Karena perasaan dihantui dengan perbuatan dosa yang telah dilakukan, sehingga jiwa menjadi gelisah.[60]Muḥammad ‘Utsman Najati, Psikologi Qurani, (Bandung: Marja, 2010), Hlm. 276. Islam memberikan alternatif dalam masalah ini yaitu dengan melakukan tobat, karena tobat sama halnya menghapus sesuatu yang kotor[61]Pakaian akan terasa nyaman dipakai ketika dalam keadaan bersih. Demikian pula hati yang menjadi mesin sekaligus pakaian bagi manusia. [Lihat: Muḥammad al-Ghazālī, al-Jānib al„Āifī Min alIslām, 158]. dalam diri manusia.[62]Muḥammad al-Ghazālī, al-Jānib al‘Āifī Min alIslām, Hlm. 159. Biasa dilihat orang yang membersihkan rumahnya sampai kelihatan rapi dan orang yang tinggal didalamnya merasa nyaman dan tenang. Demikian pula jiwa manusia, sangat layak dibersihkan, untuk mendatangkan ketenangan bagi pemiliknya.[63]Muḥammad al-Ghazālī, al-Jānib al„Āifī Min alIslām, Hlm. 159. Selain itu, tobat juga dikatan sebagai proses memutar haluan yang sudah buntu.[64]Ayatullah Murteza Muthahhari, Kata-Kata Spiritual, (Tehran: Propagasi Tablighat Islam, 1987), Hlm. 95. Seperti akar pohon ketika bertabrakan dengan batu, dia akan memutar haluan dengan mencari celah yang bisa dilalui. Hewan juga demikian, memutar haluannya ketika dia mengalami kebuntuan. Manusia tidak jauh dari itu, dia akan melakukan tobat ketika buntu dalam perjalannnya menuju kesemprnaan.[65]Ayatullah Murteza Muthahhari, Kata-Kata Spiritual, Hlm. 95. Jadi, bisa disimpulkan bahwa tobat merupakan revolusi batin dalam menata ulang kehidupan sebelumnya menjadi lebih baik.[66]Ayatullah Murteza Muthahhari, Kata-Kata Spiritual, Hlm. 95.

Elemen keempat adalah Al-Qur’an. Rasul beserta para wali mengajarkan pesan ilāhi kepada umat manusia, untuk mengobati segala bentuk penyakit-penyakit jiwa yang ada pada diri manusia.[67]Usman Nuri Topbas, Ratapan Kerinduan Rumi, Hlm. 133. Lewat para rasul tersebut, Allah SWT menurunkan informasi bahwa kami telah menurunkan Al-Qur’an sebagi penawar.[68]Meskipun aturan yang tergambar dari al-Qur’an seolah mengekang dan berat, tapi pada hakikatnya memiliki tujuan yang baik dibalik semua itu. [Lihat: Ishaq Husaini Kuhsari, Al-Quran & Tekanan Jiwa,146].Dan kami turunkan dari Alquran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Aquran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian. (QS. Al-Isra’: 82):

وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْاٰنِ مَا هُوَ شِفَاۤءٌ وَّرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِيْنَۙ وَلَا يَزِيْدُ الظّٰلِمِيْنَ اِلَّا خَسَارًا ۞

Ketika menggambarkan kronologis turunnya al-Qur’an, Allah SWT menggunakan kata nuzūl sebagaimana ketika melukiskan turunnya air hujan.[69]Mohsen Qarāti, Seri Tafsir Untuk Anak Muda Surah Yusuf, diterjemahkan oleh Salman Nano, (Jakarta: al-Huda, 2000), Hlm. 4. Ada beberapa persamaan al-Qur’an dengan hujan, yaitu, al-Qur’an diturunkan dari langit (anzalnāhu), al-Qur’an dan hujan suci dan mensucikan (liyuthahhirakum: QS. al-Anfāl: 11), (wa yuzakkīkum: QS. Aal-Baqarah: 129).

Menurut al-Rāzī, dari sinilah dapat terlihat bahwa al-Qur’an dapat membersihkan dan mengobati segala kotoran jasmani dan rohani manusia.[70]Fakhr al-Dīn al-Rāzī, Tafsīr Mafātīal-Ghayb,Jilid . 21, Hlm. 389. Penyakit rohani yang dia maksud ada dua yaitu, keyakinan keliru[71]Imām Abī Ḥāmid Muḥammad al-Ghazālī menyebutkan bahwa di antara penghalang ilmu sehingga tidak tampak dalam hati manusia karena adanya hijab yaitu, rusaknya keyakinan. Padahal, hati digambarkan seperti cermin yang akan menerima pantulan cahaya tuhan (pengetahuan). Hal yang sama disampaikan Humaidi dalam penelitiannya bahwa Al-Farabi juga berpandangan demikian. Bahkan ditambahkan bahwa akal sebagai pembersi yang membersihkan hati atau ruh. Ketika cermin hati selalu dibersihkan, yaitu akal, maka cermin tersebut akan menerima pancaran ilahi secara sempurna tapa ada halangan. [Lihat: Imām Abī Ḥāmid Muḥammad al-Ghazālī, Mukhtaṣar Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn, (Jakarta: Dār al-Kutub al-Islamiyyah, 2004),116-117]. [Lihat juga: Humaidi, Paradigma Sains Integratif Alfarabi, (Jakarta: Sadra Press, 2015),314]. dan akhlak yang tercela.[72]Fakhr al-Dīn al-Rāzī, Tafsīr Mafātīal-Ghayb,Jilid . 21, Hlm. 389

Menurutnya, akhlak yang tercela, telah banyak diuraikan oleh Al-Qur’an dan cara mengatasinya. Sementara keyakinan yang keliru diperoleh dari madzhab yang diikuti. Namun madzhab tersebut, akan keliru ketika tidak sesuai dengan logika al-Qur’an.[73]Fakhr al-Dīn al-Rāzī, Tafsīr Mafātīal-Ghayb, Jilid . 21, Hlm. 389. Informasi al-Rāzī tersebut, mengajak untuk terus mengkaji berbagai penyakit jiwa dan berusaha mencari solusinya dalam al-Qur’an.

Mengenai term syīfa yang disebutkan dalam ayat al-Qur’an di atas, ada dua pendapat: Pertama, terapi bagi jiwa yang dapat menghilangkan kebodohan dan keraguan, membuka jiwa yang tertutup, serta menyembuhkan jiwa yang sakit; Kedua, terapi yang dapat menyembuhkan penyakit fisik.[74]Syaikh Imam Al-Qrthubi, Tafsir Al-Qurthubī, diterjemahkan oleh Asmuni, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), Hlm. 785. Pembagian ini juga diikuti oleh al-Rāzī, meskipun Ṭabāṭabā’i, memaknai lebih kepada “terapi ruhaniah”. Bahkan Ṭabāṭabā’i mengukuhkan pendapatnya bahwa Al-Qur’an sebenarnya sebagai ruh. Fungsinya ruh, menghidupkan jasad yang mati.

Eleman kelima adalah do’a.Dalam sebuah hadis disebutkan “Doa sebagai otaknya ibadah.[75]Mu’jam al-Wasīṭ, Jilid. 3, 293. [Lihat juga: At-Targhīb wa At-Tarhīb, Jilid. 2, 392]. [Lihat juga: Musfir bin Said Az-Zahrani, Konseling Terapi, diterjemahkan oleh Sari Narilita dan Miftahul Jannah, (Jakarta: Gema Insani, 2005), 504]. Namanya otak, berarti segala aktifitas, bisa dirancang dan disusun sehingga dicapai hasil yang maksimal sesuai yang direncanakan. Tantangan atau masalah yang dihadapi, butuh otak untuk menyusun ulang kembali dan mencapai hasil yang benar. Dengan terbatasnya kemampuan manusia,[76]Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 1987), Bab 14, Hlm. 3. menjadikan dirinya butuh otak yang tak terbatas. Dari situlah do’a dimaknai sebagai pengakuan seorang hamba akan dirinya.[77]Islah Gusmian, Surat Cinta Al-Ghazali, (Bandung: Mizania, 2006), Hlm. 229.

Ia sadar, bahwa dirinya tidak mampu dalam segala hal, bukannya malah sombong. Enggan berdoa, menandakan dia sombong.[78]Islah Gusmian, Surat Cinta Al-Ghazali, Hlm. 229. Padahal Allah telah membuka pintu rahmat-Nya untuk diminta pertolongan dengan firmanya yang berbunyi, “Berdoalah kepadaku niscaya aku akan mengabulkannya” (QS. 40:60). Al-Rāzī menanggapi ayat tersebut mengajukan beberapa syarat untuk terkabulnya do’a yaitu, al-Tadharru’ (rendah hati), Al-Tadhallul (rendah diri dihadapan Allah), dan al-Takhassyu’ (penyerahan penuh kepada Allah).[79]Fakhr al-Dīn al-Rāzī, Tafsīr Mafātīal-Ghayb, Jilid. 14, Hlm. 280.

Hadits qudsi lain menyoroti hal ini adalah: ”Aku bergantung pada prasangka hambaku, maka biarkan dia berprasangka sebagaimana maunya”.[80]Shaḥiḥ Ibn Ḥibbān, Hlm. 641 Inilah yang menjadi landasan Imam Rabbani Ahmad Faruq mengatakan bahwa, “Menginginkan sesuatu adalah mendapatkannya, karena Allah tidak mungkin membiarkan hambaNya berdoa sesuatu yang dia tidak akan menerimanya.”[81]Ahmed Hulusi, Kekuatan Doa, diterjemahkan oleh T.J.Sagwiangsa, (ttp, 2014), Hlm. 6.

Elemen keenam adalah ikhlas. Menurut al-Rāzī, ikhlas menerima dunia lebih besar ketimbang ikhlas menerima ujian.[82]Fakhr al-Dīn al-Rāzī, Tafsīr Mafātīal-Ghayb, Jilid. 4, Hlm. 129. Seolah-olah pernyataan ini memaknai ikhlas sebagai sikap yang sama sekali tidak menggerutu terhadap sesuatu yang diberikan oleh Tuhan.[83]Bisa dikatakan bahwa ikhlas yang dimaksud, sama seperti madu yang tidak terkena noda yang pahit. Di dalamnya tidak ada maksud yang lain. Bahkan kaum sufi memandang bahwa baru dikatakan cinta ketika relah menerima apa pun yang diberikan oleh yang dicinta, dan itulah disebut ikhlas. Contoh, dua pasang kekasih yang ingin mengunjungi kekasihnya. Yang pertama tidak mengharapkan pemberian hadia ketika akan mengunjunginya. Namun yang kedua, mengaharapkan hadia. Jika dikatakan mengharap hadia dari kekasih adalah sebuah aib, berarti ikhlas yang sesuangguhnya adalah yang pertama. [Lihat juga: ‘Abd al-Raḥmān ibn Yusuf al-Lajāi, Terang Benderang dengan Makrifatullah, diterjemahkan oleh Maman Abdurrahman, (Jakarta: Serambi, 2008), 212]. Bahkan ia mengatakan, baru dikatakan Islam ketika ikhlas menjalankan perintah Tuhan,[84]Fakhr al-Dīn al-Rāzī , Tafsīr Mafātīal-Ghayb, Jilid. 7, Hlm. 172. dan inilah dibicarakan al-Qur’an bahwa kimanan mesti beriringan dengan amal shaleh (QS. al-Baqarah: 82).

Tidak dapat dikatakan kesadaran spiritual yang baik jika keimanan tersebut untuk mencari pujian atau takut terhadap hukuman-Nya.[85]‘Allamah Husayn Thabāthabā’i dkk, Perjalanan Ruhani Para Kekasih Allah, diterjemahkan oleh M. Khoirul Anam, (Depok: Inisiasi Press,2005) 2. [Lihat juga Biharul Anwar, Jilid V, Hlm. 208]. Namun idealnya ketika keimanan itu berlandaskan pada keikhlasan yaitu, tidak mengharapkan apapun selain ridha Tuhan.[86]Al-Imām Abi al-Qāsim ‘Abd al-Karīm bin Harāzin al-Qusyairī, Al-Risālah Al-Qusyairiyyah, Hlm. 254.

Berangkat dari asumsi tersebut, maka dapat dilihat bahwa segala yang menjadi gejolak jiwa, bisa diatasi dengan ikhlas. Maksudnya, perhatian tidak lagi sedih ketika sesuatu ada sesuatu yang hilang, karena yang dituju hanya satu yaitu, Tuhan. Temasuk yang disebutkan sebelumnya bahwa ibadah yang dilakukan disertai dengan keikhlasan, sehingga berbuah ketenangan seperti firman Tuhan surah Al-Fath: 4.

هُوَ الَّذِيْٓ اَنْزَلَ السَّكِيْنَةَ فِيْ قُلُوْبِ الْمُؤْمِنِيْنَ لِيَزْدَادُوْٓا اِيْمَانًا مَّعَ اِيْمَانِهِمْ ۗوَلِلّٰهِ جُنُوْدُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِۗ وَكَانَ اللّٰهُ عَلِيْمًا حَكِيْمًاۙ ۞

“Dialah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin untuk menambah keimanan atas keimanan mereka (yang telah ada). Milik Allahlah bala tentara langit dan bumi dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (QS. Al-Fath [48]: 4)

Elemen ketujuh adalah tawakal. Menurut al-Rāzī, tawakal merupakan kesadaran bahwa kehidupan ini dikendalikan oleh Allah.[87]Fakhr al-Dīn al-Rāzī, MafātīAl-Ghayb, Jilid. 7, 112. [Lihat juga: Muḥammad al-Ghazālī, al-Jānib al-‘Āṭifī Min al-Islām, (Mesir: Nahḍah Miṣr, 2005), Hlm. 239]. Tawakal menjadi cara untuk mengatasi problem jiwa, karena tawakal merupakan karakter yang bersumber dari keimanan kepada qadha dan qadar Tuhan dan ini merupakan tawḥid af’āli. Manusia harus tahu bahwa segala dan dan usahanya yang telah dia susun, berada dalam kuasaNya (QS. al-Faṭīr: 43). Dari situlah, manusia tidak selayaknya sombong dengan segala rencananya, karena dia juga mesti mempertimbangkan takdir Tuhan, sehingga dia tidak kecewa dan sedih ketika mengalami kegagalan. Namun dalam hal tawakal bukan dalam pengertian tidak berusaha, karena tanpa usaha juga tidak akan mendapatkan apa-apa (QS. an-Najm: 39). Bahkan Tuhan sendiri mengatakan dalam firmanNya bahwa tidak akan merubah suatu kaum tanpa kaum itu sendiri yang mau merubah dirinya sendiri (QS. ar-Ra’d: 11). [Lihat juga: Ishaq Husaini Kuhsari, Al-Quran & Tekanan Jiwa, 1 53]. Kondisi ḥazn, khauf dan al-hulu, dapat diobati dengan tawakal, karena tawakal merupakan kekuatan moril para pejuang.[88]Muḥammad al-Ghazālī, al-Jānib al-‘Āifī Min alIslām, Hlm. 244.

Keyakinannya bahwa segala sesuatu akan kembali kepada Allah (QS. Al-Baqarah: 156), menjadi dasar untuk tetap tegar dan penuh harap. Dengan demikian, ketenangan lahir dari keimanan seseorang kepada sumber segala sebab.[89]Fakhr al-Dīn al-Rāzī, Tafsīr Mafātīal-Ghayb, Jilid. 8, Hlm. 354. [Lihat juga: Rudy Suharto, Revolusi Ruhani, (Depok: Pustaka Intermasa, 2002), Hlm. 91].

Dari uraian yang panjang diatas, maka penulis menyimpulkan bahwa problem jiwa yang dihadapi manusia, akan diobati berdasarkan elemen-elemen yang dibutuhkan. Misalnya, ketika problem takut dan sedih hadir di dalam jiwa, maka elemen yang semestinya aktual dalam dirinya adalah keimanan. Karena keiamanan inilah yang mengantarnya pada suatu cara pandang yang luas bahwa ada kekuatan lain yang berada di luar diri manusia yang menentukan segalahnya.

C. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis penulis di atas, maka penelitian ini bisa ditarik beberapa kesimpulan di antaranya:

Pertama, Ketenangan menurut Al-Rāzī adalah tidak menghiraukan sesuatu yang tidak memberi manfaat, sehingga ketenangan yang teraktual dalam jiwa hanyalah nilai-nilai kebaikan dan sekaligus menjadi jati diri. Dan inilah yang dimaksud berkhlak dengan akhlak Tuhan.

Kedua, yang dimaksud ketenangan jiwa adalah, kondisi jiwa yang kokoh terhadap apa pun. Kebaikan tidak membuatnya sombong, dan keburukan tidak membuatnya sedih, cemas apalagi gelisah. Sehingga, dapat dikatakan bahwa jiwa yang tenang adalah jiwa yang kokoh pada relnya sendiri.

Ketiga, yang menjadi elemen ketenangan jiwa ada tujuh yaitu, iman yang membuatnya percaya pada kekuatan yang tak terbatas, zikir yang mengingatkan nikmat yang tak pernah putus, tobat yang menata hidupnya untuk lebih baik, al-Qur’an yang menuntunnya pada jalan ketenangan, do’a memberinya sebuah harapan, ikhlas memberinya ketabahan, dan tawakal memberinya tempat untuk bersandar.

________________

Source: Al-Bayan: Jurnal Studi Al-Qur’an dan Tafsir 3, 1 (Juni 2018): 36-50

Catatan Kaki[+]

About admin

Check Also

Mengapa Harus Bulan Ramadhan?

”Mengapa Allah SWT menurunkan perintah berpuasa kepada orang-orang beriman jatuh di bulan Ramadhan?”. Oleh: Admin ...