Home / Agama / Kajian / Kesadaran Sufistik dalam Ibadah Puasa

Kesadaran Sufistik dalam Ibadah Puasa

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ

Bismillâhirrahmânirrahîm
Wasshalâtu wassalâmu ‘alâ Muhammadin wa âlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘âmmati wal-hidâyatit tâmmah, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.

“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn“.

Ibadah puasa Ramadhan yang saat ini tengah dikerjakan umat Islam, mengingatkan tentang pentingnya memiliki kesadaran sufistik dalam kehidupan.

Kesadaran tersebut menurut Harun Nasution dalam “Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya”, Jilid II (1979:71), adalah suatu keinginan untuk merasa lebih dekat dengan Tuhan serta memperoleh hubungan langsung dan disadari, serta adanya komunikasi dan dialog antara manusia dengan Tuhan. Yaitu suatu kesadaran yang menempatkan kedaulatan Ilahiyah, ruhaniah, dan spiritual di atas kedaulatan insaniyah, jasmaniah, dan material.

Orang yang sedang mengerjakan ibadah puasa Ramadhan tak ubahnya seperti orang yang tengah menempuh sebuah perjalanan panjang, siang dan malam, menuju kedekatan dengan Tuhan. Semakin banyak hari yang digunakan untuk berpuasa dan melakukan amaliah sunnah lainnya, semakin dekat hubungan manusia kepada Tuhan.

Al-Qur’an surat al-Baqarah (2) ayat 186 yang merupakan rangkaian dari ayat tentang puasa misalnya, mengisyatkan dekatnya orang yang berpuasa dengan Tuhan. Arti selengkapnya ayat tersebut adalah

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ ۖ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ ۖ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku kabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila dia berdo’a kepada-Ku. Hendaklah mereka itu memenuhi (perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku, agar mereka memperoleh kebenaran.”

Dekat dengan Tuhan sebagaimana disebutkan dalam ayat tersebut merupakan dambaan para sufi. Dengan ijtihadnya yang berdasarkan al-Qur’an dan al-Sunnah, para sufi berusaha ingin berada sedekat mungkin dengan Tuhan, sehingga merasakan getaran cinta, rahmat, kasih sayang, taufiq, hidayah, inayah, dan barakah Tuhan.

Pengalaman kedekatan dengan Tuhan inilah yang pernah dirasakan oleh Rabi’ah al-Adawiyah (714-801 M.) dengan Mahabbah (Cintanya pada Tuhan), al-Hallaj (858-922 M.) dengan al-Hulul (Penyatuan Batinnya dengan Tuhan), al-Ghazali (w.1111 M.), dan Zunnun al-Mishri (w. 859 M.) dengan al-Ma’rifah (Pengenalan yang mendalam pada Tuhan), Yazid al-Bustami (lahir 874 M.) dengan al-Ittihad- (Penyatuan batiniahnya dengan Tuhan) nya, dan Ibn ‘Arabi dengan Wihdatul Wujud (Penyatuan Jiwa dengan Tuhan).

Dalam berbagai referensi tentang tasawuf dapat dijumpai ekpresi batiniyah para sufi yang diungkapkan dengan kata-kata yang menggambarkan kedekatan dirinya dengan Tuhan. Ketika sampai taraf al-Mahabbah, Rabi’ah misalnya berkata:

“Kekasih hatiku hanya Engkaulah yang kucinta. Beri ampunlah kepada pembuat dosa yang datang ke hadirat-Mu, Engkaulah harapan, kebahagiaan dan kesenanganku. Hati telah enggan mencintai selain dari diri-Mu.”

Sedangkan ketika mencapai al-Ma’rifah, Zunnun al-Mishri berkata: “Aku mengetahui Tuhan melalui Tuhan, dan jika sekiranya tidak karena Tuhan, aku tidak akan tahu pada Tuhan.”

Namun kedekatan dan penyatuan bathiniyah para sufi dengan Tuhan itu bukanlah penyatuan bathiniah secara fisik dengan Zat Tuhan, sebagaimana yang dipahami oleh para ahli fikih di masa lalu, melainkan penyatuan bathiniyah secara spiritual dengan sifat-sifat Tuhan dalam batas-batas kesanggupan manusia. Yaitu sebuah penyatuan yang oleh al-Ghazali diungkapkan dalam kalimat “al-Takhalluq bi akhlak Allah ‘ala thaqah al-basyariyah”, yaitu menghias diri dengan sifat-sifat Allah sesuai dengan kadar kesanggupan manusia.

Jika Allah bersifat Maha Pengasih dan Maha Penyayang misalnya, maka manusia juga seharusnya menunjukkan sifat kasih sayangnya itu kepada sesama manusia. Selanjutnya, jika Allah bersifat Maha Mengetahui dan Maha Kreatif, maka manusia juga seharusnya menghias dirinya dengan berbagai pengetahuan dan jiwa yang kreatif, sehingga ia akan menjadi manusia yang unggul, berpengetahuan yang luas dan kreatif, sehingga ia mampu bersaing di era globalisasi.

Dengan demikian, dimensi sufistik yang terdapat dalam ibadah puasa bukanlah dimensi sufistik yang mengharuskan manusia mengisolasi diri ke tengah hutan atau ke dalam gua dengan meninggalkan tanggung jawab individual dan sosialnya sebagaimana yang pernah diperlihatkan oleh praktek tasawuf tradisional di masa lalu.

Bukan dimensi sufistik seperti itu yang dibawa oleh misi ibadah puasa Ramadhan. Karena sufistik model itu dapat menyebabkan umat Islam menjadi terbelakang dalam kehidupan sosial kemasyarakatannya. Dimensi sufistik yang diajarkan dalam ibadah puasa adalah dimensi tasawuf yang dibuktikan dengan sebuah usaha sungguh-sungguh untuk menginternalisasikan dan mensublimasikan kemampuan mengendalikan diri, kedekatan dengan Tuhan dan nilai-nilai spiritualitas lainnya ke dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.

Dengan merujuk kepada Al-Qur’an dan al-Hadits, para ulama, seperti Wahbah al-Zuhaily dalam al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu (1989:567) misalnya telah menunjukan adanya nilai-nilai akhlak mulia dan jiwa sufistik dalam ibadah puasa, seperti ikhlas, zuhud, taqqarrub, tawakal, qana’ah, istiqamah, dan shabr.

Selanjutnya ‘A’id Abdullah al-Qarni dalam Durus al-Masjid fi Ramadhan: Sekolah Ramadhan, (2004:21-23) menyatakan, bahwa ibadah puasa adalah ibadah yang paling disukai dan diutamakan oleh Allah, karena dalam ibadah puasa itu tidak ada unsur riya’ (pamer), tidak ada niat dari pelakunya untuk beribadah kepada selain Allah. Ibadah puasa ini menggambarkan sebuah tingkat keikhlasan yang tinggi.

Orang yang berpuasa tidak butuh makanan, minuman dan syahwat-syahwat lainnya. Keadaan ini selain meniru sifat-sifat Tuhan yang tidak butuh pada hal-hal yang bersifat fisik, juga menggambarkan sikap zuhud yang sesungguhnya. Selama berpuasa orang merasa diawasi Tuhan, sehingga sekalipun di hadapannya ada makanan, minuman, serta tidak ada orang lain yang melihatnya, andaikata ia mau meminum atau memakannya, namun ia tidak berani untuk menjamah atau menikmatinya, karena merasa diawasi oleh Tuhan. Keadaan ini menyebabkan ia begitu dekat (taqarrub) secara bathiniah dengan Tuhan.

Jika Orang sudah dekat dengan Tuhan, maka apapun yang dimintanya akan dikabulkan oleh Tuhan, sebagaimana disinggung pada ayat 186 surat al-Baqarah tersebut di atas. Keadaan ini tak ubahnya seperti seorang anak yang dekat dengan orang tuanya (karena anak tersebut selalu patuh, tunduk dan hormat pada orang tuanya), maka apa yang diminta oleh anaknya itu akan dikabulkannya.

Orang yang berpuasa juga merasa bahwa dirinya telah disandarkan sepenuhnya pada Tuhan. Ia yakin bahwa Tuhan akan menolong dirinya. Perasaan lapar dan haus selama berpuasa diyakininya tidak akan menyebabkan dirinya binasa atau menderita. Ia begitu yakin dan pasrah pada Tuhan (tawakkal), bahwa selama ia menjalani ibadah puasa dengan mengikuti syarat dan ketentuannya akan dijamin keselamatan dirinya oleh Tuhan.

Karena itu, tidak pernah terdengar ada orang yang binasa atau celaka karena berpusa. Yang ada justru orang yang terlalu banyak makan dan minum yang menyebabkan datangnya berbagai macam penyakit yang dapat membinasakan dan mencelakakan dirinya. Ibadah puasa yang dikerjakan sesuai ketentuan syari’at justeru mendatangkan kesehatan. Itulah sebabnya para dokter memasukan ibadah puasa dalam arti yang lebih luas, seperti pantangan atau diet sebagai bagian dari strategi penyembuhan penyakit.

Nabi Muhammad SAW dalam salah satu haditsnya menyatakan: “Berpuasalah kamu, maka kamu akan sehat.” Selama orang berpuasa juga selalu berusaha mencari makanan dan minuman yang halal dan thayyibah (bergizi tinggi) dengan kadar yang tidak berlebihan ketika akan ta’jil (berbuka puasa) atau santap sahur. Sikap yang disebut qana’ah ini juga ada dalam ibadah puasa.

Orang yang berpuasa adalah orang yang selalu berusaha mengerjakan sesuatu secara tepat waktu, seperti waktu ketika akan berbuka, shalat tarawih, makan sahur dan sebagainya. Sikap inilah yang selanjutnya dikenal dengan istiqamah. Demikian pula selama berpuasa setiap orang dibiasakan sabar menunggu waktu berbuka, sabar menahan lapar dan dahaga, dan sabar dalam mengendalikan hawa nafsu syahwat dan amarah.

Dimensi sufistik yang dilatihkan dan dibiasakan melalui ibadah puasa Ramadhan itu sesungguhnya bukan semata-mata ditujukan untuk mendapatkan pahala di akhirat saja, melainkan dalam waktu yang bersamaan harus pula ditujukan untuk mendapatkan keberuntungan di dunia ini. Berbagai aktifitas di dunia ini sesungguhnya amat membutuhkan nilai-nilai yang berdimensi sufistik dalam ibadah puasa itu.

Sikap ikhlas, misalnya, dibutuhkan dalam mendorong tumbuhnya inner motivation (dorongan yang kuat dari dalam) seluruh sumber daya manusia dalam melahirkan kinerja yang unggul dalam era persaingan pasar bebas seperti sekarang ini. Demikian pula sikap zuhud amat diperlukan guna membendung sikap materialistik, hedonistik, dan transaksional yang saat ini tengah melanda kehidupan masyarakat Indonesia.

Sikap zuhud ini dapat digunakan sebagai salah satu cara memberantas korupsi, kecurangan, penipuan, dan sebagainya. Demikian pula sikap taqarrub (senantiasa mendekatkan diri kepada Tuhan) amat dibutuhkan dalam rangka menyadarkan manusia dari berbagai kekeliruannya dalam mengambil keputusan yang berdampak sosial kemasyarakatan. Kedekatan kepada Tuhan juga dibutuhkan untuk melahirkan orang-orang yang lurus, jujur, amanah, dan senantiasa berpegang teguh kepada kebenaran, dan tidak mau kompromi dengan keburukan.

Demikian pula sikap tawakal yang ditanamkan selama beribadah puasa sangat dibutuhkan untuk menumbuhkan sikap humanisme teo-centred. Yaitu sikap yang mempertemukan keterbatan kemampuan manusia dengan ketidak-terbatasan kemampuan Tuhan. Keterbatasan kemampuan manusia yang ditujukan dengan usahanya yang sungguh-sungguh ini diharapkan tidak menyebabkan ia pesimis dalam menghadapi kehidupan, karena dia yakin bahwa Tuhan akan selalu menolong setiap hamba yang taat dan patuh kepada-Nya, dan telah berusaha sungguh-sungguh dalam mencapai tujuan.

Demikian pula sikap qanaah dalam arti merasa mencukupkan diri dan rela menerima pemberian Tuhan, sambil terus berusaha, sangat dibutuhkan untuk mengendalikan sikap hedonistik dan materialistik yang tengah melanda kehidupan manusia. Demikian pula sikap istiqamah dalam arti berpegang teguh pada aturan Tuhan, tanpa berani melanggarnya amat dibutuhkan guna menanggulangi berbagai penyimpangan dan kekacauan yang terjadi dalam berbagai bidang kehidupan.

Selanjutnya sikap sabar dalam arti teguh, ulet dan tabah sebagaimana yang merupakan inti dari ibadah juga amat dibutuhkan guna mendukung kesuksesan hidup.

Menurut al-Qusyairi dalam al-Risalah al-Qusyairiyah ( tp.th.:51-89) bahwa guna mencapai sikap ikhlas, zuhud, taqqarrub, tawakal, qana’ah, istiqamah, dan shabr, Tuhan telah memberikan tiga alat bathiniyah. Yaitu al-qalb (hati) untuk mengetahui sifat-sifat Tuhan; al-ruh untuk mencintai Tuhan, dan al-sirr (hati nurani) untuk melihat Tuhan. Al-Sirr lebih halus dari al-ruh, dan al-ruh bertempat pada al-qalb. Al-Sirr timbul dan dapat menerima menerima iluminasi dari Tuhan, kalau qalb dan al-ruh telah menjadi suci sesuci-sucinya dan kosong sekosong-kosongnya, tak berisi apapun, maka di waktu itulah Tuhan menurunkan cahaya-Nya kepada sufi yang bersangkutan, dan di ketika itu yang kelihatan olehnya hanyalah Tuhan.

Tidak hanya itu, bahwa potensi bathiniyah yang telah dibersihkan dari segala dosa, pengaruh hawa nafsu dan senantiasa dekat dengan Tuhan itu merupakan bagian dari epistimologi untuk mendapatkan limpahan cahaya pencerahan dari Tuhan, berupa taufiq, hidayah, ma’unah, karomah dan ilmu-ilmu yang langsung diberikan Tuhan kepada orang dikehendaki, sebagaimana yang diisyaratkan al-Qur’an dalam surat al-Nur (24): 35.

اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۚ مَثَلُ نُورِهِ كَمِشْكَاةٍ فِيهَا مِصْبَاحٌ ۖ الْمِصْبَاحُ فِي زُجَاجَةٍ ۖ الزُّجَاجَةُ كَأَنَّهَا كَوْكَبٌ دُرِّيٌّ يُوقَدُ مِنْ شَجَرَةٍ مُبَارَكَةٍ زَيْتُونَةٍ لَا شَرْقِيَّةٍ وَلَا غَرْبِيَّةٍ يَكَادُ زَيْتُهَا يُضِيءُ وَلَوْ لَمْ تَمْسَسْهُ نَارٌ ۚ نُورٌ عَلَىٰ نُورٍ ۗ يَهْدِي اللَّهُ لِنُورِهِ مَنْ يَشَاءُ ۚ وَيَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ ۗ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

“Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.

Ilmu ini oleh Ibn Sina disebut al-Faid (limpahan atau ilumination), oleh al-Ghazali disebut al-Ma’rifah, oleh Syuhrawardi disebut al-Isyraqiyah; oleh Imam al-Syarbasyi disebut al-mauhubah, oleh kalangan ulama disebut ilmu Laduni, dan oleh kalangan keraton di Jawa disebut Wangsit. Orang yang mendapatkan Lailatu al-Qadar (Malam Kemuliaan) yang waktunya jatuh di antara malam-malam sepuluh terakhir di bulan Ramadhan, dapat dipahami sebagai orang yang mendapatkan ilmu pencerahan spiritual seperti itu.

Kita berharap kiranya dimensi sufistik dari puasa Ramadhan itu dapat ditarik ke dalam spektrum kehidupan yang lebih luas. Dengan cara demikian, ibadah puasa Ramadhan akan mampu melahirkan manusia yang memiliki kesimbangan antara kesalehan individual dan kesalehan sosial.

Kepatuhan menjalankan ibadah puasa yang disertai syarat rukunnya sebagaimana diatur dalam syari’at, serta kesemarakan melaksanakan shalat tarawih berjama’ah dan tadarrus al-Qur’an kiranya tidak berhenti pada sebatas ritualitas untuk mendapatkan pahala dan ampunan dari Tuhan, melainkan juga dapat ditangkap makna substansinya guna membangun kesalehan sosial yang berkelanjutan.

Kemampuan memahami dimensi sufistik dalam ibadah puasa Ramadhan serta kesadaran untuk mentransformasikannya ke dalam berbagai bidang kehidupan sebagaimana tersebut di atas kiranya sudah saatnya kita laksanakan.

Oleh: Abuddin Nata, Guru Besar di UIN Syahid, Jakarta
Source: lec.uinjkt.ac.id

About admin

Check Also

Kisah Sayyidah Aminah Saat Mengandung Rasulullah SAW

“Bertebaran petunjuk dan cahaya, betapa haru biru perasaan Sayyidah Aminah saat mengandung bayi Nabi Suci ...