Oleh: Agus Novel Mukholis
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
Bismillâhirrahmânirrahîm
Wasshalâtu wassalâmu ‘alâ Muhammadin wa âlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘âmmati wal-hidâyatit tâmmah, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn“.
Dalam bahasa Arab, pengertian etimologis kepribadian dapat dilihat dari pengertian term-term padanannya, seperti huwiyyah, aniyyah, dzatiyyah, nafsiyyah, khuluqiyyah dan syakhsiyyah. Masing-masing term ini meskipun memiliki kemiripan makna dengan kata syakhsiyyah, tetapi memiliki keunikan tersendiri.
Huwiyyah dan Aniyyah
Huwiyyah berasal dari kata huwa (kata ganti orang ketiga tunggal) yang berarti dia. Kata huwiyyah disalin ke dalam bahasa Inggris dengan term identity atau personality. Kata identity menujukkan maksud al-fardiyyah (individuality). Identity itu adalah diri atau aku-nya individu. Kepribadian atau suatu kondisi kesamaan dalam sifat-sifat karakteristik yang pokok. Sedangkan individuality adalah segala sesuatu yang membedakan individu dengan individu yang lain, kualitas unik individual dan integrasi dari sifat-sifat individu.
Menurut al-Farabi, seorang psikolog-falsafi Muslim, huwiyyah berarti eksistensi individu yang menunjukkan keadaan, kepribadian dan keunikannya yang dapat membedakan individu tersebut dengan individu yang lain. Pengertian di atas menunjukkan bahwa kata huwiyyah memiliki ekuivalen makna dengan personality. Istilah huwiyyah dalam literatur keislaman menunjukkan arti kepribadian.
Namun dalam pengertian tasawuf, kata huwa dinisbatkan pada alam gaib atau Tuhan yang berarti ke-dia-an Tuhan. Meskipun dalam beberapa pengertian disebutkan adanya ekuivalen makna antara huwiyyah dan personality, tetapi muncul suatu persoalan yang mendasar yaitu mengapa tidak menggunakan istilah aniyyah yang berasal dari kata ana (aku).
Istilah huwiyyah menempatkan individu sebagai diri-objek, dalam arti satu konstruksi kepribadian individu yang dipelajari atau diamati oleh indivdu lain melalui teknik interview, pengisian angket atau pengamatan secara langsung. Sedangkan istilah aniyyah menempatkan individu sebagai diri-subjek dalam arti satu konstruk kepribadian individu yang dihasilkan dari pengamatan diri sendiri, melalui teknik autobiografi dan inventarisasi diri.[1]Abdul Mujib, Kepribadian dalam Psikologi Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007, hlm. 19-21
Dzatiyyah
Kata Dzat dinisbatkan pada manusia yang memiliki arti jasad atau ruh atau kedua-duanya, seperti istilah zat jasad dan zat ruh. Struktur manusia terdiri atas sinergi dua zat, yaitu zat jasad dan zat ruh, yang mana sinergi itu kemudian disebut dengan nafsani.
Dari sisi ini, penggunaan kata zat menunjukkan arti struktur kepribadian manusia yang masih bersifat potensial, bukan kepribadian itu sendiri. Oleh karena keumuman term dzat ini, maka ia tidak dapat dijadikan sebagai padanan personality.
Nafsiyyah
Term nafsiyyah berasal dari kata nafs yang berarti pribadi. Term nafsiyyah lebih banyak dipakai dalam leksikolagi Al-Qur’an dan Sunah, dan tak satupun Al-Qur’an menyebut term syakhsiyyah. Berdasarkan studi qur’ani ini, maka term nafsiyyah lebih memungkinkan dijadikan padanan term personality. Hanya saja term nafs memiliki multimakna.
Oleh karena multivitas makna ini maka term nafsiyyah jarang dipergunakan dalam diskursus Psikologi Islam. Istilah ‘ilm al-nafs yang sering digunakan dalam literatur psikologi Islam diterjemahkan dengan ilmu jiwa, bukan ilmu kepribadian.
Akhlaq
Secara etimologis, akhlaq berarti character, disposition dan moral constitution. Al-Ghazali dalam Abdul Mujib berpendapat bahwa, “Manusia memiliki citra lahiriyah yang disebut dengan khalq, dan citra batiniyah yang disebut dengan khuluq”. Khalq merupakan citra fisik manusia, sedang khuluq merupakan citra psikis manusia.
Berdasarkan kategori ini maka khuluq secara etimologi memiliki arti gambaran atau kondisi kejiwaan seseorang tanpa melibatkan unsur lahirnya. Seperti dalam pengertian etimologi Al-Ghazali, maka term khuluq tidak dapat dijadikan padanan personality, sebab personality mencakup kepribadian lahir dan batin. Oleh karena ambiguitas makna ini maka diperlukan definisi lain yang dapat mencakup hakikat khuluq sesungguhnya.[2]Ibid., hlm. 26-27
Manshur Ali Rajab memberi batasan khuluq dengan al-thab’u dan al-sajiyah. Maksud al-thab’u (karakter) adalah citra batin manusia yang menetap (al-sukûn). Citra ini terdapat pada konstitusi (al- jibillah) manusia yang diciptakan oleh Allah sejak lahir. Sedangkan sajiyah adalah kebiasaan (‘ãdah) manusia yang berasal dari hasil integrasi antara karakter manusiawi dengan aktivitas-aktivitas yang diusahakan (al-muktasab). Kebiasaan ini ada yang teraktualisasi menjadi suatu tingkah laku lahiriyah dan ada juga yang masih terpendam.[3]Ibid., hlm. 27
Definisi terakhir inilah yang lebih lengkap, karena khuluq mencakup kondisi lahir dan batin manusia. Keinginan, minat, kecenderungan dan pikiran manusia ada kalanya terwujud dalam suatu tingkah laku nyata, tetapi ada juga yang hanya terpendam di dalam batin dan tidak teraktualisasi dalam suatu tingkah laku nyata. Baik teraktualisasi atau tidak, semuanya masuk dalam kategori kepribadian. Berdasarkan uraian ini, maka khuluq memiliki ekuivalensi makna dengan personality.
Syakhshiyyah
Syakhsiyyah berasal dari kata syakhsh yang berarti pribadi. Kata itu kemudian diberi ‘ya’ nisbah, sehingga menjadi kata benda buatan (mashdar shina’i), syakhsiyyah yang berarti kepribadian. Dalam kamus bahasa Arab modern, istilah syakhshiyyah digunakan untuk maksud personalitiy (kepribadian).
Dalam literatur keislaman modern, term syakhshiyyah telah banyak digunakan untuk menggambarkan dan menilai kepribadian individu. Sebutan syakhshiyyah al-Muslim memiliki arti kepribadian orang Islam. Pergeseran makna ini menunjukkan bahwa term syakhshiyyah telah menjadi kesepakatan umum untuk dijadikan sebagai padanan dari personality.
Term syakhshiyyah, hakikatnya, tidak dapat mewakili nilai-nilai fundamental Islam untuk mengungkap perilaku batiniyah manusia. Artinya, term syakhshiyyah yang lazim dipakai dalam Psikologi Kepribadian Barat aksentuasinya lebih pada deskripsi karakter, sifat atau perilaku unik individu. Sementara term akhlaq lebih menekankan pada aspek penilaiannya terhadap baik buruk suatu tingkah laku. Syakhshiyyah merupakan akhlaq yang didevaluasi (tidak dinilai baik-buruknya), sementara akhlaq merupakan syakhshiyyah yang dievaluasi.
Dari penjabaran di atas dapat dijelaskan bahwa term yang cocok dan sesuai untuk padanan kata personality adalah syakhshiyyah yang berarti suatu karakter atau pola perilaku yang tidak dinilai baik dan buruknya. Term syakhshiyyah lebih cocok untuk menggambarkan kepribadian yang terlepas dari penilaian. Namun jika pada konteks sufistik, yang menekankan pada nilai-nilai Ilahiyah, maka term yang cocok untuk menggambarkan kepribadian manusia sebagai hamba adalah khuluq.
Khuluq di sini terkait dengan kepribadian sufistik yaitu bagaimana seorang sufi dapat mengejawantahkan nilai spiritualnya dengan penerapan ihsan. Sehingga nilai luhur moral Islami dapat menjadi identitas yang melekat dalam pribadi seorang sufi. Lebih-lebih ketika para sufi berkehidupan di kota yang penuh dengan fatamorgana dan glamournya dunia. Implementasi ihsan mereka sangat dituntut untuk menciptakan identitas Islam Rahmatan lil ‘Alamîn. Maka, sekali lagi, karena yang menjadi topik adalah mereka, para Sufi, yang terikat dengan tugas sebagai hamba dan khalifah, maka akhlaq mereka harus seperti yang telah diteladankan oleh Rasulullah SAW.
Demikianlah ilmu jiwa, yang secara ilmiah, membutuhkan kepada objeknya yang substansial, yakni ruh yang mempunyai kepentingan dengan mekanisme dan bentuk-bentuk respon tindakan dan insting, tanpa memperhatikan fenomena manusia yang berbeda, bahkan sangat berbeda bagi manusia, seperti cinta, akal, perasaan dan nilai-nilai.
Dalam Al Qur’an diisyaratkan tentang kepribadian yang tinggi, mulia dan tangguh yang bersifat Ketuhanan, yakni:
مَا كَانَ لِبَشَرٍ اَنْ يُّؤْتِيَهُ اللّٰهُ الْكِتٰبَ وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ ثُمَّ يَقُوْلَ لِلنَّاسِ كُوْنُوْا عِبَادًا لِّيْ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ وَلٰكِنْ كُوْنُوْا رَبَّانِيّٖنَ بِمَا كُنْتُمْ تُعَلِّمُوْنَ الْكِتٰبَ وَبِمَا كُنْتُمْ تَدْرُسُوْنَ ۙ ۞
“Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al Kitab, Hikmah dan kenabian, lalu Dia berkata kepada manusia: “Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah.” akan tetapi (dia berkata): “Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.” (QS. Ali Imran [3]: 79)
Eksistensi kepribadian Ketuhanan, yang tidak boleh tidak, itulah ujung dari perjalanan yang harus dicapai oleh setiap orang yang telah berani mengikrarkan diri di hadapan Allah SWT sebagai orang yang beriman dan bertaqwa kepada-Nya.
Sebagaimana diisyaratkan dalam firman-Nya, yakni:
وَاِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلٰۤىِٕكَةِ اِنِّيْ خَالِقٌۢ بَشَرًا مِّنْ صَلْصَالٍ مِّنْ حَمَاٍ مَّسْنُوْنٍۚ ۞ فَاِذَا سَوَّيْتُهٗ وَنَفَخْتُ فِيْهِ مِنْ رُّوْحِيْ فَقَعُوْا لَهٗ سٰجِدِيْنَ ۞ فَسَجَدَ الْمَلٰۤىِٕكَةُ كُلُّهُمْ اَجْمَعُوْنَۙ ٣٠ ۞
“(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat, “Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering dari lumpur hitam yang dibentuk (28). Maka, apabila Aku telah menyempurnakan (kejadian)-nya dan telah meniupkan roh-Ku ke dalamnya, menyungkurlah kamu kepadanya dengan bersujud.” (29). Lalu, para malaikat itu bersujud semuanya bersama-sama (30).” (QS. Al-Hijr [15]: 28-30)
Wallãhu A’lamu bish-Shawãb.