“Sebab rasa cintanya kepada Nabi SAW, maka seseorang akan mengikuti Nabi SAW, ia tidak akan menyimpang dari ajaran-ajarannya, tidak menyimpang dari sunnah dan syariatnya secara dzahir maupun bathin”.
Oleh: Admin*
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
Bismillâhirrahmânirrahîm
Wasshalâtu wassalâmu ‘alâ Muhammadin wa âlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘âmmati wal-hidâyatit tâmmah, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn“.
Sahabatku tercinta, tema purba yang hingga kini masih tetap eksis adalah tentang cinta. Sebuah keindahan rasa yang tak lekang oleh waktu dan tak pudar oleh jarak. Menjadi sumber energi yang mengiringi kehidupan manusia dan melahirkan beraneka macam kisah yang tak pernah habis.
Cinta telah menjadi sebab manusia terangkat derajatnya hingga yang paling tinggi dan paling mulia. Sebaliknya, karena sebab cinta pulalah manusia terjatuh derajatnya hingga menjadi yang paling rendah dan hina. Lho, kok bisa mengakibatkan dua keadaan yang saling bertolak belakang?
Begini sahabatku. Banyak orang yang mengklaim bahwa cinta dalam pandangan Islam adalah cinta kepada Allah SWT. Ya, itu sangat benar, tak terbantahkan. Hanya persoalannya, banyak yang tak mengerti bagaimana cara mencintai Allah yang tanpa rupa dan warna serta tak ada bandingannya di antara makhluk-Nya.
Mungkin ada sebagian orang yang mengklaim tentang cara meniti jalan cinta kepada Allah SWT melalui patuh dan taat menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Ya, itu juga tidak salah. Namun, mengapa ada sebagian orang yang patuh dan taat akan perintah-Nya -shalat secara sempurna lima waktu ditambah sunnah dan nawafilnya, membaca al-Qur’an, puasa, zakat, dan haji, namun mengapa masih juga terjebak pada interpretasi yang keliru tentang cinta. Bahkan tak jarang dari mereka terlalu mudah untuk menghukumi halal untuk membunuh bagi manusia lain, tidak siap menerima perbedaan, intoleransi, menjadi ekstrimis, dll.
Pada sisi lain, pada sebagian yang lain mengkritisi hal itu sebagai orang yang tidak menyertai hatinya ketika melakukan ibadah. Lalu para pengkritik ini mempraktekkan sesuatu yang berbeda dari cara beribadah yang dilakukan oleh mereka yang dikritiknya dan mengedepankan sisi bathiniyahnya saja tanpa menghiraukan kaifiyat-kaifiyat secara fiqhiyyah. Akhirnya, mereka hanya berpandangan bahwa ibadah itu hanya dengan jiwa, bathin dan hati an sich. Ritual-ritual secara syari’at dan fiqih menjadi tidak perlu dan dianggap tidak ada hubungannya dengan upaya melahirkan rasa cinta. Mulai pada titik inilah terbentuk sebuah polarisasi dari kelompok yang pertama tadi.
Terjadinya pengelompokkan dua kutub pandangan tentang bagaimana cara memulai meniti jalan cinta kepada Allah SWT adalah karena sebab pembekuan pemikiran. Keadaan seperti itu akan berakhir pada pemaknaan cinta yang fasis, tersekat pada batasan-batasan pemikiran dan golongan. Kelompok pertama hanya gandrung pada kepatuhan-kepatuhan secara material, sedangkan kelompok kedua hanya gandrung pada kepatuhan-kepatuhan secara spiritual. Kelompok pertama pada akhirnya membentuk kaum dzhahiriyah, sedangkan kelompok kedua sebagai kaum bathiniyah.
Lalu bagaimana cara kembali kepada Allah SWT lewat jalan cinta?
Kita sebagai muslim ketika ditanyai, “Apakah kamu mencintai Allah?” Tentu jawaban kebanyakan kita adalah “Iya”, meskipun juga belum mesti kebenarannya. Karena cinta memang mudah ketika diucapkan, namun perwujudannya menuntut seseorang untuk rela berkorban demi kekasihnya. Terlebih cinta kepada Allah SWT, butuh perjuangan, ketulusan, dan berbagai ujian untuk meraihnya.
Menurut Imam al-Ghazali, seorang hamba yang ingin menggapai cinta Allah adalah dengan menjalankan segala perintahNya dan menjauhi laranganNya, serta selalu mengikuti kekasih-Nya, sebab salah satu cara untuk mendapatkan tanda cinta ialah menuruti segala yang dicintainya.
Kemudian beliau menjelaskan, jika seseorang benar-benar ingin mendapatkan cinta Allah, maka ia harus mengikuti Nabi Muhammad SAW dan selalu melaksanakan Sunnah Nabi, sebab cinta kepada Nabi merupakan jalan menuju mahabbatullah. Sebagaimana yang pernah di katakan oleh Imam Junaid al-Baghdadi bahwa seorang hamba tidak akan sampai kepada Allah, kecuali dengan kehendakNya dan jalan untuk mencapai Allah atau mendapatkan cintaNya ialah dengan mengikuti segala Sunnah Nabi Muhammad SAW.
Telah tercatat di dalam QS.’Ali ‘Imran [3]: 31, tentang bagaimana seseorang dapat meraih cinta Allah.
قُلْ اِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللّٰهَ فَاتَّبِعُوْنِيْ يُحْبِبْكُمُ اللّٰهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ ۗ وَاللّٰهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ ۞
Katakanlah (Nabi Muhammad), “Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Ali ‘Imran/3:31)
Imam Sahl al-Tustari menerangkan bahwa ayat ini adalah untuk orang-orang kafir yang mereka mengira dirinya mencintai Allah, tetapi mereka tidak mengikuti jalan yang dapat menyampaikan kepada-Nya, yaitu mengikuti Rasul Muhammad SAW sehingga mereka tidak mendapatkan apa yang mereka katakan ‘Cinta Ilahi’ yang sesungguhnya. Karena ittiba’ (mengikuti) kepada Nabi merupakan syarat dalam mahabbatullah.
Salah satu riwayat lain yang mendasari ayat ini turun dijelaskan dalam Tafsir al-Misbah, yakni untuk menanggapi ucapan sementara kaum muslim yang mengaku cinta kepada Allah SWT, Nabi Muhammad SAW diperintahkan menyampaikan kepada manusia yang benar mencintai Allah:
“Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku! Laksanakan apa yang diperintahkan Allah melaluiku, yaitu beriman kepada Allah dan bertaqwa kepadaNya. Jika itu kamu laksanakan, maka kamu telah masuk ke pintu gerbang meraih cinta Allah, dan jika kamu memelihara kesinambungan ketaatan kepadaNya serta meningkatkan pengamalan kewajiban dengan melaksanakan Sunnah-sunnah Nabimu, niscaya Dia akan mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu, karena Allah mempunyai sifat yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Dalam kitab Tafsir Haqaiq at-Tafsir, Syeikh Abu Abdur Rahman as-Sulami mengutip Sahl bin Abdullah yang menyatakan seseorang yang mencintai Allah dengan sebenar-benarnya adalah mereka yang perilakunya, perbuatannya, dan perkataannya mengikuti Baginda Nabi Muhammad SAW. Menurut as-Sulami untuk meraih cintaNya ialah dengan selalu mengikuti Nabi, karena ajaran Nabi itu ajaran yang optimal serta dengan ajaran tersebut kita akan mencapai kepada kecintaan yang agung.
Sheikh Muhammad bin Fadhil menambahkan bahwa pecinta Allah adalah seorang yang mengikuti Nabi, dan seorang yang itba’ kepada Nabi SAW itu tidak akan pernah untuk menyimpang dari ajaran-ajarannya, tidak menyimpang dari sunnah dan syariat secara dzohir maupun bathin sebab dengan rasa cintanya kepada Nabi SAW.
Dalam Kitab Tafsir al-Jailani, Sheikh Abdul Qadir al-Jailani menafsirkan, “Jika kalian wahai yang gelap dan yang asik di laut kelalaian serta kesesatan. Dan kalian mengaku cinta kepada Allah, siapa itu Allah— yang menampakan kalian dari ketiadaan, dan jika kalian ingin dekat di sisi-Nya, maka ikutilah aku!” kata Muhammad, “Dengan menjalankan perintahnya dan aturannya, niscaya Allah mencintai kalian. Karena Allah akan menempatkan kalian disisi-Nya dan Allah akan menyampaikan kalian pada pertemuan mulia dengan-Nya.”
Lebih lanjut al-Jailani menerangkan ketika Allah sudah cinta kepada seorang hamba, “sesungguhnya Allah akan mengampuni” ialah menutupi serta melenyapkan pandangan kalian dari melihat dosa kalian. Maksudnya ketika seorang hamba telah dilenyapkan pandangannya tentang dosa-dosanya maka seseorang itu tidak akan melihat dosa, dengan artian seorang tersebut tidak akan berbuat dosa serta terus menerus mengingat Allah. Sebab yang karena dosa tersebut seseorang bisa terhijab atau tertutup untuk menyaksikan akan keindahan serta keagunganNya, dan untuk menyaksikan namaNya dan sifatNya, maka lakukanlah apa yang Allah perintah “dan Allah itu” yang memberi petunjuk kepada kalian ke jalan tauhidNya.
Makna “Allah Maha Pengampun” menurut al-Jailani adalah Dia yang menghilangkan penghalang-penghalang kalian untuk sampai kepada Allah, dan penghalang-penghalang itu adalah dosa. Sedangkan tafsir “Allah Maha Penyayang” ialah selalu menyayangi dan mencintai hambaNya dan selalu menyampaikan liyan kepada tujuan yang bahwasanya bukan mencintai Nabi yang menjadi tujuan, akan tetapi cinta Allah-lah yang menjadi tujuan manusia sebenarnya.
Sama seperti ketika Sahl al-Ṭustari di tanya, apa yang akan diperbuat Allah kepada hambaNya ketika ia telah mencintainya? Sahl al-Ṭustari menjawab: “Allah akan mengilhamkan kepadanya istighfar ketika mendapat kekurangan dan memberinya syukur ketika mendapatkan kenikmatan”. Istighfar menunjukan kepada pengaduan jiwa di sisi Allah sekaligus kecintaan seorang hamba kepada Tuhannya. Adapun syukur menuntun bertambahnya kenikmatan dari Allah kepada hambaNya dan menunjukan keterjagaan hati yang senantiasa bergumul dengan penciptanya serta pengakuan atas kefakiran kepada pemberi nikmat yang akhirnya mengharuskan bersyukur kepadaNya.
Di kehidupan dunia hari ini, di mana fitnah bertebaran di sekeliling kita, memang tidak mudah untuk menegakkan sunnah-sunnah Nabi secara totalitas. Namun justu di situasi yang seperti ini, kita dapat mengambil positifnya. Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda:
يَأْتِيْ عَلَى أُمَّتِيْ زَمَانٌ اَلْمُحَافِظُ فِيْهِ عَلَى دِيْنِهِ كَالْقَابِضِ عَلَى الْجَمْرِ
“Akan datang kepada manusia suatu zaman, orang yang berpegang teguh pada agamanya seperti orang yang mengenggam bara api.” (HR. Tirmidzi).
Yaitu mereka yang menjalankan sunnah-sunnah Nabi di saat lingkungannya mulai meninggalkan dan menjauhi, justu mereka mendapat keistimewaaan dari Allah.
Telah dijelaskan pula dalam ayat di atas, cara untuk memperoleh cinta Ilahi yaitu satu-satunya dengan mengikuti segala sesuatu yang diperintahkan oleh Nabi Muhammad SAW kepada kita, baik secara perkataan, perbuatan, sikap, dan ajarannya. Jika ada orang yang mengharap cinta dari Allah akan tetapi ia tidak mau mengikuti apa yang diajarkan Baginda Nabi SAW, maka itu bukanlah cinta yang sejati. Ia tidak akan pernah dapat keagungan cintaNya.
Kita tutup artikel ini dengan do’a, semoga Allah SWT hembuskan kekuatan cinta dalam jiwa kita:
اَللّٰهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ حُبَّكَ، وَحُبَّ مَنْ يُحِبُّكَ، وَالْعَمَلَ الَّذِيْ يُبَلِّغُنِيْ حُبَّكَ، اَللّٰهُمَّ اجْعَلْ حُبَّكَ أَحَبُّ إِليَّ مِنْ نَفْسِيْ، وَأَهْلِيْ، وَمِنَ الْمَآءِ الْبَارِدِ .
Allâhumma innî as’aluka hubbak, wa hubba man yuhibbuka, wal-‘amalal ladzî yuballighunî hubbak, Allâhummaj’al hubbaka ahabbu ilayya min nafsî, wa ahlî, wa minal mâ’il bârid.
“Wahai Allah, sungguh aku mohon kepada-Mu cinta-Mu, dan cinta orang yang mencintai-Mu, dan amal yang membawaku kepada cinta-Mu, wahai Allah, jadikanlah cinta-Mu lebih aku cintai daripada diriku sendiri, keluargaku dan dari air yang sangat dingin”.
Ãmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.