Dua atau tiga kali saya ditanya, “Pendidikan Kiai itu apa Mas? Sekolahnya di mana? Apa cukup bekal pendidikan mereka untuk memimpin ribuan santri di pesantrennya?”
Tentu, ini pertanyaan dilontarkan oleh orang yang belum kenal pesantren. Maksud pertanyaannya betul-betul ingin mencari jawaban, mencari pengertian tentang kiai, ulama pesantren. Ia tidak sedang main retorika, apalagi pertanyaan bernada sinikal. Bukan. Memang ia ingin memahami dunia kiai, dunia pesantren.
Saya menjawabnya pelan-pelan, semampu saya, sesuai pengalaman saya selama mengenal dunia pesantren.
Pertama-tama saya menjawab, “Kalau yang dimaksud pendidikan itu sekolah, maka jawabnya: dulu, para kiai tidak sekolah, apalagi di zaman kolonialisme. Saya belum pernah dengar kiai A satu angkatan dengan Budi Utomo, atau kiai B adik angkatan Soekarno di ITB. Ada yang sekolah, tapi jumlahnya sangat sedikit. Karena tidak sekolah itulah, para pejuang kemerdekaan, setelah merdeka tidak banyak orang pesantren, kiai-kiai, melanjutkan jadi pegawai pemerintah atau jadi tentara. Mereka lebih banyak kembali menjadi guru di madrasah atau kembali ke pesantren, buka buku keislaman abad pertengahan.”
Pelan sekali saya menjawab. Saya khawatir jatuh pada “nada” bahwa orang tidak sekolah juga hebat. Saya menghindari betul disebut glorifikasi pesantren. Saya mengutip bagian akhir karya Saifuddin Zuhri terkait kiai yang kembali ke “tempat asalnya”, setelah bergerilya merebut kemerdekaan. Di kalangan pesantren tahun 1950an awal, ada ungkapan yang sangat populer tentang sarjana: nyari sarjana di pesantren seperti nyari tukang es di malam hari.”
Yang mengatakan itu ulama muda, mendiang Abdul Wahid Hasyim, ayahandanya Gus Dur. Ungkapan itu disebarkan, disampaikan di banyak kesempatan. Hasilnya, kecuali Gus Dur, semua putra Kiai Wahid-Nyai Sholihah ada yang jadi insinyur, dokter, dan ada yang kuliah di bidang ekonomi. Gus Dur pun, semula, sekolah ekonomi, sebelum akhirnya mendalami ilmu agama dari pesantren ke pesantren, alias bukan sarjana yang menjadi keresahan ayahandanya. Ungkapan Kiai Wahid ini menggema di Malang, sehingga banyak kader NU di sana banyak yang sekolaah hingga perguruan tinggi umum, alias tidak mendalami agama di pesantren.
Saya menjelaskan kepadanya, sampai sekarang pun sekarang masih banyak juga kiai tidak sekolah, atau hanya tamat SD, SMP. Banyak sekali. Ada yang kuliah IAIN sampe lulus S1, ada para anak-anak kiai yang sekarang jadi kiai hanya semester satu di IAIN. Yang hanya semester satu itu teman saya sendiri, nggak betah di kampus, lari ke pesantren tradisional.
Tapi banyak juga hari ini pengasuh pesantren sekolah hingga S2 bahkan S3. Mereka jebolan kampus-kampus ngetop, dalam ataupun ke luar negeri, dari Barat atau Timur, akrab dengan literatur Inggris, Belanda, Prancis atau hanya baca buku-buku berbahasa Arab saja.
Studinya pun beragam, tidak melulu ilmu tafsir ataupun ilmu fiqih, namun juga filsafat, hukum, hingga politik. Banyak dari kiai yang sekolah “non-agama” mengambil studi ilmiah sosial dan ilmu humaniora. Saya belum tahu pengasuh pesantren yang doktor di bidang kedokteran ataupun pertanian. Saya mendengar di Pesantren Ngalah, Pasuruan, putra-putri Kiai Sholeh sekolah hingga S3 di bidang sains. Juga di Pesantren Cipasung, Tasikmalaya.
Namun, saya jawab, yang menentukan para pengasuh pesantren itu mampu atau tidak mampu dalam memimpin pesantren, bukan semata-mata tinggi sekolahnya atau mendalam pendidikannya. Kekuatan dahsyat dari seorang kiai atau pengasuh pesantren adalah kekuatan batin. Kesiapan mental, istilah yang lebih bisa kita bayangkan. Kekuatan batin atau mental ini pasti saja bisa ditelusiri, ada road map-nya, detil-detilnya bisa dibicarakan, namun ada yang susah diungkapkan. “Fungsi” apa melakukan zikir, puasa, ziarah kubur sedikit-sedikit bisa kita diskusikan sebagaimana yoga bisa kita pelajari, namun ada yang lebih dalam lagi. Susah saya mengungkapkannya, sangat terbatas bahasa dan pengetahuan saya.
Namun, kekuatan ini lebih menentukan, menurutku. Seorang pengasuh memimpin ribuan santri loh, ribuan amanat para wali santri. Bertahun-tahun para kiai itu, bahkan seumur hidupnya “menggendong” amanat itu. Mau santri cuma 15 orang atau 15 ribu, seorang kiai harus memiliki daya tahan batin agar kuat batinnya menjaga amanat santri. Kalau tidak, dia pecah hatinya di tengah jalan. Ambyaaarr…
Di sinilah saya sering mengatakan bahwa para kiai itu layak menikmati kemudahan-kemudahan, keistimewaan-keistimewaan, nah, mendapatkan privilese. Mulai dari diciumi tangannya, disowani, ke mana-mana disambut dengan kehormatan penuh. Ada seloroh, “Hiburan kiai itu hanya merokok, sarung bagus, dan duduk di atas bantal. Kalau rokok haram, gimana?”
Ada teman di Facebook tanya, “kok rumah kiai atau mobil bagus-bagus?” Saya jawab, “lah itu kesenangannya sedikit, pusingnya jauh lebih banyak.”
Ada lagi yang bilang, “Loh kiai enak ya, duduknya di bantal..” Saya jawab, “Masa duduk dibantal kamu kritisi. Sakit dia itu bokongnya, bahkan mungkin wasir karena duduk terus.”
Saya betul-betul menyaksikan kiai-kiai pusing ndak karuan, masih banyak yang gali lobang tutup lobang untuk bayar listri pesantren, loh. Pengasuh pesantren di kampung terpencil sana, dengan ribuan santrinya, dengan bangunan sederhananya, dengan fasilitas seadanya, dengan pemandangan itu-itu saja, dengan kuliner yang terbatas.
Di sinilah saya mafhum seorang kiai bolak-balik umroh, di sinilah saya mafhum bila seorang anak kiai menempuh jalan berbeda dgn orangtuanya, karena tidak kuat. Kiai itu ya, mau normal kayak orang-orang di Facebook itu nggak bisa. Pamer makanan, nonton bioskop, ngopi santai-santai di warung kopi kekinian, foto-foto di jalanan. Ndak bisa, ndak enak kiai begitu.
Karena itulah, Gus Mus buat puisi, melukis, atau ngisi seminar. Tidak melulu dakwah atau menekuni dunia seni yang mendakik-dakik. Itu hiburan juga, memecah kepenatan diundang orang untuk ceramah, ngaji di depan santrinya. Gus Muwafiq main gitar, itu hiburan. Manusiawi kan? Itu saja banyak orang memandangnya sebagai kelainan. Duh, kasihan.. Sementara boss-boss di Jakarta, punya karyawan lima saja merasa ditekan kanan dan kiri. Mereka bolak-balik ngadem di mall, ngopi lagi, nonton lagi.. Iya kan?
Teman saya mulai mantuk-mantuk. Saya GR, “Wah, paham dia. Alhamdulillah…”
Namun dia mendesak lagi, “kamu bisa tidak mengeluarkan satu atau dua kata untuk kiai-kiai itu. Apa itu kekuatan yang membuat batin mereka kuat?”
Duuh.. Saya pusing. Apa yaa.. dua kata yang membuat batin mereka kuat. Mungkin ini: jiwa mengabdi dan rasa tanggungjawab. Tentu saja tidak semuanya begitu, karena kiai itu juga manusia.
- Oleh: Hamzah Sahal
- Source: Alif.Id