“Allah SWT mendidik hamba-Nya dengan dihembuskannya dorongan kuat pada diri hamba sehingga ia mampu berserah diri kepada-Nya, dan mampu menerima apa yang dipikulkan oleh Allah kepada dirinya”.
Oleh: Admin
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
Bismillãhirrahmãnirrahîm
Wasshalãtu wassalãmu ‘alã Muhammadin wa ãlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inãyatil ‘ãmmati wal-hidãyatit tãmmah, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn“.
Di dalam Kitab al-Hikam, Syaikh Ahmad bin ‘Athaillah Assakandariy menyebutkan bahwa takdir merupakan ketentuan Allah. Artinya, tak ada yang mampu mengubah atau menembus batasan ketentuan Allah SWT meski dengan kekuatan dan semangat yang tinggi. Beliau berkata:
سَوَابِقُ الْهِمَمِ لَا تَحْرِقُ أَسْوَارَ الْإِقْدَارِ
“Himmah yang kokoh takkan mampu menembus dinding takdir.”
Sebagian manusia memiliki hasrat yang tinggi, sampai membuat mereka berhalusinasi atau berkhayal, bahwa manusia mampu untuk mengubah hukum alam dalam waktu cepat. Seakan-akan muncul keinginan untuk melakukan perubahan tanpa sebab. Maunya instant, cepat, melalui jalan pintas dan tanpa sebab.
Padahal Allah SWT telah menggariskan bahwa hal itu tidak akan mungkin terjadi kecuali atas kehendak-Nya. Sebagaimana firman-Nya:
وَمَا تَشَاۤءُوْنَ اِلَّآ اَنْ يَّشَاۤءَ اللّٰهُ رَبُّ الْعٰلَمِيْنَ ࣖ ۞
“Kamu tidak dapat berkehendak, kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. At-Takwir [81]: 29)
Seiring dengan ayat tersebut, Allah SWT juga ada berfirman:
وَمَا تَشَاۤءُوْنَ اِلَّآ اَنْ يَّشَاۤءَ اللّٰهُ ۗاِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِيْمًا حَكِيْمًاۖ ۞
“Kamu tidak menghendaki (sesuatu) kecuali apabila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Insan [76]: 30).
Merujuk kaidah yang tertulis dalam kitab al-Hikam dan kutipan ayat-ayat al-Qur’an di atas mengenai ketentuan Allah, bahwa makna takdir di sini mencakup ketentuan Allah atas segala kehendak-Nya. Manusia hanya menerima dengan lapang dada (nrimo) pada kehendak Allah tersebut.
Begitu pula dengan pengabulan akan permintaan hamba kepada Sang Khaliq yang harus benar-benar bergantung dan keberserahan diri pada kehendak-Nya. Syaikh Ahmad Ibn ‘Athaillah juga mengajarkan kita untuk berpasrah ketika berdo’a, agar kehendak kita tidak muncul secara liar sehingga yang muncul hanyalah ketundukan dan kepasrahan kepada kehendak Allah SWT yang akan menjadi kunci terkabulnya do’a.
Syaikh Ahmad dalam al-Hikam menyebutkan:
مَا تَوَقَّفَ مَطْلَبٌ أَنْتَ طَالِبُهُ بِرَبِّكَ، وَلَا تَيَسَّرَ مَطْلَبٌ اَنْتَ طَالِبُهُ بِنَفْسِكَ .
“Permintaan tidak akan tertahan selama engkau memohon (hanya) kepada Allah. Namun, permintaan tidak akan mudah, apabila engkau bergantung pada dirimu sendiri.“
مَاطَلَبَ لَكَ شَيْئٌ مِثْلُ اْلِاضْطِرَارِ وَلَا أَسْرَعَ بِالْمَوَاهِبِ إِلَيْكَ مِثْلُ الذِّلَّةِ وَاْلِافْتِقَارِ.
“Tidak ada yang menyegerakan (terkabulnya doa) kecuali saat terdesak, dan tidak ada yang bisa mempercepat tibanya pemberian Allah kepadamu kecuali rasa rendah diri serta sikap membutuhkan.”
Kepasrahan seorang hamba dalam memohon atau berdo’a dengan menyandarkannya kepada Allah Ta’ala akan membuat urusan menjadi mudah. Sebaliknya, segala urusan yang engkau mohon dengan dirimu sendiri akan menjadi sulit. Oleh sebab itu, apabila kita meminta sesuatu kecuali dengan menyandarkannya kepada Allah, maka akan terasa berbeda.
Hal tersebut karena Allah akan sangat dekat kepadamu, sesuai dengan tingkat kebutuhanmu kepada-Nya. Sehingga saat yang paling tepat untuk meminta kepada Allah adalah ketika engkau tengah berada dalam kondisi terdesak. Keterdesakan itu akan mendorong kita untuk hanya akan pasrah dan tunduk kepada Allah, dan Allah akan memenuhi permintaanmu sesuai dengan kadar ketertundukanmu kepada-Nya.
Hal yang paling inti dalam memperoleh pemberian Allah adalah harus benar-benar bergantung dan merendahkan diri di hadapan-Nya. Allah memerintahkan kita untuk berserah diri kepada-Nya dengan ikhlas dan tanpa pamrih, baik secara lahiriah maupun bathiniah. Keadaan ini mengarahkan kita untuk menyerahkan kehendak kita kepada kehendak-Nya, supaya kita bisa selaras dengan kehendak-Nya sehingga diri kita menjadi lebih tercerahkan.
Pengertian tentang kehendak Tuhan pada paparan singkat di atas sudah mulai nampak, bagaimana Tuhan mengatur hambanya dengan ketentuan dan kehendak yang sudah ditetapkannya.
Seperti halnya dengan rezeki yang Allah SWT berikan kepada hamba-Nya. Pada umumnya, manusia beranggapan bahwa jika rezeki ditakar oleh Allah, maka hal itu merupakan musibah yang menyusahkan penuh penderitaan. Padahal sebenarnya itu adalah bentuk penjagaan dan kasih sayang Allah terhadap hamba-Nya.ِ Dan sayangnya, banyak manusia tidak mengerti. Kondisi itu sudah dibaca oleh Syaikh Ahmad:
إِنَّمَا يُؤْلِمُكَ الْمَنْعُ لِعَدَمِ فَهْمِكَ عَنِ اللهِ فِيْهِ
“Terasanya sakitmu karena ditahannya (permintaanmu) semata-mata disebabkan oleh tidak adanya pemahamanmu tentang Allah di dalamnya.”
Bentuk penjagaan dan kasih sayang Allah terhadap hamba-Nya dalam hal ditahannya sebagian rezeki telah diwanti-wanti oleh Allah SWT dalam al-Qur’an. Perhatikan ayat di bawah ini, bagaimana Allah SWT memberikan sinyalemen kepada manusia tentang kapasitas dirinya sendiri yang selalu melampaui batas dalam mengelola rezeki yang dianugerahkan oleh Allah SWT.
وَلَوْ بَسَطَ اللّٰهُ الرِّزْقَ لِعِبَادِهٖ لَبَغَوْا فِى الْاَرْضِ وَلٰكِنْ يُّنَزِّلُ بِقَدَرٍ مَّا يَشَاۤءُ ۗاِنَّهٗ بِعِبَادِهٖ خَبِيْرٌۢ بَصِيْرٌ ۞
“Seandainya Allah melapangkan rezeki kepada hamba-hamba-Nya, niscaya mereka akan berbuat melampaui batas di bumi. Akan tetapi, Dia menurunkan apa yang Dia kehendaki dengan ukuran (tertentu). Sesungguhnya Dia Maha Teliti lagi Maha Melihat (keadaan) hamba-hamba-Nya.” (QS. As-Syûra [42] : 27ُ)
Dengan demikian, janganlah berpikir jika Allah menurunkan rezeki secukupnya saja, itu adalah sebuah musibah hingga menimbulkan rasa menderita. Rasulullah SAW pernah mengatakan bahwa satu hal yang buruk di mata manusia namun baik dalam pandangan Allah adalah kefakiran. Tentu yang dimaksud adalah sebuah kefakiran yang membuahkan rasa butuh kepada Allah SWT, bukan kefakiran yang menjadikan seseorang mengeluh, menderita hingga putus asa.
Kefakiran, jika disikapi dengan benar, adalah baik dalam pandangan Allah. Sebab kefakiran adalah sebuah penjagaan Allah atas hamba-Nya agar si hamba tidak melampaui batas dan tetap terjaga pada jalan yang lurus, menjadi hamba yang baik dan selalu bertaubat kepada-Nya serta menetapkan diri untuk berada pada jalan menuju-Nya.
Allah SWT mendidik hamba-Nya dengan dihembuskannya dorongan kuat pada diri hamba sehingga ia mampu berserah diri kepada-Nya, dan mampu menerima apa yang dipikulkan oleh Allah kepada dirinya. Si hamba harus berjuang sekuat tenaga dan menerima dengan kesadaran penuh bahwa hal itu adalah pemberian-Nya untuk kebaikan dirinya sendiri. Situasi itu sudah sangat diperhitungkan dengan teliti oleh-Nya, agar sang hamba didekatkan (qarîb) kepada-Nya.
Allah SWT akan selalu melihat dan menilai seorang hamba ketika seorang hamba menyikapi segala pemberian-Nya dengan baik dan tetap husnudz dzan kepada-Nya. Berat ringannya beban pikulan yang diberikan Allah semata-mata karena hal tersebut dipercayakan kepadanya, dan Allah tidak pernah memikulkan sesuatu tanpa memberikan kemampuan untuk memikulnya.
إذَا فَتَحَ لَكَ وِجْهَةً مِنَ التَّعَرُّفِ فَلَا تُبَالِ مَعَهَا إنْ قَلَّ عَمَلُكَ، فَإِنَّهُ مَا فَتَحَهَا لَكَ إِلَّا وَهُوَ يُرِيْدُ أَنْ يَتَعَرَّفَ إِلَيْكَ، أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ التَّعَرُّفَ هُوَ مُوْرِدُهُ عَلَيْكَ والْأَعْمَالَ أَنْتَ مُهْدِيْهَا إِلَيْهِ، وَأَيْنَ مَا تُهْدِيْهِ إِلَيْهِ مِمَّا هُوَ مُوْرِدُهُ عَلَيْكَ؟
“Ketika Dia membukakan bagimu (suatu) Wajah Pengenalan, maka jangan engkau sandingkan (hadirnya) pengenalan itu dengan sedikitnya amal-amalmu; karena sesungguhnya Dia tidak membukakan pengenalan itu bagimu kecuali (bahwa) Dia semata-mata menginginkan untuk memperkenalkan (Diri-Nya) kepadamu. Tidakkah engkau mengetahui bahwa sesungguhnya (suatu) pengenalan itu (semata-mata) Dia yang menginginkannya atasmu, sedangkan amal-amal itu (semata-mata) suatu hadiah dari engkau kepada-Nya; maka tidaklah sebanding antara apa-apa yang engkau hadiahkan kepada-Nya dengan apa-apa yang Dia inginkan untukmu.”
Ada rahasia yang sangat halus di balik kalimat Syaikh Ahmad bin ‘Athaillah dalam pasal ini. Syaikh Ahmad bukan hendak mengatakan bahwa amaliah tidak berarti, karena itu adalah tanda kepatuhan kepada-Nya. Namun ada persoalan yang lebih besar dari itu yang harus dimiliki setiap salik.
Ketika Allah membuka “Wajah Pengenalan”, maka yang Dia anugerahkan kepada seorang hamba adalah Diri-Nya, Eksistensi-Nya, bukan semata perbuatan-Nya, karunia-Nya, atau surga-Nya. Maka tidaklah sebanding ketika Allah menyerahkan seluruh Diri-Nya untuk dikenali, sementara seseorang hanya menyerahkan amal perbuatannya, bukan dirinya.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad terkait dengan penyerahan diri kepada Allah, disebutkan:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي دُعَآءِ الْمُضْطَرِّ : اَللّٰهُمَّ رَحْمَتَكَ أَرْجُوْ فَلَا تَكِلْنِيْ إِلَى نَفْسِيْ طَرْفةَ عَيْنٍ وَأَصْلِحْ لِيْ شَأْنِيْ كُلَّهُ، لَآ إِلٰهَ إلَّا أَنْتَ
“Ya Allah, hanya rahmat-Mu yang kuharapkan! Maka janganlah Engkau serahkan aku kepada diriku meski sekejap mata, dan perbaikilah urusanku seluruhnya. (Sungguh) tidak ada tuhan selain Engkau.” (H.R. Imam Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Hibban)
Hadits tersebut juga menjelaskan bahwa kebanyakan manusia mengandalkan urusannya kepada dirinya, kepintarannya, amal perbuatannya. Dan sangatlah sedikit manusia yang menginginkan berserah diri sepenuhnya kepada Allah SWT. Sementara dalam Al-Quran dikatakan bahwa sebaik-baik agama seseorang adalah yang: aslama wajhahu (menyerahkan wajahnya), seluruh eksistensinya, seluruh jiwa-raganya, hidup dan matinya, hanya kepada Allah.
وَمَنْ اَحْسَنُ دِيْنًا مِّمَّنْ اَسْلَمَ وَجْهَهٗ لِلّٰهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ وَّاتَّبَعَ مِلَّةَ اِبْرٰهِيْمَ حَنِيْفًا ۗوَاتَّخَذَ اللّٰهُ اِبْرٰهِيْمَ خَلِيْلًا ۞
“Siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang memasrahkan dirinya kepada Allah, sedangkan dia muhsin (orang yang berbuat kebaikan) dan mengikuti agama Ibrahim yang hanif? Allah telah menjadikan Ibrahim sebagai kekasih(-Nya).” (Q.S. An-Nisa [4]: 125)
Manusia terhijab dari memandang kepada takdir karena tidak paham sebab musabab. Keinginan (nafsu) seseorang tersebut menjadi sebab yang paling kuat sehingga menghijab pandangan hati untuk cenderung kepada takdir. Keinginan, cita-cita, angan-angan, semangat, akal pikiran dan usaha telah menutup mata hatinya untuk melihat kepada kekuasaan, aturan dan urusan Tuhan. Keinginan itu jika disimpulkan adalah sebuah hijab nafsu dan hijab akal. Syaikh Ahmad bin ‘Athaillah memberikan sinyal itu dalam al-Hikamnya:
إِرَادَتُكَ التَّجْرِيْدِ مَعَ إِقَامَةِ اللهِ إِيَّاكَ فِى اْلاَسْبَابِ مِنَ الشَّهْوَةِ الْخَفِيَّةِ وَإِرَادَتُكَ اْلأَسْبَابِ مَعَ إِقَامَةِ اللهِ إِيَّاكَ فِى التَّجْرِيْدِ إِنْحِطَاطٌ عَنِ الْهِمَّةِ الْعَلِيَّةِ
“Keinginanmu untuk tajrid (mengkhususkan ibadah dan meninggalkan usaha mencari rejeki) sementara Allah menempatkanmu di dalam asbab (sebab akibat, melakukan usaha mencari rejeki) adalah termasuk ke dalam syahwat yang tersembunyi. Namun, keinginanmu untuk asbab (sebab akibat, melakukan usaha mencari rejeki) sementara Allah menempatkanmu di dalam tajrid (mengkhususkan ibadah dan meninggalkan usaha mencari rejeki) adalah sebuah kejatuhan dari himmah yang tinggi (suluk kepada Allah).”
Tajrid berasal dari kata jarrada–yujarridu yang artinya melepaskan, mengosongkan atau menjernihkan. Jadi, tajrid adalah sebuah pelepasan diri dari segala keinginan-keinginan duniawi untuk menuju kepada Allah SWT. Tajrid adalah sebuah upaya untuk melepaskan segala kasab dunia yang dihukumkan mubah dalam syariat Islam. Artinya, alam sebab-akibat (asbabiyyah) ditanggalkan sementara waktu untuk menuju kemurnian kehendak yang hanya tertuju kepada Allah. Dalam Bahasa sufistiknya disebut “suluk”. Syaikh Ahmad bin ‘Athaillah memandang bahwa tajrid parallel dengan himmah (semangat) yang tinggi dan suci.
Adakalanya, ketika Allah SWT menghendaki hamba-Nya untuk berada pada asbab namun si hamba itu malah berkeinginan untuk tajrid. Syaikh Ahmad menyebut situasi hati si hamba tersebut telah diselimuti syahwat tersembunyi. Di saat lain, adakalanya, ketika Allah SWT menghendaki hamba-Nya untuk berada pada tajrid namun si hamba itu malah berkeinginan untuk asbab. Syaikh Ahmad menyebut situasi orang tersebut telah jatuh dari himmah (semangat) yang tinggi dan suci.
Intinya, tajrid ataupun asbab, keduanya harus berpatokan pada kehendak Allah SWT. Kehati-hatian dalam melihat keadaan diri sendiri sangat diperlukan, sehingga kehendak seseorang tidak berkebalikan dari kehendak Allah SWT.
Dalam proses penyerahan secara menyeluruh kepada Allah terlebih dahulu akal dan nafsu perlu ditundukkan kepada kekuatan takdir. Akal mesti mengakui kelemahannya sehingga terbukalah kesadaran adanya ikatan takdir Allah SWT yang mengikat dirinya. Nafsu mesti menerima hakikat kelemahan akal dalam perkara tersebut dan ikut tunduk bersamanya. Bila nafsu dan akal sudah tunduk barulah hati bisa beriman dengan sebenarnya kepada takdir.
Beriman kepada takdir seharusnya melahirkan penyerahan secara total dengan kesadaran dan ilmu, bukan semata-mata pasrah dan menyerah secara jahil. Orang yang jahil tentang hukum dan perjalanan takdir, tidak dapat berserah diri dengan benar kepada Allah SWT. Hal itu disebabkan oleh karena ketidakmampuannya dalam menelisik nafsu-nafsu di dalam dirinya sehingga akalnya justru diliputi keraguan terhadap Allah SWT.
Rohani orang yang jahil akan hakikat takdir masih terikat dengan sifat-sifat kemanusiaan biasa. Dia masih melihat bahwa makhluk bisa mendatangkan pengaruh bagi kehidupannya. Tindakan orang lain dan kejadian-kejadian sering mengacaukan jiwanya. Keadaan yang demikian menyebabkan dia tidak dapat bertahan untuk terus berserah diri kepada Tuhan. Sekiranya dia memahami tentang hukum dan peraturan Tuhan dalam perkara takdir, tentu dia dapat bertahan dengan iman.
Ada sebuah hadits yang menceritakan tentang rukun iman: “Seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah SAW, “Wahai Rasulullah, apakah iman?” Jawab Rasulullah SAW, “engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya dan Hari Kemudian. Juga engkau beriman dengan Qadar baiknya, buruknya, manisnya dan pahitnya adalah dari Allah SWT”.
Pandangan kita sering keliru dalam memandang kepada takdir yang berlaku. Kita dikelirukan oleh istilah-istilah yang biasa kita dengar. Kita cenderung menyimpulkan, seolah-olah Allah SWT hanya menentukan yang asas saja sementara yang lebih rinci ditentukan-Nya kemudian. Seolah-olah Dia Melihat dan Mengkaji perkara yang muncul kemudian, barulah Dia membuat keputusan.
Ketika kita berjuang dengan gigih untuk mengubah perkara dasar yang telah Allah SWT tetapkan dan Dia Melihat kegigihan kita, kemudian bersimpati kepada kita, lalu Dia pun membuat ketentuan baru supaya terlaksana takdir baru yang sesuai dengan perjuangan kita. Begitu kesimpulan yang acapkali muncul di benak kita.
Seringkali kita merasakan munculnya sebuah kehendak di dalam diri kita, namun kita tidak menelisik apakah ini kehendak diri kita ataukah kehendak Allah SWT. Lalu secara serampangan kita klaim bahwa kehendak yang muncul dari dalam diri kita itu sejalan dengan kehendak Allah SWT. Klaim secara serampangan inilah yang kemudian melahirkan kesalahan-kesalahan tak terduga.
Padahal untuk mengetahui apakah sebuah kehendak itu adalah kehendak Allah SWT, ada rangkaian syarat mutlak yang mesti dilewati oleh si hamba. Syarat itu sangat tidak mudah karena memerlukan perjalanan yang tidak sebentar dan halang rintang yang tidak sedikit.
Bagaimana mungkin seseorang bisa mengenal kehendak Tuhannya, sementara kehendak di dalam dirinya masih bergejolak, masih terkontaminasi dengan nafsu, dan masih tidak steril dari kotoran-kotoran duniawi. Bagaimana mungkin seseorang bisa mendeteksi kehendak Tuhan, jika ia belum mengenal Tuhannya melalui pengenalan dirinya sendiri. Orang yang tidak mengenal dirinya sendiri adalah orang yang tidak mengenal Tuhannya. Dan orang yang tidak mengenal Tuhannya adalah orang yang tidak akan pernah mampu merendahkan dan menyerahkan dirinya (aslama) serendah-rendahnya kepada Tuhan. Tidak akan pernah mampu mendeteksi dan mengendalikan nafsunya sendiri. Karena itu, mudah disimpulkan, bahwa orang tersebut akan selalu berada dalam kondisi kegelapan dan kesesatan dalam berpikir, kesalahan dalam memutuskan dan bertindak.
Walhasil, orang yang tidak mampu mendeteksi kehendak Tuhan di dalam dirinya adalah orang sering mengedepankan nafsu duniawi. Kehendak dirinya yang diklaim sebagai kehendak Tuhan adalah sebuah klaim sepihak dan kebohongan yang nyata. Anggapan dan perasaan dari klaim sepihaknya itu membawa dirinya kepada kesesatan dan kedurhakaan yang besar karena telah mejustifikasi kehendak dirinya yang penuh nafsu duniawi sebagai kehendak Tuhan yang Suci. Na’ûdzubillãhi min dzãlik.
Syaikh Ahmad ibn ‘Athaillah telah memberikan tuntunan dalam hal mengenal perjalanan takdir, yakni dimulai dengan merendahkan diri serendah-rendahnya di hadapan Allah SWT. Semua ungkapan mutiara di dalam al-Hikam-nya mengarahkan kita kepada ketundukan yang total dan menyeluruh atas Ketentuan dan Ketetapan Allah SWT. Tingkat ketundukan itu akan selalu parallel dengan tingkat kebutuhan kita kepada-Nya.
Dari sini akan bisa dipahami bahwa ketentuan Allah mencakup atas segala kehendak-Nya. Semua metode yang terkait pada suatu urusan adalah masuk dalam ketentuan Allah SWT. Apa yang kita istilahkan sebagai perjuangan, usaha, ikhtiar, doa, kekeramatan, mukjizat dan lain-lain, semuanya berada dan masuk dalam Ketentuan Allah SWT. Pagar takdir mengelilingi segala-galanya. Tak ada satupun unsur di dalam gerak, meski sebesar zarah, mampu menembus batasan benteng takdir yang maha teguh. Tidak akan pernah terjadi perjuangan dan ikhtiar melainkan telah ada dalam pagar takdir. Tidak akan pernah seseorang berdoa, melainkan sudah tertulis dan menjadi takdir untuknya.
مَآ اَصَابَ مِنْ مُّصِيْبَةٍ اِلَّا بِاِذْنِ اللّٰهِ ۗوَمَنْ يُّؤْمِنْۢ بِاللّٰهِ يَهْدِ قَلْبَهٗ ۗوَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ ۞
“Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa (seseorang), kecuali dengan izin Allah. Siapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. At-Taghabun [64]: 11)
مَآ اَصَابَ مِنْ مُّصِيْبَةٍ فِى الْاَرْضِ وَلَا فِيْٓ اَنْفُسِكُمْ اِلَّا فِيْ كِتٰبٍ مِّنْ قَبْلِ اَنْ نَّبْرَاَهَا ۗاِنَّ ذٰلِكَ عَلَى اللّٰهِ يَسِيْرٌۖ ۞
“Tidak ada bencana (apa pun) yang menimpa di bumi dan tidak (juga yang menimpa) dirimu, kecuali telah tertulis dalam Kitab (Lauhulmahfuz) sebelum Kami mewujudkannya. Sesungguhnya hal itu mudah bagi Allah.” (QS. Al-Hadid [57]: 22)
قُلْ لَّنْ يُّصِيْبَنَآ اِلَّا مَا كَتَبَ اللّٰهُ لَنَاۚ هُوَ مَوْلٰىنَا وَعَلَى اللّٰهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُوْنَ ۞
“Katakanlah (Nabi Muhammad), “Tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah bagi kami. Dialah Pelindung kami, dan hanya kepada Allah hendaknya orang-orang mukmin bertawakal”. (QS. At-Taubah [9]: 51)
وَاتَّقُوْا فِتْنَةً لَّا تُصِيْبَنَّ الَّذِيْنَ ظَلَمُوْا مِنْكُمْ خَاۤصَّةً ۚوَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ ۞
“Peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak hanya menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Ketahuilah bahwa Allah Maha Keras hukuman-Nya.” (QS. Al-Anfal [8]: 25)
Rasulullah SAW ada bersabda:
حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ أَبِي غَالِبٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ حَدَّثَنَا مُعْتَمِرٌ سَمِعْتُ أَبِي يَقُولُ حَدَّثَنَا قَتَادَةُ أَنَّ أَبَا رَافِعٍ حَدَّثَهُ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ اللّٰهَ كَتَبَ كِتَابًا قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ الْخَلْقَ إِنَّ رَحْمَتِي سَبَقَتْ غَضَبِي فَهُوَ مَكْتُوبٌ عِنْدَهُ فَوْقَ الْعَرْشِ
“Telah menceritakan kepadaku (Muhammad bin Abu Ghalib) telah menceritakan kepada kami (Muhammad bin Ismail) telah menceritakan kepada kami (Mu’tamir) aku mendengar (ayahku) berkata, telah menceritakan kepada kami (Qatadah) bahwa (Abu Rafi’) menceritakan kepadanya, ia mendengar (Abu Hurairah) radhiyallahu ‘anhu berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah menuliskan suatu tulisan (ketetapan) sebelum menciptakan makhluk, ‘sesungguhnya rahmat-Ku telah mendahului kemurkaan-Ku, dan itu tercatat di sisi-Nya, di atas ‘arsy.” (HR. Bukhari Nomor 6999)
Wallãhu A’lamu bish-Shawãb
اَللّٰهُمَّ أَعِنِّيْ عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ
Allãhumma a’innî ‘alã dzikrika wa syukrika wa husni ‘ibãdatik
“Ya Allah, tolonglah aku agar mampu berdzikir (mengingat-Mu), bersyukur kepada-Mu dan merasakan kebaikan dalam beribadah kepada-Mu.”