“Bila seseorang tidak memiliki bashîrah meskipun memiliki penglihatan yang normal, dia tidak bisa membedakan antara yang haq dan bathil. Terutama di saat fitnah merajalela, sehingga yang benar kelihatan salah dan yang salah justru nampak benar”.
Oleh: Admin*
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
Bismillâhirrahmânirrahîm
Wasshalâtu wassalâmu ‘alâ Muhammadin wa âlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘âmmati wal-hidâyatit tâmmah, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn“.
Saudaraku yang dikasihi Allah SWT. Masih seputar bashîrah sebagai kelanjutan dari dua artikel sebelumnya; “Makna Bashirah dan Tingkatannya” dan “Bashirah: Sebuah Meeting Point Tuhan dengan Hamba“.
Bashîrah merupakan hal yang sangat penting bagi kebaikan agama seseorang. Dengan bashîrah, seseorang dapat sangat menyadari kedekatan Tuhan dengan dirinya. Hal itu nantinya akan berdampak positif bagi ruhaninya dan kedudukannya di sisi Allah SWT.
Adanya dampak positif bagi ruhani dan dapat menjadi pedoman hidup seseorang, maka kedudukan bashîrah dalam agama sangatlah penting.
Dampak Psikologis Bashîrah
1. Bashîrah merupakan sarana untuk membedakan antara haq dan bathil.
Imam Ibnul Qayyim Al-Jauzi rahimahullãh berkata, bashîrah memancarkan ma’rifah dan menumbuhkan firasat. Artinya, bashîrah memancarkan sumber-sumber ma’rifah dari hati. Dia tidak mengatakan “memancarkan ilmu” karena ma’rifah itu lebih khusus dari ilmu.
Hubungan bashîrah dengan ilmu adalah sebagaimana hubungan antara ruh dengan jasad. Jadi, bashîrah itu ruh ilmu dan intinya.
Bashîrah menumbuhkan di tanah hati, firasat yang benar, yaitu cahaya yang Allah lontarkan ke dalam hati yang bisa membedakan antara haq dan bathil, yang benar dan dusta. Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِلْمُتَوَسِّمِينَ ۞
Inna fî dzãlika la-ãyãtil lil-mutawassimîn
“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang memperhatikan tanda-tanda”. (QS. Al-Hijr [15]: 75)
Yang dimaksud dengan mutawassimîn (orang-orang yang memperhatikan tanda-tanda) adalah al-mutafarrisîn yaitu orang-orang yang memiliki firasat.
At-Tirmidzi meriwayatkan dari hadits Abu Sa’id Al-Khudri dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda,
اِتَّقُوْا فِرَاسَةَ الْمُؤْمِنِ، فَإِنَّهُ يَنْظُرُ بِنُوْرِ اللّٰهِ عَزَّ وَجَلَّ، ثُمَّ قَرَأَ: « إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِلْمُتَوَسِّمِينَ ۞ »
”Hati-hatilah terhadap firasat orang beriman. Sesungguhnya dia melihat dengan cahaya Allah ‘Azza wa Jalla. Kemudian Rasulullah SAW membaca:
إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِلْمُتَوَسِّمِينَ ۞
“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang memperhatikan tanda-tanda”. (QS. Al-Hijr [15]: 75). [Hadits riwayat At-Tirmidzi di dalam Sunan At-Tirmidzi no. 3127. Hadits hasan lighairihi].
التوسُّم ‘At-tawassum’ adalah تفعُّل ‘tafa’ul’ dari السِّيمَا ‘as-sîmã’ yang bermakna : عَلامة yang berarti tanda. Maka al-mutafarris atau orang yang memiliki firasat itu disebut dengan al-mutawassim karena dia mengambil kesimpulan melalui apa yang dia saksikan pada apa yang tidak terlihat. Dan firasat itu tergantung dengan kuat dan lemahnya bashîrah. (Ruhul Ma’ani: 9/624)
Firman Allah Ta’ala yang mengandung makna bashîrah yang berfungsi sebagai sarana untuk membedakan antara haq dan bathil di antaranya:
وَكَذَٰلِكَ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ رُوحًا مِنْ أَمْرِنَا ۚ مَا كُنْتَ تَدْرِي مَا الْكِتَابُ وَلَا الْإِيمَانُ وَلَٰكِنْ جَعَلْنَاهُ نُورًا نَهْدِي بِهِ مَنْ نَشَاءُ مِنْ عِبَادِنَا ۚ وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَىٰ صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ ۞
“Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (al-Qur’an) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah al-Kitab (al-Qur’an) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan al-Qur’an itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus“. (QS. Asy-Syura [42]: 52)
أَوَمَنْ كَانَ مَيْتًا فَأَحْيَيْنَاهُ وَجَعَلْنَا لَهُ نُورًا يَمْشِي بِهِ فِي النَّاسِ كَمَنْ مَثَلُهُ فِي الظُّلُمَاتِ لَيْسَ بِخَارِجٍ مِنْهَا ۚ كَذَٰلِكَ زُيِّنَ لِلْكَافِرِينَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ ۞
“Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya? Demikianlah Kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan“. (QS. Al-An’am [6]: 122)
2. Dakwah Nabi SAW dan para pengikutnya dilakukan di atas dasar bashîrah.
Hal ini sebagaimana difirmankan oleh Allah Ta’ala:
قُلْ هَٰذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللّٰهِ ۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي ۖ وَسُبْحَانَ اللّٰهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ ۞
“Katakanlah: “Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik”. (QS. Yusuf [12]: 108)
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullãh saat menerangkan ayat ini dalam tafsirnya Al-Qur’anul ‘Adzhim berkata,” Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan Rasulullah SAW untuk memberitahukan tentang kepentingannya dalam dakwah dan agar mengatakan kepada mereka, “lnilah jalanku dan tata caraku, yaitu mengajak agar kalian bersaksi bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah, Yang Maha Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya. Aku mengajak ke jalan Allah atas dasar hujjah yang nyata, keyakinan, ilmu, dan petunjuk. Siapa yang mengikutiku, dia juga akan menyeru orang lain menuju apa yang diserukan oleh Rasulullah SAW atas dasar hujjah yang nyata dan keyakinan.”
Jenis-Jenis Bashîrah
Secara garis besar, bashîrah itu ada dua macam:
1. Bashîrah yang bersifat wahbiy (Anugerah Allah).
Bashîrah yang diperoleh dengan taufik Allah kepada seorang hamba. Allah membuka hatinya untuk menerima kebenaran, menjadikan hati itu melihat kebenaran sehingga hamba tersebut menjadi istiqamãh dan mendapat petunjuk. Hamba tersebut berada di atas jalan petunjuk dan jalan yang lurus.
2. Bashîrah yang bersifat kasbiy (usaha).
Sedangkan jenis bashîrah yang kedua adalah jenis bashîrah yang diperoleh melalui proses mujãhadah, bersabar dalam menuntut ilmu yang benar dari sumber yang semestinya, banyak mengkaji sumber-sumber hidayah, yaitu al-Qur’an dan penjelasannya dari sunnah Rasulullah SAW dan pemahaman, ilmu, istinbãth, dan penelitian dalam hal dalil-dalil al-Qur’an dan sunnah dari para salafush shãlih.
Tingkatan dan Derajat Bashîrah
Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah membagi bashîrah menjadi tiga tingkatan atau derajat sebagai berikut:
1. Bashîrah dalam hal terkait dengan Allah Tabaraka wa Ta’ala
Yaitu seorang hamba mengenal Rabbnya dengan pengetahuan yang benar tentang nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Jika dia telah mengenal Rabbnya, maka dia akan takut kepada Allah, berharap kepada-Nya, beribadah kepada-Nya dan mengagungkan-Nya dan tidak mengagungkan makhluk.
2. Bashîrah dalam hal perintah dan larangan.
Yaitu mengetahui apa yang dikehendaki oleh Allah ‘Azza wa jalla, mengetahui batasan-batasan-Nya. Inilah yang menjadikannya berpegang teguh pada shirãthal mustaqîm dan takwa. Dengan hal ini sang hamba tersebut telah mewujudkan penghambaan kepada Allah Jalla Jalãluhu dan mensucikan nama-nama Allah.
Di dalam hatinya tidak ada sedikit pun penentangan terhadap perintah Allah dan Syariat-Nya, serta larangan-Nya. Demikian pula terhadap qadha’ dan qadar-Nya. Dengan demikian, sang hamba berada dalam keadaan menerima terhadap perkara syar’i dan kauni.
Hal ini didasari oleh bashîrah yang pertama. Seorang hamba itu bila mengetahui bahwa Rabbnya itu Maha Mengetahui, Maha Bijaksana, tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi bagi-Nya.
Allah menempatkan segala urusan pada tempatnya, dan meletakkannya pada posisinya, dalam kondisi semacam ini dia akan merasa tenteram dengan ketentuan Syariat-Nya sehingga dia tidak akan menentang Allah sama sekali.
3. Bashîrah dalam janji dan ancaman
Yaitu seorang hamba berada dalam kondisi seolah-olah akhirat itu ada di hadapan matanya. Saat berdiri di hadapan Allah Ta’ala saat shalat, tergambar pada dirinya seolah dirinya sedang berdiri di atas Shirãt (jembatan yang membentang di atas neraka), berdiri di hadapan surga dan neraka.
Seolah akhirat terbayang begitu rinci sebagaimana yang dikabarkan oleh Allah Ta’ala. Seolah dia menyaksikan dan melihatnya secara langsung.
Oleh karenanya, dia akan beramal sesuai dengan tuntutan dari ilmunya dan bashîrah yang telah berada dalam hatinya, sehingga jalan menjadi jelas baginya. Dia mengetahui apa yang sedang dia tuju. Maka dia beramal menghadapi hari tersebut dan bersiap-siap untuk berjumpa dengan Rabbnya.
Agar Mendapatkan Bashirah dari Allah
Bila bashîrah adalah ruh dari sebuah ilmu dan bahkan intinya, serta menjadi sarana untuk mampu membedakan antara haq dan bathil dan menjadi pondasi dari dakwah Islamiyah, maka kita sebagai seorang muslim yang mengharapkan rahmat Allah harus berusaha untuk bisa memiliki bashîrah yang tajam dan kuat. Tapi bagaimana cara mendapatkannya?
Ada sejumlah hal yang bisa dilakukan untuk bisa mendapatkan bashîrah dengan pertolongan Allah subhãnahu wa Ta’ãlã tentunya, yaitu:
1. Iman yang benar kepada Allah dan rasul-Nya.
Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَآمِنُوا بِرَسُولِهِ يُؤْتِكُمْ كِفْلَيْنِ مِنْ رَحْمَتِهِ وَيَجْعَلْ لَكُمْ نُورًا تَمْشُونَ بِهِ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ۚ وَاللّٰهُ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ ۞
“Hai orang-orang yang beriman (kepada para rasul), bertakwalah kepada Allah dan berimanlah kepada Rasul-Nya, niscaya Allah memberikan rahmat-Nya kepadamu dua bagian, dan menjadikan untukmu cahaya yang dengan cahaya itu kamu dapat berjalan dan Dia mengampuni kamu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang“. (QS. Al-Hadid [57]: 28)
2. Ilmu yang bermanfaat tentang ajaran Rasulullah SAW
Allah Ta’ala berfirman:
هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولًا مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلَالٍ مُبِينٍ ۞
“Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata“. (QS. Al-Jumu’ah [62]: 2)
3. Mengamalkan ilmu
Siapa yang mengamalkan ilmunya Allah akan memberinya rezeki berupa ilmu yang belum dia ketahui. Hakikat takwa adalah anda mentaati Allah berdasarkan cahaya dari Allah serta mengharap pahala Allah. Allah Ta’ala berfirman:
وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۖ وَيُعَلِّمُكُمُ اللّٰهُ ۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ ۞
“Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. (QS. Al-Baqarah [2]: 282)
Ketakwaan itu akan mengantarkan kepada cahaya bashîrah. Allah Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تَتَّقُوا اللّٰهَ يَجْعَلْ لَكُمْ فُرْقَانًا وَيُكَفِّرْ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ۗ وَاللّٰهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ ۞
“Hai orang-orang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, Kami akan memberikan kepadamu Furqaan. Dan kami akan jauhkan dirimu dari kesalahan-kesalahanmu, dan mengampuni (dosa-dosa)mu. Dan Allah mempunyai karunia yang besar”. (QS. Al-Anfãl [8]: 29)
4. Mengikuti sunnah secara lahir dan batin dengan benar.
Allah Subhãnahu wa Ta’ãlã berfirman:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللّٰهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللّٰهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللّٰهَ كَثِيرًا ۞
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”. (QS. Al-Ahzab [33]: 21)
5. Terus menerus berdzikir kepada Allah Azza wa Jalla
Dzikir akan membuahkan kehidupan hati. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullãh berkata,”Dzikir bagi hati seperti air bagi ikan. Lantas bagaimanakah keadaan ikan apabila berpisah dari air?”
Dzikir yang paling mulia adalah membaca Al-Qur’an, memahaminya dan men-tadabburinya. Porsi cahaya bashîrah anda sesuai dengan kadar interaksi anda dengan al-Quran.
6. Memperbanyak ibadah
Salah satu sarana terbesar yang bisa digunakan oleh seorang hamba untuk meraih pertolongan Allah dan dukungan-Nya adalah bersungguh-sungguh dalam ibadah. Dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah radhiyallãhu ‘anhu, Rasulullah SAW bersabda:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّ اللّٰهَ قَالَ « مَنْ عَادَى لِيْ وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ، وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِيْ بِشَيْءٍ أَحَبُّ إِلَيَّ مِمَّا اِفْتَرَضَتْ عَلَيْهِ، وَمَا يَزَالُ عَبْدِيْ يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِيْ يَسْمَعُ بِهِ، وَبَصَرَهُ الَّذِيْ يُبْصِرُ بِهِ، وَيَدَهُ الَّتِيْ يَبْطِشُ بِهَا، وَرِجْلَهُ الَّتِيْ يَمْشِيْ بِهَا، وَإِنْ سَأَلَنِيْ لَأَعْطَيْنَهُ، وَلَئِنْ اِسْتَعَاذَنِيْ لَأُعِيْذَنَّهُ ۞ » ( رواه البخاري ).
“Rasulullah SAW bersabda; “Allah SWT berfirman: “Barangsiapa memusuhi wali-Ku maka telah Aku nyatakan perang kepadanya. Tidaklah seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku senangi daripada melaksanakan apa yang Aku fardhukan atasnya. Dan, tidak pula hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan melakukan amalan-amalan sunnah, sehingga Aku mencintainya. Dan, bila Aku mencintainya, menjadilah Aku telinganya yang ia gunakan untuk mendengar, matanya yang ia gunakan untuk melihat, tangannya yang dengannya ia memegang, dan kakinya yang dengannya ia berjalan. Apabila ia bermohon kepada-Ku maka pasti Ku kabulkan permohonannya, apabila ia meminta perlindungan-Ku maka pasti ia Ku lindungi”. (HR. Al-Bukhari no. 6021)
7. Menjaga pandangan dari yang haram, menjaga kemaluan dan menjauhi campur baur laki-laki perempuan yang haram.
Memelihara pandangan dari yang haram akan menyelimuti hati dengan cahaya sebagaimana membebaskan pandangan mata akan menyelimuti hati dengan kegelapan. Oleh karena itu, Allah Subhãnahu wa Ta’ãlã menyebut ayat tentang cahaya setelah perintah untuk menahan pandangan.
Allah Ta’ala berfirman:
اللّٰهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۚ مَثَلُ نُورِهِ كَمِشْكَاةٍ فِيهَا مِصْبَاحٌ ۖ الْمِصْبَاحُ فِي زُجَاجَةٍ ۖ الزُّجَاجَةُ كَأَنَّهَا كَوْكَبٌ دُرِّيٌّ يُوقَدُ مِنْ شَجَرَةٍ مُبَارَكَةٍ زَيْتُونَةٍ لَا شَرْقِيَّةٍ وَلَا غَرْبِيَّةٍ يَكَادُ زَيْتُهَا يُضِيءُ وَلَوْ لَمْ تَمْسَسْهُ نَارٌ ۚ نُورٌ عَلَىٰ نُورٍ ۗ يَهْدِي اللّٰهُ لِنُورِهِ مَنْ يَشَاءُ ۚ وَيَضْرِبُ اللّٰهُ الْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ ۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ ۞
“Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. (QS. An-Nûr [24]: 35)
Cahaya hati akan membuahkan firasat yang benar kepada pemiliknya sehingga bisa membedakan antara yang haq dan bathil.
Ucapan Para Ulama Tentang Bashîrah
Di antara ucapan para ulama yang perlu diketahui tentang bashîrah adalah sebagai berikut:
Di dalam kitab Miftãh Dãris-Sa’ãdah dinukil perkataan sebagian ulama salaf rahimahumullãh:
إِنَّمَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ عَلَى الْبَصَآئِرِ، وَمَا أُوْتِيَ أَحَدٌ أَفْضَلُ مِنْ بَصِيْرَةٍ فِي دِيْنِ اللهِ، ( وَلَوْ قَصِرَ فِي الْعَمَلِ ) . « مفتاح دار السعادة ومنشور ولاية العلم والإرادة (1/303) »
”Dahulu mereka beramal berdasarkan bashîrah dan tidaklah seseorang diberi karunia yang lebih utama dari bashîrah dalam agama Allah meskipun kurang dalam amal.” (Miftah Dãris Sa’ãdah: 1/303)
Syuja’ Al-Kirmani berkata,
مَن عَمَّرَ ظَاهِرَهُ بِاتِّبَاعِ السُّنَّةِ، وَبَاطِنَهُ بِدَوَامِ الْمُرَاقَبَةِ، وَغَضَّ بَصَرَهُ عَنِ الْمَحَارِمِ، وَكَفَّ نَفْسَهُ عَنِ الشُّبُهَاتِ، وَاغْتَذَى بِالْحَلَالِ لَمْ تُخْطِئْ لَهُ فِرَاسَةً
“Siapa yang memperbaiki zhahirnya dengan mengikuti sunah, dan batinnya dengan terus menerus bermuraqabah (merasa diawasi oleh Allah), menghindarkan matanya dari hal-hal yang haram dipandang dan memelihara dirinya dari hal-hal yang syubuhat serta mengkonsumsi makanan halal, firasatnya tidak akan keliru.” (Faidhul Qadîr, Al-Munawi: 2/515)
Syuja’ Al-Kirmani dikenal sebagai orang yang firasatnya tidak pernah keliru.
Perkataan ini memang tidak menyebutkan kata bashîrah sama sekali. Namun perlu diingat bahwa firasat yang tepat itu hanya bisa didapat seseorang bila dia memiliki bashîrah yang tajam dan kuat. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyyah rahimahullãh.
Contoh Bashîrah ‘Ulama
Berikut sebuah kisah yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari rahimahullãh tentang kemampuan Ibnu ‘Abbas yang istimewa dalam memahami makna-makna ayat al-Qur’an meski usianya masih relatif muda.
رَوَى الْبُخَارِي: عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُمَا قَالَ: كَانَ عُمَرُ يُدْخِلُنِيْ مَعَ أَشْيَاخِ بَدْرٍ، فَكَأَنَّ بَعْضَهُمْ وَجَدَ فِي نَفْسِهِ، فَقَالَ: لِمَ يَدْخُلُ هَذَا مَعَنَا وَلَنَا أَبْنَآءٌ مِثْلُهُ ؟ فَقَالَ عُمَرُ: إِنَّهُ مِمَّنْ قَدْ عَلِمْتُمْ، فَدَعَاهُمْ ذَاتَ يَوْمٍ فَأَدْخَلَنِيْ مَعَهُمْ، فَمَا رَأَيْتُ أَنَّهُ دَعَانِيْ فِيْهِمْ يَوْمَئِذٍ إِلَّا لِيُرِيَهُمْ، فَقَالَ: مَا تَقُوْلُوْنَ فِيْ قَوْلِ اللّٰهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى: إِذَا جَآءَ نَصْرُ اللّٰهِ وَالْفَتْحُ ۞ ؟ فَقَالَ بَعْضُهُمْ: أَمَرَنَا أَنْ نَحْمَدَ اللّٰهَ وَنَسْتَغْفِرَهُ إِذَا نُصِرْنَا وَفُتِحَ عَلَيْنَا، وَسَكَتَ بَعْضُهُمْ فَلَمْ يَقُلْ شَيْئًا، فَقَالَ لِيْ: أَكَذَلِكَ تَقُوْلُ يَا ابْنَ عَبَّاسٍ ؟ فَقُلْتُ: لَا، فَقَالَ: مَا تَقُوْلُ ؟ فَقُلْتُ: هُوَ أَجَلُ رَسُوْلِ اللّٰهِ ﷺ أَعْلَمَهُ لَهُ، قَالَ: إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللّٰهِ وَالْفَتْحُ ۞، فَذَلِكَ عَلَامَةُ أَجَلِكَ، فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا ۞، فَقَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُ :لَا أَعْلَمُ مِنْهَا إِلَّا مَا تَقُوْلُ .
Imam al-Bukhari rahimahullãh meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallãhu anhumã, ia berkata, ”Umar pernah memasukkanku bersama orang-orang tua yang ikut perang Badar. Sepertinya sebagian dari mereka mendapati adanya ganjalan dalam dirinya. Lalu ada yang bertanya, “Mengapa anak muda ini masuk bersama kita, padahal kita juga punya anak-anak seperti dia?” Umar menjawab, “Sungguh, kalian sudah mengetahui siapa dirinya”. Maka suatu hari Umar radhiyallãhu ‘anhu mengundang mereka dan memasukkanku bersama mereka. Aku tidak melihat alasan Umar mengundangku bersama mereka pada saat itu kecuali beliau ingin menunjukkan kepada mereka. Umar berkata, “Apakah pendapat kalian tentang firman Allah: (idzã jã’a nashrullãhi wal-fathu) “Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan.” (QS. An-Nashr [110]: 1) ? Sebagian dari mereka menjawab, “Allah memerintahkan kita untuk memuji dan memohon ampunan kepada-Nya saat kita telah diberi pertolongan dan suatu daerah sudah dibebaskan (ditaklukkan) bagi kita.” Sebagian yang lain diam saja tidak mengatakan apa pun. Umar radhiyallãhu ‘anhu berkata kepadaku, “Apakah demikian pendapatmu, wahai Ibnu ‘Abbas?” Aku menjawab, “Tidak!” Umar bertanya, “Apa pendapatmu?” Aku menjawab, “Itu adalah ajal Rasulullah SAW. Allah memberitahukannya kepada beliau. Allah berfirman: (idzã jã’a nashrullãhi wal-fathu) “Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan.” (QS. An-Nashr [110]: 1). Itulah tanda ajalmu, (fasabbih bi hamdi rabbika wastaghfirhu innahû kãna tawwãbã) “maka bertasbihlah dan mintalah ampunan kepada-Nya, sesungguhnya Dia Maha Menerima taubat.” (QS. An-Nashr [110]: 3). Umar radhiyallãhu ‘anhu berkata, “Aku tidak mengetahui tentang ayat tersebut kecuali apa yang engkau sampaikan”. (H.R. al-Bukhari Kitab tafsir al-Quran, no. 4970)
Tanggapan Umar bin al-Khathab radhiyallãhu ‘anhu terhadap jawaban Ibnu ‘Abbas radhiyallãhu ‘anhumã menunjukkan bahwa cara Ibnu ‘Abbas memahami nash-nash al-Qur’an sudah seperti ‘Umar bin Al-Khatthab radhiyallãhu ‘anhu.
Ibnu ‘Abbas mampu melihat isyarat yang tersembunyi di balik nash ayat secara dzhahir. Kemampuan ini jelas hanya ada pada orang yang berilmu mendalam dan memiliki bashîrah yang tajam. Dan ini hanyalah sebuah contoh dari sekian banyak contoh kuatnya bashîrah para sahabat Nabi Muhammad SAW. Tentunya masih ada contoh-contoh yang lain. Namun ini sudah cukup mewakili.
Pembaca terkasih, semoga Allah SWT memberikan anugerah daya dan upaya untuk melakukan amal yang membawa kita kepada terbukanya pintu bashîrah dalam diri kita sehingga menjadi lebih waspada akan tanda-tanda akhir zaman yang penuh fitnah ini. Ãmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.
________
* Source: Dari berbagai sumber