“Sebuah fenomena akhir zaman yang penuh fitnah, tipuan dan kepalsuan, menuntut kita semua untuk istiqâmah dan selalu dekat dengan Allah SWT melalui akhlâq al-karîmah”.
Oleh: Admin*
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
Bismillâhirrahmânirrahîm
Wasshalâtu wassalâmu ‘alâ Muhammadin wa âlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘âmmati wal-hidâyatit tâmmah, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn“.
Saudaraku yang dirahmati Allah SWT, sebuah ungkapan atsar sahabat yang begitu masyhur berbunyi:
كَلِمَةُ حَقٍّ يُرَادُ بِهَا بَاطِلٌ
Kalimatu haqqin yurâdu bihâ bâthilun
“Kalimat haqq (benar) dimaksudkan untuk kebatilan”
adalah sebuah ungkapan yang dikemukakan oleh Sayyidina Ali bin Abi Thalib karramallâhu wajhahu. Bagaimana sebab munculnya ungkapan –yang sangat relevan dengan kondisi saat ini– itu? Mari kita simak asbâbul wurûd (sebab-sebab munculnya atsar) tersebut.
Ungkapan Sayyidina Ali yang penuh hikmah tersebut terjadi ketika golongan Khawarij mengkafirkan siapapun yang berbeda pendapat dengan mereka termasuk Sayyidina Ali sendiri. Hal ini terjadi karena Sayyidina Ali menerima arbitrase dan menghentikan perang dengan tentara Muawiyah. Di hadapan Sayyidina Ali mereka meneriakkan ayat al-Qur`an “Ini al-hukm illâ lillâh” (hukum/keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah),” karena mereka melihat Sayyidina Ali memisahkan keputusan politik dari teks-teks agama. Teriakan mereka itu adalah penggalan dari Surat Yusuf [12] ayat 40, yang lengkapnya berbunyi:
مَا تَعْبُدُوْنَ مِنْ دُوْنِهٖٓ اِلَّآ اَسْمَاۤءً سَمَّيْتُمُوْهَآ اَنْتُمْ وَاٰبَاۤؤُكُمْ مَّآ اَنْزَلَ اللّٰهُ بِهَا مِنْ سُلْطٰنٍۗ اِنِ الْحُكْمُ اِلَّا لِلّٰهِ ۗاَمَرَ اَلَّا تَعْبُدُوْٓا اِلَّآ اِيَّاهُ ۗذٰلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُ وَلٰكِنَّ اَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُوْنَ ۞
Mâ ta‘budûna min dûnihî illâ asmâ’an sammaitumûhâ antum wa âbâ’ukum mâ anzalallâhu bihâ min sulthân, inil-ḫukmu illâ lillâh, amara allâ ta‘budû illâ iyyâh, dzâlikad-dînul-qayyimu wa lâkinna aktsaran-nâsi lâ ya‘lamûn
“Apa yang kamu sembah selain Dia hanyalah nama-nama (berhala) yang kamu dan nenek moyangmu buat sendiri. Allah tidak menurunkan suatu keterangan apa pun yang pasti tentang hal (nama-nama) itu. Ketetapan (yang pasti benar) itu hanyalah milik Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”
Mereka menganggap Muawiyah dan bala tentaranya sebagai pemberontak yang harus diperangi berdasarkan teks al-Qur`an, tetapi Sayyidina Ali tak sepakat dengan itu dan menerima arbitrase yang dilakukan Amru ibn al-Ash dan Abu Musa al-Asy’ari. Ini menunjukkan, menurut mereka, Sayyidina Ali tidak mengikuti hukum Allah yang termaktub di dalam al-Qur`an, dan orang yang tidak mengikuti hukum Allah adalah kafir yang harus diperangi! Tetapi yang sangat mengherankan, sebagian besar orang yang memerangi Sayyidina Ali itu adalah para penghafal al-Qur`an.
Jika kita perluas kalimat yang sarat hikmah tersebut yang tidak hanya terbatas pada ucapan sebuah kalimat tapi juga perbuatan atau prilaku, maka akan kita dapatkan bahwa betapa perbuatan-perbuatan baik itu hanya sebuah ‘tipuan’ untuk merekayasa rencana-rencana batil. Bahasa gamblangnya, munafik.
Di zaman fitnah saat ini, teramat sangat banyak berselebaran fenomena-fenomena yang mengandung kebenaran (haqq) tapi sebenarnya bertujuan selain dari yang haqq (bathil). Dalam dunia medsos misalnya, konten-konten yang baik, yang mengandung kebenaran (haqq), tidak sedikit bertujuan untuk mendapatkan follower/subscriber yang banyak dengan tujuan monetisasi (komersil). Isi kontennya adalah kebenaran (haqq) tapi tujuannya selain dari yang haqq.
Contoh lain, dalam dunia politik misalnya. Seringkali para politisi pada saat menjelang pemilu tiba-tiba menjadi orang baik dengan bershadaqah, bagi-bagi sembako, bagi-bagi uang, dsb untuk hanya bertujuan meraih suara sebanyak-banyaknya. Ini juga sebuah fenomena yang sangat relevan dengan ungkapan Sayyidina Ali di atas, “Kalimatu haqqin yurâdu bihâ bâthilun” (Kalimat haqq (benar) dimaksudkan untuk kebatilan).
Contoh lain, kita juga menyaksikan skenario serupa yang dilakukan oleh sejumlah orang dan kelompok dengan mengangkat bendera agama bertuliskan kalimat tauhid. Mereka semua muslim, sebagian dari mereka memanjangkan jenggot dan melebarkan jilbab, bahkan ada yang hafal al-Qur`an. Mereka ingin mendidik kita supaya kita datang kepada mereka dengan tunduk menerapkan syari’at Islam sesuai dengan pemahaman mereka sendiri. Parahnya, sebagian dari mereka mengkafirkan semua orang kecuali kelompok mereka.
Contoh lain, kita juga menyaksikan sebagian orang yang mengaku-ngaku sebagai dzurriyat (keturunan) atau ahlu bait Nabi Muhammad SAW dengan tujuan menundukkan atau meng-hegemoni orang lain. Terlepas benar/tidaknya mereka sebagai dzurriyat atau ahlu bait Nabi SAW, tetapi mengaku-ngaku dengan berulang-ulang di hadapan orang banyak adalah sebuah ucapan atau tindakan yang sarat akan tujuan bathil.
Fenomena-fenomena tersebut menghiasi hari-hari kita belakangan ini. Glorifikasi terhadap “kebenaran” berpotensi melegitimasi tindakan yang tidak benar. Dalam perspektif ini, seolah kebenaran menjadi kabur hingga tergradasi dalam pandangan orang awam. Padahal kebenaran tetaplah kebenaran. Ia tidak akan bisa dimanipulasi dengan tindakan-tindakan palsu meski banyak yang tertipu. Kebenaran Allah (Haqq) tetaplah berdiri tegak pada diri-Nya sendiri, dan tidak akan ter-down grade menjadi kebatilan meski kebenaran itu dipalsukan untuk tujuan batil.
Untuk menyikapi fenomena seperti itu, setiap orang dituntut harus secara konsisten (istiqâmah) melapangkan dada dan menjernihkan pikiran. Pada sisi ini, zaman fitnah telah mendidik kita semua untuk selalu istiqâmah pada amaliyah-amaliyah yang baik lahir dan bathin, berbuat ma’ruf dan mencegah munkar oleh diri kita sendiri, bahasa singkatnya ber-akhlâq al-karîmah. Lho, apa hubungannya menyikapi fenomena-fenomena kebenaran palsu dengan ber-akhlâq al-karîmah?
Ya, dalam pandangan orang yang beriman kepada Allah SWT, hubungan zaman fitnah dengan ber-akhlâq al-karîmah sangatlah erat. Karena Pemilik kebenaran mutlak ya hanya Allah. Karena itu, untuk “melihat” kebenaran mutlak di zaman yang serba palsu dan banyak tipuan ini, maka harus sering-sering dekat dengan Allah melalui akhlâq al-karîmah. Tawakkal kita kepada Allah SWT akan ‘membimbing’ kita untuk berada pada lindungan Allah SWT.
Dalam catatan sejarah, fenomena yang membingungkan sudah terjadi beberapa saat setelah wafatnya Rasulullah SAW. Ketika itu, para sahabat membiarkan jenazah beliau tanpa dikuburkan terlebih dahulu dan pergi ke Tsaqifah Bani Sa’idah untuk memilih pemimpin negara (khalifah). Padahal agama jelas menegaskan bahwa memuliakan jenazah di antaranya adalah dengan segera menguburkannya, apalagi jenazah Rasulullah SAW yang seharusnya lebih diutamakan untuk dimuliakan. Tetapi kepentingan politik dan kekuasaan mengatakan sebaliknya, bahwa yang lebih utama adalah memilih pemimpin negara karena Rasulullah SAW wafat tanpa menentukan seorang sahabat untuk menggantikan posisi beliau. Pemimpin negara harus segera dipilih sebelum terjadi konflik yang mengancam keutuhan negara.
Ketika terjadi kudeta terhadap Sayyidina Utsman ibn Affan RA, karena tuduhan-tuduhan politis terhadapnya, kendati agama melarang menentang pemimpin, dan para sahabat yang lain membiarkannya menghadapi nasibnya sendirian hingga ia tewas terbunuh setelah ia menolak untuk turun dari tahta kekuasaan dengan ucapannya yang terkenal, “Demi Allah, aku tidak akan melepaskan baju yang dipakaikan Allah kepadaku!” Umat Muslim yang memisahkan urusan agama dari urusan politik saat itu sama sekali tidak mendengarkan ucapannya dan tetap memaksa menurunkannya bahkan membunuhnya karena alasan yang mereka pandang sebagai kesalahan politis. Peristiwa seperti ini terus berlanjut dengan adanya upaya pembunuhan terhadap Sayyidina Ali dan Muawiyah padahal agama melarang umat Muslim untuk saling membunuh. Tetapi itulah politik!
Tentu kita juga ingat bagaimana al-Hajjaj ibn Yusuf al-Tsaqafi menyerang dan membombardir Ka’bah dengan manjanik (alat pelontar batu) ketika Abdullah ibn al-Zubair ibn al-Awwam memanfaatkannya sebagai benteng pertahanan kala ia memproklamirkan diri sebagai khalifah bagi umat Muslim sehingga ia dianggap memberontak terhadap negara Umawiyah yang saat itu dipimpin oleh Abdul Malik ibn Marwan ibn al-Hakam. Sebagai penguasa negara Umawiyah, Abdul Malik ibn Marwan ibn al-Hakam menggunakan berbagai sarana politik untuk menaklukkan Abdullah ibn al-Zubair ibn al-Awwam yang menjadikan Ka’bah sebagai benteng.
Meskipun agama menjadikan Makkah sebagai tanah suci, jangankan berperang, bahkan berburu binatang pun dilarang, tetapi Abdullah ibn al-Zubair ibn al-Awwam tidak merasa enggan menggunakan Ka’bah sebagai benteng (baca: tameng) dengan anggapan bahwa bala tentara negara Umawiyah mencampuradukkan antara agama dan politik sehingga mereka akan menjaga kehormatan dan kesucian kota Makkah. Tetapi anggapannya salah, ternyata bala tentara negara Umawiyah memisahkan urusan agama dari urusan politik, karenanya mereka memperlakukan Makkah sebagai sebuah kota yang menjadi tempat berlindung pemberontak dan pengacau. Mereka lalu menyerang dan melemparinya dengan manjanik yang mengakibatkan sebagian dari bangunan Ka’bah runtuh dan rata dengan tanah. Mereka tidak memperlakukannya sebagai kota suci.
Di dalam buku-buku sejarah Islam—maksudnya buku-buku sejarah seperti “al-Bidâyah wa al-Nihâyah” karya Ibn Katsir, “al-Kâmil fi al-Târîkh” karya Ibn Atsir, “Târîkh al-Thabarîy” karya al-Thabari, dan yang lainnya, bukan buku-buku sejarah karangan para tokoh kelompok-kelompok Islamis yang disusun secara reduktif untuk tujuan-tujuan politik tertentu dengan menggambarkan seolah-olah sejarah Islam adalah sejarah malaikat dan ahli ibadah—kita akan menemukan banyak sekali contoh pemisahan agama dan politik di negara-negara khilafah, khususnya yang berkaitan dengan keberlangsungan suatu dinasti.
Faktanya, pencampuran antara agama dan politik tidak terjadi kecuali dalam satu hal saja, yaitu sebagai jaminan kelanggengan seorang penguasa di atas kursi kekuasaannya. Di sinilah muncul tafsir-tafsir keagamaan untuk memberikan dimensi agama bagi legalitas seorang penguasa. Tetapi sesungguhnya, kaidah-kaidah permainan politiklah yang mengatur semua keputusan dan tindakan seorang penguasa di dalam negara khilafah yang tak ada kaitannya dengan agama.
Sejarah itu terulang kembali saat ini. Sejumlah orang dan kelompok mengangkat simbol-simbol agama untuk merebut kekuasaan dengan mengkafirkan, membid’ahkan, mengibliskan, menthaghutkan, mendajjalkan dan bahkan memberikan stigma sesat terhadap orang yang berbeda pandangan dan menganggapnya sebagai musuh agama, musuh Rasulullah SAW, dan musuh umat Islam.
Saat mereka sudah berhasil meng-hegemoni dan kekuasaan sudah dalam genggaman, mereka akan memisahkan agama dari politik, mereka akan melakukan tindakan-tindakan pragmatis dengan mengabaikan teks-teks agama yang berlawanan dengan kepentingan-kepentingan politik dan partai mereka, dan bahkan mereka akan menterjemahkan teks-teks agama secara serampangan sesuai kehendak dan kepentingan mereka. Teks-teks agama tidak digunakan kecuali untuk mengkafirkan, memerangi, dan menghabisi orang-orang yang berseberangan dengan mereka.
Semoga kita dilindungi oleh Allah SWT dari fitnah akhir zaman yang menipu ini, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.
اَللّٰهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا الْغَلَآءَ وَالْبَلَآءَ وَالْوَبَآءَ وَالْفَحْشَآءَ وَالْمُنْكَرَ وَالشُّيُوْفَ الْمُخْتَلِفَةَ وَالشَّدَآئِدَ وَالْفِتَنَ وَالْمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ مِنْ بَلَدِنَا هَذَا خَآصَّةً وَمِنْ بُلْدَانِ الْمُسْلِمِيْنَ عَآمَّةً إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْئٍ قَدِيْرٌ
Allâhummadfa’ ‘annal ghalâ-a, wal balâ-a, wal wabâ-a, wal fahsyâ-a, wal munkara, wasy-syuyûfal mukhtalifata, wasy-syadâ-ida, wal fitnana wal mihana mâ dzhahara minhâ, wa mâ bathana, min baladinâ hâdzâ khâshshatan, wa min buldânil muslimîna ‘âmmatan, innaka ‘alâ kulli syai’in qadîr
“Ya Allah, hindarkanlah kami dari malapetaka, bala dan bencana, kekejian dan kemungkaran, sengketa yang beraneka, kekejaman, fitnah dan kekacauan, yang tampak dan tersembunyi dalam negara kami khususnya, dan dalam negara kaum muslimin umumnya, sesungguhnya Engkau Ya Allah Maha Berkuasa atas segala sesuatu.”
Wallâhu A’lamu bish-Shawâb