Oleh: Amin Hasan*
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
Bismillâhirrahmânirrahîm
Wasshalâtu wassalâmu ‘alâ Muhammadin wa âlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘âmmati wal-hidâyatit tâmmah, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn“.
Abstrak
Nur (cahaya) yang Allah hujamkan ke dada adalah kunci sebagian besar ilmu pengetahuan. Maka, barangsiapa yang mengira bahwa tersingkapnya pengetahuan hanya tergantung pada dalil-dalil saja, maka berarti ia telah mempersempit rahmat Allah SWT Yang Maha Luas. Dari cahaya itulah hendaknya dicari kasyf (tersingkapnya suatu ilmu). Cahaya itu terpancar dari kemurahan Tuhan pada sebagian makhluk hidup dan harus dinanti-nantikan. Memastikan dengan bukti adalah ilmu, dan yang memproses esensi keadaan itu adalah dzauq, sedang yang menerima yang didengar maupun percobaan lewat prasangka baik adalah iman. Jadi, inilah tiga tingkatan: “Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman diantara kalian dan yang telah diberi ilmu beberapa derajat.”
Kata Kunci: dzauq, wijdan, peak experience, tasawuf falsafi
A. Pendahuluan
Proses pengetahuan dalam memperoleh kebenaran diakui telah terhegemoni oleh epistemologi Barat modern. Standar rasio dan empiris yang bersifat positivistik, dalam artian harus dapat dirasionalkan dan dibuktikan (verification) secara empiris melalui panca indera menjadi ukuran ilmiah bagi mereka.[1]Mereka yang mendasarkan diri kepada pengalaman mengembangkan paham yang disebut dengan empirisisme, sebagai lawan dari mereka yang mengembangkan paham rasionalisme. Jika kaum rasionalis, dengan Rene … Continue reading Mereka meragukan dan bahkan tidak mengakui kebenaran yang diperoleh melalui intuisi (dzauq atau wijdan). Sebab, proses pengetahuan melalui intuisi ini bagi mereka tidak rasional dan tidak dapat dibuktikan secara empiris melalui panca indera. Sehingga, sumber kebenaran melalui intuisi inipun dianggap tidak ilmiah. Tegasnya, Barat selama ini, telah membatasi sumber kebenaran hanya pada rasio dan empiris saja.[2]Pada abad 17 M telah ditemukan sumber kebenaran, yakni akal atau rasio, dan pengalaman atau empiris. Dari yang pertama muncul aliran rasionalisme dan yang kedua empirisisme. Lihat Harun Hadiwijono, … Continue reading
Sementara dalam Islam, intuisi menjadi salah satu sumber kebenaran sebagaimana rasio dan empiris.[3]Di samping rasionalisme dan empirisisme masih terdapat cara untuk mendapatkan pengetahuan yang lain, yang penting untuk kita ketahui adalah intuisi atau wahyu. Lihat Jujun S. Suriasumantri, Filsafat … Continue reading Bahkan kebenaran melalui intuisi ini dianggap lebih tinggi kedudukannya. Kebenaran yang dicapai melalui intuisi dalam dunia tasawuf, metodenya memang tidak bisa dibuktikan secara rasional dan empiris. Akan tetapi, hasil dari kebenaran intuisi sendiri ternyata dapat dibuktikan secara rasional sekaligus empiris.[4]Pengetahuan intuitif dapat dipergunakan sebagai hipotesis bagi analisis selanjutnya dalam menentukan benar tidaknya pernyataan yang dikemukakan. Kegiatan intuitif dan analitik bisa bekerja saling … Continue reading Artinya, banyak orang yang memperoleh pengetahuan yang mendalam secara intuitif yang kemudian terbukti benar. Oleh karena itu, Bergson mengatakan bahwa intuisi sebenarnya besifat intelektual dan sekaligus supra-intelektual, dimana pengetahuan supra-intelektual tersebut akan dapat mencapai pengetahuan dan kesadaran diri pada hal-hal yang paling vital, elan vital.[5]Dengan kata lain intuisi adalah jenis akal yang lebih tinggi daripada akal biasa. Oleh sebab itu, Javid Nurbakh menyebutnya dengan Akal Kulli (Universal). Dikutip dari M. Amin Syukur dan … Continue reading Bagi Maslow intuisi ini merupakan pengalaman puncak (peak experience),[6]Dikutip dalam Stanley M. Honer dan Thomas C. Hunt, Invitation to Philosophy, (Belmont, Cal.: Wadsworth, 1968), p. 72. sedangkan bagi Nietzsche intuisi merupakan inteligensi yang paling tinggi.[7]Dikutip dalam George F. Kneller, Introduction to the Philosophy of Education, (New York: John Wiley, 1969), p. 10.
Bagaimana perolehan pengetahuan dan kebenaran melalui jalan intuisi inilah yang akan dibahas dalam makalah ini. Namun demikian, uraian intuisi hanya akan difokuskan pada konsep intuisi dalam tasawuf al-Ghazali. Sebab, sebagaimana telah dipahami bahwa dalam kajian epistemologi, tasawuf sebagai jalan memperoleh pengetahuan dan kebenaran, sesungguhnya lebih menekankan pada sarana intuisi. Oleh karena itu, kajian mengenai intuisi dari sisi tasawuf ini tentunya hanyalah merupakan salah satu usaha untuk mengurai “hutan belantara” intuisi itu sendiri. Mengurai atau lebih tepatnya memasuki “hutan belantara” intuisi dari sisi-sisi yang lain atau dari perspektif-perspektif yang lain juga tidak kalah menariknya. Sehingga makalah ini diharapkan menjadi stimulus (perangsang) bagi lahirnya tulisan-tulisan berikutnya mengenai intuisi sabagai salah satu sumber ilmu dan kebenaran.
B. Tasawuf sebagai Aktivitas Rasional
Secara esensial, tasawuf yang menjadi salah satu tradisi Islam telah ada pada masa Nabi Muhammad SAW. Praktek tasawuf yang Rasulullah SAW lakukan terpancar dari al-Qur’an, yang Beliau sempurnakan dan tafsirkan dalam kehidupannya, dan menjadi hukum sakral yang Baginda bentuk dalam ajaran, pemikiran, perkataan, dan contoh perbuatan (sunnah). Pada perkembangan selanjutnya adalah diformulasikannya ajaran-ajaran tasawuf yang Nabi Muhammad SAW praktekkan dalam sebuah teori dan ilmu keislaman, yaitu ilmu yang membicarakan tentang bagaimana manusia mengadakan hubungan dan komunikasi dengan Tuhan.[8]Pengetahuan tentang Tuhan (hakikat Tuhan) tidak diketahui melalui bukti-bukti empiris-rasional, tetapi harus melalui pengalaman langsung (direct experience). Untuk dapat berhubungan langsung dengan … Continue reading
Selama ini tasawuf diidentikkan dengan aktivitas irrasional dan jauh dari semangat intelektual. Sebab, perolehan pengetahuannya tidak dengan jalan rasio dan pengambilan kesimpulan logis, melainkan melalui jalan kesalehan, kesucian qalb dan wawasan spiritual yang tinggi. Para sufi mendapatkan pengetahuan dan kebijaksanaannya dari limpahan pengetahuan yang dikaruniakan Tuhan secara langsung, yang terpatri dalam kalbu sehingga tampak olehnya sebagian rahasia dan realitas. Oleh karena itu, pengetahuan dapat juga kita tinjau dari sumber yang memberikan pengetahuan, dalam hal ini adalah wahyu (Tuhan yang menyampaikan wahyu melalui orang pilihan-Nya). Maka wahyu dan intuisi, secara implisit kita mengakui bahwa wahyu dan intuisi adalah sumber pengetahuan.[9]Meskipun kegiatan berpikir intuitif tidak mempunyai logika atau pola berpikir tertentu, namun, dengan wahyu kita mendapatkan pengetahuan lewat keyakinan (kepercayaan) bahwa yang diwahyukan itu adalah … Continue reading
Dengan demikian, tasawuf sebagai jalan memperoleh pengetahuan dan kebenaran, secara epistemologis sesungguhnya lebih menekankan pada sarana intuisi, atau dalam istilah tehnisnya disebut dzauq atau wijdan,[10]Istilah ini mereka gunakan untuk mengungkapkan buah tajalli (penampakan sifat-sifat dan nama-nama Tuhan) dan nilai-nilai kasyf (ketersingkapan tabir misteri ke-Mahamutlakan Tuhan) serta kehadiran … Continue reading dengan qalb sebagai sarananya.[11]Dalam tasawuf, qalb diumpamakan sebagai cermin, ia bisa menangkap gambar di depannya apabila ia terbebas dari hijab. Ini perlu diupayakan melalui mujahadah dan riyadlah. Lihat M. Amin Syukur dan … Continue reading Qalb (hati) adalah hakikat ruh-nya yang merupakan tempat makrifatullah, bukan daging maupun darah yang juga dimiliki oleh mayit dan binatang.[12]Ketika al-Ghazali menekuni ‘uzlah dan khalwat hampir sepuluh tahun maka tampak jelas baginya saat itu secara pasti berbagai sebab yang tiada terhitung, sesekali dengan dzauq, sesekali dengan … Continue reading Apabila intuisi diartikan sebagai sumber kebenaran dan ilmu, maka dalam tasawuf perolehan intuisi atau pengetahuan intuitif tersebut tidak terjadi begitu saja secara tiba-tiba, tetapi melalui proses panjang, yang disebut dengan mujahadah dan riyadlah serta tafakkur dan tadabbur. Semua proses tersebut merupakan upaya ke arah proses pencerahan batin (qalb) agar dapat menangkap cahaya pengetahuan dan kebenaran (mukasyafah).[13]Yakni suatu upaya pencerahan hati (qalb) agar bisa menangkap cahaya kebenaran. Mujahadah dan riyadlah maupun yang lainnya ini tidak keluar dari bingkai yang telah ditentukan tadi sebagai proses … Continue reading
Sehingga meskipun pengetahuan intuisi dikatakan tidak menggunakan rasio, tetapi pada hakikatnya, kebenaran yang dihasilkan melalui jalan intuisi tersebut memiliki dasar-dasar rasionalitas yang tinggi. Sebab, dalam hal pencapaian kebenaran itu sendiri antara akal dan intuisi memiliki hubungan yang erat. Pengetahuan intuitif sama dengan pengetahuan imajinatif. Hal ini dapat dibuktikan dengan bahwa ilham dan psikologis timbul dari akal ketika melakukan aktifitas secara intens. Artinya, ketika seseorang berpikir dan belum menemukan pemecahannya, maka dia mengendapkannya dalam beberapa waktu (incubation). Pada saat seperti inilah pikiran dapat dijernihkan dan selanjutnya akan terjadi ide-ide yang seakan-akan datang secara tiba-tiba, tanpa disadari. Perbedaan antara keduanya hanya dalam metodologi dan sistematikanya, namun, keduanya ikut membentuk bangunan pengetahuan dan filsafat, sebagaimana tersebut dalam Tasawuf Falsafi[14]Tasawuf Falsafi ialah suatu model tasawuf yang proses dan produknya memadukan antara visi tasawuf dan filsafat. Di satu pihak memakai term-term filsafat, namun di pihak lain memakai metode pendekatan … Continue reading dan Mistik Falsafi[15]Mistik Falsafi (istilah ini sekedar untuk membedakan dengan yang pertama) ialah suatu model pendekatan dengan Yang Hak dengan sarana rasio. Tasawuf ini tidak bersifat spiritual semata yang hanya … Continue reading.[16]Pengetahuan intuitif dapat membuka pemahaman tanpa menggunakan metode yang terarah dan sistematika runtut sabagaimana lazimnya pengetahuan rasional. Ia merupakan pengetahuan yang didapatkan tanpa … Continue reading
C. Intuisi sebagai Sumber Ilmu dan Kebenaran
Pada akhir abad ke XI dan awal abad XII Masehi di dunia Islam tampil seorang ilmuan besar, Hujjatul Islam, Imam al-Ghazali (1059—1111 M / 450—505 H). Tanpa diragukan lagi, al-Ghazali adalah salah seorang pemikir dan tokoh intelektual Islam yang terkemuka.
Pengaruh pemikirannya yang beliau tuangkan dalam berbagai karya monumentalnya masih sangat terasa sampai saat ini. Hal ini terbukti dari banyaknya karya-karya yang terus bermunculan, baik itu berupa artikel ilmiah, skripsi, tesis, maupun disertasi. Karya-karya penelitian yang dilakukan pun meliputi berbagai bidang, baik di bidang filsafat, tasawuf (sufisme), teologi (kalam), logika (mantiq), fiqih, ushul fiqih, dan lain sebagainya. Jika melihat karya-karyanya, memang tidak diragukan lagi jika al-Ghazali dikatakan sebagai seorang filosof, dan sekaligus sufi, teolog (mutakallim), ahli mantiq, faqih dan lain sebagainya. Sampai saat ini juga masih sangat semarak diskusi-diskusi maupun seminar-seminar ilmiah yang mengupas pemikiran al-Ghazali dari berbagai sisi. Artinya, ini semua membuktikan bahwa pengaruh al-Ghazali melalui karya-karyanya, sampai hari ini, memang tidak pernah surut, apalagi padam.
Sebut saja dari sisi tasawuf, di tangan al-Ghazali inilah proses pengetahuan dalam mencapai kebenaran melalui jalan intuisi sebagai bagian dari kerja intelekual dalam dunia tasawuf dapat dijelaskan dengan baik oleh beliau. Al-Ghazali mampu membuka cakrawala dengan memadukan intuisi (tasawuf) dengan akal (intelektualisme) yang selama ini menjadi pertentangan oleh banyak kalangan. Melalui intuisi, al-Ghazali menunjukkan sumber ilmu dan kebenaran yang alternatif bagi kemanusiaan dan kehidupan.
Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa pengetahuan intuitif pada dasarnya bukan merupakan peristiwa yang terjadi secara tiba-tiba, melainkan setelah melalui proses panjang, yaitu dimulai dengan niat, riyadlah, ‘uzlah dan khalwat, mujahadah (menahan diri dari segala hal), dan lain sebagainya. Semua proses tersebut merupakan upaya ke arah proses pencerahan batin agar dapat menangkap cahaya pengetahuan dan kebenaran. Bersamaan dengan terjadinya proses tersebut, sesungguhnya tanpa disadari, telah terjadi pula proses intelektualisasi secara terselubung.[17]Lihat Muhammad ‘Utsman Najati, Ilm al-Nafs fi Hayatina al-Yaumiyah, (Kuawit: Dar al-Qalam, 1980), p. 238-330. Lihat juga M. Amin Syukur dan Masyharuddin, Intelektualisme Tasawuf: …, p. 114.
Dalam al-Munqidz min al-Dlalal misalnya, al-Ghazali menjelaskan bagaimana ia mengalami masa keragu-raguan (syak) pada pengetahuannya terhadap kebenaran menyangkut fisika dan ilmu pasti. Ketika al-Ghazali dengan penuh kesungguhan mulai merenungkan alam fisika dan ilmu-ilmu pasti, maka memuncaklah keragu-raguannya hingga telah menyelimuti jiwa. Al-Ghazali mengatakan:
“Bagaimana bisa mempercayai pengetahuan fisika sedang kekuatannya hanya sebatas pandangan mata dimana mata melihat bayangan berdiri tanpa gerak lalu berkesimpulan tidak adanya gerak?”[18]Al-Ghazali berfikir, mungkinkah ia membuat dirinya meragukannya. Maka memuncaklah keragu-raguannya hingga dirinya tidak begitu saja pasrah dan merasa aman dari kesalahan alam fisika dan keraguanpun … Continue reading
Kemudian melalui percobaan dan penyaksian langsung, mata mengetahui bahwa ia bergerak. Ternyata ia tidak bergerak sekaligus, melainkan bertahap secara perlahan-lahan sehingga tidak ada waktu berhenti baginya. Ia (mata) juga melihat planet yang terlihat kecil seukuran mata uang logam, kemudian bukti-bukti ilmiah menunjukkan bahwa ia lebih besar daripada ukuran bumi.[19]Ibid., p. 29. Begitulah keragu-raguan yang dialami al-Ghazali terhadap fisika dan ilmu pasti. Hal-hal yang bersifat inderawi telah membuat al-Ghazali ragu (syak) akan pengetahuan dan kebenaran yang selama ini ia peroleh.
Hal serupa juga terjadi pada akal, yang sebelumnya oleh al-Ghazali diandalkan sebagai prioritas utama setelah ketidakpercayaannya kepada fisika. Ternyata pada akal pun al-Ghazali mengalami keraguan.[20]Untuk mengetahui hakikat Tuhan misalnya, Tuhan dipahami sebagai realitas yang berbeda dengan alam, sedang akal, indera dan segala yang ada di dunia ini merupakan bagian dari alam, sehingga tidak … Continue reading Dalam hal ini, al-Ghazali tertegun sejenak, lalu memperkuat kesamarannya pada saat tidur dan berkata:
“Bukankah engkau lihat dirimu meyakini beberapa hal di saat tidur, mengkhayalkan berbagai hal, dan mempercayai eksistensinya, tanpa meragukan hal tersebut. Kemudian engkau terjaga lalu tahu bahwa semua khayalan dan kepercayaanmu itu tidak berdasar dan tidak ada gunanya. Lalu bagaimana engkau merasa aman bahwa semua yang engkau yakini lewat indera dan akal pada saat engkau terjaga adalah kebenaran karena didasarkan kepada keadaan yang sedang engkau alami?”[21]Lihat Abu Hamid al-Ghazali, Al-Munqidz min al-Dlalal …, p. 29-30.
Keraguan al-Ghazali pada akal ini, yaitu ketika mengetahui kenyataan yang sebenarnya saat terjaga, sempat juga membuat beliau meragukan keadaan sebagaimana yang dialami oleh para sufi. Sebagaimana kesimpulannya, jika datang keadaan itu (waktu terjaga) maka engkau yakin bahwa semua yang tergambar di akalmu adalah khayalan-khayalan yang tidak ada kenyataannya. Dan jangan-jangan itulah keadaan yang diklaim oleh kaum sufi sebagai keadaan mereka. Sebab, mereka mengaku benar-benar menyaksikan—dalam berbagai situasi apabila mereka tenggelam dalam jiwa mereka dan terlepas dari indera mereka—berbagai hal yang tidak sesuai dengan logika.[22]Ibid., p. 30.
Pada saat kondisi seperti inilah, yaitu kondisi dimana kejiwaan al-Ghazali mengalami syak yang memuncak pada hal-hal yang bersifat inderawi dan akal, ia kemudian menemukan jalannya dalam mengobati penyakit syak (keragu-raguan)-nya yang selama ini dideritanya, yaitu dengan menempuh jalan dan pola sebagaimana seorang sufi.[23]Berada dalam madzhab sufistik, akhirnya Allah menyembuhkan al-Ghazali dari penyakitnya itu, dan jiwanya pun kembali sehat dan stabil. Ibid., p. 31. Al-Ghazali meyakini dengan sepenuhnya bahwa jalan tasawuf merupakan jalan yang diridhai Allah, jalan hidup yang paling utama dan paling meyakinkan karena selalu diterangi sinar cahaya kenabian sehingga tidak ada yang dapat menandinginya.
Hal-hal tak terbantahkan secara logika kembali diterima dan dipercaya dengan penuh keamanan dan keyakinan. Hal itu tidak melalui rentetan dalil dan susunan kata, akan tetapi lewat nur (cahaya) yang Allah hujamkan ke dada. Dan cahaya itulah kunci sebagian besar ilmu pengetahuan. Maka, barangsiapa yang mengira bahwa tersingkapnya pengetahuan hanya bergantung pada dalil-dalil saja maka berarti ia telah mempersempit rahmat Allah SWT yang maha luas. Dari cahaya itulah hendaknya dicari kasyf (tersingkapnya suatu ilmu).[24]Metode yang digunakan oleh para sufi dikenal dengan kasyf yang merupakan metode dzauq yang khusus, yaitu penemuan-penemuan batin secara langsung yang berbeda dari penemuan-penemuan panca indera … Continue reading Cahaya itu terpancar dari kemurahan Tuhan pada sebagian makhluk hidup dan harus dinanti-nantikan.[25]Lihat Abu Hamid al-Ghazali, Al-Munqidz min al-Dlalal…, p. 31-32.
Ketika Allah telah memberikan kesembuhan kepada al-Ghazali dari penyakit yang selama ini dideritanya, dengan karunia dan keluasan sifat kasih-Nya, al-Ghazali kemudian mendeskripsikan upaya manusia dalam mencari kebenaran pada masanya menjadi empat golongan dengan pola epistemologinya masing-masing.
Pertama, al-mutakallimun (para teolog), yaitu mereka yang mengaku sebagai ahli ra’yi (pendapat) dan peneliti. Kedua, bathiniyah (kebatinan), yaitu mereka yang mengaku sebagai penganut ta’lim dan orang-orang khusus yang hanya mengambil ilmu dari imam maksum. Ketiga, falasifah (para filosof), yaitu mereka yang mengaku sebagai ahli mantiq (logika) dan argumentasi. Dan yang keempat adalah shufiyyah (kaum sufi), yaitu mereka yang mengaku sebagai pemilik keistimewaan yang mampu manghadirkan jiwa, mencapai musyahadah (melihat langsung), dan mukasyafah (menyingkap sesuatu yang gaib). Dari keempat golongan yang di atas, al-Ghazali mengatakan bahwa kebenaran tidak melampaui empat golongan ini.[26]Al-Ghazali menapaki keempat golongan tersebut, dan mendalami apa yang ada dalam firqah-firqah ini dengan memulai dari Ilmu Kalam, kedua metode-metode filsafat, ketiga ta’lim (ajaran) bathiniyah, … Continue reading
Al-Ghazali kemudian menapaki keempat jalan manusia dalam mencari pengetahuan dan kebenaran tersebut. Ia mendalami firqah-firqah ini dengan memulai dari ilmu kalam, hingga sampailah pada kesimpulan bahwa ilmu kalam, menurut al-Ghazali, belum memadai dan tidak pula jadi penyembuh bagi penyakit yang ia keluhkan selama ini.[27]Ibid., p. 35-36. Ia pun melanjutkan ke firqah berikutnya, yaitu ke metode-metode filfasat. Setelah al-Ghazali menyelesaikan studi ilmu filsafat, memahaminya, mengikhtisarkannya, dan menyatakan palsu apa yang telah dipalsukan darinya, ternyata al-Ghazali tahu bahwa ilmu filsafat juga tidak memenuhi kesempurnaan tujuan. Karena sesungguhnya akal semata tidaklah mampu meliput semua tuntutan dan tidak pula bisa menyingkap tabir segala macam problematika.
Al-Ghazali melihat mereka terbagi dalam beberapa bagian. Mereka—dikarenakan banyaknya kelompok-kelompok yang ada—tertempel tanda kekafiran dan keingkaran, sekalipun diantara para pendahulunya dan para penerusnya kemudian terdapat perbedaan besar menyangkut jauh dekatnya dari kebenaran.[28]Setelah al-Ghazali mendalami dan memahami ilmu filsafat selama kurang dari dua tahun, dan kemudian memikirkannya selama hampir satu tahun, akhirnya ia pun mengetahui kebohongan, kerancuan, kata-kata … Continue reading
Selanjutnya, al-Ghazali menapaki jalan manusia dalam mencari pengetahuan dan kebenaran pada firqah yang ketiga, yaitu ta’lim (ajaran) bathiniyah. Firqah ta’limiyah ini memiliki ajaran utama yaitu tentang ide imam ma’shum yang menegakkan kebenaran. Beliau mengkaji dan mendalami kitab-kitab mereka dan menghimpun pendapat-pendapatnya. Beliau juga mengumpulkan dan menyusun secara rapi kalimat-kalimat dari sebagian ucapan-ucapan mereka yang modern yang lahir dari ide-ide kaum modernis, bukan berdasarkan metode yang dikenal dari para pendahulu mereka. Beliau kemudian memaparkan kerusakan-kerusakan madzhab mereka yang disebutkan dalam kitab al-Mustazhiri, kitab Hujjat al-Haq, kitab Mufashshil al-Khilaf, kitab al-Darju dan kitab al-Qisthas al-Mustaqim yang merupakan kitab independen yang bertujuan menerangkan standar ilmu-ilmu pengetahuan dan pernyataan tidak perlunya imam (ma’shum) bagi orang-orang yang mengetahuinya.[29]Lihat Abu Hamid al-Ghazali, Al-Munqidz min al-Dlalal…, p. 57-67.
Al-Ghazali pun terus menapaki jalan manusia mencari pengetahuan dan kebenaran hingga sampailah pada firqah yang keempat, yaitu dengan memasuki jalan sufisme. Pada jalan inilah ia menemukan bahwa hasil dari ilmu-ilmu mereka adalah penumpas penyakit jiwa dan membersihkan diri dari watak-watak yang tercela serta sifat-sifat kotornya, sehingga akan menghantarkan pada pengosongan hati dari selain Allah SWT dan menghiasnya dengan zikir kepada-Nya.[30]Saat itu bagi al-Ghazali ilmu lebih mudah daripada amal. Itulah sebabnya ia mulai menyerap ilmu para sufi lewat telaah terhadap kitab-kitab mereka. Kemudian setelah al-Ghazali mengkaji ilmu-ilmu ini, … Continue reading Pencapaian kondisi ini akan meniscayakan seorang sufi memperoleh pencerahan jiwa atau batin dan pada gilirannya akan mampu menangkap pengetahuan dan kebenaran lewat pengalaman intuitif.[31]Satu-satunya sarana yang dapat digunakan untuk mengetahui hakikat Tuhan adalah jiwa (nafs), sebab ia merupakan bagian dari Tuhan yang terpancar dari alam keabadian dan terpasung ke alam dunia. Ia … Continue reading
Menurutnya, tarekat sufisme tidak akan sempurna kecuali hanya dengan ilmu dan amal. Sedang yang bisa dicapai dengan ilmu sangat sedikit jika dibandingkan dengan yang bisa dicapai oleh rasa, keadaan, dan perubahan sifat-sifat. Perbedaannya sangat besar antara pengenalanmu terhadap hakikat zuhud[32]Zuhud menurut bahasa adalah berpaling dari sesuatu. Sedang menurut istilah adalah berpaling dari dunia, atau jiwa merasa tenang meninggalkan kehidupan dunia tanpa keterpaksaan. Tasawuf dan zuhud … Continue reading, syarat-syaratnya, dan sebab-sebabnya dengan keadaanmu yang zuhud dan menjauhkan diri dari dunia. Dan kaum sufi adalah mereka orang-orang yang banyak berbuat, bukan orang-orang yang banyak bicara. Al-Ghazali pun telah mendapatkan apa yang bisa dicapai lewat jalan ilmu, dan tidak ada yang tersisa kecuali sesuatu yang tidak bisa dijalani dengan mendengar dan belajar, namun dengan dzauq[33]Dzauq dalam makrifatullah (pengenalan terhadap Allah) adalah merupakan suatu cahaya pengetahuan yang dianugerahkan oleh yang Maha Benar dengan kemuliaan-Nya ke dalam sanubari para aulia-Nya, sehingga … Continue reading dan suluk[34]Salik adalah orang yang berjalan di atas maqam-maqam dengan hal-nya, bukan dengan ilmunya, dan darinyalah berasal kata suluk. Ibid., p. 132-133..[35]Lihat Abu Hamid al-Ghazali, Al-Munqidz min al-Dlalal…, p. 68-70.
Al-Ghazali sangat meyakini bahwa proses pengetahuan yang benar hanya bisa didapatkan melalui intuisi (dzauq atau wijdan), yaitu cahaya pengetahuan yang langsung dianugerahkan oleh Allah. Oleh karena itu, ketika memasuki negeri Syam dan menetap di sana, al-Ghazali tidak menyibukkan diri kecuali hanya untuk ‘uzlah dan khalwat[36]Khalwah (menyepi) merupakan sifat ahli sufi. Sedangkan ‘uzlah (mengasingkan diri) merupakan bagian dari tanda bahwa seseorang bersambung dengan Allah SWT. ‘Uzlah secara esensial menghindarkan … Continue reading serta mujahadah[37]Abu Ali ad-Daqaq mengatakan, “Barangsiapa menghiasi dzahir-nya dengan mujahadah, maka Allah memperbaiki sisi batinnya dengan musyahadah (penyaksian). Ketahuilah bahwa seseorang yang dalam awal … Continue reading, yaitu dengan kesibukan menyucikan diri, memperbaiki akhlak, dan menjernihkan hati untuk mengingat Allah SWT.[38]Lihat Abu Hamid al-Ghazali, Al-Munqidz min al-Dlalal…, p. 75-76. Dalam proses makrifat atau proses penggalian ilmu, secara umum metode yang digunakan adalah metode al-dzauqiyah, al-riyadlah, … Continue reading
Al-Ghazali senantiasa dalam keadaan seperti ini selama sepuluh tahun, dan tersingkaplah baginya di tengah-tengah khalwat-khalwat tersebut berbagai perkara yang tidak bisa dihitung dan tidak bisa diselami kedalamannya. Al-Ghazali benar-benar belum pernah kagum melebihi kekagumannya terhadap tarekat sufisme, sebab beliau benar-benar merasakan dan mengetahui secara yakin bahwa kaum sufi-lah para penempuh jalan Allah, perjalanan mereka adalah perjalanan terbaik, metode mereka sangat benar, dan akhlak mereka pun merupakan akhlak paling terpuji. Beliau kemudian berkata tentang mereka:
“Sekiranya dikumpulkan akal orang-orang pandai, kebijaksanaan-kebijaksanaan orang-orang bijak, dan ilmu orang-orang yang memahami rahasia-rahasia syariat dari kalangan ulama untuk merubah sedikit saja dari perilaku dan akhlak mereka dan menggantikannya dengan yang lebih baik darinya, niscaya mereka tidak akan menemukan jalan kepadanya. Karena seluruh gerakan dan diam mereka (para sufi), pada zahir maupun batin mereka, adalah diambil dari cahaya pelita nubuwwah (kenabian), dan tidak ada sesudah cahaya kenabian di muka bumi ini cahaya yang dapat dijadikan petunjuk.”[39]Dan dari awal tarekat dimulai dengan mukasyafah (tembusnya penglihatan). Lihat Abu Hamid al-Ghazali, Al-Munqidz min al-Dlalal …, p. 74.
Dengan demikian bahwa pengetahuan intuisi (dzauq atau wijdan) merupakan ilmu yang diperoleh melalui pengalaman langsung (direct experience), dan sekaligus merupakan pengalaman puncak (peak experience). Artinya, pengalaman (experience) sebagai sumber pokok ilmu pengetahuan dalam epistemologi intuisi. Pengalaman hidup yang otentik, yang sesungguhnya, yang merupakan pelajaran tak ternilai harganya.[40]Ketika manusia menghadapi alam semesta yang cukup mengagumkan dalam lubuk hatinya yang terdalam telah dapat mengetahui adanya Zat Yang Maha Suci dan Maha Segalanya. Untuk mengetahui Zat Yang Maha … Continue reading Hal ini berkaitan dengan persepsi bathin (qalb). Pengalaman-pengalaman bathin yang amat mendalam, otentik, fitri, hanifah, samhah dan hampir-hampir tak terkatakan oleh logika dan tak terungkapkan oleh bahasa inilah yang disebut direct experience, ilmu hudluri (knowledge by presence) dalam tradisi isyraqiyah atau preverbal, prereflextive consciousness atau prelogical knowledge menurut tradisi eksistensialis Barat. Semua pengalaman otentik tersebut dapat dirasakan secara langsung tanpa harus mengatakannya terlebih dulu lewat pengungkapan ‘bahasa’ atau ‘logika’.[41]Ibid., p. 198, 218.
Setelah melalui proses tertentu, yakni penyucian qalb hingga bersih dan jernih, maka ia akan mampu menangkap fenomena yang ada (mukasyafah). Materi dan dosa itulah yang disebut penghalang (hijab) dari persoalan intuitif. Oleh karenanya, kasyf (tersingkapnya suatu ilmu) menjadi satu-satunya jalan di dalam memperoleh pengetahuan dan sekaligus bertujuan mencapai maqam[42]Hal dalam dunia tasawuf adalah makna yang menjawab hati tanpa dibuat-buat dan tanpa unsur kesengajaan, tanpa upaya/diusahakan maupun dicari, latihan, dan pemaksaan, seperti suka atau sedih, ceria … Continue reading bersatu dengan Tuhan. Dengan kata lain, kasyf sebagai metode memperoleh pengetahuan, yakni sebagai mekanisme berpikir yang menjadi titik pijak.[43]Jelas bahwa metode makrifat menurut al-Ghazali maupun para sufi yang lainnya berbeda dengan metode para mutakallimin dan filosof. Al-Ghazali membandingkan secara mendalam antara kedua metode … Continue reading
Pengetahuan intuisi berangkat dari konsep dzahir dan bathin. Bathin menjadi dasar untuk menuju ke yang dzahir, atau dengan kata lain dari makna menuju lafadz. Bathin merupakan sumber pengetahuan, karena bathin adalah hakekat, sementara dzahir adalah teks (al-Qur’an dan al-Hadits) sebagai pelindung dan penyinar. Al-Ghazali misalnya menegaskan bahwa makna yang dimiliki oleh al-Qur’an adalah bathin-nya, bukan dzahir-nya. Agar hakikat dapat disingkap, makna harus dijadikan asal, sedang lafadz mengikutinya.[44]Lihat Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu:…, p. 200. Jadi, makrifat sebagai pengetahuan bathin, terutama tentang Tuhan (hakekat Tuhan). Oleh karena itu, ketersingkapan (kasyf) lewat pengalaman intuisi akibat persatuan antara yang mengetahui dan yang diketahui, dianggap sebagai pengetahuan tertinggi (peak knowledge).
D. Penutup
Nur (cahaya) yang Allah hujamkan ke dada adalah kunci sebagian besar ilmu pengetahuan. Maka, barangsiapa yang mengira bahwa tersingkapnya pengetahuan hanya tergantung pada dalil-dalil saja, maka berarti ia telah mempersempit rahmat Allah SWT Yang Maha Luas. Dari cahaya itulah hendaknya dicari kasyf (tersingkapnya suatu ilmu). Cahaya itu terpancar dari kemurahan Tuhan pada sebagian makhluk hidup dan harus dinanti-nantikan.
Memastikan dengan bukti adalah ilmu, dan yang memproses esensi keadaan itu adalah dzauq, sedang yang menerima yang didengar maupun percobaan lewat prasangka baik adalah iman. Jadi, inilah tiga tingkatan:
… يَرْفَعِ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مِنْكُمْۙ وَالَّذِيْنَ اُوْتُوا الْعِلْمَ دَرَجٰتٍۗ … ۞
“… Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman diantara kalian dan yang telah diberi ilmu beberapa derajat…” (QS. Al-Mujadilah: 11)
Daftar Pustaka
al-Ghazali, Abu Hamid, Al-Munqidz min al-Dlalal wa ma’a Kimiya al-Sa’adah wa al-Qawa’id al-‘Asyrah wa al-Adab fi al-Din, (Beirut: Al-Sya’biyah, t.t.)
_________, Ihya ‘Ulum al-Din, Jilid II, (Damaskus: Dar al-Fikr, 2006 M/1427 H)
_________, Ma’arij al-Quds fi Ma’rifat al-Nafs, (Kairo: Matba’ah al-Jundi, 1968)
_________, Misykat al-Anwar, dalam Majmu’atu Rasail al-Imam al-Ghazali ke-IV, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2006)
_________, Tahafut al-Falasifah, Sulaiman Dunya (ed), (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1980)
al-Qusyairi, Abu al-Qasim, al-Risalah al-Qusyairiyah, Abdul Halim Mahmud bin Syarif (ed), (Kairo: Dar al-Sya’b, 1989 M/1409 H)
al-Taftazani, Abu al-Wafa al-Ghanami, Madkhal ila al-Tashawwuf al-Islami, (Kairo: Dar al-Tsaqafah, 1979)
Hadiwijono, Harun, Sari Sejarah Filsafat Barat, (Yogyakarta: Kanisius, 1988)
Honer, Stanley M. dan Thomas C. Hunt, Invitation to Philosophy, (Belmont, Cal.: Wadsworth, 1968)
Kneller, George F., Introduction to the Philosophy of Education, (New York: John Wiley, 1969)
Madkour, Ibrahim, Fi al-Falsafah al-Islamiyah: Manhajun wa Tathbiquhu, vol.I. (Mesir: Dar al-Ma’arif, 1976)
Muslih, Muhammad, Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Belukar, 2004)
Najati, Muhammad ‘Utsman, Ilm al-Nafs fi Hayatina al-Yaumiyah, (Kuawit: Dar al-Qalam, 1980)
Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Sinar Harapan, 2009)
Syukur, M. Amin dan Masyharuddin, Intelektualisme Tasawuf: Studi Intelektualisme Tasawuf Al-Ghazali, (Semarang: Lembkota, 2002).
___________
* Amin Hasan, adalah alumni dari Program Kaderisasi Ulama (PKU) ISID-Gontor angkatan ke-IV, dan sekarang sedang menyelesaikan studi magisternya pada Fakultas Ushuluddin Program Studi Ilmu Akidah, Program Pascasarjana Institut Studi Islam Darussalam Gontor.
* Source: Jurnal At-Ta’dib Vol. 7, No. 2, Desember 2012