Home / Ensiklopedia / Analisis / Kaitan Sejarah Walisongo dengan Sejarah Islam Aceh

Kaitan Sejarah Walisongo dengan Sejarah Islam Aceh

“Sebelum masalah asal-usul Walisongo dari Aceh semakin gelap, alangkah baiknya digerakkan suatu upaya untuk menelusuri kembali sejarah Wali-wali itu, mulai dari Aceh sampai ke pulau Jawa.”

Oleh: T. A. Sakti[1]Bernama lengkap Drs. Teuku Abdullah Sulaiman, SH, dilahirkan di Kabupaten Pidie, Aceh – Indonesia pada tahun 1954. Alumnus Fakultas Sastra Jurusan Sejarah UGM Yogyakarta tahun 1987 dan lulusan FH … Continue reading

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ

Bismillãhirrahmãnirrahîm
Wasshalãtu wassalãmu ‘alã Muhammadin wa ãlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inãyatil ‘ãmmati wal-hidãyatit tãmmah, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn.

“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn“.

Muqaddimah[2]Disampaikan pada International Seminar Malikussaleh: Present, Past and Future 11-12 Juli 2011 di Lhokseumawe, Aceh-Indonesia

Bucue adalah nama sebuah kampung di Kecamatan Sakti, Kabupaten Pidie, Nanggroe Aceh Darussalam. Di dusun ini, yaitu Bucue Meulasah Jambee terdapat dua buah pekuburan tua yang terkait sejarah Kerajaan Samudra Pasai. Di bagian sebelah timur terdapat sebuah gundukan tanah kuburan dengan  batu nisan yang besar-besar.

Dulu, di atas kuburan itu tumbuh pohon keulayu besar. Ketika musim pohon keulayu berbuah, di saat  masak banyak anak-anak yang hilir-mudik di sekitar pohon itu. Tujuan kedatangan mereka adalah untuk memungut bijian kelayu yang jatuh bertebaran ke tanah.

Selain memungut buah yang jatuh, kadangkala ada pula orang dewasa yang menjolok buah keulayu itu dengan galah (shet ngon runong). Tapi tak pernah ada orang yang memanjat pohon keulayu itu untuk memetik buahnya. Masyarakat Bucue tidak ada yang berani memanjat pohon keulayu karena pohon tersebut tumbuh di atas kuburan orang-orang yang dianggap keramat.

Menurut penuturan orang-orang tua secara turun-temurun, itulah kuburan orang-orang yang berasal dari Pase. Di bagian barat pula terdapat sebuah gundukan tanah yang memanjang dari Barat ke Timur. Di ujung Barat tanah tinggi itu terdapat sebuah kuburan yang batu nisannya cukup besar. Itulah kuburan Teungku Raja Imum. Setiap musim tanam padi (musem seumula) tiba, masyarakat Bucue mengadakan upacara Khanduri Blang di situ. Menurut keyakinan masyarakat secara turun-temurun, Teungku Raja Imum adalah seorang ulama asal Pase yang mengungsi ke Pidie karena menghindari kejaran Geureuda (bahasa Aceh: ureung Pase Geureuda let -orang Pasai dikejar Geureuda).

Dalam analisa penulis, mereka yang dikuburkan pada kuburan sebelah Timur adalah para pengikut atau anggota rombongan pengungsi yang ikut bersama Teungku Raja Imum berangkat keluar dari negeri Pase. Sementara Teungku Raja Imum dikebumikan jauh di ujung kampung di sebelah Barat, yakni di tempat Balai Pengajian beliau. Memang, sampai saat penulis hampir dewasa, di kawasan lampoih (kebun) itu masih ada kolam tua yang besar dan dalam serta sebatang pohon jambu (bak Jambee ie), sehingga dusun itu dinamakan Bucue Meulasah Jambee.

Berdasarkan kisah di atas, kita semakin yakin bahwa peran Kerajaan Samudera Pasai dalam penyebaran agama Islam di Nusantara atau Asia Tenggara amatlah besar. Kerajaan ini merupakan poros utama atau akar tunjang dalam penegakan agama Islam di kawasan ini. Para juru dakwah semacam Teungku Raja  Imum atau yang melebihi beliau menyebarkan diri dimana-mana di seluruh Asia Tenggara.

Di negeri Kedah, Malaysia terkenal Tok Pasai sebagai orang yang dianggap menyebarkan Islam di negeri itu.[3]Lihat syair Aceh yang berjudul “Aceh – Malaysia” karya T.A. Sakti, buletin Warta Unsyiah, edisi Mei 2009 hlm. 25. Syair ini ditulis berdasarkan penuturan narasumber Dr. Hasballah M.Saad, MA … Continue reading Di Papua juga ada kuburan ulama asal Pasai. Para juru dakwah asal negeri Pasai yang disebut sebagai Teungku Raja Imum, Tok Pasai dan tokoh ulama di Papua, besar kemungkinan jumlah mereka banyak. Di berbagai kampung dalam wilayah Aceh boleh jadi ada puluhan, bahkan ratusan orang. Apalagi kalau dilacak pula di berbagai provinsi di Indonesia serta ke semua negara dalam kawasan Asia Tenggara. Namun amat disayangkan, sejauh yang penulis maklumi pelacakan ‘napak tilas’ para pendakwah itu belum pernah dilakukan secara serius dan menyeluruh. Hanya laporan para wartawan tentang hal itu saja yang kadang-kadang muncul di media massa.

Membaca laporan-laporan seperti itu, boleh jadi sebagian kita akan terheran-heran ketika mengingat begitu gigihnya nenek moyang kita dalam menyambung risalah Rasulullah Muhammad SAW, yakni menyiarkan agama Islam ke segenap penjuru Asia Tenggara. Sebenarnya, tersedianya informasi yang lengkap perihal jejak sejarah para muballigh asal Kerajaan Samudra Pasai penting dan banyak manfaatnya.

Manfaat Pertama, semakin memperkuat bukti bahwa sejarah masuk dan berkembangnya agama Islam di Indonesia dan negara-negara di Asia Tenggara lainnya dimulai dari  Aceh, yaitu di Kerajaan Samudra Pasai. Kedua, akan memberi dalil penguatan bagi gelar “Negeri Serambi Mekkah” untuk daerah Aceh, karena di sinilah awal-mula masuk dan berkembangnya agama Islam yang berasal dari “Tanah Mekkah”. Ketiga, semakin memperkokoh persatuan nasional dan mempererat Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), karena berkat jasa para muballigh Islam asal Pasai itulah, agama Islam telah dianut oleh mayoritas rakyat Indonesia dan hal itu menjadi benteng pertahanan bangsa. Apalagi bila diingat, bahwa bangsa Indonesia merupakan umat Islam terbesar di dunia. Keempat, khusus bagi daerah Aceh yang sedang berusaha melaksanakan Syariat Islam, ketersediaan informasi sejarah  tersebut akan menjadi landasan historis untuk mempermudah mencapai keberhasilannya. Namun, apa mau dikata, informasi sejarah itu belum tercatat, meski belum terlambat!

Walisongo, Para Muballigh dari Kerajaan Jeumpa dan Samudra Pasai

Bagi sebagian orang, bahkan sejarawan sekalipun mungkin terheran-heran membaca bunyi sub-judul di atas. Salah seorang teman penulis yang sejarawan sering menyebutkan: ”No document no history” (tanpa dokumen berarti tak ada sejarah!). Ternyata ‘menu utama’ bagi bahan penulisan sejarah Walisongo, yaitu dokumen atau arsip tidak secuilpun dapat dijumpai di Aceh. Bagaimana kehidupan mereka semasa masih kanak-kanak di Kerajaan Samudra Pasai (di Aceh?). Siapa Sultan Samudra Pasai  yang sedang berkuasa saat itu? Latar belakang apa yang menyebabkan calon-calon Wali itu berangkat ke Jawa? Apa karena terpaksa? Sukarela? atau sengaja dikirim Sultan Samudra Pasai sebagai juru-dakwah untuk mengembangkan agama Islam di pulau Jawa?

Semua pertanyaan di atas hampir mustahil bisa dijawab, karena sumber-sumber sejarah mengenai Wali sama sekali tidak terdapat di Aceh. Cerita rakyat-lagenda, batu bersurat, kitab-kitab lama juga tidak pernah menyinggung masalah calon-calon Wali itu. Jadi, perihal kehidupan Wali-wali semasa masih kecil di Aceh di Kerajaan Samudra Pasai masih merupakan fakta sejarah yang gelap; yang entah kapan bisa terungkap?

Namun kita sebagai “peminat sejarah” khususnya tentang sejarah Walisongo tidaklah perlu sedih berkepanjangan! Meskipun sumber-sumber sejarah mengenai Walisongo nyaris tak ada di Aceh, namun ‘literature’ tentang mereka di ‘perantauan’, yakni di Jawa cukup melimpah. Di antara manuskrip  lokal atau  pribumi terkait sejarah Walisongo adalah (1) Babad Tanah Jawi, (2) Serat Kandha, (3) Serat Walisongo karya Ronggo Warsito, (4) Kitab Walisongo karangan Sunan Giri II, (5) Hikayat Hasanuddin, dan (6) Babad Gresik.[4]Budiono Hadi Sutrisno, Sejarah Walisongo –Misi Pengislaman di Tanah Jawa, Grha Pustaka, Yogyakarta, 2010, passim Dalam hampir semua naskah lokal itu tercantum pengakuan, bahwa beberapa orang dari Walisongo itu berasal dari Aceh, yakni dari Kerajaan Samudra Pasai. Sumber-sumber sejarah itulah yang digunakan oleh para peneliti sejarah Walisongo, baik pakar Indonesia maupun penulis asing.

Di antara penulis dan  pengamat sejarah Walisongo terkenal asal Indonesia ialah; Solichin Salam, Umar Hasyim, Rachmat Hidayat, Prof. Dr. Taufik Abdullah, Darori Amin, Prof. Dr. Hamka, H.M. Zainuddin, M. Junus Djamil, Prof. A. Hasjmy dan Budiono Hadi Sutrisno. Sementara sebagian peneliti dan pengamat asing adalah Dr. H.J. De Graaf, Dr. TH. G. Pigeaude, Prof. G.W.J. Drewes, dan G.A.J. Hazeu.[5]Ibid., hlm. 218 – 219.

Prof. Dr. Hamka dalam bukunya “Sejarah Umat Islam” menyebutkan, “banyaklah putera Pasai meningggalkan kampung halamannya, terutama sejak dua kali serangan yang menyedihkan, pertama dari Siam, kedua dari Majapahit. Dan akhirnya, di tahun 1521 diserang pula oleh Portugis. Kerajaan Majapahit yang keras mempertahankan kehinduannya itu, sehingga menyebabkan negeri Pasai terpaksa mengakui takluk ke bawah naungannya, menyebabkan beberapa anak Pasai pergi merantau ke tanah Jawa sendiri, terutama ke Jawa Timur dan menetap di sana. Jika negerinya sendiri telah terbakar, dibakar oleh suatu kekuasaan besar, anak Pasai itu telah pergi ke hulu kekuasaan itu, ke daerah kekuasaan Majapahit sendiri dan mengembangkan pula cita-citanya di sana. Dengan suatu ajaran rohani yang murni, Majapahit telah mereka perangi pula, bukan dengan senjata. Apa yang mereka tanamkan  itulah kelaknya yang akan besar dan kukuh, menjelma menjadi Kerajaan Islam Demak. Seorang di antara anak Pasai itu ialah Falatehan, atau Fatahillah, atau bernama juga Syarif Hidayatullah, datang ke Jawa sebab negerinya diserang Portugis (1521). Mulanya menjadi panglima perang dari Kerajaan Islam Demak untuk menaklukkan Jawa Barat, Kerajaan Galoh dan Pajajaran, dan akhirnya menjadi pendiri dari pada dua Kerajaan Islam sesudah Demak, iaitu Bantam dan Cirebon”.[6]Hamka, Sejarah Umat Islam, edisi baru, Pustaka Nasional PTE LTD Singapura . 2005, hlm. 708 – 709.

Masih dalam buku yang sama, pada halaman 745 Prof. Dr. Hamka melanjutkan lagi: “Tersebut perkataan, bahwasanya raja negeri Campa itu beranak dua orang perempuan. Yang tertua bernama Darawati diambil isteri oleh Angkawijaya Raja Majapahit. Itulah yang lebih terkenal dengan sebutan  Puteri Campa itu. Dan anak perempuannya yang seorang lagi kawin pula dengan seorang penyair Islam dari Tanah Arab, maka mendapatlah putera Raden Rahmat. Kalau benar bahwa Campa itu bukan yang di Annam Indo-China, tetapi di Aceh, iaitu negeri Jeumpa, sudah tidak pelak lagi bahwasanya Raden Rahmat, adalah keturunan Arab datang dari Aceh. Dikirimlah Raden Rahmat itu oleh nenek Raja Campa (Jeumpa) ke tanah Jawa dan singgah dua bulan di Palembang. Lalu diajaknya Aria Damar; Adipati Majapahit memeluk Islam. Aria Damar memeluk Islam dengan sembunyi-sembunyi. Kemudian Raden Rahmat meneruskan perjalanan ke Jawa”.

Solichin Salam juga mengakui bahwa sebagian wali itu punya asal-usul dari Kerajaan Samudera Pasai.[7]Solichin Salam, Sekitar Wali Sanga, Menara Kudus, Semarang, 1974, hlm. 14. Penulis lain, Umar Hasyim, dalam bukunya “Sunan Giri”, Penerbit Menara Kudus, Semarang, 1979 di halaman 21 menyebutkan: “Maulana Ishak diberi tugas untuk menyebarkan Islam ke Jawa. Beliau kawin dengan salah seorang puteri Blambangan. Dari perkawinan itu beliau dikaruniai seorang putera yang bernama Raden Paku yang kemudian bergelar Sunan Giri”. Kalau merujuk kepada pendapat para pengarang tersebut di atas serta beberapa tulisan lepas lainnya, maka dapat disimpulkan bahwa enam orang dari sembilan wali (wali songo) yang menyebarkan agama Islam di pulau Jawa adalah berasal dari Aceh. Beliau-beliau itu adalah: 1. Maulana Malik Ibrahim, 2. Malik Ishak (Sunan Giri), 3. Ali Rahmatullah (Raden Rahmat -Sunan Ampel), 4. Mahdum Ibrahim (Sunan Bonang), 5. Masaih Munad (Sunan Drajat), dan 6. Syarief Hidayatullah (Fatahillah -Sunan Gunung Jati).

Beberapa sumber menyebutkan, bahwa pada masa Kerajaan Samudra Pasai di bawah pemerintahan  Sultan Zainal Abidin Bahian Syah (± 797 H/1395 M), sebuah Tim Dakwah Islam yang dipimpin Maulana Malik Ibrahim telah dikirimnya ke pulau Jawa, H. Rosihan Anwar juga berpendapat demikian. Pada peringantan Hari Israk Mikraj tahun 1988, H. Rosihan Anwar menjelaskan lewat TVRI-Jakarta dan beberapa surat kabar antara lain sebagai berikut: “Masuknya Islam ke Jawa adalah karena  usaha juru dakwah dari Pasai. Dari sembilan wali (wali songo) yang menyebarkan Islam di Jawa pada abad ke 14, ke 15 dan ke-16 Masehi, maka empat wali berasal dari Samudra Pasai, yaitu Sunan Gunung Jati, Sunan Ampel, Sunan Drajat dan Sunan Bonang. Wali pertama adalah Malik Ibrahim yang wafat dan dimakamkan di Gresik tahun 1419; beliau seorang saudagar Persia, berasal dari Gujarat, India. Akan tetapi wali kedua yang muncul pada pertengahan abad ke-15 bernama Sunan Ampel atau Raden Rahmat, yang makamnya terdapat di Kampung Arab di Surabaya, berasal dari Pasai. Beliau wafat kira-kira tahun 1481. kedua putranya, yaitu Sunan Drajat dan Sunan Bonang yang kemudian bermukim di Tuban dan juga menjadi wali, pun berasal dari Pasai. Terakhir dari Walisongo adalah Sunan Gunung Jati, juga dikenal sebagai Fatahillah atau Falatehan, lahir di Basma, Pasai tahun 1490. Setelah menjadi wakil kerajaan Demak di Banten, Sunan Gunung Jati pindah ke Cirebon pada tahun 1552, beliau wafat tahun 1570. Orang  sedikit sekali menyadarinya, tetapi memang demikianlah faktanya, bahwa 4 (empat) dari 9 (sembilan) wali yang menyebarkan agama Islam di Jawa berasal dari Samudra Pasai”. Demikianlah pendapat H. Rosihan Anwar tentang asal-usul Walisongo.[8]Lihat Harian Kedaulatan Rakyat “Kerajaan Islam Samudra Pasai di TVRI” oleh: H. Rosihan Anwar, Yogyakarta, 15 Maret 1988 hlm. 4/Opini

Kegiatan Dakwah Walisongo

Meskipun kita belum menjumpai sumber-sumber tersurat di Aceh mengenai peran para ulama Pasai dalam mendakwahkan agama Islam di Tanah Jawa, namun secara tersirat kita masih memiliki naskah tertulis mengenai masalah itu. Hal tersebut terkandung dalam “Hikayat Raja-Raja Pasai” pada kisah yang membicarakan serangan kerajaan Majapahit terhadap Kerajaan Samudra Pasai.

Hikayat  yang berhuruf Arab Melayu/Jawi itu menceritakan, ketika pasukan Majapahit tiba kembali di negerinya setelah menaklukkan Kerajaan Samudra Pasai, maka Sang Bata (Raja) Majapahit bertitah; “Akan segala tawanan orang Pasai itu suruhlah ia duduk di Tanah Jawa ini mana kesukaan hatinya. Itulah sebabnya, maka banyak keramat di Tanah Jawa itu, tatkala zaman kalah Pasai oleh Majapahit”.[9]M. ED. Dulaurier, Chroniques Mallayes, Hikayat Raja-raja Pasai, Paris , 1849, hlm. 97.

Boleh jadi dalam perkembangan berikutnya, para tawanan asal Pasai itulah yang berperan menyiarkan agama Islam di Jawa dan mereka itulah yang membentuk “Dewan Dakwah Sembilan Ulama” yang kemudian terkenal dengan Walisongo. Hanya saja, anehnya, naskah Hikayat “Raja-Raja Pasai” milik Kiai Suradimenggala yang disalin tahun 1230 H atau 1814 M itu tidak dijumpai di Aceh melainkan di Bogor, pulau Jawa.[10]Teuku Ibrahim Alfian, Kronika Pasai – Sebuah Tinjauan Sejarah, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1973 hlm. 6. Dalam hal ini penulis berpendapat, bahwa “Hikayat Raja-Raja Pasai” ditulis oleh salah seorang tawanan Pasai yang sudah menetap di Kerajaan Majapahit. Di antara walisongo itu adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Murya serta Sunan Gungung Jati. Mereka tidak hidup pada saat yang persis bersamaan. Namun satu sama lain memiliki keterkaitan erat, bila tidak dalam ikatan darah juga dalam hubungan guru-murid.

Maulana Malik Ibrahim yang paling awal. Sunan Ampel anak Maulana Malik Ibrahim, yang berarti juga sepupu Sunan Ampel. Sunan Bonang dan Sunan Drajat adalah anak Sunan Ampel. Sunan Kalijaga merupakan sahabat sekaligus murid Sunan Bonang. Sunan Muria anak Sunan Kalijaga. Sunan Kudus murid Sunan Kalijaga. Sunan Gunung Jati adalah sahabat para sunan lain, kecuali Maulana Malik ibrahim yang lebih dahulu meninggal.[11]Budiono Hadi Sutrisno, Sejarah Walisongo…, hlm. 16 Berikut ini penulis turunkan nama asli beserta gelaran dari para Wali, yaitu;

1) Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik,
2) Raden Rahmat atau Sunan Ampel,
3) Raden Makhdum Ibrahim atau Sunan Bonang,
4) Raden Qasim alias Syarifuddin atau Sunan Drajat,
5) Ja’far Shadiq atau Sunan Kudus,
6) Raden Paku alias Ainul Yaqin atau Sunan  Giri,
7) Raden Said atau Sunan Kalijaga,
8) Raden Umar Said atau Sunan Muria,
9) Syarif Hidayatullah alias Fatahillah atau Sunan Gunung Jati.

Maulana Malik Ibrahim beristerikan Siti Fatimah putri Raja Campa. Ayahnya, bernama Syekh Jumadil Kubra asal Samarkand. Pada umumnya, ia dianggap sebagai wali pertama yang membawa agama Islam di Jawa. Maulana Malik Ibrahim mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam dan banyak merangkul rakyat kecil alias wong cilik, yaitu golongan masyarakat Jawa yang tersisihkan pada akhir kekuasaan Majapahit. Malik Ibrahim berusaha menarik hati masyarakat. Ia membangun Pesantren, tempat belajar agama di Leran, Gresik.

Pada tahun 1419, Malik Ibrahim wafat. Makamnya terdapat di desa Gapura, Jawa Timur. Para Wali tinggal di pantai utara Jawa dari permulaan abad 15 hingga pertengahan abad 16, di tiga wilayah penting;  yakni Surabaya, Gresik, Lamongan di Jawa timur, Demak, Kudus, Muria di Jawa tengah, serta Cirebon di Jawa Barat. Mereka adalah para intelektual dan pemikir yang menjadi pembaharu masyarakat pada masanya. Mereka mengenakan berbagai bentuk peradaban baru, mulai dari kesehatan, bercocok tanam, niaga, kebudayaan dan kesenian, kemasyarakatan sampai masalah pemerintahan.[12]Hamka, Dari Perbendaharaan Lama,, Penerbit Pustaka Panjimas,, Jakarta, 1982, hlm. 8.

Sunan Ampel

Sunan Ampel lahir pada 1401 M. Nama kecilnya adalah Raden Rahmat. Ia adalah putra raja Campa. Raden Rahmat menikah dengan Nyai Ageng Manila, puteri Tuban, yang menurunkan empat putra. yaitu,

1. Maulana Makhdum Ibrahim atau (Sunan Bonang)
2. Syarifuddin (Sunan Drajat)
3. Puteri Nyai Ageng Maloka
4. Dewi Sarah (isteri Sunan Kalijaga)

Raden Rahmat, Raden Santri, dan Raden Burereh diperintah oleh orang tuanya untuk pergi ke Jawa menemui Ayahwanya Prabu Brawijaya. Mereka bertiga berangkat ke Majapahit dan tinggal di sana selama setahun. Raden Rahmat akhirnya menikah dengan Puteri Tumenggung Wilwatikta yang bernama Ki Gede Manila, dan menetap di daerah Ampeldenta. Raden Burereh dan Raden Santri, juga menikah dengan kedua puteri kedua Arya Teja. Raden Sumantri mendapatkan yang tua, sedangkan Raden Burereh yang muda. Kedua orang  ini menetap di Gresik.[13]M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1991, hlm. 13.

Sunan Bonang

Nama asli Sunan Bonang adalah Maulana Makhdum Ibrahim, sedang nama kecilnya Raden Makhdum. Diduga, ia lahir di daerah Bonang, Tuban, pada 1465 M. Semasa kecil, Sunan Bonang sudah mendapat pelajaran dari ayahnya, Sunan Ampel, dengan disiplin yang ketat. Tak heran jika dia pun kemudian masuk ke dalam Wali Sembilan.[14]H. J. De Graaf dan DR. TH. G. TH. Pigeaud, Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa –Paralihan dari Majapahit ke Mataram, Grafiti Press, Jakarta, 1983, hlm. 19

Sunan Drajat

Kata Drajat berasal dari bahasa Arab yaitu Darajat, yang berarti derajat, yaitu kualitas atau tingkatan. Sunan Drajat adalah putra Sunan Ampel. Nama lainnya yaitu Syarifuddin dan Raden Kasim. Beliau hidup pada zaman Majapahit akhir;  sekitar tahun 1478 M. Sunan Drajat pada masa muda sudah diperintahkan oleh ayahnya mengajarkan agama Islam di pesisir Gresik.

Di antara para Wali, mungkin Sunan Drajat yang punya nama paling banyak. Semasa muda ia dikenal sebagai Raden Kasim. Masih banyak nama lain yang dimilikinya di berbagai naskah kuno. Misalnya Sunan Mahmud, Sunan Mayang Muda, Sunan Murya Pada, Raden Imam, Maulana Hasyim, Syekh Masakeh, pangeran Syarifuddin, pangeran Kadrajat, dan Masaikah Munar. Dia adalah putra Sunan Ampel dari perkawinan dengan Nyai Ageng Manila, alias Dewi Candrawati. Empat putra Sunan Ampel lainnya adalah Sunan Bonang, Siti Muntosiah, yang dinikahi Sunan Giri, Nyai Ageng Maloka, yang diperistrikan Raden Patah, dan seorang putri yang disunting Sunan Kalijaga.[15]Budiono Hadi Sutrisno, Sejarah Walisongo…, hlm. 72 Begitulah riwayat ringkas sebagian dari Walisongo.

Kini, Walisongo dalam Gugatan

Dewasa ini, sudah semakin langka para penulis sejarah Islam di Indonesia yang menghubungkan kisah Walisongo dengan negeri Samudra Pasai di Aceh. Menurut beberapa penulis “sejarah” sekarang, agama Islam yang menyebar ke seluruh Nusantara bukanlah mulai bergerak dari Aceh, melainkan dari Kerajaan Campa (di negara Kamboja sekarang) dan dari negeri Cina. Oleh hal demikian, maka hilanglah “jaringan Aceh” sebagai tempat mula bertapaknya Islam di Indonesia seperti yang diyakini selama ini.

Menurut pengarang tempo dulu, negeri Campa adalah Kerajaan Jeumpa yang terletak di wilayah Bireuen, di  Aceh sekarang, bukan kerajaan Campa yang terdapat di negara Kamboja.[16]Baca: Harian Serambi Indonesia, Jum’at, 15 April 2011 hlm. 10/Nasional). “TV Malaysia Telusuri Jejak Campa di Aceh”. Sejarah Kerajaan Jeumpa, memang  belum begitu jelas sosoknya hingga hari ini. Sebagai seorang anak, dulu yang pernah penulis dengar hanya Hikayat Putroe Jeumpa (Hikayat Puteri Jeumpa) yang diperebutkan oleh raja Cina, tetapi gagal. Membaca ucapan C atau J dalam huruf Arab Melayu/Jawi atau Jawoe, yaitu Jim, memang nyaris tak ada beda, sehingga boleh saja orang membaca Kerajaan Campa, kalau dalam bahasa Melayu/Indonesia atau Jeumpa, bila dalam bahasa Aceh.[17]Mohd. Kalam Daud, Sistem Penulisan Arab Melayu (Pedoman dan Solusi), Dinas Pendidikan Nasional NAD, 2006, hlm. 42

Salah satu contoh versi baru yang paling kontroversial mengenai hal itu terdapat dalam buku yang ditulis Prof. Ir. Slamet Mulyana yang menyebutkan bahwa delapan orang dari Walisembilan berasal dari Cina. Serta raja Islam pertama di Jawa adalah juga asal Cina, yakni Raden Patah atau yang bernama asli Jin Bun atau Cek Ko Po.[18]Slamet Mulyana, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara –negara Islam di Nusantara, Jakarta, 2005, hlm. 69 Nama asli Tionghoa/Cina para Wali adalah;

1) Sunan Ampel alias Bong Swie Ho,
2) Sunan Drajat alias Bong Tak Keng,
3) Sunan Bonang alias Bong Tak Ang,
4) Sunan Kalijaga alias Gan Si Cang,
5) Sunan Gunung Jati alias Du Anbo –Toh A Bo,
6) Sunan Kudus alias Zha Desu –Ja Tik Su,
7) Sunan Giri adalah cucunya Bong Swie Ho,
8) Sunan Muria alias Chen Yinghua/Tan Eng Hoat.

Sebuah buku terbaru tentang Walisongo yang berjudul “Sejarah Walisongo –Misi Pengislaman di Tanah Jawa” penerbit Graha Pustaka, Yogyakarta, dapat menjadi bukti ‘terbaru’ pula bagi kita, bahwa para penulis kisah Walisongo dewasa ini nyaris tidak menyinggung lagi Kerajaan Samudra Pasai ketika mereka mengisahkan riwayat Walisongo. Buku ini ditulis oleh Budiono Hadi Sutrisno, seorang sarjana lulusan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) UGM Yogyakarta yang amat produktif menulis berbagai buku. Ternyata buku “Sejarah Walisongo” ini menjadi buku ‘best seller’ (laku keras) yang mulai diterbitkan tahun 2007, namun sudah mengalami cetakan ke-9 pada Januari 2010. Dalam buku ini juga amat terbatas menyebut Kerajaan Samudra Pasai sebagai tempat asal sebagian Walisongo.

Dalam buku setebal 228 halaman itu, hanya di tiga tempat ia menyebut perkataan Pasai, yakni di halaman 50, 94 dan 95. Padahal untuk kata Campa ia sebut pada puluhan halaman, namun bukan Campa dalam pengertian Kerajaan Jeumpa di Aceh melainkan negeri Campa di negara Kamboja sekarang.

Sebuah buku lain yang telah lama beredar, cetakan ke-4 terbitan Bandung (1996) “Seri Wali Songo” yang ditulis Arman Arroisi juga berpendapat serupa mengenai asal-usul Walisongo. Karena buku ini ditulis berseri, maka setiap orang wali ditulis dalam sebuah buku khusus/tersendiri dengan buku berbentuk lebar dengan huruf dan ilustrasi gambar yang besar-besar. Pada buku yang dikhususkan kepada anak-anak ini, Sunan Ampel disebutkan berasal dari negeri Campa di Kamboja.

Singkat kata, baik buku bacaan anak-anak maupun buku bacaan orang dewasa yang menyangkut kisah Walisong dewasa ini, semuanya telah ‘memberi talak tiga’ kepada kerajaan Samudra Pasai. Padahal dalam buku “Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa”, Grafiti Pers, Jakarta, 1986, menyebutkan Sunan Ampel berasal dari Aceh. Buku yang semula berbahasa Belanda dan telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia itu, ditulis oleh dua sejarawan Belanda, DR. H. J. De Graaf dan DR. TH. G. TH. Pigeaud. Mengenai asal-usul Sunan Ampel dari  Campa, kedua sejarawan Belanda ini tidak menganggap negeri Campa yang berada di negara Kamboja, tetapi negeri Jeumpa yang terletak diwilayah Bireuen sekarang. Begitulah  ‘arus sejarah’ yang berkembang sekarang, bahwa sejarah Kerajaan Samudra Pasai “semakin tenggelam” dari jalur riwayat Walisongo di Tanah Jawa.

Kesimpulan

Kesimpulan Berdasarkan uraian di atas tentang adanya jalinan sejarah antara Kerajaan Samudra Pasai di Tanah Aceh dengan kehadiran Walisongo di Tanah Jawa, maka penulis mengambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Setelah terbentuknya Kerajaan Islam Samudra Pasai pada abad ke 13, maka dari sanalah cahaya Islam menyebar ke seluruh Nusantara dan Asia Tenggara. Perkembangan Islam itu dinakhodai oleh para Muballigh yang gigih dan sabar menyiarkan agama Islam ke kampung-kampung di Aceh, ke berbagai provinsi di Indonesia dan ke semua negara di Asia Tenggara. Kini, makam atau kuburan para juru dakwah asal Pasai itu tersebar di seluruh Asia Tenggara dan sebagian besar dalam keadaan terbengkalai, bahkan tidak dikenal lagi.

2. Salah satu bagian wilayah negara Republik Indonesia yang tidak lepas dari jangkauan sentuhan dakwah Islamiyah dari muballigh asal Kerajaan Samudra Pasai adalah pulau Jawa. Berkat strategi dakwah yang memikat yang dilakoni Walisongo, sehingga agama Islam telah berkembang di Jawa secara damai tanpa menimbulkan konflik yang berarti.

3. Akibat semakin langkanya masyarakat Jawa yang piawai membaca dan memahami naskah-naskah lama seperti Babad Tanah Jawi, Babad Cirebon, Serat Kandha, Serat Gresik, Serat Walisongo, Serat Kandhaning Ringgi Purwo, Hikayat Hasanuddin, Kitab Walisongo, Serat Majapahit lan Para Wali dan lain-lain, maka sekarang telah terjadi banyak penyimpangan yang dilakukan para penulis sejarah Walisongo di pulau Jawa. Mereka tidak menyebut lagi, bahwa sebagian besar Walisongo berasal dari Kerajaan Samudra Pasai (di Aceh) dan mengartikan Kerajaan Campa –negeri asal sebagian Walisongo– sebagai negeri Campa di Kamboja, bukan Kerajaan Jeumpa di Aceh. Sehingga mereka sekarang meyakini agama Islam yang masuk ke pulau Jawa berasal dari negara Kamboja dan Cina.

Saran dan Rekomendasi

Sebelum masalah asal-usul Walisongo dari Aceh semakin gelap, alangkah baiknya digerakkan suatu upaya untuk menelusuri kembali sejarah Wali-wali itu, mulai dari Aceh sampai ke pulau Jawa. Sebagai  rujukannya penulis mengajukan beberapa saran sebagai berikut:

1. Perlu dibuat pendataan dan pengumpulan manuskrip-manuskrip dan situs-situs sejarah Kerajaan Samudra Pasai, baik yang terdapat di kampung-kampung dalam Nanggroe Aceh Darussalam, di berbagai provinsi dalam wilayah Republik Indonesia, serta di semua negara di Asia Tenggara. Kesemua arsip dan benda budaya itu di kumpulkan dalam Museum Kerajaan Samudra Pasai yang juga perlu diwujudkan.

2. Pemda Aceh perlu menerapkan lebih serius lagi pengajaran muatan lokal di sekolah-sekolah, termasuk pelajaran membaca dan menulis huruf Arab Melayu atau Jawi alias Jawoe. Bagi calon pejabat legislatif dan eksekutif perlu diwajibkan harus mampu membaca dan menulis dalam huruf Arab Melayu atau Jawoe itu.

3. Agar dilakukan cetak ulang semua buku yang pernah mengaitkan sejarah Walisongo dengan negeri asal mereka, Kerajaan Samudra Pasai, seperti buku-buku karya Prof. Dr. Hamka, Solichin Salam, H.M. Zainuddin, Prof. A. Hasjmy, Rosihan Anwar dan lain-lain. Khusus terhadap naskah “Hikayat Raja-Raja Pasai”, mesti dicetak seperti Dewan Bahasa dan Pustaka (DBP) Malaysia telah mencetak naskah “Sejarah Melayu”, yakni serba luks.

4. Buku-buku hasil cetakan itu perlu disebarkan ke berbagai Perpustakaan sekolah dan Pustaka umum.

5. Mendesak pihak berwenang untuk  mengadakan Seminar Internasional tentang  Sejarah Walisongo, yang dilangsungkan di Lhokseumawe atau  Banda Aceh.

6. Memproduksi Film dokumenter/sinetron mengenai kisah profil Walisongo, yang isinya mengandung asal mula kehidupan sang wali di Kerajaan Samudra Pasai.

7. Guna mengenang kembali asal-usul Walisongo dari Kerajaan Samudra Pasai, maka nama para Wali itu perlu disematkan pada nama berbagai lembaga dan nama jalan yang terdapat di Aceh umumnya dan Kabupaten Aceh Utara dan Bireuen khususnya.

8. Mengajak Pemerintah Negara Republik Indonesia agar mendukung serius penulisan Sejarah Islam di Indonesia. Hal ini amat penting. Betapa tidak, sejarah penyebaran Islam di Nusantara yang bermula di Aceh lantas berkembang ke seluruh persada tanah air Indonesia, bahkan kesegenap wilayah Asia Tenggara –merupakan “benang merah” yang amat kuat yang telah merajut persatuan nasional Indonesia akibat persamaan sejarahnya. Bila benang merah ini ‘putus’, maka terganggulah persatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

9. Menghimbau Pemerintah Daerah Nanggroe Aceh Darussalam agar membantu meluruskan kembali Sejarah Walisongo tersebut. Sejarah awal perkembangan Islam di Indonesia/Asia Tenggara dimulai dari Aceh. Hal ini bukanlah dongeng, tetapi fakta sejarah. Banyak pendakwah dari Aceh berangkat ke berbagai pulau di Nusantara buat menyiarkan agama Islam merupakan fakta sejarah pula. Namun, bila sekarang kesemua “jaringan sejarah Aceh” itu telah ‘diputuskan’ orang, tentu amat merugikan citra Aceh sebagai sumber awal berkembangnya Islam di Nusantara. Apalagi bagi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang kini sedang menampilkan diri sebagai negeri Syariat Islam, dengan hilangnya jejak-jejak Islam tadi, tentu bagaikan akar Syariat Islam di Aceh telah tercerabut/tercabut pula. Padahal di masa lalu Aceh terkenal dengan gelar ‘Negeri Serambi Mekkah” yang tentunya didukung berbagai fakta sejarah di masa silam.

10. Mengajak berbagai lembaga Islam di tingkat dunia, seperti Organisasi Konferensi Islam (OKI),  Rabithah ‘Alam Islamy dan Lembaga Kebudayaan Islam lainnya untuk melestarikan kebudayaan Islam yang tersebar di seluruh dunia. Kini, yang diketahui umum hanya negara-negara atau lembaga non muslim yang telah berjasa melestarikan budaya Islam. Sementara negara-negara Islam yang kaya raya, sibuk menghabiskan dana buat bidang politik saja!

DAFTAR PUSTAKA

Budiono Hadi Sutrisno, Sejarah Walisongo –Misi Pengislaman di Tanah Jawa, Grha Pustaka, Yogyakarta, 2010.

H. J. De Graaf dan DR. TH. G. TH. Pigeaud, Kerajaan–Kerajaan Islam di Jawa–Paralihan dari Majapahit ke Mataram, Grafiti Press, Jakarta, 1983.

Hamka, Dari Perbendaharaan Lama, Penerbit Pustaka Panjimas, Jakarta, 1982.

_____, Sejarah Umat Islam, edisi baru, Pustaka Nasional PTE LTD Singapura. 2005.

M. ED. Dulaurier, Chroniques Mallayes, Hikayat Raja-raja Pasai, Paris, 1849.

M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1991.

Mohd. Kalam Daud, Sistem Penulisan Arab Melayu (Pedoman dan Solusi), Dinas Pendidikan Nasional NAD, 2006.

Slamet Mulyana, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara, LKIS, Jakarta, 2005.

Solichin Salam, Sekitar Wali Sanga, Menara Kudus, Semarang, 1974.

Teuku Ibrahim Alfian, Kronika Pasai –Sebuah Tinjauan Sejarah, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1973.

Harian Kedaulatan Rakyat dengan judul “Kerajaan Islam Samudra Pasai di TVRI” oleh: H. Rosihan Anwar, Yogyakarta, 15 Maret 1988 hlm. 4/Opini.

Harian Serambi Indonesia, Jum’at, 15 April 2011 hlm. 10/Nasional.

“TV Malaysia Telusuri Jejak Campa di Aceh”.

Syair Aceh yang berjudul “Aceh – Malaysia” karya T.A. Sakti, buletin Warta Unsyiah, edisi Mei 2009 hlm. 25. Syair ini ditulis berdasarkan penuturan narasumber Dr. Hasballah M.Saad, MA pada bulan Januari 2009. Dalam suatu laporan TVRI Jakarta beberapa bulan yang lalu juga disebutkan, bahwa masyarakat Papua pun sampai kini amat menghormati sebuah makam ulama Pasai yang ada di wilayah mereka.

________________

Catatan Kaki[+]

About admin

Check Also

Imam Madzhab yang Selalu Tolak Tawaran Jabatan Mufti

“Di antara pendiri empat madzhab fiqih yang terkenal hingga saat ini hanya Imam Abu Hanifah ...