Hidup ini bagaikan panggung sandiwara. Orang melihat orang. Ironinya yang dilihat selalu yang enak-enak, dan jarang sekali melihat yang tidak enak. Padahal yang kita rasakan dalam hidup ini tidak selalu enak. Itulah SunnahNya yang telah tersekenario sejak diciptakan-Nya alam semesta. Karena itulah orang Jawa bilang, ”hidup ini hanyalah sawang sinawang”, saling memandang orang lain lebih bahagia daripadanya. Padahal realitanya tidaklah selalu demikian. Orang yang nampaknya sengsara pun terkadang justru hidupnya lebih bahagia daripada orang yang berpangkat dan berharta. Begitupun sebaliknya.
Namun karena kita selalu saja beranggapan bahwa ”rumput di ladang orang lain selalu nampak lebih hijau”, maka kita menjadi rentan terhadap penyakit hati, baik penyakit syahwat maupun syubhat. Coba, misalnya, kalau kita sebagai seorang laki-laki selalu berpandangan bahwa istri orang lain selalu nampak lebih cantik atau lebih ’hot’ daripada istrinya, apalagi ia baru saja menjanda, maka hati kita akan selalu ’ngeres’, mengandai-andai yang bukan-bukan, dan lama-lama bisa pula berperilaku menyimpang. Dampaknya istri cemburu, dan bisa-bisa rumah tangga berantakan. Sementara ”maksud hati memeluk dia tapi apa daya tangan tak sampai”, maka tentu yang kita dapat hanyalah kekecewaan belaka, dan ujungnya pun menjadi stres. Demikian halnya ketika kita selalu beranggapan bahwa teman kita, saudara kita, dan tetangga kanan kiri kita selalu yang lebih sukses, lebih kaya, lebih enak atau lebih bahagia daripada kita, maka tentu yang kita dapat hanyalah rasa rendah diri, rasa tidak percaya diri yang disertai dengan iri hati, sirik, dengki, dan hasad.
Memang, jikalau kita melihat orang mendapat nikmat kemudian kita senang (gembira) atas kebahagiaan mereka, tentu saja tidak ada masalah, bahkan termasuk akhlak yang mulia. Tetapi bagaimana jikalau kita justru merasa tidak senang terhadap keadaan tersebut? Tentu hati merasa ’sakit’ karena merasa kalah atau dikalahkan mereka. Kemudian yang bermunculan dalam benak hanyalah bagaimana mengalahkan mereka dengan cara-cara licik dan curang, misalnya menebar gosip dan fitnah, dengan tujuan agar kebahagiaan itu berpindah kepadanya. Inilah penyakit hati yang tergolong syubhat karena tidak jelas mengapa bisa sirik, dengki, irihari, hasad atau hasud kepada mereka, padahal mereka tidak pernah berbuat jahat terhadapnya.
Karena itulah penyakit hati yang tergolong syubhat lebih berbahaya dibanding penyakit syahwat. Tidak hanya berbahaya bagi orang lain, tetapi justru lebih berbahaya pada diri sendiri. Karena dengki atau hasud adalah sumber kesengsaraan lahir batin bagi diri pendengki. Nabi Saw. bersab-da: ”Waspadalah kalian terhadap semua kedengkian, sebab kedengkian itu memakan segala kebaikan sebagaimana api melalap kayu bakar yang kering” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah).
Mengapa Nabi Saw. seakan ekstrim terhadap para pendengki? Karena hasud atau dengki itu pada intinya adalah rasa ketidaksenangan atas kebahagiaan orang lain, apalagi kebencian itu diiringi dengan tindakan yang mencelakakan orang tersebut, maka jelas ini membuktikan bahwa kebaikan apapun yang telah dilakukannya hanya bohong-bohongan belaka. Karena apapun sebutannya, yang pasti para pendengki itu pada dasarnya adalah membangun kebahagiaan diri sendiri di atas kesengsaraan orang lain. Padahal sejatinya adalah membangun kesengsaraan diri sendiri di atas kebahagiaan orang lain.
Orang pintar bilang, hidup ini adalah perjuangan, dan perjuangan butuh pengorbanan. Begitu pula dalam mengarungi lautan kehidupan ini. Kita tidak mungkin bisa hidup sendiri tanpa pergaulan, tanpa berelasi, berkongsi, dan berserikat dengan orang lain. Sementara dalam pergaulan sosial itu mesti semuanya ingin sukses meraih kebahagiaan. Karena itu banyak orang beranggapan bahwa dalam setiap pergaulan sosial mesti ada persaingan.
Padahal tidaklah selalu demikian itu. Sebab, sejatinya yang ada bukanlah persaingan melainkan berlomba untuk meraih peluang yang bernama kesuksesan dan kebahagiaan. Di sinilah keberuntungan bagi orang-orang yang memiliki banyak potensi kebaikan dan hati yang waras (qalbun salim), maka ia akan segera dapat meraih kesuksesan dan kebahagiaan itu (Qs. al Mu’minûn 23), bahkan selalu bertambah karena Allah akan selalu menambahkan kebahagiaan pada kesuksesannya (Qs. asy Syûra 42).
Sebaliknya orang-orang yang lepas kontrol dalam menyikapinya, baik karena kebodohannya tidak mengenali potensi dirinya atau karena perangai jahat yang terpupuk oleh sifat-sifat buruk dalam hatinya, maka kegagalanlah yang selalu menghampiri dirinya. Sementara kebahagiaan sejati tak dapat diraihnya kecuali kepuasan sesaat karena merasa berhasil dapat mencundangi orang lain yang dianggap menjadi pesaingnya. Namun setelah itu, kegalauan pikiran dan kegoncangan jiwa yang diiringi dengan munculnya komplikasi berbagai macam penyakit (jiwa, hati dan fisik) yang mesti diperolehnya. Allah Swt. berfirman: ”Dan orang-orang yang mengerjakan kejahatan (kedengkian, hasud) mesti mendapat balasan yang setimpal dan mereka diliputi kehinaan” (Qs. Yunus 27).
Oleh sebab itulah jika kita selalu beranggapan bahwa ”rumput di ladang orang lain selalu nampak lebih hijau” dan tidak pula menyadari bahwa hidup ini hanya sekedar ’sawang sinawang’, maka dalam diri kita akan dipenuhi oleh ’virus-virus’ penyakit hati yang menurut siapapun dan ditinjau dari sudut manapun pasti tiada positifnya. Dan oleh sebab itu pula Islam melarang keras dan menganggap sangat berbahaya tidak hanya terhadap orang lain tetapi juga terhadap dirinya sendiri.
Sadarilah bahwa siapapun tidak akan bisa meraih kesuksesan dan kebahagiaan sejati tanpa hati yang waras (qalbun salim), sebab semua jenis penyakit hati adalah pangkal segala kegagalan dan kesengsaraan dunia dan akhirat. Ia adalah virus-virus benalu yang siap melalap habis segala kebahagiaan. Untuk itulah, kita dianjurkan untuk memohon perlindungan Allah sebagaimana dalam Qs. al Falaq 1-5, yaitu perlindungan dari segala bentuk kejahatan makhlukNya, kejahatan malam bila gelap gulita, dan kejahatan wanita-wanita tukang sihir, serta kejahatan para pendengki.** Wallahu a’lam bish shawab.
Oleh : H. Asmuni Syukir
- Jombang, 20 November 2012, Majelis Ta’lim & Bengkel Hati Al-Qolam
- Artikel ini pernah dipublikasikan dalam Buletin Al-Qolam