Oleh: H. Derajat
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
Bismillâhirrahmânirrahîm
Wasshalâtu wassalâmu ‘alâ Muhammadin wa âlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘âmmati wal-hidâyatit tâmmah, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn“.
Saudaraku yang dikasihi Allah, Mursyid kami dalam menjalankan Tarekat Syatthariyyah maupun Qadiriyyah pernah memberikan amanah penting untuk kita genggam erat dalam kehidupan ini:
“Pada saat kamu di dalam kandungan ibumu, siapa yang memberikanmu asupan makanan? Apakah kamu bergantung pada dayamu, dinar-dirhammu, laba penjualanmu, atau penguasa di negerimu?” Kata Syaikh Abdul Qadir (Al-Jailani, 2005 M/1425-1426 H: 99).
Beliau juga pernah mengatakan sesuatu yang sangat memukul Qalbu kita untuk selalu hati-hati dalam menjalankan kehidupan ini : “Semua pihak yang kamu jadikan sandaran adalah tuhanmu. Semua pihak yang kamu takuti dan harapkan adalah tuhanmu. Semua pihak yang kamu anggap dapat memberikan manfaat dan mudharat juga adalah tuhanmu”.
Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani menganjurkan mereka untuk bertobat dari kemusyrikan seperti ini sebelum Allah menutup pintu semua makhluk-Nya untuk mereka. “Kemusyrikan seperti ini yang kusaksikan hinggap pada banyak orang, paling umum menghinggapi mereka yang bermaksiat”.
Jasadnya memang sudah terkubur lebih dari delapan abad. Namun nama dan tauladan hidupnya tetap membekas kuat di kalangan umat Islam. Dialah Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, ulama sufi kelahiran Persia yang kemasyhurannya setingkat dunia.
Syaikh Abdul Qadir terkenal sebagai pribadi yang teguh dalam berprinsip, sang pencari sejati, dan penyuara kebenaran kepada siapapun, dan dengan resiko apapun. Usianya dihabiskan untuk menekuni jalan tasawuf, hingga ia mengalami pengalaman spiritual dahsyat yang mempengaruhi keseluruhan hidupnya. Jejak Syaikh Abdul Qadir juga dijumpai dalam belasan karya orisinalnya.
Selain mewarisi banyak karya tulisan, Syaikh Abdul Qadir meninggalkan beberapa buah nasehat menjelang kewafatannya. Akhir hayat Syaikh didahului dengan kondisi kesehatannya yang terus menurun. Kala itu putra-putranya menghampiri dan mengajukan sejumlah pertanyaan.
”Berilah aku wasiat, wahai ayahku. Apa yang harus aku kerjakan sepeninggal ayah nanti?” Tanya putra sulungnya, Abdul Wahab.
”Engkau harus senantiasa bertaqwa kepada Allah. Jangan takut kepada siapapun, kecuali Allah. Setiap kebutuhan mintalah kepada-Nya. Jangan berpegang selain kepada tali-Nya. Carilah segalanya dari Allah,” jawab sang ayah.
”Aku diumpamakan seperti batang yang tanpa kulit,” sambung Syaikh Abdul Qadir. ”Menjauhlah kalian dari sisiku sebab yang bersamamu itu hanyalah tubuh lahiriah saja, sementara selain kalian, aku bersama dengan batinku”.
Putra lainnya, Abdul Azis, bertanya tentang keadaannya. ”Jangan bertanya tentang apapun dan siapapun kepadaku. Aku sedang kembali dalam ilmu Allah”, sahut Syaikh Abdul Qadir.
Ketika ditanya Abdul Jabar, putranya yang lain, ”Apakah yang dapat ayahanda rasakan dari tubuh ayahanda?” Syaikh Abdul Qadir menjawab, ”Seluruh anggota tubuhku terasa sakit kecuali hatiku. Bagaimana ia dapat sakit, sedang ia benar-benar bersama dengan Allah.”
”Mintalah tolong kepada Tuhan yang tiada tuhan yang wajib disembah kecuali Dia. Dialah Dzat yang hidup, tidak akan mati, tidak pernah takut karena kehilangannya”. Kematian pun segera menghampiri Syaikh Abdul Qadir.
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani menghembuskan nafas terakhir di Baghdad, Sabtu ba’da Maghrib, 9 Rabi’ul Akhir 561 H., atau 15 Januari 1166 M, pada usia 89 tahun. Dunia berduka atas kepulangannya, tapi generasi penerus hingga sekarang tetap setia melanjutkan ajaran dan perjuangannya.
Akhîrul kalãm, aku tutup risalah ini dengan do’a Tuan Syaikh Abdul Qadir Jailani:
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
رَبِّ اِنِّي مَغْلُوْبٌ فَانْتَصِرْ، وَاجْبُرْ قَلْبِي الْمُنْكَسِرِ، وَاجْمَعْ شَمْلِي الْمُنْدَثِرِ، اِنَّكَ أَنْتَ الرَّحْمٰنُ الْمُقْتَدِرُ، إِكْفِنِي يَا كَافِي وَأَنَا الْعَبْدُ الْمُفْتَقِرُ، وَكَفَى بِاللّٰهِ وَلِيًّا، وَكَفَى بِاللّٰهِ نَصِيْرًا، إِنَّ الشِرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيْمٌ، وَمَا اللّٰهُ يُرِيْدُ ظُلْمًا لِلْعِبَادِ، فَقُطِعَ دَابِرَالْقَوْمِ الَّذِيْنَ ظَلَمُوْا، وَالْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنِ
Rabbi innî maghlûbun fantashir, wajbur qalbil munkasir, wajma’ syamlil mundatsir, innaka antar rahmãnul muqtadir, ikfinî yã kãfî wa anal ‘abdul muftaqir, wa kafã billãhi waliyyã, wa kafã billãhi nashîrã, innasy syirka ladzhulmun ‘adzhîm, wa mallãhu yurîdu dzhulmal lil ‘ibãd, fa quthi’a dãbiral qãumil ladzîna dzhalamû, wal hamdu lillãhi rabbil ‘ãlamîn._
“Wahai Yang Mahakuasa, saya sudah kalah (kalah oleh badan dan nafsuku hingga tak bisa terus-menerus berdzikir dan mendekat kepada-Mu) maka berilah pertolongan, maka hiburlah hati yang telah hancur ini (Maka padukanlah kemuliaan dan kesempurnaan yang telah terselubung, sungguh Engkau Yang Maha Pengasih dan Maha Menentukan)”.
“Cukupkanlah bagiku (cukupilah segala kebutuhanku) dan aku adalah Hamba yang sangat membutuhkan uluran bantuan-Mu dan cukuplah sudah Yang Mahakuasa sebagai yang diandalkan, dan cukuplah sudah Yang Mahakuasa sebagai Penolong (Sungguh menduakan Yang Mahakuasa ialah kejahatan yang besar, dan tiadalah menginginkan kejahatan dan kegelapan bagi hamba hamba-Nya) (Maka terputuslah segala tipu daya dan upaya mereka yang berbuat kejahatan, dan segala puji bagi Tuhan sekalian alam”.
Wallãhu A’lamu bish-Shawãb