“Kesesatan (Dzhulumãt) itu berbilang banyaknya, tetapi cahaya itu hanya satu. Dan cahaya (Nûr) itu menjadi petunjuk (al-hudá) dalam kehidupan manusia, agar ia selamat dalam perjalanannya.”
Oleh: KH. Ahmad Nurul Huda*
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
Bismillãhirrahmãnirrahîm
Wasshalãtu wassalãmu ‘alã Muhammadin wa ãlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inãyatil ‘ãmmati wal-hidãyatit tãmmah, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn“.
Setiap manusia dibekali dua potensi dalam kehidupannya. Potensi untuk ta’at dan potensi untuk sesat. Beruntunglah setiap manusia yang membersihkan jiwanya dan merugilah sesiapa yang mengotorinya.
وَنَفْسٍ وَّمَا سَوّٰىهَاۖ ۞ فَاَلْهَمَهَا فُجُوْرَهَا وَتَقْوٰىهَاۖ ۞ قَدْ اَفْلَحَ مَنْ زَكّٰىهَاۖ ۞ وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسّٰىهَاۗ ۞
“Dan demi jiwa serta penyempurnaannya. Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu. Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (QS. Asy-Syams [91]: 7-10).
Sesungguhnya, Allah sedang membuat peta untuk kita, agar kehidupan ini dapat kita lalui dengan selamat, karenanya selalu diingatkan, bahwa dalam kehidupan kita terbentang dua jalan; jalan kebaikan dan jalan keburukan, manakah di antara dua jalan itu yang kita ambil.
وَهَدَيْنٰهُ النَّجْدَيْنِۙ ۞
“Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan (kebajikan dan kejahatan).” (QS. [90]: 10)
Potensi ta’at dan sesat seperti yang Allah jelaskan dalam surat As-Syams di atas dalam kehidupan manusia bekerja secara halus, terkadang sulit bagi kita mengenalinya, karena itu sifat keduanya diilhamkan, sebuah istilah yang sangat personal dan subjektif.
Tak ada satupun manusia di dunia ini yang berhak menge-djuge orang lain telah melakukan keta’atan atau terjerumus dalam kesesatan. Manusia hanya dapat melihat yang tampak (lahiriyah) dan Allah menilai dari yang tidak tampak (batiniyah). Sebagaimana ungkapan Nabi Muhammad dalam sabdanya, Dari Abu Hurairah RA, dia berkata: Rasulullah SAW bersabda:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ، قَالَ رَسُوْلُ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ اللّٰهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوْبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ
“Sesungguhnya Allah tidak melihat pada bentuk rupa dan harta kalian. Akan tetapi, Allah hanyalah melihat pada hati dan amalan kalian.” (HR. Muslim no. 2564).
Karenanya, derajat kemuliaan seseorang tidak dinilai dari tampak lahir, siapa dan dari golongan mana, hanya ketakwaan yang membedakannya.
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ ۞
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujurãt [49]: 13)
Oleh karena pada dua jalan yang terbentang itu (keta’atan dan kesesatan), kita dipersilahkan memilih, maka semesta ujian pun menyertai. Ujian ini bersifat mengikat, ia merupakan proses yang berkelanjutan dan tidak segera selesai hingga kematian tiba.
كُلُّ نَفْسٍ ذَاۤىِٕقَةُ الْمَوْتِۗ وَنَبْلُوْكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً ۗوَاِلَيْنَا تُرْجَعُوْنَ ۞
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.” (QS. Al-Anbiyã’ [21]: 35)
Tuhan tidak menilai pada berapa banyak amal yang kita lakukan (kuantitas) tetapi seberapa besar mutu amaliyah kita (kualitas).
ۨالَّذِيْ خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيٰوةَ لِيَبْلُوَكُمْ اَيُّكُمْ اَحْسَنُ عَمَلًاۗ وَهُوَ الْعَزِيْزُ الْغَفُوْرُۙ ۞
“Dia yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Al-Mulk [67]: 2)
Lalu apakah alat yang dapat mendeteksi dan sekaligus meng-guide keselamatan hidup kita? Tidak ada lain, dialah hati atau yang sering disebut dengan berbagai macam istilah; shadr, qalb, fuad, lubb dan ‘aql. Salah satu istilah yang kerap digunakan adalah Qalb yang diartikan sebagai Hati. Qalb itu secara generik berasal dari kata Qalaba yang artinya bolak-balik, karenanya ia butuh penerang, butuh cahaya agar menjadi tetap dan konsisten.
Hati yang bercahaya itu disebut Nurani, terletak pada bagian paling dalam, karena bagian luar hati itu masih mudah ditembus oleh setan yang sering membisikkan keraguan, kegelisahan dan kesesatan, hati bagian luar (dada) itu disebut ash-shadr, Hati bagian luar ini bisa “bolak-balik” sebab, kadangkala ia menerima bisikan malaikat, kadangkala bisikan setan, kadangkala bisikan nafsunya sendiri.
ۨمِنْ شَرِّ الْوَسْوَاسِ ەۙ الْخَنَّاسِۖ ۞ الَّذِيْ يُوَسْوِسُ فِيْ صُدُوْرِ النَّاسِۙ ۞ مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ ࣖ ۞
“Dari kejahatan (bisikan) syaitan yang biasa bersembunyi. Yang membisikkan (kejahatan) ke dalam dada manusia. Dari (golongan) jin dan manusia.” (QS. An-Nãs [114]: 4-6)
Secara intuitif, pembinaan suara hati bekerja sangat subjektif, pengalaman hati ini tak bisa dijadikan ukuran general, ini persis seperti kisah Nabi Musa dan Orang Sholeh yang sering disebut sebagai Nabi Khidir. Meskipun keduanya dikaruniai maqam kenabian, namun pengalaman spiritual keduanya berbeda satu sama lain. Itu mengapa selalu ada makna esoterik (hakikat) dalam setiap bangunan eksoterik (syari’at). Nurani atau cahaya hati sangat dibutuhkan agar setiap manusia bisa kembali kepada fitrahnya.
Ketika menjalani proses haji ada dorongan besar untuk mengembalikan kita kepada kesucian (fitrah). Kesucian inilah yang disebut sebagai kesadaran primordial sehingga orang mengenali maksud dan kehendak Tuhan dalam seluruh penciptaan-Nya, baik penciptaan fisik (semesta raya dan isinya) maupun penciptaan hikmah (setiap detail peristiwa yang melintas dalam kehidupan kita).
ۨفَاَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّيْنِ حَنِيْفًاۗ فِطْرَتَ اللّٰهِ الَّتِيْ فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَاۗ لَا تَبْدِيْلَ لِخَلْقِ اللّٰهِ ۗذٰلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُۙ وَلٰكِنَّ اَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُوْنَۙ ۞
“Maka hadapkanlah wajahmu benar-benar kepada agama; menurut fitrah Allah yang atas pola itu Ia menciptakan manusia. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah, itulah agama yang baku; tetapi kebanyakan manusia tidak tahu.” (QS. Ar-Rûm [30]: 30)
Untuk mampu menghadirkan Nurani, kita diharuskan keluar dari kegelapan yang mengganggu. Kegelapan dalam bahasa Arab disebut Dzhulmun, yang juga diartikan sebagai dosa. Orang yang berbuat dosa disebut Dzhãlim yang artinya hatinya diliputi kegelapan. Bila seluruh permukaan hati diliputi kegelapan ia kesulitan mendapat cahaya, suara jernih Nurani akan terganggu, maka ia harus dikeluarkan lewat jalan-jalan spiritual seperti berpuasa. Puasa hanyalah salah satu metode untuk dapat mengundang kembali suara hati (Nurani) yang telah tertutup oleh kegelapan (Dzhulmãniy).
ۨاَللّٰهُ وَلِيُّ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا يُخْرِجُهُمْ مِّنَ الظُّلُمٰتِ اِلَى النُّوْرِۗ … ۞
Allãhu waliyyul ladzîna ãmanû yukhrijuhum minadzh dzhulumãti ilan nûr…
“Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kesesatan) kepada cahaya (petunjuk).” (QS. Al-Baqarah [2]: 257)
Perhatikanlah kata Dzhulumât yang disebut dalam bentuk plural (jama’) dan kata Nûr yang disebut dalam bentuk tunggal (mufrad). Itu mengindikasikan bahwa kesesatan itu berbilang banyaknya, tetapi cahaya itu hanya satu. Dan cahaya (Nûr) itu menjadi petunjuk (al-hudá) dalam kehidupan manusia, agar ia selamat dalam perjalanannya.
Saat Nurani tidak lagi ditutupi kegelapan (dzhulmãniy), pada titik itulah setiap manusia akan mudah untuk saling memaafkan sampai tingkat lahir dan batin. Bila masih ada kegelapan yang mengganggu, boleh jadi ungkapan maaf memaafkan hanya akan sebatas lisan.
Wallãhu A’lamu bish-Shawãb.
______________
* Penulis adalah Wakil Sekretaris Lembaga Dakwah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LD PBNU)
* Source: NU Online