Home / Agama / Kajian / Istighfar Kanjeng Sunan Kalijaga

Istighfar Kanjeng Sunan Kalijaga

Oleh: H. Derajat

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ

Bismillâhirrahmânirrahîm
Wasshalâtu wassalâmu ‘alâ Muhammadin wa âlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inâyatil ‘âmmati wal-hidâyatit tâmmah, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn.

“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, âmîn yâ Rabbal ‘âlamîn”.

Saudaraku yang terkasih, Kanjeng Sunan Kalijaga adalah salah seorang dari Sembilan Wali (Wali Songo) di Tanah Jawa. Sosoknya menampilkan seorang yang unik dalam meramu ajaran Islam yang dikombinasi dengan ajaran adiluhung masyarakat Jawa.

Ekspresi spiritualnya yang menjelaskan tentang perjalanan spiritualnya sendiri atau yang berupa petuah-petuah dakwahnya tidak sedikit digoreskan dalam bentuk sya’ir, kidung, atau suluk. Istilah suluk dalam hal ini adalah istilah Jawa yang sudah ditranskripsi menjadi bentuk sya’ir, jadi bukan semata-mata sekedar istilah sufistik Timur Tengah.

Baiklah saudaraku, langsung saja kita masuk ke materi kajian tentang “Istighfar Kanjeng Sunan Kalijaga”. Istighfar ini sangat unik dan tidak umum. Ia menjadi sebuah kalimat yang bertuah dan memiliki “Rahsa Ketuhanan” yang tinggi. Ia menjadi sebuah amalan yang punya nilai magis dan mengandung rahasia yang sangat dalam.

Bahwa ketidak-umuman itu terletak pada; pertama, tata bahasa yang tidak mudah di-i’râb, yakni sulit ditentukan subjek dan predikatnya. Karena dhamîr (kata ganti)nya terdapat dua; anâ (aku) dan nahnu (kami), yang keduanya itu sebenarnya merujuk ke satu diri. Meskipun jika kita telaah secara general, maksud dan isi dari kalimatnya bisa kita pahami.

Ketidak-umuman yang kedua terletak pada jenis Istighfar (permohonan ampunan) yang digandeng dengan ‘sesuatu’ yang tidak umum. Ada pertalian yang kuat antara kata “Yâ Rabbî” dengan kata-kata ‘Afwan, Ridhâ’an dan Rahmatan, yang itu semua dihimpun sebagai “sesuatu”, lalu dihubungkan dengan kata Rûhan di akhir kalimat.

Baiklah, coba kita bongkar rahasia-rahasia yang terkandung pada kalimat Istighfar tersebut. Saya tidak akan terjemahkan secara langsung kalimat itu menjadi sebuah kalimat utuh, akan tetapi melalui perincian setiap kata, yang nanti akan kita rangkai menjadi sebuah pemahaman yang utuh.

Lafadz Istighfar Kanjeng Sunan Kalijaga itu berbunyi:

أَسْتَغْفِرُ اللّٰهَ وَنَدْعُوْهُ أَشْيَآءَ يَا رَبِّي عَفْوًا وَرِضَآءً وَرَحْمَةً هَبْنَا وَهَبْ كُلَّ عُصَاةِ الْأُمَّةِ وَتُبْ عَلَيْنَا تَوْبَةً نَصُوْحًا وَزَكِّنَا جِسْمًا بِهَا وَرُوْحًا

Astaghfirullâh wa nad’ûhu asy-yâ’a yâ rabbi, ‘afwan wa ridhâ’an wa rahmatan habnâ wa hab kulla ‘ushâtil ummah, wa tub ‘alainâ taubatan nashûhâ, wa zakkinâ jisman bihâ wa rûhâ.

Jika diterjemahkan, kalimat itu dapat kita bagi menjadi beberapa kelompok:

  1. Permohonan ampunan kepada Allah SWT, yang terhimpun pada kalimat (Astaghfirullâh).
  2. Permohonan “segala sesuatu” yang dinisbahkan pada Rabb (wa nad’ûhu asy-yâ’a yâ rabbî).
  3. Pernyataan keberlimpahan akan sifat-sifat Ma’af, Ridha, dan Rahmat untuk diri (‘afwan wa ridhâ’an wa rahmatan habnâ).
  4. Pernyataan keberlimpahan akan sifat-sifat Ma’af, Ridha, dan Rahmat untuk umat yang berdosa (wa hab kulla ‘ushâtil ummah).
  5. Pernyataan akan kembalinya seluruh atribut umat yang berdosa kepada kesucian (wa tub ‘alainâ taubatan nashûhâ).
  6. Proses penyucian jasmani yang terdiri dari seluruh anggota tubuh yang disebutnya sebagai umat yang berdosa (wa zakkinâ jisman bihâ). Kalimat “bihâ” merujuk kepada (râji’un ilâ) umat yang bermaksiat (‘ushâtil ummah) yang disucikan oleh atribut-atribut Ruh Idhafi yang terdiri dari sifat-sifat ma’af, ridha dan rahmat.
  7. Penegasan akan nyatanya Ruh Idhâfi (wa rûhân).

Baiklah, kita jelaskan satu persatu kalimat tersebut. Bahwa kalimat permohonan ampunan itu merupakan wilayah sendiri karena ia berdhamîr anâ (aku). Namun ketika merujuk kepada permohonan akan ‘segala sesuatu’ (sifat-sifat ma’af, ridha dan rahmat) yang dikaitkan pada sifat Ruh Idhâfi, ia berdhamîr nahnu (kami).

Bahwa Kangjeng Sunan Kalijaga setelah memohon ampun kepada Allah, beliau memanggil-Nya untuk bertajalli pada dirinya hingga berada pada kesucian Ruh Idhâfi, yang inisalnya berada pada akhir kalimat Rûhân. Nah, proses untuk mencapai itu Rabb-lah yang berperan.

Pengertian pada paragraf di atas itu adalah uraian yang terhimpun dalam kalimat; Astaghfirullâh wa nad’ûhu asy-yâ’a yâ rabbî. Rabb adalah bentuk imanensi Allah SWT. Ia adalah puncak tertinggi Nama Allah (al-Asma al-Husna) dalam kaitannya dengan seluruh keaneka-ragaman alam semesta, termasuk manusia.

Karena itu, setelah memohon ampunan, beliau memohon ‘segala sesuatu’ melalui Rabb. Segala sesuatu ditunjukkan dengan kata “asy-yâ’a” (bentuk jamak dari syai’un). Memanggil Allah dengan kalimat “nad’ûhu” (dhamîr “hû” merujuk kepada Allah SWT) tapi bersambung dengan Rabb melalui kalimat “Yâ Rabbî”. Subyek yang memanggil itu sudah menggunakan dhamîr ‘kami’ (nahnu). Artinya, beliau memberikan pesan akan kepenyertaan seluruh atribut dirinya kepada Rabb.

Nah, setelah seluruh atribut dirinya ‘masuk’ dan bersama Rabb, maka beliau membuat sebuah pernyataan bahwa “sifat ma’af, ridha dan rahmat” terlimpah kepada dirinya dan seluruh umat (seluruh anggota tubuh) yang berdosa, sekaligus juga menyatakan bahwa seluruh umat yang berdosa itu sudah berada pada keadaan yang Kembali (taubatan nashûhâ). Saat itulah proses kemunculan Ruh Idhafi terjadi.

Jadi, sifat ma’af, ridha, dan rahmat yang menjadi atribut Ruh Idhafi -entitas yang sudah disandarkan pada Rabb melalui kalimat “Yâ Rabbî”, telah terjelmakan pada diri Kanjeng Sunan, lalu Ia (Ruh Idhafi) mengembalikan seluruh umat yang berdosa (atribut jasmani) kepada kesuciannya sehingga akhirnya ia bersinergi dengan kesucian Ruh Idhafi. Itulah pengertian dari kata terakhir Rûhân, inisial dari kata Ruh Idhafi. Kata rûhan pada akhir kalimat bukan berposisi sebagai ‘athaf (yang mengikuti) kata jisman. Mengapa? Karena rûhan itu sudah suci pada dirinya, sedangkan jisman beserta atribut-atribut ‘umatnya’ yang ‘ushât (berdosa) harus melalui proses penyucian dulu (zakkinâ) sebelum menjadi suci. Rûhan itu adalah sebuah kata yang dinisbahkan kepadanya sifat-sifat ma’af, ridha dan rahmat yang dimohonkan oleh Kanjeng Sunan sebagaimana tersebut pada point kedua di atas, dan terhimpun dalam kata asy-yâ’a.

Model penyucian atribut-atribut jasmani di atas itu sama persis dengan proses penyucian oleh Kanjeng Nabi SAW kepada seseorang yang dipungut hartanya sebagai zakat ketika beliau diperintahkan oleh Allah SWT dengan kalimat:

خُذْ مِنْ أَمْوَٰلِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِم بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ ۖ إِنَّ صَلَوٰتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْ ۗ وَٱللّٰهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ ۞

Khudz min amwâlihim shadaqatan tuthahhiruhum wa tuzakkîhim bihâ wa shalli ‘alaihim, inna shalâtaka sakanul lahum, wallâhu samî’un ‘alîm.

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (QS. Al-Taubah: 103)

Perhatikanlah, dalam ayat tersebut kalimat “tuzakkîhim bihâ” sama dengan kalimat “wa zakkinâ jisman bihâ“. Pada kalimat “tuzakkîhim bihâ” bermakna “engkau sucikan mereka dengannya (nya = pungutan sebagian harta mereka)”, sedangkan pada kalimat “wa zakkinâ jisman bihâ” bermakna “sucikanlah jasmani kami dengannya (nya = atribut-atribut Ruh Idhafi yang terdiri dari sifat-sifat ma’af, ridha dan rahmat). Singkatnya, Ruh Idhafi-lah yang menyucikan sesuatu yang kotor dari prilaku jasad, baik model penyucian yang dilakukan oleh Kanjeng Nabi SAW maupun oleh Kanjeng Sunan RQA (Rahimahullâhu wa Qaddasahu ‘Alaih).

Dengan demikian, Istighfar Kanjeng Sunan Kalijaga ini adalah sebuah asketisme sufistik yang dalam istilah tasawwufnya disebut dengan dzawq. Kalimatnya bukan sembarang kalimat Istighfar.

Setelah berada pada tingkat “penyatuan” paripurna melalui Istighfar, lalu beliau menyatakan diri sebagai perwujudan Ruh Idhafi. Ternyata kalimat istighfar tadi adalah semacam “wudhu” untuk masuk kepada kesucian Ruh Idhafi. Penegasan beliau setelah “berwudhu” (dengan kalimat istighfar) tadi berbunyi;

“Badanku Badan Rohani kang sifat langgeng wasesa kang suksma purba wasesa ku mebul tanpa geni wangi tanpa ganda, Aku sejatine Roh Sekalir, Roh Sekalir teka nembah lunga nembah, wong saketi pada mati wong saleksa pada wuta wong sewu pada turu, among Aku ora turu Pinangeran yitna kabeh”.

Wallâhu A’lam bish-Shawâb.

About admin

Check Also

Wirid Sakran

“Thariqah Ba’alawiy sudah biasa mengamalkan di dalam kehidupan sehari-hari”. Oleh: H. Derajat Asysyathari* بِسْمِ اللّٰهِ ...