Islam dan Perilaku Ummat Islam?
Apa itu Islam? Pertanyaan ini cukup sulit bila ingin dijawab secara sosiologis, empiris dan antropologis. Islam secara sederhana adalah agama yang dianut oleh orang-orang Muslim. Lalu apa seorang Muslim itu? Seorang Muslim semata-mata adalah orang yang menyebut dirinya sendiri Muslim. Secara konsepsional dibuktikan dengan syahadat (walaupun disini tetap saja tidak memberikan artian apa-apa kalau dia Munafik). Munafik adalah terminologi bahwa secara lahiriyah dia Islam padahal sejatinya tidak.
Islam dalam artian yang kongktret sulit didefinisikan bahkan mungkin itu tidak ada. Sebab eksistensinya bergantung kepada orang-orang yang mengakuinya. Mulai dari Ulama, Politisi, Penulis, Ilmuwan, Penyair dan lain sebagainya (yang mengatakan dirinya Islam) dan itu berubah-ubah dari perkataan-perkataan mereka dan juga perbuatannya. Hari ini orang tertentu dan yang lain bisa mengatakan wanita tidak boleh menjadi pemimpin, ke depan mungkin berkata boleh. Hari ini mengatakan pemimpin kafir tidak boleh menjadi pimpinan, tetapi diwaktu tertentu mengatakan boleh (dengan kondisi dan situasi yang kadang sulit dikatakan berbeda).
Walaupun disepakati bahwa Al Qur’an semua ummat Islam sama, tetapi bagaimana memaknainya sangat bervariasi dan tidak ada kesepakatan. Apalagi Hadist yang ditulis agak cukup lama sepeninggal Rasul Muhammad saw. Beberapa intelektual Islam bahkan mengemukakan argumentasi bahwa teks hadis sudah sedemikian diselewengkan sehingga tak ada yang dapat benar-benar bisa diyakini, walaupun tetap dijadikan rujukan melihat tradisi apa yang dilakukan oleh Rasul Muhammad saw sebagai “wakil Tuhan dibumi.”
Teks Hadist telah banyak diteliti oleh para ahli selama berabad-abad, dengan tujuan untuk menyaring catatan asli perkataan dan perbuatan Nabi dari penambahan dan kesalah-tanggapan yang datang sesudahnya. Pada abad ketiga setelah Nabi Muhammad saw (abad kesembilan Masehi), enam kumpulan hadis telah dibuat yang “diterima sebagai sumber ajaran Islam kedua yang sah” di samping Al-Quran (versi Ahl Sunnah). Teks ini terjadi kesimpang siuran apakah awalnya sudah ditulis atau awalnya hanya merupakan kumpulan hadis yang pada mulanya muncul dalam bentuk lisan, yang dijaga keasliannya oleh sejumlah penyebar yang turun-temurun, dengan sanad-sanad dalam hadist. Saya pribadi dengan banyak bukti melihat bahwa walaupun ada pelarangan penulisan hadist tetapi penulisan itu tetap terjaga dan dilakukan sejak awal-awal Islam. (Lihat Rasul Ja’farian dan M.M Azami tentang penulisan Hadist).
Banyak diskusi antar intelektual muslim dimana dalam berdiskusi dan membuktikan, mereka mengutip hadis yang berlainan untuk saling membuktikan kesalahan satu sama lain. Masing-masing menyatakan bahwa hadis yang digunakan oleh lawan debatnya “lemah”. Ini semua salah satunya disebabkan oleh penelitian tentang orang-orang yang meriwayatkan hadist (Rijal hadist).
Tidak jarang bahkan sangat banyak ditemukan, hadist X setelah diteliti oleh orang Y, dianggap lemah, karena ada faktor orang bernama ‘r’ dalam susunan sanad hadist itu. Sementara hadist X diteliti oleh orang Z dianggap kuat, walapun ada faktor orang bernama ‘r’. Orang bernama ‘r’ itu tidak disepakati apakah baik atai jelek. Menurut Y (jelek), menurut Z (baik).
Al-Quran diturunkan dalam bahasa Arab dan sesuai dengan kondisi sosial dan kemasyarakatan saat itu. “Lihatlah, Kami telah menurunkan Al-Quran dalam bahasa Arab, agar dapat kamu pahami.” Tetapi dengan berkembangnya masyarakat, masalah-masalah yang dihadapi akan berubah, dan bahasa pun berkembang.
Dengan perkembangan zaman, dengan kekuatan yang mengglobal berhubungan dengan masyarakat internasional, kekuasaan imperium Arab-Islam. Maka persoalan yang dihadapi berubah, konsep kebudayaan dan bahasapun mengalami perkembangan sehingga Al-Qur’an yang dipahami awal mengalami kesulitasn dan perlu penafsiran dan penjelasan makna dan konteks.
Dan ini mengakibatkan Islam atau wajah Islam beraneka ragam, sesuai pemahaman, perkembangan sosial budaya, politik dan juga konteks situasi. Akibatnya “jika kita memandang Islam adalah apa yang dikatakan dan dilaksanakan oleh orang-orang Muslim,” maka kita bisa akan berkesimpulan bahwa Islam itu tidak satu tetapi banyak. Sebab kita mendapati begitu banyak ragam dan praktek dalam Islam.
Sekadar contoh menarik Ayat tentang Perbudakan dan Poligami. Ayat ini sangat progresif dan maju serta baik bila kita memandangnya saat diturunkan di negeri Arab. Dimana perbudakan legal, perkawinan seenaknya dan banyak hal lainnya. Ayat-ayat ini memberikan batasan, tanggungjawab serta aturan main dalam perbudakan dan perkawinan. Apakah ayat-ayat tersebut seprogresif itu ditinjau sekarang ini? Demikian juga masalah alkohol, cadar/hijan syar’I, riba dan lainnya. (Lihat : Edward Mortimmer, Faith and Power: The Politic aof Islam)
Banyak penafsiran tentang ini dan semuanya ‘sah’ (memiliki argumentasi cukup) dalam mengemukakan pendapat. Penafsiran mana pun mula-mula bergantung kepada penyusunan kembali dari konteks aslinya, dan kemudian pada penetapan seberapa jauh konteks tersebut dapat diterapkan pada keadaan orang itu sendiri saat ini. Karenanya kita tidak perlu heran mendapati adanya berbagai hukum perkawinan atau lainnya yang beriainan yang dilaksanakan di negeri-negeri Muslim, yang sebagian besar di antaranya dikatakan telah direncanakan sesuai dengan Al-Quran dan Sunnah.
Walaupun Alqur’an dan Islam lebih mudah menerima berbagai perubahan dibandingkan agama lain, tetapi sebagiannya menyamakan agama dengan kebiasaan di satu masa tertentu dan mengutuk perubahan sebagai tindakan pelanggaran terhadap agama dan itu tidak aneh lagi di kalangan orang-orang Muslim.
Islam adalah agama yang mempercayai Integralisme, holistik sehingga berbeda dengan Kristen yang puas dengan pemisahan Agama dan Politik. Islam secara umum tidak ada pemisahan itu. Karenanya tradisionalisme agama bukan merupakan sesuatu yang hanya aneh di dunia Muslim. Itu, dapat dikatakan, suatu mekanisme pertahanan yang ‘alamiah’, yang timbul karena adanya ancaman budaya. Apalagi Islam yang tidak hanya berharap membantu manusia lainnya tetapi juga membentuk tatanan masyarakat islami.
Dunia Islam cukup terancam dengan permainan global ini. Persaingan budaya, perdagangan, sosial-politik bahkan hegemoni dan penjajahan. Gejala dari perasaan terancam dan sebab-sebabnya perlu dipahami mengapa kelompok tradisonalisme banyak bangkit didunia Islam. Bahkan negara Petrodollar yang kaya raya-pun tidak lepas dari ancaman itu. Bagi sebagian besar orang Muslim, petrodollar itu hampir bisa disamakan dengan karcis untuk mengikuti permainan monopoli yang telah dirancang oleh para penguasa Barat demi kesenangan mereka sendiri, dan hanya sedikit sekali kekayaan itu memberi pengaruh pada standar kehidupan dan pendidikan orang-orang Muslim kebanyakan.
Kita melihat bahwa pemikir-pemikir Islam memberikan kontribusi menjawab tantangan-tantangan itu dan juga segala ancamannya. Afghani, Rasyid Ridha, Abduh, Maudhudi, Hos Cokroaminoto, M. Natsir, Khomeini dll, sekadar memberikan contoh.
Ada kesamaan-kesamaan antar masalah-masalah yang dihadapi di negara-negara yang berbeda, dan antara gagasan-gagasan yang dikemukakan oleh para ahli pikir Muslim, serta pengaruh yang dapat ditularkan oleh para ahli pikir dari sebuah negara pada gerakan-gerakan di negara lain. Tetapi kita mesti memberikan tekanan yang lebih besar pada konteks nasional dan regional tempat berbagai gerakan dilaksanakan karena itu sangat penting maknanya.
Terbukti dari sekian gerakan yang ada di Mesir, Iran, Pakistan, India, Saudi, Afghanistan dll. Perbedaan dalam sejarah., geografi, struktur sosial dan ekonomi antara negara-negara Muslim mempengaruhi warna dan resonansi yang berlainan pada Islam di masing-masing negara tersebut; sehingga kelompok-kelompok yang memiliki program yang kira-kira sama, sering mendapati diri mereka memainkan peranan politik yang berbeda. Karenanya mungkin kita bisa berhipotesa bahwa sama-sama menginginkan negara Islam atau Syariat. Di Pakistan tidak akan pernah diperintah dengan cara yang sama seperti yang dilakukan di Iran, dan keduanya tidak akan dapat melahirkan jenis masyarakat Islam yang sama dengan yang ada di Saudi Arabia.
Revolusi Iran barangkali dapat mengirimkan semangatnya ke luar negeri, dalam arti bahwa revolusi tersebut dapat mendorong timbulnya perubahan revolusioner di beberapa negeri Muslim. Tapi mustahil bagi kita untuk mengharapkan negeri-negeri Muslim lain meniru persis hukum-hukum dan pranata-pranata yang sama seperti yang diberlakukan di Iran yang revolusioner, sebab hukum dan pranata tersebut mencerminkan Islam yang khas Iran, yang merupakan produk dari sejarah Iran. Paham Syi’ah jelas memainkan peranan di sini, tapi ini bukan semata-mata masalah perbedaan mazhab. Paham Syi’ah juga ada di luar Iran, tapi peranannya dalam sejarah dan masyarakat Iran bersifat unik.
Selanjutnya, kita tahu di kalangan masyarakat Muslim tertentu pada masa tertentu selalu ada lebih dari satu penafsiran politik Islam yang dikemukakan. Tidak ada, di negeri mana pun, suatu konsensus yang berhasil guna menyangkut masalah isi tradisi Islam yang asli, atau seberapa banyak dari isi tradisi tersebut yang dapat diubah prakteknya, atau seberapa cepat, atau dengan cara bagaimana. Meskipun banyak orang Muslim sepakat Islam itu intergral dan holistik serta perlu menerapkan syariatisasi Islam, tetapi mereka berbeda pendapat tentang praktek demokrasi, syuro, negara Islam atau lainnya.
Karenanya Islam sulit memberikan warna yang jelas dan clear. Yang memberikan warna pada Islam justru adalah tokoh-tokoh Islam. Sehingga daripada memfokuskan diri pada Islam (sebagai bahan analisis gerakan dan lawan dengan barat), lebih baik memfokuskan pada orang-orang Islam atau tokoh-tokoh gerakan-gerakan Islam.
Islam di tangan Soekarno akan berbeda dengan Islam ditangan M. Natsir, akan berbeda dengan Khomeini dan Ali Syariati apalagi Raja’i. Islam di Pakistan akan berbeda ditangan Iqbal, Sayyid Ahmad Khan, atau Maudhudi. Demikian di Mesir dan tempat-tempat lainnya. Mana Islam? Semuanya adalah Islam yang mengambil faset-faset dalam Islam sesuai dengan sejarah, budaya, kultur, geografis dan tantangan yang dihadapinya.
Wallahu A’lam bi Al Shawab.
- Oleh: Muhammad Alwi, Psikolog, Pendidik, dan Peminat Agama dan Filsafat.
- Source: Pendidikan Positif