Satu Suro adalah hari pertama dalam kalender Jawa di bulan Sura atau Suro di mana bertepatan dengan 1 Muharram dalam kalender hijriyah, karena Kalender jawa yang diterbitkan Sultan Agung mengacu penanggalan Hijriyah (Islam).
Satu suro biasanya diperingati pada malam hari setelah magrib pada hari sebelum tangal satu biasanya disebut malam satu suro, hal ini karena pergantian hari Jawa dimulai pada saat matahari terbenam dari hari sebelumnya, bukan pada tengah malam.
Menurut Wikipedia, Satu Suro memiliki banyak pandangan dalam masyarakat Jawa, hari ini dianggap keramat terlebih bila jatuh pada jumat legi. Untuk sebagian masyarakat pada malam satu suro dilarang untuk ke mana-mana kecuali untuk berdoa ataupun melakukan ibadah lain.
Tradisi
Tradisi saat malam satu suro bermacam-macam tergantung dari daerah mana memandang hal ini, sebagai contoh Tapa Bisu, atau mengunci mulut yaitu tidak mengeluarkan kata-kata selama ritual ini. Untuk Tapa Bisu ini dapat kita lihat pada bagian akhir tulisan ini.
Adalah sesuatu yang dapat dimaknai sebagai upacara untuk mawas diri, berkaca pada diri atas apa yang dilakoninya selama setahun penuh, menghadapi tahun baru di esok paginya.
Tradisi lainnya adalah Kungkum atau berendam di sungai besar, sendang atau sumber mata air tertentu, Yang paling mudah ditemui di Jawa khususnya di seputaran Yogyakarta adalah Tirakatan (tidak tidur semalam suntuk) dengan tuguran (perenungan diri sambil berdoa) dan Pagelaran Wayang Kulit.
Di antara tradisi tersebut ada juga sebagian masyarakat yang menggunakan malam satu suro sebagai saat yang tepat untuk melakukan ruwatan.
Selain dua ritual itu, sebenarnya masih banyak ritual lain yang digelar di kalangan masyarakat Jawa ini. Dan berikut adalah beberapa ritual yang digelar tepat malam satu Suro, sebagaimana dilansir dari laman Merdeka.
Ngumbah Keris Malam Satu Suro
Salah satu ritual paling popular saban malam Satu Suro adalah ngumbah keris (membersihkan keris). Ritual ini adalah tradisi mencuci/membersihkan keris pusaka bagi orang yang memilikinya. Dalam tradisi masyarakat Jawa, ngumbah keris menjadi sesuatu kegiatan spiritual cukup sakral.
“Kenapa tiap malam Satu Suro kebanyakan orang Jawa atau para kolektor pusaka selalu ‘ngumbah gaman/kersi’ miliknya? Karena seperti yang saya jelaskan, bahwa 1 Muharram adalah malam penuh keramat, malam penuh dengan kekuatan magis.
Karena pusaka-pusaka itu juga dikeramatkan, makanya perlu dirituali di malam 1 Suro, agar kekuatan gaibnya bertambah,” kata Sugiman, seorang kolektor pusaka asal Sidoarjo.
Kirab kerbau bule di Keraton Surakarta
Ada satu tradisi dalam masyarakat Jawa, khususnya kraton Solo-Sukarta adalah Kirab Kebo Bule ini merupakan ritual Keraton Kasunanan Surakarta. Kirab ini Kebo Bule ini juga digelar saban malam satu Suro, di mana sekawanan kerbau (kebo) yang dipercaya keramat, yaitu Kebo Bule Kiai Slamet. Konon kerbau ini bukan sembarang kerbau.
Dalam buku Babad Solo karya Raden Mas (RM) Said, leluhur kebo bule adalah hewan klangenan atau kesayangan Paku Buwono II. Maka dari itu, kebo bule ini dianggap sebagai pusaka keraton. Adapun kirab itu sendiri berlangsung tengah malam, tergantung ‘kemauan’ dari kebo Kyai Slamet.
Uniknya, dalam kirab ini, orang-orang sekitar Keraton akan berjalan mengikuti kirab. Mereka saling berebut dan berusaha menyentuh tubuh kebo bule. Tak cukup menyentuh, bahkan orang-orang tersebut terus berjalan di belakang kerbau, menunggu sekawanan kebo bule buang kotoran. Bila kotoran jatuh, mereka saling berebut mendapatkannya.
Orang-orang itu beranggapan bahwa kotoran tersebut sebagai tradisi ngalap berkah, atau mencari berkah Kiai Slamet.
Mubeng Beteng di Keraton Yogyakarta
Sedangkan ritual di Yogyakarta berbeda lagi. Di istana Sultan Hamengkubuwono, itu setiap malam satu Suro digelar acara mengarak benda pusaka mengelilingi benteng keraton yang diikuti oleh ribuan warga Yogyakarta dan sekitarnya.
Selama melakukan ritual mubeng beteng tidak diperkenankan berbicara seperti halnya orang sedang bertapa. Inilah yang dikenal dengan istilah tapa bisu mubeng beteng.
Tirakatan Malam Satu Suro
Ritual lain dikenal dengan Tirakatan. Tirakat dari kata ‘Thoriqot’ atau Jalan, yang dimaknai sebagai usaha mencari jalan agar dekat dengan Allah. Tirakatan ini digelar setiap malam satu Suro oleh kelompok-kelompok penganut aliran kepercayaan Kejawen yang masih banyak dijumpai di pedesaan. Mereka menyambut datangnya tahun baru Jawa dengan tirakatan atau selamatan.
Sepanjang bulan Suro masyarakat Jawa meyakini untuk terus bersikap eling (ingat) dan waspada. Eling artinya manusia harus tetap ingat siapa dirinya dan di mana kedudukannya sebagai ciptaan Tuhan.
Tapa Bisu Tahun Baru Islam Satu Suro
Ritual lain adalah Tapa Bisu atau mengunci mulut. Sesuai namanya, Ritual ini dilakukan dengan cara diam, tidak mengeluarkan kata-kata selama ritual. Ritual ini juga bisa dimaknai sebagai upacara untuk mawas diri, berkaca pada diri atas apa yang dilakoninya selama setahun penuh, menghadapi tahun baru di esok paginya.
Seperti tradisi Tapa Bisu yang di lakukan di kota Yogyakarta misalnya. Mereka melakukan untuk memohon perlindungan dan keselamatan kepada Allah SWT dengan harapan diberikan yang terbaik untuk Kota Yogyakarta.
Ada hal menarik dari ritual malam Satu Suro yaitu soal pernikahan. Kalau ada warga yang mengadakan perayaan khusus, seperti pernikahan, di bulan Suro. Maka perayaan itu akan berdampak pada sepinya ritual pencucian pusaka yang diselenggarakan oleh keraton. Dianggap mengurangi kewibawaan keraton, maka mulai beredar mitos-mitos seram tentang bulan Suro.
Tradisi ini juga jadi satu bentuk aksi untuk mememupuk kesetiaan warga pada keraton. Hingga kini, kepercayaan itu masih dipegang kuat oleh masyarakat Jawa.
Di balik semua cerita yang terdengar, tak ada salahnya juga kalau ingin melestarikan tradisi, bukan? Setiap orang punya perspektif sendiri untuk menilai malam Satu Suro.
(Disarikan dari berbagai sumber)