”Ternyata shalat, zakat, puasa dan haji belum menjamin kedekatan seseorang dengan Allah SWT”.
Oleh: Admin
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ الْعِنَايَةِ الْعَآمَّةِ وَالْهِدَايَةِ التَّآمَّةِ، آمِيْنَ يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
Bismillãhirrahmãnirrahîm
Wasshalãtu wassalãmu ‘alã Muhammadin wa ãlihî ma’at taslîmi wabihî nasta’înu fî tahshîlil ‘inãyatil ‘ãmmati wal-hidãyatit tãmmah, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn.
“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kepadaNya kami memohon pertolongan dalam mencapai inayahNya yang umum dan petunjukNya yang sempurna, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn“.
Saudaraku yang dikasihi Allah SWT. Praktek ibadah amaliyah secara mahdhah ternyata belum menjamin seseorang dekat denganNya. Meski secara formil ibadah tersebut sesuai ketentuan syarat dan rukunnya secara apik.
Pengalaman batin kerap kali dirasakan mereka pada suasana genting di mana hajat mereka kepada Allah menguat. Saat melewati masa-masa genting, manusia kerap merasakan kedekatan dengan Allah dibanding ketika ibadah formal seperti shalat, puasa, zakat, atau haji.
Hal ini disinggung oleh guru kami, Syekh Ahmad ibnu ‘Athaillah Assakandary RA pada hikmah berikut ini:
رُبَّمَا وَجَدْتَ مِنَ الْمَزِيْدِ فِي الْفَاقَاتِ مَالَا تَجِدُهُ فِي الصَّوْمِ وَالصَّلَاةِ
“Terkadang kamu menemukan bonus di saat hajat-kritis yang tak kau dapati di saat shalat dan puasa.”
Syekh Ibrahim Al-Aqshara’i As-Syadzili memahami dua kewajiban manusia terhadap Allah. Menurutnya, manusia memiliki kewajiban umum dan khusus. Kewajiban umum merupakan kewajiban shalat, puasa, zakat, haji, dan perintah formal lainnya. Sedangkan kewajiban khusus merupakan pernyataan kefakiran manusia di hadapan-Nya bahwa kita bukanlah apa-apa dan siapa-siapa saat menjalani ibadah shalat, puasa, atau ibadah lainnya.
أَقُوْلُ: وَذَلِكَ أَنَّ مَطْلُوْبَ الْحَقِّ مِنَ الْخَلْقِ مَطْلُوْبَانِ: مَطْلُوْبٌ عَامٌ وَهُوَ الْأَعْمَالُ الَّتِيْ مِنْهَا الصَّوْمُ وَالصَّلَاةُ وَمَطْلُوْبٌ خَآصٌّ وَهُوَ شُهُوْدُ الْفَاقَاتِ مِنْكَ وَمِمَّا لَكَ مِنَ الْأَعْمَالِ لِشُهُوْدِ مَا قَامَ بِكَ رَبُّهَا مِنْ تَجَلِّيَاتِ الْأَسْمَآءِ وَالصِّفَاتِ، وَهَذَا هُوَ مَفَادُ الْمَطْلُوْبِ الْخَآصِّ مِنْكَ فِي الْقِيَامِ بِالْمَطْلُوْبِ الْعَامِ فَإِنَّكَ تَجِدُ بِهِ مِنَ الْمَزِيْدِ لِفَنَائِكَ عَنْكَ وَعَنْهُ مَا لَا تَجِدُهُ فِي الصَّلَاةِ وَالصِّيَامِ لِثُبُوْتِكَ مَعَكَ وَمَعَهُمَا
“Menurut saya, Allah memiliki dua tuntutan untuk manusia. Pertama, tuntutan umum, yaitu amal ibadah berupa puasa dan shalat. Kedua, tuntutan khusus, yaitu menyaksikan kondisi hajat-kritismu dan amal-amal yang dilekatkan padamu agar kamu menyaksikan penampakan asma dan sifat Allah yang diperbuat oleh-Nya terhadapmu. Ini merupakan makna dari tuntutan khusus terhadapmu di dalam memenuhi tuntutan umum-Nya. Pasalnya, kamu menemukan bonus ini karena kau fana dari dirimu dan dari tuntutan khusus tersebut yang tak kaudapati di saat shalat dan puasa karena kau hadir bersama shalat dan puasamu,” (Lihat Syekh Burhanuddin Ibrahim Al-Aqshara’i As-Syadzili, Ihkamul Hikam, Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah, cetakan pertama, 2008 M/1429 H, halaman 113).
Syekh Ibnu ‘Abbad mencoba menjelaskan kenapa perasaan lebih dekat dengan-Nya dialami ketika manusia dalam kondisi genting dan hajat dibanding saat shalat, puasa, dan lain sebagainya. Menurutnya, ibadah shalat, puasa, dan seterusnya rawan disusupi nafsu dan syahwat yang menghalangi pandangan mata batin atas kehadiran dan peran Allah dalam ibadah kita.
وَرُوِدَ الْفَاقَاتُ يَحْصُلُ لِلْمُرِيْدِ بِهَا مَزِيْدٌ كَثِيْرٌ مِنْ صَفَاءِ الْقَلْبِ وَطَهَارَةِ السَّرِيْرَةِ وَقَدْ لَا يَحْصُلُ لَهُ ذَلِكَ بِالصَّوْمِ وَالصَّلَاةِ لِأَنَّ الصَّوْمَ وَالصَّلَاةَ قَدْ يَكُوْنُ لَهُ فِيْهِمَا شَهْوَةٌ وَهَوَى كَمَا تَقَدَّمَ وَمَا كَانَ هَذَا سَبِيْلُهُ لَا يُؤْمِنُ عَلَيْهِ فِيْهِ مِنْ دُخُوْلِ الْآفَاتِ فَلَا يُفِيْدُهُ تَحْلِيَةٌ وَلَا تَزْكِيَةٌ بِخِلَافٍ وَرُوِدَ الْفَاقَاتُ فَإِنَّهَا مُبَايَنَةٌ لِلْهَوَى وَالشَّهْوَةِ عَلَى كُلِّ حَالٍ
“Kondisi hajat-kritis kerap memberikan banyak bonus berupa kebersihan hati dan kesucian batin bagi murid. Bonus ini kadang tidak ditemukan ketika shalat atau puasa karena syahwat dan dorongan nafsu menyertainya saat menjalani kedua ibadah itu sebagai uraian yang lalu. Kalau jalan itu memang tak selamat dari kemungkinan hama/penyakit, maka tidak berfaidah lagi padanya sifat-sifat terpuji dan upaya pembersihan dari sifat tercela, berbeda dengan kondisi hajat-kritis karena kondisi kritis ini bertolak belakangan dengan syahwat dan dorongan nafsu dalam segala keadaan,” (Lihat Syekh Ibnu Abbad, Syarhul Hikam, Semarang, Maktabah Al-Munawwir, tanpa keterangan tahun, juz II, halaman 13).
Hikmah ini tidak menganjurkan orang lain untuk mengurangi amal-ibadahnya. Pada hikmah ini Syekh Ibnu Athaillah menyatakan bahwa kewajiban manusia kepada Allah terbagi dua di mana kedekatan kepada-Nya bisa saja dirasakan meningkat ketika batin diliputi perasaan genting mencekam di luar ibadah formal.
Hikmah ini justru memberikan semacam ‘warning‘ kepada kita agar tidak merasa sudah cukup dekat dengan Allah SWT melalui ibadah secara formal, mahdhah. Semoga saja Allah SWT memperkenankan kita dekat kepada-Nya melalui hajat-kritis yang tidak begitu berat, ãmîn yã Rabbal ‘ãlamîn.
Wallãhu A‘lamu bish-Shawãb