Home / Agama / Kajian / Inilah Hukuman Allah yang Tidak Disadari

Inilah Hukuman Allah yang Tidak Disadari

Oleh: H. Derajat

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيم
اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلٰى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلٰى اٰلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ

Bismillaahirrahmaanirrahiim
Allahumma shalli ‘alaa Sayyidinaa Muhammad wa ‘ala aali Sayyidina Muhammad.

“Lawan aja padha padudon ing karsa, iki siriking ngelmi, yen during kaduga, luwung mendel kewala, anging kasilna kang titi, marang ngulama, myang para sujaning budi.”

(Dan jangan suka bertengkar pendapat, itu larangan dalam mencari ilmu, bila belum mumpuni, lebih baik menahan diri, dan belajarlah dengan tekun, kepada para ulama, para ahli kesempurnaan jiwa)

“Iku wong tuna ing budi, tan nana gelem kasoran, yekti kakandhangan kibir, rebut luhuring kagunan, dadi luput sakarone.”

(Itulah orang yang berakal dangkal, selalu tak ingin direndahkan, selalu berlagak sombong, pamer kemuliaan dan kepandaian, hingga kehilangan dua-duanya)

Sahabatku, saat ini terlalu banyak orang yang pamer tentang ibadahnya, seolah telah sempurna ibadah yang dilakukannya. Bahkan lebih dari itu banyak orang yang merendahkan ulama/mursyid dengan membandingkan ibadah dirinya dengan ibadah sang guru tersebut.

Nah, setelah membaca kisah ini semoga Allah menyadarkan kita semua bahwa ukuran ibadah itu adalah dengan merasakan nikmatnya ibadah yang tentunya kita rasakan sendiri bukan menganggap banyaknya ibadah kita sebagai kesalehan apalagi menetapkannya sebagai ukuran keimanan kita.

Saudaraku, mungkin saja ibadah yang dilakukan orang lain lebih bermutu daripada yang kita lakukan maka jangan pernah membandingkan ibadah orang lain dengan ibadah kita karena itu bagian dari kesombongan dan bagian dari keluarnya diri kita dari makna Laa haula wala quwwatta illaa Billaah.

Di zaman Nabi Syuaib, seorang pria datang ke hadapan Nabi, “Tuhan telah menyaksikan semua dosa yang aku lakukan. Namun karena kemurahanNya, Ia masih juga belum menghukumku.”

Tuhan lalu berkata kepada Syuaib, “Katakan pada orang itu: Engkau merasa Tuhan belum menghukummu padahal sebaliknya”.

“Tuhan telah menghukum tetapi kau tak menyadarinya. Kau berkelana di tengah rimba tanpa tujuan. Tangan dan kakimu terikat. Kau tak lain hanyalah waja yang penuh dengan karat.

“Semakin hari kau dibutakan oleh hal-hal spiritual. Bila api mengenai waja yang masih bersih, jelaganya terlihat seketika. Tapi dengan waja yang permukaannya amat hitam seperti milikmu, siapa yang mampu melihat betapa tebalnya jelaga itu?”

“Ketika kau berhenti mengingat-Nya, lapisan karat itu bergerak menuju jiwamu.”

“Bila kau menulis di atas sehelai kertas, tulisan itu akan mudah terbaca. Namun bila kertas itu kau remas berulang kali, apa yang kau tulis akan sulit untuk kau baca.”

“Tenggelamkan dirimu dalam larutan pembersih karat. Hapus jelaga itu seluruhnya.”

Setelah Syuaib mengutarakan semua ini, saat itu pula mawar bermekaran di hati pria itu. Tapi ia masih bertanya, “Aku masih ingin tahu satu tanda bahwa Dia benar-benar telah menghukumku.”

Sekali lagi, Tuhan melalui lidah Syuaib berkata; “Aku takkan menyingkapkan rahasiamu, tapi Aku akan tunjukkan sehingga kau mengerti”.

“Dalam hidupmu, kau telah banyak beramal salih. Kau sering berpuasa dan shalat malam. Tapi kau belum menikmati semua itu. Kau memiliki banyak buah, namun tak ada yang rasanya manis. Tanpa cita rasa dan benih kenikmatan, sebiji apel takkan tumbuh menjadi pohon yang penuh dengan buah. Begitu pula dengan ibadahmu, ibadah tanpa kenikmatan tak lebih dari sekadar khayalan….”.

Kuakhiri dengan renungan dari Mursyid kami Ibnu ‘Athaillah :

مَنْ عَبَدَهُ لِشَيْءٍ يَرْجُوْهُ مِنْهُ أَوْ لِيُدْفَعَ بِطَاعَتِهِ وَرَوَدَ الْعُقُوْبَةَ عَنْهُ فَمَا قَامَ بِحَقِّ أَوْصَافِهِ

“Barang siapa menyembah Allah karena mengharap sesuatu, atau untuk menolak siksa atas dirinya, maka dia belum menunaikan kewajiban terhadap sifat-sifat Allah,” kata Syeikh Ibnu ‘Atha’illah.

Allah Ta’ala telah menurunkan wahyu kepada Nabi Dawud ‘alaihissalaam: “Sesungguhnya orang yang sangat Aku kasihi ialah orang yang beribadah bukan karena upah pemberianKu, tetapi semata-mata karena Aku yang berhak untuk disembah.”

Dalam kitab Zabur disebutkan: “Dan siapakah yang lebih kejam dari orang yang menyembahKu karena surga atau neraka, apakah seandainya Aku tidak membuat surga atau neraka, Aku tidak berhak untuk disembah ?”.

About admin

Check Also

Saat Imam al-Ghazali Risau Terhadap Islam di Andalusia

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَاٰلِهِ مَعَ التَّسْلِيْمِ وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ فِى تَحْصِيْلِ ...