Kehadiran militer AS di dekat Indonesia bukan hal baru. AS juga pernah memiliki pangkalan militer di Filipina, lalu sampai kini masih memiliki pangkalan logistik di Singapura. Belum lagi perusahaan-perusahaan multinasional yang beroperasi di Indonesia yang walaupun secara teroritis adalah non-state actor, tetapi sesungguhnya memiliki semacam hubungan darah dengan kepentingan ekonomi dan politik AS yang merupakan state actor, bertebaran di mana-mana.
Demikian dikatakan dosen hubungan internasional Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, Syarif Hidayatullah, Teguh Santosa, menyikapi perdebatan mengenai pangkalan militer AS di Darwin. Sejumlah kalangan menduga pangkalan itu didirikan AS untuk mempertegas dominasinya di kawasan ini. Ada juga yang berpendapat bahwa pangkalan itu didirikan dengan maksud mendukung separatisme Papua.
Menurut Teguh, daripada kasak-kusuk soal pangkalan militer AS di Darwin, jauh lebih baik bila semua stakeholder bangsa dan negara Indonesia dengan serius memikirkan kembali cetak biru kebangsaan Indonesia.
“Indonesia sudah terlanjur dikuasai pihak asing. Tidak secara militer, tetapi secara pemikiran dan ekonomi. Kini saatnya semua stakeholder memikirkan kembali cetak biru kebangsaan Indonesia. Cita-cita NKRI adalah kesejahteraan untuk semua. Tapi bagaimana agar sejahtera itu bisa dicapai? Cukupkah dengan pendekatan ekonomi neolib seperti yang selama ini diyakini pemerintah? Pertanyaan ini harus segera dijawab, agar kita keluar dari neo-penjajahan,” ujar Teguh ketika dihubungi beberapa saat lalu (Senin, 21/11).
“Kehadiran militer AS di Australia jadi terlihat sebagai ancaman karena Indonesia masih gamang ingin apa, mau kemana dan melakukan apa untuk menggapai keinginan dan kemauan itu,” sambungnya.
Hal lain yang harus segera dilakukan Indonesia ialah dengan sesegera mungkin memastikan posisi dalam percaturan dunia yang terus berubah dan semakin dinamis saat ini. Pertemuan sejumlah kepala negara di Bali pekan lalu semestinya dijadikan momentum untuk menegaskan posisi itu. Tetapi, karena posisi yang mau diisi Indonesia belum pasti, pertemuan-pertemuan penting di Bali tersebut berpotensi tidak bermakna banyak bagi Indonesia.
“India dan China telah berhasil memastikan posisi mereka di arena politik dan ekonomi global. Begitu juga tetangga kita Malaysia yang sekarang menjadi center of excellence dunia akademia di kawasan Asia Tenggara. Malaysia juga dianggap lebih mewakili wajah Islam non-Timur Tengah. Kalau Singapura sudah sejak lama dikenal sebagai kota servis sehingga walaupun kecil dan tak punya sumber daya alam tapi dapat hidup sejahtera,” urai Teguh.
Ia mengingatkan bahwa kawasan Asia Tenggara kembali menjadi arena pertarungan antara berbagai kepentingan global. Bukan hanya AS yang ingin mempertahankan dominasi di kawasan itu. Rusia pun berusaha mengambil keuntungan. Belum lagi India dan China yang sedang bertarung untuk bisa mendapatkan hati komunitas ASEAN.
“Semakin lama Indonesia terombang ambing, semakin suram masa depan kita. Bisa jadi, yang melemahkan kita bukan kehadiran pangkalan militer asing. Tapi ketidakmampuan kita memutuskan kita ini mau jadi apa,” demikian Teguh.
http://teguhtimur.com/